athiverse

“Tujuan kamu mulai itu ... apa?”

sky

Bicara tentang manusia itu seperti tak ada habisnya, ingin ini ingin itu, kurang ini kurang itu, tak ada yang bisa mengontrol, tapi jika dituruti tak akan ada habisnya. Menjadi manusia sempurna adalah impian semua orang, tetapi yang bisa meraihnya hanya sebagian saja yang berhasil.

Seperti wanita di depan saya sekarang, Kirana. Perempuan pemimpi yang punya banyak sekali mimpi tapi tak bisa ia diwujudkan barang satunya, perempuan yang hanya bisa berkhayal kapan ia menjadi orang yang sukses tanpa ia mencoba. takut gagal, alasannya.

Hasadnya selalu saja muncul ketika melihat seseorang sukses. Memikirkan apa yang tidak semestinya dipikirkan padahal ia tak kalah keren dari orang yang ia anggap saingannya itu. “Hei Ran, sudah jangan seperti ini.”

Ia mengerjap, menoleh pada suara yang menginterupsinya. “apa?” tanyanya.

“Percuma kamu ngomel, nangis tidak jelas begitu” ucapku lagi-lagi membuat dia mendengus malas. “rasa iri itu gak akan bikin kamu sukses dalam sekejap Ran. kamu itu keren dengan caramu tau tidak? Kamu keren karena sudah berani memulai sekarang Ran, karya pertama seorang penulis pasti jelek, tidak ada yang mengelak itu, jika kau berfikir kenapa seseorang mudah sekali untuk sukses dengan tulisannya, pasti ada jerih payah dibaliknya, ada beribu-ribu kalimat yang sudah ia torehkan pada beribu-ribu kertas, mencoba berkali-kali, dan akhirnya berhasil. tapi ia beda denganmu,” ucapku sengaja sedikit menggantung, membuat dia yang sedari tadi hanya menunduk mendongakkan kepalanya.

“Apa bedanya? Bukannya sama saja?”

“Beda, mereka tak putus asa, terus coba sampai berhasil, mereka juga menulis dari hati, mereka menulis dengan senang tanpa beban, tapi kamu? Kamu menulis untuk pengakuan tanpa perasaan, menulis untuk terlihat lebih hebat dari yang lainnya Ran, kalau kamu seperti itu mana bisa kamu seperti mereka. tulisan itu butuh ikatan dengan si penulis sehingga apa yang ingin disampaikan tersampaikan dengan baik.”

“Aku memang bukan seorang penulis, tak tahu seberapa susahnya mencari ide ataupun menentukan alur, tapi Ran menulis itu dari hati, menulis itu juga salah satu cara sang penulis untuk berbicara dengan pembacanya, jika pembaca terbawa akan ceritanya maka sang penulis berhasil.”

“Jika tidak?” tanya menyela ucapanku.

“Jika tidak, ia berarti tak sepenuhnya menulis dari hati.”

Ia lagi-lagi menunduk, mencoba menahan tangisnya tapi gagal sudah, air matanya jatuh tak terkontrol, tangannya meremas tas hijau kecil di sampingnya, berusaha menahan sesak didada.

“Setiap penulis punya ciri khasnya untuk dikenali, kamu cukup jadi dirimu sendiri, tapi perlu mengikuti orang lain untuk terlihat hebat, akan ada waktunya kamu bersinar Ran, akan ada waktunya.”

“Jangan mudah putus asa dan mudah merasa kecil Ran, mungkin sekarang bukan waktunya kamu untuk bersinar, tapi tuhan sudah menyiapkan waktu yang tepat untukmu bersinar.”

“Kamu tak butuh pengakuan dari orang lain untuk terlihat hebat, cukup dari dirimu sendiri.”

“Jadi jangan menyerah ya Kirana?”

