athiverse

Apa ini yang namanya sudah terbiasa ya?

Tubuh kecil berbalut kemeja putih dengan dasi abu-abu lengkap dengan vest coklat yang menjadi luarannya berjalan begitu santai, tidak lupa dengan senyum yang menghiasi wajah tampannya itu. langkahnya terhenti kala melihat halte bus yang akan ia datangi penuh akan penumpang yang menunggu bus. membuat niatnya urung untuk pergi ke rumah sakit dengan naik bus seperti biasanya.

Langkahnya ia bawa menuju ke sebuah gang kecil yang sudah hampir satu minggu tidak ia lewati sebab sudah hampir dua minggu ia tidak datangi panggilan dokter Januar untuk kontrol.

“Eh, Renjana?” sapa hangat seorang ibu yang sedang menyuapi anaknya makan siang dengan senyuman yang terukir jelas. dengan sedikit membungkuk Renjana tersenyum ke arahnya, “Iya bu.”

“Renjana sudah sehat ya? sudah hampir dua minggu Renjana nggak lewat sini.” Renjana tersenyum mendengarnya, hatinya begitu hangat mengetahui bahwa ada orang yang memperhatikannya. “Doakan saja ya bu,” jawab Renjana, “Renja pergi dulu ya,” lanjutnya lalu kembali melanjutkan jalannya.

Tidak hanya ibu anak satu tadi yang menyapanya, melainkan banyak sekali bapak-bapak yang sedang mengobrol di teras rumah salah seorang diantaranya ikut menyapa pemuda itu. dan Renjana akan terus menyapa balik mereka dengan begitu ramah.

Jika kalian heran mengapa banyak sekali yang menyapanya atau bahkan mengenalnya, karena siapa yang tidak mengenal Renjana? lelaki bertubuh kecil yang mempunyai hati begitu baik, juga senyum yang semanis bunga? yang jika dia tersenyum akan membawa orang-orang yang melihatnya ikut merasakan kebahagiaan juga.

Renjana, lelaki dengan tutur kata baik juga sopan santun yang selalu ia utamakan. membuat ia dikenal atau bahkan tak jarang yang sudah menganggap ia sebagai anak mereka sendiri, tak jarang Renjana juga diundang ke perjamuan makan malam yang mereka adakan setiap ada perayaan hari besar.


Langkah itu akhirnya berhenti pada bangunan besar bercat putih, tempat yang sudah ia datangi setahun belakangan ini. dengan orang-orang yang senantiasa membantunya juga.

“Renjana, sudah ditunggu dokter Januar di ruangan biasa ya,” ucap salah satu resepsionis rumah sakit kala Renjana baru saja masuk. dengan sopan Renjana mengangguk, “Terimakasih informasinya mbak Indah.”

“Renjana!” suara panggilan itu membuat langkah Renjana terhenti, lalu menoleh ke sumber suara yang ia dapati adalah dokter Januar yang tengah membawa sebuah gelas berisi air. “Akhirnya sampai juga, saya kira kamu nggak akan datang lagi.” Renjana terkekeh merasa tidak enak sudah memberi harapan palsu pada dokter Januar dua minggu belakangan ini.

“Masa saya bohong terus, haha,” jawabnya sedikit canggung sembari menggaruk rambutnya yang tidak gatal. tanpa berbasa basi lagi, dokter Januar langsung mempersilahkan Renjana masuk ke ruangannya.

“Gimana Renja?” sekarang mereka tengah duduk berhadapan dengan segelas teh hangat yang baru saja datang atas pesanan dokter Januar. Renjana menggeleng, “Tidak ada apa-apa dok, tidak ada rasa sakit lagi.”

bohong. Renjana sedang berbohong sekarang.

“Jangan bohong Renjana, saya bukan orang pintar yang bisa membaca pikiran.” Renjana menelan ludahnya kasar, “Beneran dok, tidak ada rasa sakit lagi setelah mendengar teriakan-teriakan atau suara keras. apa ini yang namanya sudah terbiasa ya?”

Dokter Januar diam. ia tahu pemuda seumuran adiknya ini tengah berbohong, sorot mata yang ia pancarkan sangat bertolak belakang dari apa yang ia ungkapkan. namun ia tidak mau memaksa Renjana untuk jujur padanya atau nanti akan mengganggu pikirannya, mungkin saat ini memilih berpura-pura tidak tahu lebih baik.

