athiverse

Bertahan ya, karena Tuhan tahu kamu kuat.

Nanda berlari menuju ruang ICU dengan tergesa-gesa. Renjana yang berjalan di belakang Nanda mau tak mau ikut berlari menyamakan langkah temannya ini.

di depan ruang ICU terdapat perempuan yang Renjana kira mungkin sudah menginjak kepala empat itu sedang duduk dengan kepala tertunduk. Langkah Nanda ia pelankan mengetahui bahwa tantenya itu kini tengah terlelap.

di guncangnya pelan bahu lemah itu. membuat si empunya sedikit demi sedikit membuka matanya, berusaha menetralkan cahaya yang akan kembali menyapa penglihatannya.

“Tante, oma gimana?” tanya Nanda tepat pada intinya. Tante Gea, kakak dari ibunya itu menggeleng lemah, “Masih belum sadar Nan.” Nanda menghela nafasnya kasar, kepalanya menengadah menatap langit-langit rumah sakit dengan tatapan nanar, rambutnya diacak-acak kasar.

Renjana buru-buru menahan pergerakan tangan Nanda yang semakin lama bisa saja menyakiti dirinya sendiri. “Hei, udah,” katanya pelan sembari menuntun Nanda duduk pada kursi kosong di sana.

Cukup lama mereka terduduk sampai dokter yang tadi izin memeriksa omanya kembali keluar dari ruang ICU. dengan cepat Nanda berdiri menghampiri pria tua berkacamata itu. “Gimana dok keadaan oma saya?”

“Penyakit kanker payudara yang oma Anda derita sudah semakin parah, dan sebaiknya segera dilakukan operasi pengangkatan payudara. mencegah kankernya akan menyebar ke seluruh tubuhnya.” Kaki Nanda melemas, langkahnya demi sedikit ia mundurkan sampai pada akhirnya ia terjatuh pada kursi yang tadi ia duduki.

“Saya izin untuk kembali memeriksa pasien lainnya, dulu. permisi.” dokter itu pun berlalu kala mendapat anggukkan dari Renjana.

“Tante kena PHK Nan, uang darimana untuk biaya operasi.... “ ujar tantenya pelan dengan tatapan kosong ke depan. Nanda memejamkan matanya, nafasnya kini tercekat. bibirnya ia gigit guna menahan tangis yang mungkin sebentar lagi akan keluar.

Renjana yang melihat itu semua tak tega. ia kemudian izin untuk keluar sebentar. dadanya ikut sesak melihat keadaan di dalam tadi. dengan sedikit gemetar ia keluarkan ponsel pada sakunya, menekan tombol telepon pada nama ayahnya di sana.

“Assalamualaikum pak?” ucapnya pelan seraya menunggu lawan bicaranya menjawab sapaan salamnya.

“Wa'alaikumussalam, kenapa nak?” jawab ayahnya dari seberang sana

“Renja ganggu bapak?”

“Nggak sama sekali, ada apa?”

“Teman Renja… dia butuh uang untuk operasi neneknya, bapak bisa bantu? Renja nggak tega pak lihatnya.” tuturnya cepat namun sedikit tertangkap getaran takut dari suaranya. helaan nafas dari sang ayah tertangkap pada pendengaran Renjana, tangannya memilin kuat ujung bajunya, takut yang ia rasa semakin besar.

“Pak, Renjana tahu ini bukan biaya yang sedikit tapi Renja ada tabung-”

“Kamu kirim lokasi rumah sakitnya, bapak kesana,” potong Darma cepat. Renjana yang mendengarnya sedikit terkejut lalu mengangguk kaku, “Iya pak.”


“Terimakasih om….” ucap Nanda dengan senyuman tipis yang ia beri pada Darma membuat hati pria itu sedikit berdesir, entah apa alasannya tapi senyuman itu begitu hangat ketika ia lihat, sama seperti saat Renjana tersenyum padanya.

Darma mengangguk, “Sama-sama, nak,” jawabnya lembut lalu mengusap rambut Nanda pelan. kemudian tubuh Nanda ia tarik dalam pelukannya. “Sabar ya, oma Nanda pasti akan baik-baik aja.”

Hangat. Baru kali ini Nanda merasakan perasaan aneh ini, Omanya sering memeluknya tapi baru kali ini Nanda merasa akan perasaan yang begitu berbeda kala dipeluk Darma. Ia ketagihan, ia begitu suka pelukan ini. Entah ini perasaan apa tapi Nanda senang, hatinya merasa begitu nyaman di dalam dekapan Darma.

