Terserah ayah

Hasan pulang dengan wajah yang begitu gembira sebab tadi ia memenangkan permainan suit dengan Bahar dimana yang kalah akan membayar semua pesanan seblak itu, tentu saja ia senang bukan main karena seblak ia pesan sampai empat bungkus. ya walau nanti diganti juga oleh abangnya, Januar seorang dokter spesialis jantung yang bekerja di salah satu rumah sakit ternama Jakarta. tentunya anak kebanggaan ayah dan ibu.

Ia pulang lebih cepat, karena Bahar tiba-tiba saja di telepon oleh ibunya untuk segera pulang karena banyak sekali pesanan kue yang harus diantar malam itu. maka dari itu semua pesanan mereka dibungkus. Pintu besar bercat coklat itu ia dorong perlahan agar tidak menimbulkan suara berisik, karena kayu yang sudah tua mengakibatkan terdengar sedikit suara reyot dari pintu tersebut. senandung kecil ia suarakan seraya menemani langkahnya menuju meja makan.

Baru saja ia ingin menuangkan sebungkus seblak ceker favoritnya ke mangkuk namun suara berat sang ayah tiba-tiba saja mengiterupsinya.

“Kemana saja kamu San?” tanya sang ayah dengan sebuah laptop di tangannya.

“Nih, beli seblak,” jawabnya jujur dengan senyum yang mengembang. ia tidak mau merusak suasana hatinya ini yang ingin memakan seblak dengan tenang. “Itu aku beliin ju—” namun ucapan berhenti kala sang ayah berbicara terlebih dahulu.

“Keluyuran aja terus, bukannya belajar. liat tuh abangmu sudah jadi dokter. kamu apa? masa depan aja belum jelas tapi keluyuran terus, main terus.”

“Masih kelas sebelas yah, santai aja, lagi juga ini cuma keluar sebentar aja kok diajak Bahar tadi,” jawabnya masih santai sembari menuangkan seblak dengan hati-hati.

“Belajar yang bener San yang serius, dan jadi dokter hebat seperti kakakmu. jadi kebanggaan keluarga bukan beban keluarga.” ucapan ayahnya barusan sedikit melukai hatinya. beban keluarga? apa selama ini ayahnya menganggap dirinya beban?

“Hasan nggak mau jadi dokter,” ucapnya dingin.

“Terus kamu mau jadi apa? jangan jadi pembantah Hasan, kamu tahu kan ayah nggak suka dibantah,” seru ayahnya tegas.

“Lulus dengan nilai baik, masuk kedokteran, jika tidak dapat negeri, ayah akan tanggung semua biaya kuliahmu di swasta.” lanjut ayahnya.

“Terserah ayah,” ujar Hasan yang segera meninggalkan meja makan dengan semangkuk seblak yang terisi penuh diatasnya, selera makannya sudah hilang.