athiverse

287

Ketiga orang yang baru saja merasa lega tengah menunggu seorang dokter memeriksa kembali Juli yang baru sadar dari tidurnya. Tatapan ketiganya tidak lepas dari seseorang yang tengah berbaring di dalam. “Yang sabar ya buat menghadapi pasien,” ujar sang dokter yang baru saja selesai memeriksa Juli.

“Ada apa dok?” Laksa bertanya cepat.

“Pasien mengalami perununan daya ingat dan kemungkinan nanti juga akan kesulitan berbicara.” Ketiganya secara bersamaan menutup mulut mereka akan pernyataan yang diberikan dokter tadi. “Apa masih bisa di sembuhkan dok?” tanya Bima.

“Bisa bila dilakukan dengan operasi pengangkatan tumor yang bersarang di otak pasien.”

“Tapi untuk melakukan operasi harus dilakukan pemeriksaan minimal satu sampai dua minggu sebelum operasi, untuk mengecek apakah pasien cukup sehat untuk melakukan operasi,” lanjut dokter dengan tangan yang setia dimasukkan pada kantung jas putihnya.

Mereka bertiga mengangguk-angguk paham, “Kalau begitu, kami bertiga masuk dulu ya dok.” Dokter lalu mengangguk dan mempersilahkan mereka masuk, “Silahkan.”

“Oit, bangun juga lo,” ujar Laksa yang baru sampai tepat di samping Juli. “gimana, enak tidur satu hari full?” Juli mengernyit, “Satu hari?” Laksa mengangguk, “Iya sehari lo tidur, baru bangun sekarang. Kebo banget.”

“G-gue di-dimana?”

“Rumah sakit.” Kali ini Aruna yang menjawab. Juli hanya diam memandang wanita itu. “Siapa?”

Aruna diam, ia tidak menyangka bahwa Juli akan lupa dengan dirinya, “Aruna, salah satu barista Juni’s Cafe,” jawabnya dengan lirih. “Juni dimana?” mereka bungkam, tidak tahu harus menjawab apa, tap bila harus berbohong bukankah akan menambah masalah? “Juni udah pulang,” ujar Bima. “Pulang kemana?”

“Ketemu ibu.” Juli diam memproses ucapan Bima barusan, namun tiba-tiba kepalanya terserang sakit kembali, membuat ketiga orang itu panik, “Istirahat dulu Jul, jangan banyak mikir.”

274

Selepas makan bersama, Aruna kembali ke kamarnya untuk mengambil tas dan bawaannya yang lain meninggalkan Juli pada kedua orang tuanya yang kini tengah mengajaknya berbincang. Sadar akan kecanggungan ini. kedua orang tua Aruna meminta Juli menghampiri Aruna yang sudah lumayan lama di kamarnya.

Awalnya Juli menolak karena tidak ingin memasuki kamar seorang wanita begitu saja. Tapi mama Aruna memaksa, memintanya untuk masuk sekalian mengecek keadaan putrinya yang lama sekali di kamar. Dengan langkah pelan akhirnya ia sampai pada pintu bercat putih. Awalnya ia ketuk pelan pintu itu namun tidak ada jawabann. Kembali ia ketuk namun sama, kembali tidak ada jawaban.

Dengan keyakinan ia membuka pintu putih itu tanpa izin, di masukan kepalanya lebih dulu untuk melihat apa yang terjadi di dalam, namun nihil. Tidak ada orang sama sekali. ia melangkah masuk mengamati kamar bernuansa putih hitam itu dengan saksama.

Desain yang minimalis membuat suasana di dalam lebih lebar dari aslinya. Langkahnya berhenti pada meja rias milik Aruna. Disana tertera berbagai macam produk kecantikan yang Aruna pakai. Namun netranya berhenti pada laci yang memunculkan sebuah sapu tangan yang tersangkut di dalamnya.

Ia buka laci itu, dan mengambil sapu tangan yang tersangkut tadi. Ia terdiam, ia juga tidak sedang bermimpi.

Sapu tangan yang ia genggam sekarang persis seperti miliknya. “Loh, Jul. Ngapain?” tanya Aruna saat perempuan itu masuk dengan sebuah tas biru tosca di genggamannya.