Januar mengangguk. “Baik, tapi obatnya jangan lupa diminum teratur ya Renjana? kalau nanti terasa sakit lagi, cepat hubungi saya ya?” Renjana mengangguk, sedikit tenang bahwa dokter Januar tidak bertanya lebih banyak kepadanya. “Pasti dok,” jawabnya seraya tersenyum. senyum yang selalu membuat hati Januar sakit. senyum yang begitu dipaksakan keluar oleh pemuda ini untuk menutupi duka yang tengah ia sembunyikan.

Januar tersenyum, “Baiklah, hari ini sampai disini dulu ya Renjana, kamu harus istirahat juga.” Renjana mengangguk, setelah itu pamit untuk pulang.

“Renjana, dokter harap kamu akan segera menemukan kebahagiaanmu ya?” ucap Januar setelah Renjana sudah pergi dari ruangannya.

Zefa tidak sebesar itu bunda, ayah.

“Zefa, bantu kakaknya nak.” “Zefa, tolong kasih kakaknya obat tepat waktu ya.” “Zefa, jagain kakak sebentar ya?” “Zefa, kamu sudah besar. dan sekarang harus udah bisa bantu bunda jagain kakak ya?”

“Zefa, tidak sebesar itu bunda,” gumamnya pelan menatap sebuah susu putih yang akan ia berikan pada sang kakak. terlahir sebagai seorang anak bungsu dari kakak yang mendapatkan keistimewaan dari tuhan, membuat ia harus siap bertukar peran dengan kakak sejak kecil.

Zefa kecil yang seharusnya menikmati masa-masa bermainnya harus bergelut di rumah, menemani kakaknya bermain dari pagi hingga malam. menyuapi makannya, membantunya mandi, bahkan sampai obatnya pun Zefa yang urus semua.

Di rumah, hanya ada ia, kakaknya dan juga bu Lilis, asisten rumah tangga yang juga menjadi orang kedua yang ia sayang setelah ayah, bunda juga kakaknya. hanya bu Lilis tempat Zefa mencurahkan isi hatinya. karena orang tuanya hanya terfokus pada kakaknya.

Mungkin mereka menganggap, Zefa yang terlahir normal, bisa hidup baik-baik saja. tapi nyatanya tidak, Zefa sedari kecil tidak pernah merasakan kasih sayang dari orang tuanya, ia selalu iri melihat para anak di luar sana yang terlihat dimanja oleh kedua orang tuanya. membuat Zefa iri.

Ia hanya pernah sekali diantar sekolah oleh ayahnya, setelah itu tidak pernah karena Zefa dipindahkan untuk homeschooling agar bisa menemani kakaknya di rumah.

hanya pernah sekali pergi ke taman bermain bersama setelah itu tidak pernah lagi karena kakaknya tidak suka keramaian.

Dan mereka selalu bilang, “Zefa kan sudah besar, harus ngerti sama keadaan ya?”

“Terus kapan kalian bisa ngertiin Zefa?” pertanyaan yang hanya ia simpan sendiri dalam hati.

Ia sayang kakaknya, tak ada terpikirkan untuknya menaruh benci pada sang kakak, walau karena keadaan kakaknya membuat ia merasa kurang kasih sayang, tapi kakaknya begitu sayang sama Zefa, Zefa bisa merasakan kasih sayang dari kakaknya walau kakaknya tidak bisa menunjukkannya.

karena yang akan memeluk Zefa pertama kali ketika ia menangis adalah kakaknya.

“Dek, jangan nangis…” Ucapnya setiap kali ia melihat Zefa menangis meringkuk di kamar. seraya mengelus punggung kecil sang adik. membuat tangis Zefa semakin keras terdengar.

ia juga tidak peduli apa yang orang lain katakan pada kakaknya,

gila

anak gila

Zefa tidak peduli, karena kakaknya tidak gila, tapi dia istimewa.


Zefa yang sedari kecil hanya berdiam di rumah dan bermain dengan kakaknya saja, membuat ia takut berinteraksi dengan orang-orang sekitar. membuat bu Dahlia guru yang mengajarnya merasa kasihan karena Zefa tumbuh menjadi anak yang penakut dan tidak pandai bergaul.

bahkan sudah beberapa kali bu Dahlia berbicara kepada ayah dan bunda untuk memindahkan Zefa ke sekolah biasa, namun permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh ayah.

