Zefa tidak sebesar itu bunda, ayah.
“Zefa, bantu kakaknya nak.” “Zefa, tolong kasih kakaknya obat tepat waktu ya.” “Zefa, jagain kakak sebentar ya?” “Zefa, kamu sudah besar. dan sekarang harus udah bisa bantu bunda jagain kakak ya?”
“Zefa, tidak sebesar itu bunda,” gumamnya pelan menatap sebuah susu putih yang akan ia berikan pada sang kakak. terlahir sebagai seorang anak bungsu dari kakak yang mendapatkan keistimewaan dari tuhan, membuat ia harus siap bertukar peran dengan kakak sejak kecil.
Zefa kecil yang seharusnya menikmati masa-masa bermainnya harus bergelut di rumah, menemani kakaknya bermain dari pagi hingga malam. menyuapi makannya, membantunya mandi, bahkan sampai obatnya pun Zefa yang urus semua.
Di rumah, hanya ada ia, kakaknya dan juga bu Lilis, asisten rumah tangga yang juga menjadi orang kedua yang ia sayang setelah ayah, bunda juga kakaknya. hanya bu Lilis tempat Zefa mencurahkan isi hatinya. karena orang tuanya hanya terfokus pada kakaknya.
Mungkin mereka menganggap, Zefa yang terlahir normal, bisa hidup baik-baik saja. tapi nyatanya tidak, Zefa sedari kecil tidak pernah merasakan kasih sayang dari orang tuanya, ia selalu iri melihat para anak di luar sana yang terlihat dimanja oleh kedua orang tuanya. membuat Zefa iri.
Ia hanya pernah sekali diantar sekolah oleh ayahnya, setelah itu tidak pernah karena Zefa dipindahkan untuk homeschooling agar bisa menemani kakaknya di rumah.
hanya pernah sekali pergi ke taman bermain bersama setelah itu tidak pernah lagi karena kakaknya tidak suka keramaian.
Dan mereka selalu bilang, “Zefa kan sudah besar, harus ngerti sama keadaan ya?”
“Terus kapan kalian bisa ngertiin Zefa?” pertanyaan yang hanya ia simpan sendiri dalam hati.
Ia sayang kakaknya, tak ada terpikirkan untuknya menaruh benci pada sang kakak, walau karena keadaan kakaknya membuat ia merasa kurang kasih sayang, tapi kakaknya begitu sayang sama Zefa, Zefa bisa merasakan kasih sayang dari kakaknya walau kakaknya tidak bisa menunjukkannya.
karena yang akan memeluk Zefa pertama kali ketika ia menangis adalah kakaknya.
“Dek, jangan nangis…” Ucapnya setiap kali ia melihat Zefa menangis meringkuk di kamar. seraya mengelus punggung kecil sang adik. membuat tangis Zefa semakin keras terdengar.
ia juga tidak peduli apa yang orang lain katakan pada kakaknya,
gila
anak gila
Zefa tidak peduli, karena kakaknya tidak gila, tapi dia istimewa.
Zefa yang sedari kecil hanya berdiam di rumah dan bermain dengan kakaknya saja, membuat ia takut berinteraksi dengan orang-orang sekitar. membuat bu Dahlia guru yang mengajarnya merasa kasihan karena Zefa tumbuh menjadi anak yang penakut dan tidak pandai bergaul.
bahkan sudah beberapa kali bu Dahlia berbicara kepada ayah dan bunda untuk memindahkan Zefa ke sekolah biasa, namun permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh ayah.
Zefa ingat betapa gugupnya ia saat berpapasan dengan seorang tetangganya yang tengah membuang sampah. ia tidak berani membalas sapaan hangat yang mereka keluarkan untuknya Zefa terlalu takut untuk membalasnya, bahkan menatap wajah mereka saja Zefa tidak berani ia akan langsung berlari cepat kembali mengurung diri di rumah.
“Zefa ingin main keluar, tapi Zefa takut.”
“Bunda, ayah, Zefa juga ingin seperti anak-anak lain. bisa pergi sekolah dan punya teman.”
“Bukan malah takut untuk bertemu orang baru.”