Juli sedikit gelagapan, “Ah, eh disuruh mama mu samperin abisnya kelamaan,” jawabnya jujur. “waktu saya ketuk nggak ada sahutan, akhirnya saya masuk, maaf ya.”

Aruna tertawa, “Haha, nggak apa-apa tadi saya cari ini.” diangkatnya tas biru tosca itu pada Juli. “ternyata saya tinggal di ruang televisi,” ujarnya dengan cengiran.

“Yuk—eh,” ucapannya terhenti dengan netra yang menatap tangan Juli yang tengah menggenggam sapu tangannya. “loh, sapu tangan saya, hampir lupa saya bawa.” Tangannya terjulur mengambil sapu tangan itu dan memasukkannya.

“Itu punya kamu?” tanya Juli, lantas Aruna mengangguk, “Iya, kan waktu itu saya bawa juga pas tujuh belas Agustus itu.” Ingatan Juli memutar pada kejadian dimana ia pingsan waktu itu. Lantas ia mengangguk. “Baru saya temuin lagi nih, sempet hilang dulu,” lanjutnya seraya tersenyum.

“Yuk.”

262

Seperti mengalami deja vu, ia kembali merasakan lorong dingin rumah sakit, namun kali ini ia sendiri, tidak ada siapapun yang menemani, duduk berjongkok pada depan ruang jenazah dengan tatapan kosong. Itu yang Juli lakukan sekarang. Otaknya seperti dipaksa untuk mengerti keadaan.

Sekali lagi, ia kembali kehilangan dunianya. Ia kehilangan ayah juga adiknya secara bersamaan. Mengapa tuhan begitu jahat hingga ia harus membawa ayahnya pergi setelah sekian lama ia baru saja kembali pada pelukannya? Kenapa tuhan tega membawa adiknya juga yang menjadi sumber alasan ia tetap bertahan disini.

Dunianya sudah tidak ada, maka tidak ada lagi alasan untuk hidup. Dunianya sudah mati. Bersamaan dengan perginya sang adik dan ayahnya.

Derap langkah kaki terdengar memasuki gendang telinganya, tidak lama tubuhnya ditarik pada sebuah rengkuhan hangat dengan detak jantung yang masih berdetak cepat. Tangan lembutnya mengusap punggung Juli begitu lembut. “Yang kuat ya.” tangisnya pecah namun tak ada lagi air mata yang keluar. Dadanya begitu sesak, terlalu menghambat pasokan udara yang masuk untuk membantunya bernafas. Tidak lama pandangannya gelap dan ia tidak sadarkan diri.


“Tenang ya.” itulah sebuah kalimat yang menyambutnya pertama kali. Tubuhnya secara reflek bangkit dari tidurnya. “Tenang, Lio tenang,” ujarnya seraya mengusap lembut tangan Juli.

“Run, saya mau ketemu Juni.”


Langkahnya melemah kala melihat dua tubuh yang sudah terbujur kaku diatas ranjang, Juli tidak bisa lagi menahan kesedihannya, lantas ketika ia sudah berada tepat diantara ayah dan adiknya ia terjatuh bersimpuh di lantai, kepalanya tertunduk dengan pundak yang kembali bergetar.

Ia menoleh ke arah Juni dan Raihan secara bergantian, mengamati wajah yang tengah tertidur dengan damai itu saksama agar ia selalu ingat.

“Maaf, andai Lio nggak lupa bawa ponsel dan dompet. Pasti ayah sama Juni masih asyik nonton kartun di rumah, masih asyik makan kue pukis atau sekedar saling bertukar cerita, maaf karena keteledoran Lio kalian harus pergi.”

Ia mengusap wajahnya kasar, “Maaf..maaf....” tangisnya kembali pecah. “Lio...Lio nggak tau yah harus apa liat nggak tahu harus bagaimana nantinya, dunia Lio udah pergi semua udah nggak ada alasan lagi Lio disini.”

“Lio...nyusul aja ya?”