Zefa ingat betapa gugupnya ia saat berpapasan dengan seorang tetangganya yang tengah membuang sampah. ia tidak berani membalas sapaan hangat yang mereka keluarkan untuknya Zefa terlalu takut untuk membalasnya, bahkan menatap wajah mereka saja Zefa tidak berani ia akan langsung berlari cepat kembali mengurung diri di rumah.

“Zefa ingin main keluar, tapi Zefa takut.”

“Bunda, ayah, Zefa juga ingin seperti anak-anak lain. bisa pergi sekolah dan punya teman.”

“Bukan malah takut untuk bertemu orang baru.”

Candra butuhnya kalian

Langkah kaki penuh semangat kini menggema pada lantai atas rumah, kali ini suara derap kakinya bertambah cepat kala menuruni tangga.

“Candra, hati-hati nanti jatuh nak,” ujar ayahnya yang sedang merapikan dokumen-dokumen penting pada tasnya.

“Selamat pagi ayah!” ujarnya semangat dengan senyum yang begitu riang.

langkahnya kini mendekat ke arah meja makan, di sana ada bi Nani, asisten rumah tangganya yang kini tengah mempersiapkan sarapan. “Wah nasi goreng, kesukaan Candra.”

Bi Nani tertawa mendengarnya, “Ya, ini bibi buatin spesial buat mas Candra, dimakan yang banyak ya biar cepet besar.”

Candra mengerutkan dahinya, “Loh, aku sudah besar tahu!” Bi Nani tersenyum seraya menggelengkan kepalanya, “Iya-iya mas Candra sudah besar.”

“Ayah ayo makan bare—”

“Mas, ayo berangkat, aku ada janji sama klien jam tujuh.” Panggilan Candra terpotong kala Bundanya tiba-tiba berbicara kepada sang ayah.

“Loh kamu kok bilangnya dadakan sih.”

“Aku udah bilang dari semalam loh.”

Candra hanya diam mendengarkan orang tuanya berbicara, yang bahkan bundanya sama sekali tidak menangkap kehadirannya di meja makan.

“Ayah Ibun, ayo sarapan dulu.…” ucapnya lirih namun masih bisa terdengar jelas oleh kedua orang tuanya.

“Maaf ya sayang, hari ini kamu makan sendiri dulu ya?”

“Ibun kan udah janji hari ini mau makan bareng Candra?”

Sang bunda menghela nafasnya, “Candra, jangan kekanak-kanakan, makan bareng kan masih bisa besok? Ibun ada klien penting sekarang.”

“Tap—”

“Makan sama bi Nani dulu ya.”

Hampir saja tubuh bundanya hilang dari balik pintu, namun ia kembali berbalik lagi. membuat secercah harapan menghampiri Candra. ia tersenyum, menatap sang bunda yang menghampirinya sembari mengelus pucuk kepalanya lembut.

“Uang jajan kamu ada di meja rias Ibun ya, ambil aja ya sayang, dadah Ibun pergi dulu.”

Candra diam, senyum yang tadi ia tampilkan perlahan pudar, ia juga tidak membalas ucapan bundanya. menyesali akan harapan yang ia berikan pada dirinya sendiri, harapan akan bundanya yang berbalik untuk makan bersamanya di meja makan besar ini.

hah... itu hanya akan dan mungkin akan selalu jadi angan-angan Candra.

Nasi goreng favorit di hadapannya sudah tidak menggugah seleranya lagi. hari yang ia kira akan menyenangkan berubah seperti hari-hari biasanya.

Sepi

Sendiri

Lalu ia tertawa, menertawakan dirinya sendiri. “Udah biasa kan Can kayak gini? seharusnya kamu jangan berharap lebih mereka ada waktu untuk kamu walau hanya sarapan sebentar aja.”

Ia kembali diam, lalu terkekeh, “Candra nggak butuh uang bunda ayah, Candra butuhnya kalian.”

Candra butuhnya kalian

Langkah kaki penuh semangat kini menggema pada lantai atas rumah, kali ini suara derap kakinya bertambah cepat kala menuruni tangga.

“Candra, hati-hati nanti jatuh nak,” ujar ayahnya yang sedang merapikan dokumen-dokumen penting pada tasnya.

“Selamat pagi ayah!” ujarnya semangat dengan senyum yang begitu riang.

langkahnya kini mendekat ke arah meja makan, di sana ada bi Nani, asisten rumah tangganya yang kini tengah mempersiapkan sarapan. “Wah nasi goreng, kesukaan Candra.”