Renjana yang melihat itu tersenyum tulus walau hatinya merasa sakit, apa ini rasa iri yang tak pernah ia dapat dari ayahnya itu? seumur-umur Renjana belum pernah merasakan pelukan ayahnya. tapi Renjana nggak boleh merasa iri di atas kesedihan orang yang saat ini sangat butuh sandaran. mengabaikan perasaannya kalau ia juga butuh sandaran.

Renjana sedikit meringis lalu cepat-cepat ia singkirkan pikiran buruk tentang ayahnya dan kembali mengingat perlakuan baik ayahnya akhir-akhir ini yang membuat Renjana begitu heran. tapi dengan mengingat itu dengan mudah ia kembali sunggingkan senyum manisnya.

“Nan, abang pulang dulu ya?” ujar Renjana setelah operasi omanya Nanda berjalan lancar. Nanda menoleh lalu kemudian memeluk Renjana tiba-tiba, “Makasih ya bang, makasih banyak.” Renjana tersenyum, “Sama-sama, jangan lupa istirahat ya.”

Setelahnya Renjana pulang bersama Darma yang sudah lebih dahulu berada di mobil.

12.00

Renjana yang baru saja selesai membuang sampah di ujung koridor itu menerima pesan dari Candra, dan tanpa perlu menunggu lama lagi ia segera melangkahkan kakinya menuju taman belakang yang Renjana yakini bahwa Nanda akan pergi ke sana.

Taman belakang kali ini sudah sangat sepi karena sekarang sudah masuk waktu tengah malam dan seluruh peserta diwajibkan sudah tidur pukul sebelas malam. udara malam ini cukup dingin, untunglah sebelum keluar tadi Renjana mengambil jaketnya.

Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri mencari seseorang yang sekarang membuatnya khawatir. sampai pada sebuah ayunan di ujung taman ia menemukan pemuda yang dari tadi ia cari. langkahnya ia percepat menuju tempat pemuda itu berada.

“Ngapain malem-malem di luar hm?” ucapnya pelan seraya ikut duduk pada sisi ayunan yang kosong. sontak pemuda yang dari tadi diam itu terlonjak kaget akan sapaan Renjana tadi.

“E-eh bang Renja….” ujarnya pelan menatap canggung ke arah Renjana yang kini perhatiannya berpusat penuh pada dirinya. “Kenapa?” tanya Renjana lagi dengan lembut.

Nanda membisu, dialihkannya kembali tatapan sedihnya pada wajah Renjana, membuat pemuda itu gelagapan takut perkataannya salah. “Eh kalo nggak mau cerita nggak apa-apa Nan.”

Nanda menggeleng pelan, “Oma gue masuk rumah sakit bang.” Renjana diam, lidahnya kelu untuk sekedar mengucapkan kata sabar. ia hanya sanggup mengusap punggung Nanda yang sudah begitu lemah di sampingnya sekarang. raut wajah pemuda itu sudah sangat menjawab pertanyaan Renjana, bahwa dia sangat khawatir.

“Gue mau ke sana bang, mau ketemu oma,” lirihnya pelan dengan tatapan menatap lurus ke bawah. Renjana mengangguk ia mengerti kekhawatiran temannya ini.

“Masuk dulu ya Nan, dingin, udah malem juga,” ajak Renjana pelan mengingat temannya ini hanya memakai kaos tipis sebagai penutup tubuhnya. sadar bahwa tidak kunjung ada pergerakan dari Nanda, ia kembali berbicara.

“Besok abang anter ke rumah sakitnya. sekarang kamu tidur dulu ya? biar besok bisa cepet-cepet ke rumah sakit.” untunglah Nanda akhirnya menurut akan perkataan Renjana

Renjana menghela nafasnya pelan, diam-diam sedikit melafalkan doa, “Semoga besok hanya hal baik yang akan terjadi.

“Sekarang, kita ini satu.”

“Hasan datang!!!” ujar Hasan kala sudah berhasil masuk ke dalam kamar Marvel. Aroma makanan kini menyeruak memenuhi indera penciuman Hasan.

“Masih nggak percaya?” tanya Marvel sinis pada Hasan. Hasan terkekeh kecil, menggaruk rambutnya yang tidak gatal sembari mengangguk-angguk pelan, “Percaya kok bang.”

“Yaudah sini makan,” ajak Renjana cepat.

Makanan telah tandas tanpa sisa, menyisakan tujuh orang yang kini tengah kekenyangan. “Kenyang banget,” keluh Hasan.