261

Pagi ini Juli berada di teras rumahnya seraya menyesap segelas kopi buatan Juni, sedangkan adiknya itu sedang berada di dapur membantu asisten rumah tangga mereka, menyiapkan sarapan. Seharusnya pagi ini ia pergi mengecek keadaan kafe sebelum pesan Aruna sudah mengganggunya dari pagi buta untuk mencegahnya datang ke kafe karena harus istirahat.

Setelah sarapan ia duduk bersama Juni menonton film kartun yang sudah lama sekali tidak mereka tonton, karena kesibukkan masing-masing. Dengan posisi kepala Juni menyender pada dada bidang milik kakaknya dengan tangan yang setiap memutar-mutar remote televisi. Sedangkan Juli tangannya tidak henti-henti mengelus-elus surai hitam adiknya itu tidak jarang sesekali ia mengecup pucuk kepala sang adik yang dibalas senyum manis Juni.

Tidak berselang lama dering telepon Juli berbunyi, membuat kegiatannya itu terhenti paksa, ia segera bangun dari duduknya dan berjalan menjauh dari Juni. Setelah itu ia bergegas pergi ke kamar dengan ponsel yang ia letakkan pada nakas dekat televisi.

Tidak lama, ia kembali dengan pakaian yang sudah rapi, membuat Juni mengejutkan dahi dengan wajah penuh tanda tanya, belum sempat Juli menjawab sapaan salam dari arah pintu.

Senyum ceria dari pria yang baru mereka temui dua hari yang lalu menyapa terlebih dahulu. “Ayah ganggu nggak?” Juli lantas tersenyum dan memeluk ayahnya erat, seperti ada rasa ia tidak akan bertemu lagi dengan ayahnya itu. “Sama sekali nggak,” ucapnya yang masih dalam rengkuhan sang ayah. Tidak mau kalah si bungsu segera menghampiri keduanya, menyelip pada sela-sela dan ikut memeluk mereka. Pelukan semakin erat, perasaan Juli yang begitu bahagia karena keluarganya utuh kembali mendominasi dari perasaan khawatir yang tiba-tiba menghampirinya.

Perasaannya tidak enak.

“Mau kemana kamu Lio?” tanya ayahnya yang sudah duduk, dan membuka sekotak kue berisi kue pukis yang masih panas. “Tiba-tiba ada urusan kerjaan yah,” ucapnya dengan mengambil satu buah kue dari dalam box dan memakannya, “Aw, panas.” Raihan hanya tertawa melihat tingkah anak sulungnya itu, “Ya hati-hati.”

“Yaudah Juli berangkat ya,” ucapnya seraya menyalami tangan sang ayah dan mengecup singkat kening adiknya. “hati-hati nak.” Juli mengangguk dan segera pergi meninggalkan kedua orang paling ia sayangi di rumah.

“Gue harap Cuma perasaan gue aja yang berlebihan,” batinnya.


Rasanya tidak tenang sedari di jalan, seperti ada yang kurang namun ia tidak tahu apa itu. Sampai tepat pada lampu merah ia teringat bahwa dompet dan ponselnya tertinggal di rumah, “Duh, kok bisa lupa.” Segera ia putar balik kendaraannya dengan terburu-buru takut rekan kerjanya menunggu terlalu lama Ia berharap agar jalanan lancar, namun ia salah keadaan jalanan malah sebaliknya. Macet. Suara klakson mobil bersahutan tidak jarang banyak pengendara motor dan mobil turun dari kendaraan mereka dan menghampiri sumber dari kemacetan itu. Salah seorang yang baru saja kembali dari depan segera ia cegat, “Ada apa pak?”

“Kecelakaan mas.”

“Kecelakaan apa?”

“Ada truk oleng dan nabrak mobil sedan putih dari arah berlawanan, penumpangnya tewas di tempat.” Tubuh Juli membeku di pikirannya berputar mobil putih sang ayah, yang ia bawa saat ke rumah tadi. dengan susah payah ia buang semua pikiran buruknya itu. Berharap kalau itu adalah hanya kebetulan mobil yang sama dengan milik sang ayah. Ia turun dari mobil dan menghampir kerumunan orang di depan. Ia melihat bagian tubuh mobil itu sudah hancur begitu parah sehingga ia tidak bisa melihat plat nomor mobil itu.