Bi Nani tertawa mendengarnya, “Ya, ini bibi buatin spesial buat mas Candra, dimakan yang banyak ya biar cepet besar.”

Candra mengerutkan dahinya, “Loh, aku sudah besar tahu!” Bi Nani tersenyum seraya menggelengkan kepalanya, “Iya-iya mas Candra sudah besar.”

“Ayah ayo makan bare—”

“Mas, ayo berangkat, aku ada janji sama klien jam tujuh.” Panggilan Candra terpotong kala bundanya tiba-tiba berbicara kepada sang ayah.

“Loh kamu kok bilangnya dadakan sih.”

“Aku udah bilang dari semalam loh.”

Candra hanya diam mendengarkan orang tuanya berbicara, yang bahkan bundanya sama sekali tidak menangkap kehadirannya di meja makan.

“Ayah bunda, ayo sarapan dulu.…” ucapnya lirih namun masih bisa terdengar jelas oleh kedua orang tuanya.

“Maaf ya sayang, hari ini kamu makan sendiri dulu ya?”

“Bunda kan udah janji hari ini mau makan bareng Candra?”

Sang bunda menghela nafasnya, “Candra, jangan kekanak-kanakan, makan bareng kan masih bisa besok? bunda ada klien penting sekarang.”

“Tap—”

“Makan sama bi Nani dulu ya,” potong bundanya.

Hampir saja tubuh bundanya hilang dari balik pintu, namun ia berbalik lagi. “Uang jajan kamu ada di meja rias bunda ya, ambil aja ya sayang, dadah bunda pergi dulu.”

Candra diam, tidak membalas ucapan bundanya. nasi goreng favorit di hadapannya sudah tidak menggugah seleranya lagi. hari yang ia kira akan menyenangkan berubah seperti hari-hari biasanya.

Sepi

Sendiri

Lalu ia tertawa, menertawakan dirinya sendiri. “Udah biasa kan Can kayak gini? seharusnya kamu jangan berharap lebih mereka ada waktu untuk kamu walau hanya sarapan sebentar aja.”

Ia kembali diam, lalu terkekeh, “Candra nggak butuh uang bunda ayah, Candra butuhnya kalian.”

Oma... maaf, Nanda buat kecewa lagi.

Detak jantung Nanda semakin tak menentu, ia panik bukan main setelah mengetahui kabar dari Egi bahwa supermarket tempat ia bekerja sedang mengadakan pemecatan karyawan secara mendadak, cukup membuat Nanda yang baru saja bangun tidur langsung loncat dari kasur dan segera pergi.

Benar saja, halaman depan supermarket sudah penuh oleh para karyawan. Nanda berjalan pelan memasuki salah satu barisan di sana. di depannya sudah berada pak Amir, selaku pemilik supermarket.

“Yang terakhir,” ucapan pak Amir kembali membuat semuanya kian menegang, saling memejamkan mata seraya berdoa agar bukan nama mereka yang disebut.

“Nanda Syahreza.” Yang dipanggil pun menoleh, mengambil seluruh atensi para karyawan lain untuk melihat ke arahnya. “Maaf, kamu saya pecat.” kalimat itu bagai petir yang menyambar kala sinar matahari tengah terik-teriknya, rasanya dunia Nanda runtuh seketika. bahu dan kakinya lemas bukan main. satu-satunya pekerjaan untuk ia mencari nafkah sudah hilang dalam genggaman.

“Maafkan saya nak, ini terpaksa,” jelas pak Amir lagi tanpa melihat raut wajah Nanda yang sudah pucat pasi. ia mengangguk, “Nggak apa-apa pak, saya terima. terimakasih sudah menerima saya untuk bekerja di sini.” ujarnya lalu pergi meninggalkan tempat itu dengan lemah.

Disinilah Nanda berada, sebuah warung kopi tempat biasa ia beristirahat sejenak sehabis bekerja. untunglah warung kopi hari ini tengah sepi jadi ia bisa dengan leluasa meluapkan apa yang sedari tadi ia pendam.

Bahunya bergetar, semakin lama semakin kencang tangisnya sudah tidak bisa lagi ia tahan. tangisnya sekarang terdengar begitu pilu sampai bu Een pemilik warung merasa iba namun enggan mendekatinya, ia ingin pemuda itu mengeluarkan isi hatinya secara bebas sekarang, terlalu lama pemuda itu menahan semua beban di pundaknya. Bu Een tahu itu, sebab pemuda itu sering sekali curhat padanya.