Ia mengangguk. aku tersenyum menanggapinya seraya mengelus puncak kepalanya dengan lembut. “Kata orang, setiap penulis itu mempunyai tujuan masing-masing mengapa ia memulai menulis,” ia menatapku nanar seraya memiringkan sedikit kepalanya tanda ia menunggu kata apa yang akan kuucapkan selanjutnya.

“Jadi, sebenarnya tujuan kamu untuk memulai itu ... apa?”

3O7

“Lio...bangun, ayo minum obatnya dulu,” ucap Aruna seraya menepuk pelan punggung Juli yang tengah tidur dengan posisi miring. Sudah lima tepukan namun tidak ada jawaban sama sekali. di bawanya tubuhnya itu agar terlentang, degupan jantungnya tiba-tibat menjadi lebih cepat, napasnya tercekat kala ia mengecek nadi pria itu. Sebisa mungkin ia tahan tangis yang akan keluar dan berlari keluar memanggil dokter ataupun suster untuk mengecek keadaan Juli, Laksa dan Bima yang tadi izin keluar lantas berlari menghampiri Aruna.

“Ada apa?” tanyanya panik.

“Lio...hiks.”

Keduanya segera masuk ke dalam ruangan tempat Juli dirawat bersamaan dengan dokter yang baru saja datang. Ketiganya menunggu dengan raut wajah panik, mereka takut hal-hal yang mereka takuti terjadi.

Dokter kembali setelah memeriksa keadaan Juli. “Pasien sudah pulang mba..mas.” raungan terdengar setelahnya, Laksa sudah terjatuh ke lantai, Aruna yang terduduk dan Bima yang masih diam seraya menahan tangis. Lantas mereka bertiga segera memasuki ruangan rawat sahabatnya. Melihat sahabatnya yang kini terbujur kaku pada ranjangnya.

“Jul! Juli bangun!!” itu Laksa, suaranya parau namun ia terus berteriak memanggil Juli yang sudah tidur dengan tenang. “SA! TENANG!” teriak Bima yang lalu merengkuh Laksa. “Ikhlas.”

Sekarang Aruna yang kini terduduk di kursi samping ranjang Juli, menggenggam lengan yang sudah tidak bernyawa itu dengan erat, mengecupnya berkali-kali. “Baru aja saya mau bilang kalau saya suka sama kamu Jul, tapi ternyata kamu udah pergi duluan.” Tangisnya kembali pecah. Membuat seisi ruangan penuh akan isak pilu tiga orang yang tengah merasakan kehilangan.

“Maksudnya lo mau tidur tadi pagi tuh ini Jul?” kali ini Bima yang berbicara dengan lirih. Ia masih setia memeluk Laksa yang masih terisak.

Julio, lelaki itu pergi tepat di penghujung bulan Agustus

Bahkan kita belum saling mengucapkan salam perpisahan ya Lio?

Selamat tidur, Malaikat penyelamat saya, terimakasih untuk memberi saya kesempatan untuk berubah dan menyelesaikan apa yang harus diselesaikan. jika nggak ada kamu waktu itu... mungkin saya akan pergi dengan sia-sia akibat saya sendiri.

3O5

“Sa-ya be...rat nggak?” lirih Juli yang sekarang sedang bersandar pada pundak Aruna. Aruna menggeleng pelan, “Nggak sih.” Juli tersenyum, “Sa-ya in-gat,”

Aruna menunduk, menatap surai hitam dengan wangi sabun bayi dihadapannya ini dengan satu alis terangkat, “Ingat apa?”

“Ka...lo pun-dakmu nya...man.” Aruna tersenyum. Bayangan saat Juli mengatakannya tempo lalu terulang kembali pada ingatannya. Detak jantungnya sekarang berdetak lebih cepat, ia panik. Takut bahwa pria itu mendengar detakannya.

Juli diam, ia mendengar. Ia dengar detak jantung wanita itu. Hatinya menghangat, cukup menjawab perasaannya sekarang. Sepertinya perempuan yang tengah mengatur ritme detak jantungnya itu mempunya rasa yang sama dengannya.