Tubuh korban sudah dimasukan pada kantung jenazah membuatnya kesulitan melihat siapa korban itu. Namun seketika langkahnya berhenti kala ia merasa menginjak sesuatu. Benda yang sangat ia kenali, ponselnya.

257

Hanya terdengar suara alunan musik yang mengisi keheningan mobil yang dinaiki mereka, hanya sesekali Juli sedikit bersiul mengikuti alunan lagu yang sedang di putar. Sampai pada pertengahan jalan kepalanya terasa berat, pusing. Tidak biasanya Juli merasa seperti ini. ia pikir ini hanya serangan sesaat saja, tetapi semakin lama semakin berat, sampai semuanya terlihat berputar. Kalau saja Juni tidak menggoyangkan tubuhnya bisa saja ia akan menabrak truk di depannya.

Dengan cepat Juli meminggirkan mobilnya pada sebuah toko yang sedang tutup, wajahnya ia usap kasar seraya mengingat kejadian yang baru saja terjadi. Ia melihat adiknya yang masih diam, ia mengusap bahu adiknya, “Nggak apa-apa, maaf ya kakak nggak fokus.”

Juni hanya mengangguk dan membuka ponselnya, entah apa yang Juni lakukan, Juli sekarang hanya bisa diam memandang lurus ke depan. Ia tidak berani menjalankan mobilnya dulu sebab kepalanya masih terasa berat. Tidak lama secarik kertas terletak di pahanya.

Aku udah panggil Kak Aruna, nanti kak aruna kesini


Hampir lima belas menit berlalu dan Juli masih setia memejamkan matanya, menahan pusing yang menderanya. Tidak lama kemudian terdengar ketukan dari kaca jendela yang membuatnya mau tidak mau membuka mata. Sudah ada perempuan cantik dengan raut wajah khawatir di luar, membuatnya segera membuka pintu mobil.

“Kenapa?” satu pertanyaan muncul tepat setelah Juli membuka pintu, ia hanya menggeleng, “Nggak tahu, tiba-tiba pusing.”

“Yaudah, biar saya yang bawa aja, kamu di duduk di belakang aja,” titah Aruna yang langsung disetujui oleh Juli, “Makasih.”

Mereka tetap datang ke rumah sakit, sebab Juli sudah mengatur ulang janjinya dengan sang dokter, tidak enak bila membatalkannya. Aruna menawarkan diri untuk menemani Juni terapi sedangkan Juli diminta oleh kedua perempuan itu untuk menunggu saja diruang tunggu, ia tidak bisa menolak karena permintaan dari keduanya seperti perintah yang harus dituruti.

251

Suasana yang kian terik membuat para orang-orang disana menghasilkan banyak peluh, belum lagi hasil dari berbagai lomba yang mereka mainkan. Sekarang Juli tengah berada pada salah satu booth kopinya, menunggu pembeli sedangkan Dafa yang seharusnya bertugas menjaga, malah asyik ikut berlomba balap karung.

“Panas nggak?” tanya Juli pada adiknya yang kini tengah menikmati pertandingan tarik tambang. Lantas ia menggeleng. “kalo panas bilang ya, itu juga minum yang banyak nanti dehidrasi.” Lalu Juni menuliskan sesuati pada notes kecil yang ia bawa

Kakak juga, jangan lupa minum.

Ia mengangguk, “Kakak ke depan sebentar ya?” izinnya pada sang adik ketika salah seorang karyawannya datang untuk berganti menjadi booth. Juni lantas memberi satu ibu jarinya. Juli tersenyum seraya sedikit mencubit pipi adiknya itu yang kemerahan. “sebentar ya.”

Ia pergi ke tempat dimana lomba bakiak berada, ia sedikit tersenyum kala menemukan orang yang tengah ia cari kehadirannya di tengah para kontestan lomba bakiak. Aruna. Perempuan itu terlihat begitu menikmati acara, sesekali grupnya terjatuh akibat tidak sinkronnya mereka, ada kala mereka hampir tersungkur kembali dengan teriakan-teriakan heboh yang mengiringi tentunya.