Mengerang, menjambak rambut, dan beberapa rintihan rasa bersalah keluar dari mulutnya.

“Oma... maaf.”

“Maaf, Nanda bikin kecewa lagi.”

“Maaf Oma, Nanda gagal lagi….”

Beban yang seharusnya tidak ia pikul sedini ini.

Sebuah tanggung jawab yang seharusnya masih diambil alih oleh orang tuanya, harus ia yang tanggung sendiri.

Karena, Nanda sudah tidak memiliki keduanya.

Tangisnya masih terus berlangsung sampai sebuah pesan berhasil mengalihkan perhatiannya.

Oma.

Terserah ayah

Hasan pulang dengan wajah yang begitu gembira sebab tadi ia memenangkan permainan suit dengan Bahar dimana yang kalah akan membayar semua pesanan seblak itu, tentu saja ia senang bukan main karena seblak ia pesan sampai empat bungkus. ya walau nanti diganti juga oleh abangnya, Januar seorang dokter spesialis jantung yang bekerja di salah satu rumah sakit ternama Jakarta. tentunya anak kebanggaan ayah dan ibu.

Ia pulang lebih cepat, karena Bahar tiba-tiba saja di telepon oleh ibunya untuk segera pulang karena banyak sekali pesanan kue yang harus diantar malam itu. maka dari itu semua pesanan mereka dibungkus. Pintu besar bercat coklat itu ia dorong perlahan agar tidak menimbulkan suara berisik, karena kayu yang sudah tua mengakibatkan terdengar sedikit suara reyot dari pintu tersebut. senandung kecil ia suarakan seraya menemani langkahnya menuju meja makan.

Baru saja ia ingin menuangkan sebungkus seblak ceker favoritnya ke mangkuk namun suara berat sang ayah tiba-tiba saja mengiterupsinya.

“Kemana saja kamu San?” tanya sang ayah dengan sebuah laptop di tangannya.

“Nih, beli seblak,” jawabnya jujur dengan senyum yang mengembang. ia tidak mau merusak suasana hatinya ini yang ingin memakan seblak dengan tenang. “Itu aku beliin ju—” namun ucapan berhenti kala sang ayah berbicara terlebih dahulu.

“Keluyuran aja terus, bukannya belajar. liat tuh abangmu sudah jadi dokter. kamu apa? masa depan aja belum jelas tapi keluyuran terus, main terus.”

“Masih kelas sebelas yah, santai aja, lagi juga ini cuma keluar sebentar aja kok diajak Bahar tadi,” jawabnya masih santai sembari menuangkan seblak dengan hati-hati.

“Belajar yang bener San yang serius, dan jadi dokter hebat seperti kakakmu. jadi kebanggaan keluarga bukan beban keluarga.” ucapan ayahnya barusan sedikit melukai hatinya. beban keluarga? apa selama ini ayahnya menganggap dirinya beban?

“Hasan nggak mau jadi dokter,” ucapnya dingin.

“Terus kamu mau jadi apa? jangan jadi pembantah Hasan, kamu tahu kan ayah nggak suka dibantah,” seru ayahnya tegas.

“Lulus dengan nilai baik, masuk kedokteran, jika tidak dapat negeri, ayah akan tanggung semua biaya kuliahmu di swasta.” lanjut ayahnya.

“Terserah ayah,” ujar Hasan yang segera meninggalkan meja makan dengan semangkuk seblak yang terisi penuh diatasnya, selera makannya sudah hilang.

Mengerti Marvel sesusah itu ya?

Mencekam. hanya itu yang bisa menggambarkan kondisi Marvel sekarang. duduk di depan papanya dengan raut muka jauh dari kata ramah. tatapannya tajam begitu menyeramkan sekarang.

Seharusnya Marvel sudah tahu apa yang ia perbuat tadi akan sangat memicu amarah papanya. ketidaksukaan papanya pada band milik Marvel membuat Marvel selalu mencuri-curi waktu untuk latihan tanpa ketahuan.

Sekarang ia seperti tikus yang tertangkap basah, terkekang oleh harimau yang siap menerkam kapan pun ia mau. Marvel hanya bisa menunduk dalam-dalam enggan menatap balik mata sang papa.

