Olimpiade
Tanpa berpikir panjang lagi, Renjana segera melangkahkan kakinya kembali memasuki lingkungan sekolah yang sudah hampir sepi hanya ada beberapa orang siswi yang sedang menunggu jemputan di lorong seraya menggosip bersama, suatu hal yang wajib dilakukan katanya.
Tangan kecil Renjana mencengkeram keras tali tasnya dan pikirannya berkelana memikirkan apa sebab pak Rahmat—wakil kepala sekolah memanggil dirinya. ia terus bergelut akan pikiran-pikirannya hingga tidak sadar bahwa sekarang ia telah sampai pada ruangan yang dituju.
Diketuknya pintu itu dua kali sembari mengucap salam, tidak ada sahutan dari dalam membuat ia dengan ragu membuka pintu itu perlahan. tubuh besar pak Rahmat yang kini tengah serius menatap layar laptopnya adalah pemandangan pertama Renjana kala memasuki ruangan itu.
Sepertinya pria itu belum menyadari bahwa siswa yang tadi ia panggil sudah duduk di hadapannya dengan canggung. Dengan terpaksa Renjana membuka suara terlebih dahulu, sebab hampir lima menit pak Rahmat tidak kunjung menyadari bahwa ia telah di sini.
“Assalamualaikum… pak?” ujarnya pelan dengan ragu. tangan kecilnya saling bertautan tanda ia tengah gugup sekarang. Tubuh Renjana sedikit terdorong ke belakang kala mendengar pekikan dari pak Rahmat.
“Wa'alaikumussalam, aduh kamu tuh ya ngagetin bapak aja!” seru pak Rahmat yang masih setia mengusap dadanya pelan. Renjana menundukkan kepala seraya tertawa canggung, “Maaf pak.”
Tidak lama kemudian, pak Rahmat mengambil sebuah amplop biru muda yang entah apa isinya Renjana tidak tahu dan sangat penasaran begitu amplop itu diserahkan kepadanya.
“Buka Ja,” perintah pak Rahmat seraya memberikan amplop itu pada Renjana. Dengan cepat Renjana mengambil alih amplop itu hingga sekarang amplop itu sudah berada ditangannya. “Apa ini pak?”
“Buka aja dulu, baru nanya.”
“OSN….?” gumam Renjana pelan namun masih bisa didengar oleh pak Rahmat. ia mengangguk. “Iya, OSN, lebih tepatnya OSN Matematika,” terang pak Rahmat.
“Kamu saya tunjuk sebagai perwakilan sekolah.” penjelasan pak Rahmat mampu membuat Renjana menganga, pasalnya ini terlalu mendadak untuknya.
“Saya tahu kamu pernah mengikuti ini dulu saat kelas sepuluh kan?” Renjana mengangguk.
“Maka dari itu, saya mau kamu ikut lagi, yang dimana nilaimu sangat bagus. membuat saya yakin, kalau kamu pilihan yang terbaik.” Renjana hanya mampu meneguk ludahnya, merasa bingung harus menerima atau menolak, sebab ia merasa telah diberi tanggung jawab dan kepercayaan yang besar oleh pak Rahmat tidak enak jika menolaknya.
Namun satu kalimat yang keluar dari mulut pak Rahmat, membuat bimbangnya seketika hilang.
“Jika kamu lolos seleksi, maka kamu akan menginap di asrama selama dua bulan sebagai pelatihan sebelum olimpiade dimulai.”
“Nginap pak? beneran?” tanya Renjana memastikan. Pak Rahmat mengangguk, “Iya nginap, nggak apa-apa kan?” kali ini Renjana yang mengangguk.
“Sebelum itu izin orang tuamu dulu ya.”
“Harus izin pak?”
“Iya, harus izin.”