Oma... maaf, Nanda buat kecewa lagi.

Detak jantung Nanda semakin tak menentu, ia panik bukan main setelah mengetahui kabar dari Egi bahwa supermarket tempat ia bekerja sedang mengadakan pemecatan karyawan secara mendadak, cukup membuat Nanda yang baru saja bangun tidur langsung loncat dari kasur dan segera pergi.

Benar saja, halaman depan supermarket sudah penuh oleh para karyawan. Nanda berjalan pelan memasuki salah satu barisan di sana. di depannya sudah berada pak Amir, selaku pemilik supermarket.

“Yang terakhir,” ucapan pak Amir kembali membuat semuanya kian menegang, saling memejamkan mata seraya berdoa agar bukan nama mereka yang disebut.

“Nanda Syahreza.” Yang dipanggil pun menoleh, mengambil seluruh atensi para karyawan lain untuk melihat ke arahnya. “Maaf, kamu saya pecat.” kalimat itu bagai petir yang menyambar kala sinar matahari tengah terik-teriknya, rasanya dunia Nanda runtuh seketika. bahu dan kakinya lemas bukan main. satu-satunya pekerjaan untuk ia mencari nafkah sudah hilang dalam genggaman.

“Maafkan saya nak, ini terpaksa,” jelas pak Amir lagi tanpa melihat raut wajah Nanda yang sudah pucat pasi. ia mengangguk, “Nggak apa-apa pak, saya terima. terimakasih sudah menerima saya untuk bekerja di sini.” ujarnya lalu pergi meninggalkan tempat itu dengan lemah.

Disinilah Nanda berada, sebuah warung kopi tempat biasa ia beristirahat sejenak sehabis bekerja. untunglah warung kopi hari ini tengah sepi jadi ia bisa dengan leluasa meluapkan apa yang sedari tadi ia pendam.

Bahunya bergetar, semakin lama semakin kencang tangisnya sudah tidak bisa lagi ia tahan. tangisnya sekarang terdengar begitu pilu sampai bu Een pemilik warung merasa iba namun enggan mendekatinya, ia ingin pemuda itu mengeluarkan isi hatinya secara bebas sekarang, terlalu lama pemuda itu menahan semua beban di pundaknya. Bu Een tahu itu, sebab pemuda itu sering sekali curhat padanya.

Mengerang, menjambak rambut, dan beberapa rintihan rasa bersalah keluar dari mulutnya.

“Oma... maaf.”

“Maaf, Nanda bikin kecewa lagi.”

“Maaf Oma, Nanda gagal lagi….”

Beban yang seharusnya tidak ia pikul sedini ini.

Sebuah tanggung jawab yang seharusnya masih diambil alih oleh orang tuanya, harus ia yang tanggung sendiri.

Karena, Nanda sudah tidak memiliki keduanya.

Tangisnya masih terus berlangsung sampai sebuah pesan berhasil mengalihkan perhatiannya.

Oma.