“Beraninya kamu kabur gitu aja,” ujar sang papa dingin untuk pertama kali setelah mereka saling menebar kesunyian hampir sepuluh menit lamanya. Marvel menghembuskan nafas pasrah.

“Maaf pah.”

“Papa nggak butuh maaf Marvel.”

“Marvel udah janji buat lat-”

“Papa nggak peduli. sudah papa bilang keluar dari band nggak jelasmu itu!” potong sang papa yang berhasil membuat amarah Marvel memuncak.

“Papa bisa nggak sih ngertiin Marvel sedikit aja?” ujar Marvel masih berusaha tenang, namun menekankan suaranya pada kata sedikit. “Marvel udah turutin semua mau papa. ikut les? Marvel turutin. ikut lomba-lomba? Marvel turutin. ikut ke perkumpulan pebisnis muda pun Marvel datengin kan?”

Marvel membuang nafasnya gusar seraya mengacak-acak rambutnya frustasi. “Tapi kenapa Marvel mau dapet hiburan dari band yang udah Marvel bangun sendiri nggak boleh?”

“Band itu hanya akan menyusahkanmu Marvel.”

“Tapi hidup Marvel ada pada band itu papa.”

“Tinggalkan band itu.”

“Nggak akan.”

Marvel melihat papanya memejamkan mata, ia tahu lelaki itu sedang menahan emosinya, tapi Marvel tidak peduli. ia sudah tidak mau berdebat akan hal ini lagi. karena pada prinsipnya bandnya itu sudah masuk dalam bagian hidupnya dan tidak akan ada yang bisa membuat dia jauh dari bandnya termasuk papanya sendiri.

“Tinggalkan band itu atau papa-”

“Papa mau ngelakuin apa lagi? potong Marvel cepat. “Mau ngancem kalau papa akan bakar studio Marvel? bakar aja tapi jangan harap Marvel akan mau pulang ke rumah ini lagi.” finalnya lalu pergi meninggalkan sang papa yang terdiam mendengar pernyataannya yang terdengar sebagai ancaman balik untuknya. namun sebelum Marvel menghilangkan tubuhnya dari pandangan sang papa ia berbalik sebentar mengucapkan sebuah kalimat yang berhasil membuat papanya tertegun. “Papa jangan egois, karena hidup ini nggak berputar di papa aja.”

Setelahnya Marvel berjalan cepat menuju kamarnya dengan nafas yang berderu, ia tahu meninggalkan papanya seperti itu tidaklah sopan namun itu lebih baik agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan nantinya.

“Marvel cuma butuh dimengerti sedikit aja pah.”

Rumah itu... apa?

Hanya hembusan angin yang menemani langkahnya sore ini. tangannya ia rentangkan lebar-lebar, menghirup lalu kemudian membuang kembali udara yang cukup segar sore ini.

Renjana, lelaki itu belum pulang juga ke rumahnya. sebenarnya Renjana pun bingung. apa itu rumah, yang ia tahu hanya tempat ia untuk tidur, makan, membersihkan diri. tidak ada kasih sayang, tawa bahagia dari orang tuanya kerap kali ia memenangkan beberapa perlombaan. yang ada hanya bentakan, teriakan, serta bantingan pintu yang disebabkan oleh pertengkaran orang tuanya.

Salah satu alasan Renjana ingin pergi dari rumah.

Ia sangat ingin ikut OSN yang ditawarkan pak Rahmat tadi, ia rasa dua bulan cukup membuatnya telinganya tenang dari teriakan orang tuanya. tangannya bergerak mengambil sebuah benda kecil yang berada di kantong paling depan tasnya. mengambil sebuah benda yang menjadi temannya sejak dulu.

Sebuah earphone yang bisa meredam sebuah suara berisik yang menyakiti hatinya hingga membuat rongga dadanya sesak bukan main. dengan helaan nafas kasar ia meyakinkan diri untuk membuka gerbang rumahnya.

Benar saja di sana sudah terparkir rapi mobil milik kedua orang tuanya, yang membuat Renjana lebih bersiap-siap lagi. sengaja melambatkan langkahnya, baru saja ia ingin mendorong pintu utama rumah namun suara pecahan dari dalam rumah menghentikannya.