Teriakan semangat semakin kencang kala grup perempuan itu memenangkan lombanya, dengan cepat Juli menghampiri Aruna yang tengah berfoto dengan teman-teman yang baru saja ia temui itu. “Run.” Panggilan Juli mampu membuat Aruna cepat sadar akan kehadirannya. Ia segera izin itu menemui Juli dulu pada temannya.

“Nih.” Disodorkannya satu buat botol air mineral beserta sapu tangan. Lantas Aruna mengambil air mineralnya tidak dengan sapu tangan. “Saya juga ada,” unjuknya mengambil sebuah sapu tangan biru tosca yang tidak asing bagi Juli. Ia sedikit tertegun melihat ukiran nama yang terdapat pada sapu tangan milik Aruna itu.

“Kesana yuk,” tunjuk Aruna pada kursi yang terletah dibawah pohon rindang yang sejuk. Juli mengangguk, belum sempat mereka berjalan, namun tubuh Juli tiba-tiba saja ambruk membuat Aruna menghasilkan teriakan histeris yang mengundang perhatian para orang-orang disana.

“Loh mba, pak Juli kenapa?” tanya Dafa penuh khawatir. Aruna menggeleng, “Nggak tahu, tadi nggak apa-apa tiba-tiba langsung pingsan.” Dengan cepat Dafa dan beberapa teman lainnya menggotong Juli menuju tenda booth kopi dimana Juni berada. Juni begitu kaget melihat kakaknya di gotong. Dafa yang menyadari raut wajah Juni lantas menepuknya pelan, “Nggak apa-apa, kayaknya pak Juli Cuma kecapekan aja.” Seraya tersenyum, Juni hanya mengangguk dan segera menghampiri sang kakak.


“Makasih ya Daf, Run. Maaf merepotkan lagi,” Ujar Juli yang kini tengah berbaring di kasurnya.

“Nggak sama sekali pak,” ujar Dafa.

“Sekarang istirahat, obat sama makanan udah saya siapin di meja, dimana jangan lupa.” Kali ini Aruna yang berbicara. “saya pulang dulu ya.” Juli mengangguk. “Makasih.”

Tidak lama adiknya masuk dan segera menjatuhkan tubuhnya memeluk sang kakak. Juli tersenyum, “Kakak nggak apa-apa, jangan nangis.” Juni segera memberikan satu buah kertas pada Juli.

Takut

“Ngapain takut hm? Kakak nggak apa-apa kok,” Ucapnya dengan tubuh yang masih di rengkuh erat oleh Juni. Juli hanya bisa tersenyum serta membalas pelukan sang adik.

248

Kedai seafood lah yang menjadi tujuan dua insan itu yang sedaritadi sudah bertengkar perihal akan makan dimana. Juli yang malas bila makan ayam. Dan aruna yang tidak mau makan di restoran. Berakhirnya pada kedai seafood pinggir jalan yang cukup terkenal. Ketika malam kedai cukup ramai pengunjung, Juli memilih meja makan paling ujung agar tidak terlalu bising. Aruna mah ikut-ikut saja. Mereka memesan berbagai macam makanan laut kesukaan masing-masing.

“Nggak pesen ikan?” tanya Juli, Aruna menggeleng, “Bosen, di rumah Fhina dikasih ikan mulu.”

“Bersyukur dikasih makan.” Aruna menatap Juli jengkel. “udah tau.”

Jari Aruna ia ketuk-ketukan pada meja makan, kakinya tidak bisa diam, membuat Juli heran akan tingkah perempuan di depannya, “Kenapa?” Terlihat menimang-nimang, akhirnya Aruna memberanikan diri untuk bicara, “Dulu waktu ulang tahun oma, saya dengan kamu ngomongin Una gitu, katanya kamu lagi cari dia?”

Juli tertegun mendapati pertanyaan dari Aruna, tak berselang lama ia mengangguk, “Iya, dia teman kecil saya juga....” Juli menjeda ucapannya, “cinta pertama saya.” lanjutnya. Sekarang giliran Aruna yang membeku, ia tidak menyangka akan mendapat kenyataan seperti itu. “Emang dia kemana? Kok sampai di cari?”