Tapi ia bungkam, ia lebih memilih diam takut Aruna merasa tidak enak berada di dekatnya. Semoga dugaannya benar.

“Run....”

“Ya?”

“Kalau... sa...ya per...gi, ka...mu se..se...dih nggak?” tanyanya dengan terbata dan cukup pelan, namun Aruna masih tetap mendengarnya.

“Pergi kemana sih?”

“Ke ru...mah.”

“Ke rumah doang, kenapa sedih?” belum sempat Juli membalas, namun kedua sahabatnya tiba-tiba masuk tanpa permisi.

“Et...et.... kayaknya kita masuk di waktu yang salah Sa,” ucap Bima seraya menyengir seperti tidak ada dosa. Sedangkan Aruna segera mengangkat kepala Juli dari pundaknya lalu menyenderkannya kembali pada bantal di belakang dan turun dari ranjang rumah sakit yang tadi mereka duduki bersama.

“Panik banget Run,” goda Laksa yang langsung mendapat tatapan tajam dari Juli lantas gelak tawa kedua pria itu keluar dengan kencang.

“Eh gue ke kantin dulu ya,” ucap Aruna lalu segera pergi meninggalkan ruangan.

299

Halaman rumah sakit kali ini begitu sejuk, hanya ada beberapa orang yang sama-sama menikmati udara pagi hari. Begitu pula dengan Juli yang sedang duduk di bawah pohon yang cukup rindang. Hanya duduk, dengan tatapan yang lurus ke depan. “Lio!” panggilan dari seseorang membuatnya lantas menoleh, ia tersenyum kecil menatap raga wanita yang kini memakai bando merah muda sebagai penghias surainya. Cantik. “saya cariin daritadi, kaget saya waktu tahu kamu nggak ada di kamar,” cerocosnya sembari duduk di samping Juli.

“Kamu ngapain disini?”

“B-b-bo...se...n a-a...ja.” Aruna menolah, memperhatikan pria yang juga kaget dengan dirinya sendiri, “Lio? Kenapa?”

Juli menggeleng, ia juga tidak tahu mengapa ia berbicara gagap seperti itu. “Yaudah, tenang ya...kayaknya ini salah satu efek dari penyakit kamu.” Juli hanya mengangguk.

“R-run,” panggilnya.

“Ya?”

“Ma...nggil a...aja,” jawabnya dengan terkekeh. “Iseng banget, hahaha.” “Sa...ya ti...tip sahabat sa-ya ya...” Aruna mengernyit, “Hah? Buat apaan? Sahabat kamu udah pada gede kali.”

“Ba-dan-nya a...aja.” Aruna terkekeh, memang benar sih apa yang dibilang Juli, kedua pria yang sedari kemarin membantunya mengurus Juli hanya besar di badannya saja, sedangkan sifatnya masih terlalu kekanak-kanakan. “Ya memang kamu mau kemana sih, pakai titip mereka ke saya segala.”

“Pu...lang ke ru...mah.” Aruna mengangguk, “Maksudnya jagain mereka waktu di cafe biar nggak buat rusuh gitu?” Juli mengangguk.

“Eh udah mau hujan, masuk ya.” Juli mengangguk, membiarkan Aruna mendorong kursi rodanya.

3O6

“Sa-ya be...rat nggak?” lirih Juli yang sekarang sedang bersandar pada pundak Aruna. Aruna menggeleng pelan, “Nggak sih.” Juli tersenyum, “Sa-ya in-gat,”

Aruna menunduk, menatap surai hitam dengan wangi sabun bayi dihadapannya ini dengan satu alis terangkat, “Ingat apa?”

“Ka...lo pun-dakmu nya...man.” Aruna tersenyum. Bayangan saat Juli mengatakannya tempo lalu terulang kembali pada ingatannya. Detak jantungnya sekarang berdetak lebih cepat, ia panik. Takut bahwa pria itu mendengar detakannya.