Matanya terpejam, dadanya kembali bergemuruh. sesak. genggaman tangannya pada gagang pintu kian menguat seiring dengan gigitan giginya pada bibir bagian dalamnya guna menahan sakit yang sedang ia rasakan sekarang. sampai tanpa ia sadari setetes air mata sudah jatuh membasahi pipi.

ia benci

ia benci keadaannya

Dengan sekuat tenaga dan setelah meyakinkan diri ia memberanikan diri membuka pintu itu. ‘“Ayo Ja, masuk dan langsung ke kamar,” ujarnya meyakinkan diri.

Pintu terbuka sempurna, menampilkan beberapa pecahan gelas yang berserakan di lantai. matanya kembali terpejam. dengan segera ia berjalan cepat menuju tangga yang akan membawanya ke kamar.

“Renjana.” panggil ibunya.

“RENJANA,” kali ini dengan nada yang lebih tinggi. namun ia hiraukan karena ia tahu, ia akan jadi barang pelampiasan sang ibu. sayup-sayup ia mendengar amarah sang ibu memuncak.

“Lihat anakmu nggak ada sopan santunya sama orang tua! main nyelonong aja,” ujar sang ibu pada ayahnya yang kini hanya duduk diam di meja makan. tatapan mereka sempat terhubung sebelum Renjana kembali memutuskan kontak mata itu.

Dengan gerakan pelan ia menutup pintunya. lalu tubuhnya ia jatuhkan pada lantai dingin kamarnya. meringkuk memeluk lutut kemudian menangis tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. kegiatan yang selalu ia lakukan tanpa seorang pun yang tahu.

Renjana yang selalu terlihat kuat dan menjadi pendengar dan sandaran untuk teman-temannya kala mereka merasa sendiri adalah orang paling lemah yang bahkan tidak punya sandaran untuk dirinya sendiri.

Olimpiade

Tanpa berpikir panjang lagi, Renjana segera melangkahkan kakinya kembali memasuki lingkungan sekolah yang sudah hampir sepi hanya ada beberapa orang siswi yang sedang menunggu jemputan di lorong seraya menggosip bersama, suatu hal yang wajib dilakukan katanya.

Tangan kecil Renjana mencengkeram keras tali tasnya dan pikirannya berkelana memikirkan apa sebab pak Rahmat—wakil kepala sekolah memanggil dirinya. ia terus bergelut akan pikiran-pikirannya hingga tidak sadar bahwa sekarang ia telah sampai pada ruangan yang dituju.

Diketuknya pintu itu dua kali sembari mengucap salam, tidak ada sahutan dari dalam membuat ia dengan ragu membuka pintu itu perlahan. tubuh besar pak Rahmat yang kini tengah serius menatap layar laptopnya adalah pemandangan pertama Renjana kala memasuki ruangan itu.

Sepertinya pria itu belum menyadari bahwa siswa yang tadi ia panggil sudah duduk di hadapannya dengan canggung. Dengan terpaksa Renjana membuka suara terlebih dahulu, sebab hampir lima menit pak Rahmat tidak kunjung menyadari bahwa ia telah di sini.

“Assalamualaikum… pak?” ujarnya pelan dengan ragu. tangan kecilnya saling bertautan tanda ia tengah gugup sekarang. Tubuh Renjana sedikit terdorong ke belakang kala mendengar pekikan dari pak Rahmat.

“Wa'alaikumussalam, aduh kamu tuh ya ngagetin bapak aja!” seru pak Rahmat yang masih setia mengusap dadanya pelan. Renjana menundukkan kepala seraya tertawa canggung, “Maaf pak.”

Tidak lama kemudian, pak Rahmat mengambil sebuah amplop biru muda yang entah apa isinya Renjana tidak tahu dan sangat penasaran begitu amplop itu diserahkan kepadanya.

“Buka Ja,” perintah pak Rahmat seraya memberikan amplop itu pada Renjana. Dengan cepat Renjana mengambil alih amplop itu hingga sekarang amplop itu sudah berada ditangannya. “Apa ini pak?”

“Buka aja dulu, baru nanya.”

“OSN….?” gumam Renjana pelan namun masih bisa didengar oleh pak Rahmat. ia mengangguk. “Iya, OSN, lebih tepatnya OSN Matematika,” terang pak Rahmat.

“Kamu saya tunjuk sebagai perwakilan sekolah.” penjelasan pak Rahmat mampu membuat Renjana menganga, pasalnya ini terlalu mendadak untuknya.

“Saya tahu kamu pernah mengikuti ini dulu saat kelas sepuluh kan?” Renjana mengangguk.