“Hilang, waktu itu dia pergi mau keluar kota... tapi sampai sekarang nggak balik-balik lagi.”

Aruna hanya mengangguk-angguk, belum sempat ia menjawab, makanan pesanan mereka datang. Lantas dengan diam mereka menikmati makanan, sibuk pada makanannya masing-masing sampai pada akhirnya Juli tiba-tiba keluar dari kedai dan memuntahkan semua makanannya.

Aruna yang panik langsung berlari menghampiri, “Kenapa? Ada alergi ya?” Juli menggeleng, “Nggak kok, nggak ada.”

Sekarang mereka tengah berada di dalam mobil, dengan Aruna yang duduk di kursi pengemudi. “Masuk angin aja kali saya.”

“Siang nggak makan?” Juli mengangguk, “Makan kok.”

“Yaudah pulang aja, nanti saya kasih obat.”

“Iya, makasih Run.”


“Maaf jadi ngerepotin kamu,” ujar Juli yang tengah berbaring dengan Aruna yang masih sibuk merapikan obat-obatan yang tadi Juli minum. “Santai aja.”

“Yaudah, saya pulang ya... istirahat jangan macem-macem.” Juli terkekeh, “Emang saya mau ngapain lagi?”

“Yaudah-yaudah, bye.” Setelah itu pintu kamar Juli kembali ditutup, tak lama suara bising dari motor ojek online yang di pesan Aruna terdengar, tanda perempuan itu akan segera pergi.

Tak lama notifikasi masuk pada ponselnya, membuatnya terdiam sesaat.

24O

“Biar aku aja yang dorong, nanti tangan kamu sakit,” ujar Dafa kala melihat Juni berniat menjalankan kursi rodanya sendiri. Juni yang mendengarnya lantas diam mempersilahkan Dafa berbuat apa yang ia inginkan. Sepanjang perjalanan menuju ruang terapi, Dafa terus saja mengoceh mulai dari kapan ia bangun, apa yang ia makan ketika sarapan, apa saja yang terjadi ketika ia di kafe hingga apa yang ia rasakan saat bertemu dengan Juni. Membuat Juni sedikit pusing mendengarnya.

“Deg-degan tau kalo aku deket kamu, kayak apa ya....” ucapanya menggantung seraya kepalanya menegadah memikirkan perumpamaan yang cocok untuk mengambarkannya. “kayak... kayak...deg-degan aja gitu.”

Juni tetap diam mendengarkan pria itu mengoceh sesuka hati, sembari menunggu dokter untuk datang menemui mereka setelah memeriksa beberapa pasiennya.

Tidak lama dokter yang ditunggu datang. Lantas Dafa yang sedang duduk sembari mengetuk-ngetuk gagang kursi segera berdiri. Berniat memberi salam pada sang dokter.

“Pagi dok,” sapanya hangat.

“Pagi, loh ini siapanya Juni?” tanya sang dokter heran, ketika melihat Juni pergi tidak bersama dengan kakaknya. Dengan cepat Dafa menjawab, “Calon pacar,” seraya menyeringai lebar membuat Juni refleks membulatkan mata, menyanggahnya mentah-mentah. “Kenapa sih kalian, haha. Ayo masuk.”


“Keren, Juni udah mulai berani melangkah, besok-besok jangan ragu lagi buat maju ya, soalnya Dafa selalu ada di belakang Juni buat jagain Juni,” ujar Dafa kala mereka sedang berjalan menuju mobil usai terapi selesai. Juni hanya diam mendengarnya dengan hati yang begitu senang, sebab kakinya mengalami perkembangan, tentu saja ke arah yang lebih baik.

“Juni mau makan dulu sebelum pulang?” tanya Dafa lagi. Juni lantas mengangguk. Dengan senyumannnya Dafa segera menyalakan mobil, “Okay, kita berangkat!”

219 | Flashback

“Ayah... jangan pergi...hiks... ayah....” lirih seoarang anak lelaki yang baru saja menginjak umur tujuh tahun di halaman depan rumahnya, dengan pundak yang setia diusap oleh sang nenek yang tengah menggendong seorang bayi perempuan yang sedang tertidur dengan nyaman.

