Rumah itu... apa?

Hanya hembusan angin yang menemani langkahnya sore ini. tangannya ia rentangkan lebar-lebar, menghirup lalu kemudian membuang kembali udara yang cukup segar sore ini.

Renjana, lelaki itu belum pulang juga ke rumahnya. sebenarnya Renjana pun bingung. apa itu rumah, yang ia tahu hanya tempat ia untuk tidur, makan, membersihkan diri. tidak ada kasih sayang, tawa bahagia dari orang tuanya kerap kali ia memenangkan beberapa perlombaan. yang ada hanya bentakan, teriakan, serta bantingan pintu yang disebabkan oleh pertengkaran orang tuanya.

Salah satu alasan Renjana ingin pergi dari rumah.

Ia sangat ingin ikut OSN yang ditawarkan pak Rahmat tadi, ia rasa dua bulan cukup membuatnya telinganya tenang dari teriakan orang tuanya. tangannya bergerak mengambil sebuah benda kecil yang berada di kantong paling depan tasnya. mengambil sebuah benda yang menjadi temannya sejak dulu.

Sebuah earphone yang bisa meredam sebuah suara berisik yang menyakiti hatinya hingga membuat rongga dadanya sesak bukan main. dengan helaan nafas kasar ia meyakinkan diri untuk membuka gerbang rumahnya.

Benar saja di sana sudah terparkir rapi mobil milik kedua orang tuanya, yang membuat Renjana lebih bersiap-siap lagi. sengaja melambatkan langkahnya, baru saja ia ingin mendorong pintu utama rumah namun suara pecahan dari dalam rumah menghentikannya.

Matanya terpejam, dadanya kembali bergemuruh. sesak. genggaman tangannya pada gagang pintu kian menguat seiring dengan gigitan giginya pada bibir bagian dalamnya guna menahan sakit yang sedang ia rasakan sekarang. sampai tanpa ia sadari setetes air mata sudah jatuh membasahi pipi.

ia benci

ia benci keadaannya

Dengan sekuat tenaga dan setelah meyakinkan diri ia memberanikan diri membuka pintu itu. ‘“Ayo Ja, masuk dan langsung ke kamar,” ujarnya meyakinkan diri.

Pintu terbuka sempurna, menampilkan beberapa pecahan gelas yang berserakan di lantai. matanya kembali terpejam. dengan segera ia berjalan cepat menuju tangga yang akan membawanya ke kamar.

“Renjana.” panggil ibunya.

“RENJANA,” kali ini dengan nada yang lebih tinggi. namun ia hiraukan karena ia tahu, ia akan jadi barang pelampiasan sang ibu. sayup-sayup ia mendengar amarah sang ibu memuncak.

“Lihat anakmu nggak ada sopan santunya sama orang tua! main nyelonong aja,” ujar sang ibu pada ayahnya yang kini hanya duduk diam di meja makan. tatapan mereka sempat terhubung sebelum Renjana kembali memutuskan kontak mata itu.

Dengan gerakan pelan ia menutup pintunya. lalu tubuhnya ia jatuhkan pada lantai dingin kamarnya. meringkuk memeluk lutut kemudian menangis tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. kegiatan yang selalu ia lakukan tanpa seorang pun yang tahu.

Renjana yang selalu terlihat kuat dan menjadi pendengar dan sandaran untuk teman-temannya kala mereka merasa sendiri adalah orang paling lemah yang bahkan tidak punya sandaran untuk dirinya sendiri.