“Lagian makan banyak banget sih,” celetuk Nanda yang sekarang baru kembali dari balkon untuk menghirup sedikit udara segar.

“Khilaf.”

Candra terkekeh kecil mendengarnya, sebenarnya keadaan dia tidak jauh berbeda dengan Hasan, tengah terduduk dengan posisi sedikit lebih menyender pada sofa sembari mengelus-elus perutnya yang sekarang sudah mengeras, penuh terisi makanan.

“Nggak usah ketawa, ketawa lo jelek,” protes Hasan.

“Udah-udah, sekarang mending lo lari-larian aja,” ujar Jevana.

“Muntah bego,” jawab Hasan makin sewot berbanding terbalik dengan Candra yang semakin tertawa geli.

Sedangkan Renjana dan Zefa, keduanya tengah duduk di balkon depan, menikmati pemandangan kota Bandung di malam hari itu ikut tertawa mendengar keluhan Hasan sedari tadi.


Sekarang ketujuh pemuda itu kembali berkumpul di dalam ruangan, sebab udara yang semakin dingin membuat Renjana dan Zefa menggigil kedinginan dan memilih masuk untuk menghangatkan badan.

“Sekarang kita ini partner.” itu suara Marvel, sekaligus yang tertua diantara mereka. “Gue minta, kita harus kompak. karena kita ini sedang membawa banyak sekali harapan serta kepercayaan, jadi gue harap kita bisa jaga itu semua.”

Renjana mengangguk menyetujui perkataan Marvel barusan, “Iya bener, aku juga mau kita semua saling terbuka aja, kalau misal nanti ada yang nggak ngerti atau apa, langsung bilang aja ya? kita ini satu dan akan terus begitu sampai perlombaan ini selesai. nggak ada yang lebih sendiri ataupun kurang sendiri. harus saling kerjasama ya?”

Jevana mengangguk-angguk, “Iya, jangan egois.”

“Jadi minta tolong kerjasamanya ya, teman-temanku sayang,” ucap Hasan setelahnya.

“Buat Zefa sama Candra, jangan sungkan buat tanya-tanya pelajaran yang nggak kalian ngerti ya,” lanjut Renjana lagi.

“Siap abang!” jawab Candra cepat.

“Pasti! makasih abang.” jawab Zefa juga setelahnya.

Malam itu tujuh pemuda yang baru saja saling bertatap muka sudah saling membagi tawa satu sama lain. seraya mengakrabkan diri karena setelah saat ini mereka akan terus bersama sampai dua bulan ke depan.

Semoga kali ini perjalanan mulia yang sedang mereka lalui direstui Tuhan, agar semua harapan yang sedang mereka pikul dapat mereka lepaskan dengan hati yang berbahagia.

Sekarang, kita ini satu.”

“Hasan datang!!!” ujar Hasan kala sudah berhasil masuk ke dalam kamar Marvel. Aroma makanan kini menyeruak memenuhi indera penciuman Hasan.

“Masih nggak percaya?” tanya Marvel sinis pada Hasan. Hasan terkekeh kecil, menggaruk rambutnya yang tidak gatal sembari mengangguk-angguk pelan, “Percaya kok bang.”

“Yaudah sini makan,” ajak Renjana cepat.

Makanan telah tandas tanpa sisa, menyisakan tujuh orang yang kini tengah kekenyangan. “Kenyang banget,” keluh Hasan. “Lagian makan banyak banget sih,” ketus Nanda yang sekarang baru kembali dari balkon untuk menghirup sedikit udara segar.

“Khilaf.”

Candra terkekeh kecil mendengarnya, sebenarnya keadaan dia tidak jauh berbeda dengan Hasan, tengah terduduk dengan posisi sedikit lebih menyender pada sofa sembari mengelus-elus perutnya yang sekarang sudah mengeras, penuh terisi makanan.

“Nggak usah ketawa, ketawa lo jelek,” protes Hasan.

“Udah-udah, sekarang mending lo lari-larian aja,” ujar Jevana.

“Muntah bego,” jawab Hasan makin sewot berbanding terbalik dengan Candra yang semakin tertawa geli.

Sedangkan Renjana dan Zefa, keduanya tengah duduk di balkon depan, menikmati pemandangan kota Bandung di malam hari itu ikut tertawa mendengar keluhan Hasan sedari tadi.


Sekarang ketujuh pemuda itu kembali berkumpul di dalam ruangan, sebab udara yang semakin dingin membuat Renjana dan Zefa menggigil kedinginan dan memilih masuk untuk menghangatkan badan.