Sedangkan pria yang kala itu tidak punya hati nurani meninggalkan kedua buah hatinya pada sang mertua dengan alasan tidak bisa menjaga kedua anaknya sendirian, ditambah dengan satu anaknya yang mengalami cacat pada suaranya. Juli yang kala itu tidak mengerti apa-apa hanya bisa menangisi ayahnya yang tega meninggalkannya juga adiknya berdua dengan sang oma yang sudah renta.

Julio, anak lelaki itu sudah harus bersikap lebih dewasa dari umurnya, tidak ada di pikirannya untuk bermain bersama teman-teman sepanjang hari, setiap hari ia akan selalu menjaga adiknya, mengurusi makannya, dan bila adiknya sakit ia akan senantiasa menunggunya hingga panas pada tubuh sang adik turun, ia akan rela tidak makan bila makanan yang mereka punya hanya cukup untuk dua orang. biar sang adik dan omanya saja yang makan. Karena ia rasa, jika dunianya sehat dan bahagia ia akan merasakannya juga.

Julio, anak lelaki yang seharusnya hanya memikirkan sekolah dan belajar seperti anak-anak pada umumnya harus memikirkan bagaimana mereka melanjutkan hidup untuk kedepannya. Dengan tekad ia berjualan kopi berbekal resep turun temurun dari sang oma keliling kota Yogyakarta, menjajakan kopi dengan segenap rasa.

Walau panas yang tak terkira, hujan yang deras tidak akan mematahkan semangatnya untuk berjualan menyusuri kota. Yang selalu ia bayangkan adalah ketika pulang senyum dan tawa adik dan omanya yang menyambutnya hangat, yang akan memeluknya ketika ia sedang menangis. Ayahnya? Entah pria itu seperti ditelan oleh bumi. Semenjak ia meninggalkannya empat tahun yang lalu. Ia sudah tidak pernah terlihat lagi. Dan juga Juli sudah tidak perduli.

Ibunya? Ia juga telah pergi, meninggalkan dunia dan seisinya. Pergi dengan sebuah tanggung jawab besar yang secara tidak langsung diberikan kepada anak sulungnya itu. Mungkin ibu akan kecewa dengan sikap suaminya yang menelantarkan kedua anaknya begitu saja.

Julio. Ia sudah diuji oleh semesta, ia sudah mengalami berbagai macam cobaan yang begitu berat, sudah merasakan pahitnya kehidupan orang dewasa diusianya yang baru menginjak sepuluh tahun. Ia sudah begitu kuat menahan segala rasa yang bisa saja ia keluarkan kapan pun itu. Kala ia sudah lelah dengan keadaan, sang adik dengan lugunya selalu menawarinya pelukan hangat, begitu hangat. Sampai Juli menyadari bahwa ia tidak sendiri disini. Ia tidak berjuang sendiri. Ada adiknya, yang senantiasa berjuang bersama, walau hanya lewat doa. Itu cukup.

Ia begitu menyayangi adiknya, sungguh ia bertekad bila ada yang menyakitinya barang setitik, maka orang itu akan hilang dari dunia. Cukup berlebihan tapi itu yang Juli yakinkan pada dirinya. Ia akan selalu menjaga perasaan adik kecilnya ini, tidak akan membiarkan seorang pun menyakiti perasaannya, terutama sang ayah. Ia tidak mau adik kecilnya merasakan yang ia rasakan dulu, terbuang oleh ayahnya sendiri.


Juni menangis. Mendengarkan cerita sang kakak tentang ayahnya, tentu saja dengan persetujuan sang ayah. Tangan dengan keriput itu mencoba meraih tangan halus di depannya, namun segera di tepis kasar oleh sang empunya. Ia sadar. Ia begitu menjijikan untuk mendapatkan maaf dari kedua anaknya. Ia begitu tidak tahu malu bila meminta anaknya kembali kepadanya.

