218

“Siap-siap ya,” ujar Juli pada adiknya yang tengah menonton acara televisi di ruang keluarga, lantas menampikan raut tanda tanya pada wajahnya, membuat Juli segera berkata, “Nanti juga tahu.”

Juni yang perkembangan kakinya kian membaik kini tengah mencoba memakai tongkat bila berada di rumah, kata dokter agar tidak kaku bila nanti sedang terapi. Lantas ia segera menuju kamarnya, mengganti pakaian serta sedikit memakai riasan. Ia berjalan pelan ke bawah tempat kakaknya menunggunya.

“Pakai kursi roda ya, nanti sakit kalo kelamaan di pakai jalan.” Juni hanya mengangguk dan segera menduduki kursi rodanya untuk menuju mobil.

Satu lembar kertas tepat terletak pada paha Juli, membuat si empunya menoleh dan mengambil selembar kertas itu dan membacanya.

Mau kemana sih?

Aku penasaran!

Juli lantas terkekeh, “Katanya mau ketemu ayah?” Perkataan Juli lantas membuat Juni terdiam sesaat. “udah kamu diem aja, nanti juga tahu.”

Suasana kafe saat ini sepi, karena belum jam makan siang, dan terbilang masih cukup pagi hanya untuk sekedar duduk santai sembari mengobrol santai dengan teman atau kerabat. Juli mendorong kursi roda milik Juni perlahan memasuki kafe, pandangannya terjatuh pada sosok pria yang tengah duduk membelakangi mereka.

Pundaknya tidak segagah dulu, banyak helaian putih di surainya, tangannya yang sekilas Juli liat sudah mulai keriput. Banyak perubahan yang terjadi dengan sang ayah sejak enam belas tahun lalu, haha waktu yang cukup lama ya? ia baru sadar sudah begitu lama ia tidak bertemu dengan pria itu.

“Ayah....” panggilnya pelan, namun cukup mengundang atensi pria yang sedang memainkan ponselnya. Cukup cepat ia menoleh ke arah suara, namun setelah menemukan dua orang yang sedang menatapnya dengan intens, yang lelaki tengah menahan air matanya keluar, wajah yang begitu ia kenali yang selalu ia pandangi sebelum tidur dan wajah yang sudah enam belas tahun tidak ia temui lagi sedangkan atensinya kini beralih pada anak perempuan berkusi roda tengah menatapnya penuh heran, ia tebak itu pasti Juni, putrinya. Bila ada yang tanya bagaimana ia tahu nama putrinya itu ia sudah mencari tahu sejak dua tahun lalu.

“Du-duduk sini ayo,” ucapnya dengan gugup, sedangkan kedua insan dihadapannya ini hanya mengangguk dan duduk dihadapannya sekarang, lantas setelahnya Juni menoleh ke arah sang kakak, memberikan secarik kertas

Dia siapa?

Juli menarik nafasnya pelan, matanya menatap lurus pria yang kini tengah menatap Juni dengan tatapan yang tidak bisa Juli artikan.

“Dia...ayah.”