219 | Flashback
“Ayah... jangan pergi...hiks... ayah....” lirih seoarang anak lelaki yang baru saja menginjak umur tujuh tahun di halaman depan rumahnya, dengan pundak yang setia diusap oleh sang nenek yang tengah menggendong seorang bayi perempuan yang sedang tertidur dengan nyaman.
Sedangkan pria yang kala itu tidak punya hati nurani meninggalkan kedua buah hatinya pada sang mertua dengan alasan tidak bisa menjaga kedua anaknya sendirian, ditambah dengan satu anaknya yang mengalami cacat pada suaranya. Juli yang kala itu tidak mengerti apa-apa hanya bisa menangisi ayahnya yang tega meninggalkannya juga adiknya berdua dengan sang oma yang sudah renta.
Julio, anak lelaki itu sudah harus bersikap lebih dewasa dari umurnya, tidak ada di pikirannya untuk bermain bersama teman-teman sepanjang hari, setiap hari ia akan selalu menjaga adiknya, mengurusi makannya, dan bila adiknya sakit ia akan senantiasa menunggunya hingga panas pada tubuh sang adik turun, ia akan rela tidak makan bila makanan yang mereka punya hanya cukup untuk dua orang. biar sang adik dan omanya saja yang makan. Karena ia rasa, jika dunianya sehat dan bahagia ia akan merasakannya juga.
Julio, anak lelaki yang seharusnya hanya memikirkan sekolah dan belajar seperti anak-anak pada umumnya harus memikirkan bagaimana mereka melanjutkan hidup untuk kedepannya. Dengan tekad ia berjualan kopi berbekal resep turun temurun dari sang oma keliling kota Yogyakarta, menjajakan kopi dengan segenap rasa.
Walau panas yang tak terkira, hujan yang deras tidak akan mematahkan semangatnya untuk berjualan menyusuri kota. Yang selalu ia bayangkan adalah ketika pulang senyum dan tawa adik dan omanya yang menyambutnya hangat, yang akan memeluknya ketika ia sedang menangis. Ayahnya? Entah pria itu seperti ditelan oleh bumi. Semenjak ia meninggalkannya empat tahun yang lalu. Ia sudah tidak pernah terlihat lagi. Dan juga Juli sudah tidak perduli.
Ibunya? Ia juga telah pergi, meninggalkan dunia dan seisinya. Pergi dengan sebuah tanggung jawab besar yang secara tidak langsung diberikan kepada anak sulungnya itu. Mungkin ibu akan kecewa dengan sikap suaminya yang menelantarkan kedua anaknya begitu saja.
Julio. Ia sudah diuji oleh semesta, ia sudah mengalami berbagai macam cobaan yang begitu berat, sudah merasakan pahitnya kehidupan orang dewasa diusianya yang baru menginjak sepuluh tahun. Ia sudah begitu kuat menahan segala rasa yang bisa saja ia keluarkan kapan pun itu. Kala ia sudah lelah dengan keadaan, sang adik dengan lugunya selalu menawarinya pelukan hangat, begitu hangat. Sampai Juli menyadari bahwa ia tidak sendiri disini. Ia tidak berjuang sendiri. Ada adiknya, yang senantiasa berjuang bersama, walau hanya lewat doa. Itu cukup.
Ia begitu menyayangi adiknya, sungguh ia bertekad bila ada yang menyakitinya barang setitik, maka orang itu akan hilang dari dunia. Cukup berlebihan tapi itu yang Juli yakinkan pada dirinya. Ia akan selalu menjaga perasaan adik kecilnya ini, tidak akan membiarkan seorang pun menyakiti perasaannya, terutama sang ayah.
Ia tidak mau adik kecilnya merasakan yang ia rasakan dulu, terbuang oleh ayahnya sendiri.
Juni menangis. Mendengarkan cerita sang kakak tentang ayahnya, tentu saja dengan persetujuan sang ayah. Tangan dengan keriput itu mencoba meraih tangan halus di depannya, namun segera di tepis kasar oleh sang empunya. Ia sadar. Ia begitu menjijikan untuk mendapatkan maaf dari kedua anaknya. Ia begitu tidak tahu malu bila meminta anaknya kembali kepadanya.
“Juni butuh waktu. “ ia mengangguk mendengar nada bicara Juli yang begitu dingin kepada. Jujur, ia begitu rindu pada anak lelakinya itu. Yang selalu merecokinya ketika ia sedang bekerja di rumah, yang akan selalu memintanya menemani bermain sepeda hingga sore, memintanya untuk tidur bersama dengan tatapan penuh kehangatan yang selalu ia suka. Tidak dengan sekarang, yang bahkan anaknya itu enggan menatap matanya.
“Maafkan ayah...ayah...ayah beneran menyesal nak...” Tangis Juni semakin kencang di dalam pelukan sang kakak yang sedari tadi mengusap surainya untuk memberi ketenangan. Dengan lemas ia menuliskan sebuah tulisan.
Ayah jahat
Juni benci sama ayah
Dua kalimat yang berhasil membuat dunia seorang Raihan hancur, ia telah gagal. Ya ia gagal menjadi seorang ayah. Ia gagal. Hatinya begitu sakit hingga tidak bisa lagi untuknya menahan air matanya keluar. Sekarang, ketiga manusia yang kini tengah duduk tengah berbicara tentang pengakuan dosa kini tengah tenggelam dengan pikirannya masing-masing. Mereka butuh waktu. Ya hanya waktu yang bisa menyembuhkan.