“Juni butuh waktu. “ ia mengangguk mendengar nada bicara Juli yang begitu dingin kepada. Jujur, ia begitu rindu pada anak lelakinya itu. Yang selalu merecokinya ketika ia sedang bekerja di rumah, yang akan selalu memintanya menemani bermain sepeda hingga sore, memintanya untuk tidur bersama dengan tatapan penuh kehangatan yang selalu ia suka. Tidak dengan sekarang, yang bahkan anaknya itu enggan menatap matanya.

“Maafkan ayah...ayah...ayah beneran menyesal nak...” Tangis Juni semakin kencang di dalam pelukan sang kakak yang sedari tadi mengusap surainya untuk memberi ketenangan. Dengan lemas ia menuliskan sebuah tulisan.

Ayah jahat

Juni benci sama ayah

Dua kalimat yang berhasil membuat dunia seorang Raihan hancur, ia telah gagal. Ya ia gagal menjadi seorang ayah. Ia gagal. Hatinya begitu sakit hingga tidak bisa lagi untuknya menahan air matanya keluar. Sekarang, ketiga manusia yang kini tengah duduk tengah berbicara tentang pengakuan dosa kini tengah tenggelam dengan pikirannya masing-masing. Mereka butuh waktu. Ya hanya waktu yang bisa menyembuhkan.

218

“Siap-siap ya,” ujar Juli pada adiknya yang tengah menonton acara televisi di ruang keluarga, lantas menampikan raut tanda tanya pada wajahnya, membuat Juli segera berkata, “Nanti juga tahu.”

Juni yang perkembangan kakinya kian membaik kini tengah mencoba memakai tongkat bila berada di rumah, kata dokter agar tidak kaku bila nanti sedang terapi. Lantas ia segera menuju kamarnya, mengganti pakaian serta sedikit memakai riasan. Ia berjalan pelan ke bawah tempat kakaknya menunggunya.

“Pakai kursi roda ya, nanti sakit kalo kelamaan di pakai jalan.” Juni hanya mengangguk dan segera menduduki kursi rodanya untuk menuju mobil.

Satu lembar kertas tepat terletak pada paha Juli, membuat si empunya menoleh dan mengambil selembar kertas itu dan membacanya.

Mau kemana sih?

Aku penasaran!

Juli lantas terkekeh, “Katanya mau ketemu ayah?” Perkataan Juli lantas membuat Juni terdiam sesaat. “udah kamu diem aja, nanti juga tahu.”

Suasana kafe saat ini sepi, karena belum jam makan siang, dan terbilang masih cukup pagi hanya untuk sekedar duduk santai sembari mengobrol santai dengan teman atau kerabat. Juli mendorong kursi roda milik Juni perlahan memasuki kafe, pandangannya terjatuh pada sosok pria yang tengah duduk membelakangi mereka.

Pundaknya tidak segagah dulu, banyak helaian putih di surainya, tangannya yang sekilas Juli liat sudah mulai keriput. Banyak perubahan yang terjadi dengan sang ayah sejak enam belas tahun lalu, haha waktu yang cukup lama ya? ia baru sadar sudah begitu lama ia tidak bertemu dengan pria itu.

“Ayah....” panggilnya pelan, namun cukup mengundang atensi pria yang sedang memainkan ponselnya. Cukup cepat ia menoleh ke arah suara, namun setelah menemukan dua orang yang sedang menatapnya dengan intens, yang lelaki tengah menahan air matanya keluar, wajah yang begitu ia kenali yang selalu ia pandangi sebelum tidur dan wajah yang sudah enam belas tahun tidak ia temui lagi sedangkan atensinya kini beralih pada anak perempuan berkusi roda tengah menatapnya penuh heran, ia tebak itu pasti Juni, putrinya. Bila ada yang tanya bagaimana ia tahu nama putrinya itu ia sudah mencari tahu sejak dua tahun lalu.

“Du-duduk sini ayo,” ucapnya dengan gugup, sedangkan kedua insan dihadapannya ini hanya mengangguk dan duduk dihadapannya sekarang, lantas setelahnya Juni menoleh ke arah sang kakak, memberikan secarik kertas

Dia siapa?

Juli menarik nafasnya pelan, matanya menatap lurus pria yang kini tengah menatap Juni dengan tatapan yang tidak bisa Juli artikan.

“Dia...ayah.”