“Maka dari itu, saya mau kamu ikut lagi, yang dimana nilaimu sangat bagus. membuat saya yakin, kalau kamu pilihan yang terbaik.” Renjana hanya mampu meneguk ludahnya, merasa bingung harus menerima atau menolak, sebab ia merasa telah diberi tanggung jawab dan kepercayaan yang besar oleh pak Rahmat tidak enak jika menolaknya.

Namun satu kalimat yang keluar dari mulut pak Rahmat, membuat bimbangnya seketika hilang.

“Jika kamu lolos seleksi, maka kamu akan menginap di asrama selama dua bulan sebagai pelatihan sebelum olimpiade dimulai.”

“Nginap pak? beneran?” tanya Renjana memastikan. Pak Rahmat mengangguk, “Iya nginap, nggak apa-apa kan?” kali ini Renjana yang mengangguk.

“Sebelum itu izin orang tuamu dulu ya.”

“Harus izin pak?”

“Iya, harus izin.”

Pertemuan

Derasnya hujan kini tengah membasahi jalanan ibu kota, namun tidak mempengaruhi laju mobil yang dibawa Marvel yang kini tengah berjalan cukup cepat hampir sama seperti keadaan detak jantungnya sekarang. Ingatan-ingatan tentang lima tahun lalu kembali terulang pada memori ingatannya. Membuat seukir senyuman tercetak jelas pada wajah tampannya itu.

Kenangan demi kenangan, baik yang bahagia maupun sedih kembali mengisi kepalanya, sesekali ia tersenyum seraya menahan kekehan tapi tidak jarang juga ia menghapus beberapa bulir air matanya. Kegiatan itu terus terulang hingga ia sampai pada tempat tujuan.

Gedung Pancawarna

Mesin mobil ia matikan kala sudah terparkir rapi pada parkiran, kini tangannya bertumpu pada setir di depannya, tatapannya menengadah memandangi bangunan di depannya ini dibalik kaca yang penuh akan rintik hujan yang tadi mengguyur jalanan sebentar. sudah lima tahun sejak ia meninggalkan tempat ini, tempat penuh akan kenangannya dengan teman-teman OSN yang sudah ia anggap adiknya itu. tangannya teralih guna merapikan rambut yang sedikit berantakan dengan mengandalkan kaca spion sebagai media bercermin. Deru napasnya ia atur sedemikian rupa agar terlihat normal, padahal aslinya jauh dari kata normal. Bertemu dengan teman yang sudah dianggap seperti adik sendiri setelah sekian lama tanpa kabar benar-benar membuatnya terjaga semalam penuh, sibuk memilih kata-kata yang akan ia ucapkan nanti, sibuk memilih pakaian apa yang cocok ia gunakan, sampai kegiatan apa yang harus mereka lakukan nanti saat bertemu.

Aroma tanah basah akibat hujan menyapa penciumannya terlebih dahulu kala memasuki pelataran dimana bangunan itu berada. Langkahnya sedikit tertahan kala melihat taman bermain yang begitu sepi, berbeda ketika dahulu saat ia masih dalam karantina, setiap hari akan ramai dengan para siswa yang tengah istirahat dari jam belajar yang cukup membuat mereka pusing, senyumnya kembali terukir kala mengingat Hasan serta Candra yang selalu menggodanya karena selalu duduk pada pohon mangga di depan taman bermain itu dengan buku-buku tebal yang mereka sebut sebagai pacarnya bang Marvel.

“Semua masih sama.” Monolognya sembari mengamati setiap detail bangunan di hadapannya itu. Ia rasa masih ada waktu untuk ia menunggu yang lain datang sehingga ia melanjutkan langkahnya untuk memasuki tempat itu lebih dalam lagi, sampai pada akhirnya ia berdiri pada sebuah pintu besar bertuliskan

YANG BOLEH MASUK HANYA YANG MEMILIKI IZIN!!!

Senyumnya perlahan menghilang, satu helaan nafas berhasil terbuang dengan kasar. terlihat kecewa karena niatnya memasuki bagian dalam gedung itu sirna begitu cepat. baru saja ia ingin mengambil ponsel untuk mengabari mereka bahwa ia telah sampai, namun beberapa suara yang kini menggema berhasil mengambil alih atensinya dari ponsel dalam genggamannya itu, suara yang sangat ia rindukan.

“BANG MARVEL!”

Itu suara adik-adiknya.