Juli diam, ia mendengar. Ia dengar detak jantung wanita itu. Hatinya menghangat, cukup menjawab perasaannya sekarang. Sepertinya perempuan yang tengah mengatur ritme detak jantungnya itu mempunya rasa yang sama dengannya.

Tapi ia bungkam, ia lebih memilih diam takut Aruna merasa tidak enak berada di dekatnya. Semoga dugaannya benar.

“Run....”

“Ya?”

“Kalau... sa...ya per...gi, ka...mu se..se...dih nggak?” tanyanya dengan terbata dan cukup pelan, namun Aruna masih tetap mendengarnya.

“Pergi kemana sih?”

“Ke ru...mah.”

“Ke rumah doang, kenapa sedih?” belum sempat Juli membalas, namun kedua sahabatnya tiba-tiba masuk tanpa permisi.

“Et...et.... kayaknya kita masuk di waktu yang salah Sa,” ucap Bima seraya menyengir seperti tidak ada dosa. Sedangkan Aruna segera mengangkat kepala Juli dan turun dari ranjang rumah sakit yang tadi kita duduki bersama.

“Panik banget Run,” goda Laksa yang langsung mendapat tatapan tajam dari Juli lantas gelak tawa kedua pria itu keluar dengan kencang. “Eh gue ke kantin dulu ya,” ucap Aruna lalu segera pergi meninggalkan ruangan.

3O8

“Lio...bangun, ayo minum obatnya dulu,” ucap Aruna seraya menepuk pelan punggung Juli yang tengah tidur dengan posisi miring. Sudah lima tepukan namun tidak ada jawaban sama sekali. di bawanya tubuhnya itu agar terlentang, degupan jantungnya tiba-tibat menjadi lebih cepat, napasnya tercekat kala ia mengecek nadi pria itu. Sebisa mungkin ia tahan tangis yang akan keluar dan berlari keluar memanggil dokter ataupun suster untuk mengecek keadaan Juli, Laksa dan Bima yang tadi izin keluar lantas berlari menghampiri Aruna.

“Ada apa?” tanyanya panik.

“Lio...hiks.”

Keduanya segera masuk ke dalam ruangan tempat Juli dirawat bersamaan dengan dokter yang baru saja datang. Ketiganya menunggu dengan raut wajah panik, mereka takut hal-hal yang mereka takuti terjadi.

Dokter kembali setelah memeriksa keadaan Juli. “Pasien sudah pulang mba..mas.” raungan terdengar setelahnya, Laksa sudah terjatuh ke lantai, Aruna yang terduduk dan Bima yang masih diam seraya menahan tangis. Lantas mereka bertiga segera memasuki ruangan rawat sahabatnya. Melihat sahabatnya yang kini terbujur kaku pada ranjangnya.

“Jul! Juli bangun!!” itu Laksa, suaranya parau namun ia terus berteriak memanggil Juli yang sudah tidur dengan tenang. “SA! TENANG!” teriak Bima yang lalu merengkuh Laksa. “Ikhlas.”

Sekarang Aruna yang kini terduduk di kursi samping ranjang Juli, menggenggam lengan yang sudah tidak bernyawa itu dengan erat, mengecupnya berkali-kali. “Baru aja saya mau bilang kalau saya suka sama kamu Jul, tapi ternyata kamu udah pergi duluan.” Tangisnya kembali pecah. Membuat seisi ruangan penuh akan isak pilu tiga orang yang tengah merasakan kehilangan.

“Maksudnya lo mau tidur tadi pagi tuh ini Jul?” kali ini Bima yang berbicara dengan lirih. Ia masih setia memeluk Laksa yang masih terisak.

Julio, lelaki itu pergi tepat di penghujung bulan Agustus

Bahkan kita belum saling mengucapkan salam perpisahan ya Lio?

Selamat tidur, Malaikat penyelamat saya, terimakasih untuk memberi saya kesempatan untuk berubah dan menyelesaikan apa yang harus diselesaikan. jika nggak ada kamu waktu itu... mungkin saya akan pergi dengan sia-sia akibat saya sendiri.

3O6

“Sa-ya be...rat nggak?” lirih Juli yang sekarang sedang bersandar pada pundak Aruna. Aruna menggeleng pelan, “Nggak sih.” Juli tersenyum, “Sa-ya in-gat,”

Aruna menunduk, menatap surai hitam dengan wangi sabun bayi dihadapannya ini dengan satu alis terangkat, “Ingat apa?”

“Ka...lo pun-dakmu nya...man.” Aruna tersenyum. Bayangan saat Juli mengatakannya tempo lalu terulang kembali pada ingatannya. Detak jantungnya sekarang berdetak lebih cepat, ia panik. Takut bahwa pria itu mendengar detakannya.

Juli diam, ia mendengar. Ia dengar detak jantung wanita itu. Hatinya menghangat, cukup menjawab perasaannya sekarang. Sepertinya perempuan yang tengah mengatur ritme detak jantungnya itu mempunya rasa yang sama dengannya.

Tapi ia bungkam, ia lebih memilih diam takut Aruna merasa tidak enak berada di dekatnya. Semoga dugaannya benar.

“Run....”

“Ya?”

“Kalau... sa...ya per...gi, ka...mu se..se...dih nggak?” tanyanya dengan terbata dan cukup pelan, namun Aruna masih tetap mendengarnya.

“Pergi kemana sih?”

“Ke ru...mah.”

“Ke rumah doang, kenapa sedih?” belum sempat Juli membalas, namun kedua sahabatnya tiba-tiba masuk tanpa permisi.

“Et...et.... kayaknya kita masuk di waktu yang salah Sa,” ucap Bima seraya menyengir seperti tidak ada dosa. Sedangkan Aruna segera mengangkat kepala saya dan turun dari ranjang rumah sakit yang tadi kita duduki bersama.

“Panik banget Run,” goda Laksa yang langsung mendapat tatapan tajam dari Juli lantas gelak tawa kedua pria itu keluar dengan kencang. “Eh gue ke kantin dulu ya,” ucap Aruna lalu segera pergi meninggalkan ruangan.

3O6

“Sa-ya be...rat nggak?” lirih Juli yang sekarang sedang bersandar pada pundak Aruna. Aruna menggeleng pelan, “Nggak sih.” Juli tersenyum, “Sa-ya in-gat,”

Aruna menunduk, menatap surai hitam dengan wangi sabun bayi dihadapannya ini dengan satu alis terangkat, “Ingat apa?”

“Ka...lo pun-dakmu nya...man.” Aruna tersenyum. Bayangan saat Juli mengatakannya tempo lalu terulang kembali pada ingatannya. Detak jantungnya sekarang berdetak lebih cepat, ia panik. Takut bahwa pria itu mendengar detakannya.

Juli diam, ia mendengar. Ia dengar detak jantung wanita itu. Hatinya menghangat, cukup menjawab perasaannya sekarang. Sepertinya perempuan yang tengah mengatur ritme detak jantungnya itu mempunya rasa yang sama dengannya.

Tapi ia bungkam, ia lebih memilih diam takut Aruna merasa tidak enak berada di dekatnya. Semoga dugaannya benar.

“Run....”

“Ya?”

“Kalau... sa...ya per...gi, ka...mu se..se...dih nggak?” tanyanya dengan terbata dan cukup pelan, namun Aruna masih tetap mendengarnya.

“Pergi kemana sih?”

“Ke ru...mah.”

“Ke rumah doang, kenapa sedih?” belum sempat Juli membalas, namun kedua sahabatnya tiba-tiba masuk tanpa permisi.

“Et...et.... kayaknya kita masuk di waktu yang salah Sa,” ucap Bima seraya menyengir seperti tidak ada dosa. Sedangkan Aruna segera mengangkat kepala saya dan turun dari ranjang rumah sakit yang tadi kita duduki bersama.

“Panik banget Run,” goda Laksa yang langsung mendapat tatapan tajam dari Juli lantas gelak tawa kedua pria itu keluar dengan kencang. “Eh gue ke kantin dulu ya,” ucap Aruna lalu segera pergi meninggalkan ruangan.

3OO

Halaman rumah sakit kali ini begitu sejuk, hanya ada beberapa orang yang sama-sama menikmati udara pagi hari. Begitu pula dengan Juli yang sedang duduk di bawah pohon yang cukup rindang. Hanya duduk, dengan tatapan yang lurus ke depan. “Lio!” panggilan dari seseorang membuatnya lantas menoleh, ia tersenyum kecil menatap raga wanita yang kini memakai bando merah muda sebagai penghias surainya. Cantik. “saya cariin daritadi, kaget saya waktu tahu kamu nggak ada di kamar,” cerocosnya sembari duduk di samping Juli.

“Kamu ngapain disini?”

“B-b-bo...se...n a-a...ja.” Aruna menolah, memperhatikan pria yang juga kaget dengan dirinya sendiri, “Lio? Kenapa?”

Juli menggeleng, ia juga tidak tahu mengapa ia berbicara gagap seperti itu. “Yaudah, tenang ya...kayaknya ini salah satu efek dari penyakit kamu.” Juli hanya mengangguk.

“R-run,” panggilnya.

“Ya?”

“Ma...nggil a...aja,” jawabnya dengan terkekeh. “Iseng banget, hahaha.” “Sa...ya ti...tip sahabat sa-ya ya...” Aruna mengernyit, “Hah? Buat apaan? Sahabat kamu udah pada gede kali.”

“Ba-dan-nya a...aja.” Aruna terkekeh, memang benar sih apa yang dibilang Juli, kedua pria yang sedari kemarin membantunya mengurus Juli hanya besar di badannya saja, sedangkan sifatnya masih terlalu kekanak-kanakan. “Ya memang kamu mau kemana sih, pakai titip mereka ke saya segala.”

“Pu...lang ke ru...mah.” Aruna mengangguk, “Maksudnya jagain mereka waktu di cafe biar nggak buat rusuh gitu?” Juli mengangguk.

“Eh udah mau hujan, masuk ya.” Juli mengangguk, membiarkan Aruna mendorong kursi rodanya.

289

“LIO!” teriak seorang anak perempuan dengan pita pink yang menghiasi. Berlari menuju kearah anak lelaki yang tengah merapikan dagangan kopinya yang hendak ia jajakan nanti siang.

“Una? Ada apa?” tanyanya. Gadis kecil itu tersenyum seraya mengeluarkan dua sapu tangan biru tosca dari tasnya. “Ini! mama tadi belikan ini untukku.”

Tangannya terjulur memberikan satu buah sapu tangan pada si lelaki yang tengah menatapnya dengan senyuman. “Apa?” tanyanya yang masih menatap tangan Aruna.

“Buat kamu.” Lelaki itu mengambil sapu tangan itu, “Terimakasih ya,” ucapnya, gadis itu hanya mengangguk. “Una,” pangiilnya lagi.

“Apa?”

Tangannya menunjuk satu luka gores pada lengan sang gadis, “Itu kenapa?”

“Oh... ini waktu itu aku di cakar Chiko!” ucapnya yang tiba-tiba menggebu-gebu. “Kok bisa?”

“Aku nggak sengaja injek ekornya dia, hehe.”

Tidak lama teriakan sang oma terdengar, membuat kedua anak yang tengah berbincang segera menghampiri asal suara, “Wah, Lio bawa apa itu?” tanya sang oma.

“Sapu tangan pemberian Una.” Sang oma mengambil alih kedua sapu tangan itu. “bagaimana kalau oma beri nama di setiap sapu tangan ini? biar nggak tertukar dengan sapu tangan lain.” Dengan semangat kedua anak itu mengangguk, “Mau diberi nama apa oma?”

Sang oma terlihat berpikir sebelum kembali tersenyum, “Bagaimana kalau... Liona?”