“Sekarang kita ini partner.” itu suara Marvel, sekaligus yang tertua diantara mereka. “Gue minta, kita harus kompak. karena kita ini sedang membawa banyak sekali harapan serta kepercayaan, jadi gue harap kita bisa jaga itu semua.”

Renjana mengangguk menyetujui perkataan Marvel barusan, “Iya bener, aku juga mau kita semua saling terbuka aja, kalau misal nanti ada yang nggak ngerti atau apa, langsung bilang aja ya? kita ini satu dan akan terus begitu sampai perlombaan ini selesai. nggak ada yang lebih sendiri ataupun kurang sendiri. harus saling kerjasama ya?”

Jevana mengangguk-angguk, “Iya jangan egois.”

“Jadi minta tolong kerjasamanya ya, teman-temanku sayang,” ucap Hasan setelahnya.

“Buat Zefa sama Candra, jangan sungkan buat tanya-tanya pelajaran yang nggak kalian ngerti ya,” lanjut Renjana lagi.

“Siap abang!” jawab Candra cepat.

“Pasti! makasih abang.” jawab Zefa juga setelahnya.

Malam itu tujuh pemuda yang baru saja saling bertatap muka sudah saling membagi tawa satu sama lain. seraya mengakrabkan diri karena setelah saat ini mereka akan terus bersama sampai dua bulan ke depan.

Semoga kali ini perjalanan mulia yang sedang mereka lalui direstui Tuhan, agar semua harapan yang sedang mereka pikul dapat mereka lepaskan dengan hati yang berbahagia.

Sekarang, kita ini satu

“Hasan datang!!!” ujar Hasan kala sudah berhasil masuk ke dalam kamar Marvel. Aroma makanan kini menyeruak memenuhi indera penciuman Hasan.

“Masih nggak percaya?” tanya Marvel sinis pada Hasan. Hasan terkekeh kecil, menggaruk rambutnya yang tidak gatal sembari mengangguk-angguk pelan, “Percaya kok bang.”

“Yaudah sini makan,” ajak Renjana cepat.

Makanan telah tandas tanpa sisa, menyisakan tujuh orang yang kini tengah kekenyangan. “Kenyang banget,” keluh Hasan. “Lagian makan banyak banget sih,” ketus Nanda yang sekarang baru kembali dari balkon untuk menghirup sedikit udara segar.

“Khilaf.”

Candra terkekeh kecil mendengarnya, sebenarnya keadaan dia tidak jauh berbeda dengan Hasan, tengah terduduk dengan posisi sedikit lebih menyender pada sofa sembari mengelus-elus perutnya yang sekarang sudah mengeras, penuh terisi makanan.

“Nggak usah ketawa, ketawa lo jelek,” protes Hasan.

“Udah-udah, sekarang mending lo lari-larian aja,” ujar Jevana.

“Muntah bego,” jawab Hasan makin sewot berbanding terbalik dengan Candra yang semakin tertawa geli.

Sedangkan Renjana dan Zefa, keduanya tengah duduk di balkon depan, menikmati pemandangan kota Bandung di malam hari itu ikut tertawa mendengar keluhan Hasan sedari tadi.


Sekarang ketujuh pemuda itu kembali berkumpul di dalam ruangan, sebab udara yang semakin dingin membuat Renjana dan Zefa menggigil kedinginan dan memilih masuk untuk menghangatkan badan.

“Sekarang kita ini partner.” itu suara Marvel, sekaligus yang tertua diantara mereka. “Gue minta, kita harus kompak. karena kita ini sedang membawa banyak sekali harapan serta kepercayaan, jadi gue harap kita bisa jaga itu semua.”

Renjana mengangguk menyetujui perkataan Marvel barusan, “Iya bener, aku juga mau kita semua saling terbuka aja, kalau misal nanti ada yang nggak ngerti atau apa, langsung bilang aja ya? kita ini satu dan akan terus begitu sampai perlombaan ini selesai. nggak ada yang lebih sendiri ataupun kurang sendiri. harus saling kerjasama ya?”

Jevana mengangguk-angguk, “Iya jangan egois.”

“Jadi minta tolong kerjasamanya ya, teman-temanku sayang,” ucap Hasan setelahnya.

“Buat Zefa sama Candra, jangan sungkan buat tanya-tanya pelajaran yang nggak kalian ngerti ya,” lanjut Renjana lagi.

“Siap abang!” jawab Candra cepat.

“Pasti! makasih abang.” jawab Zefa juga setelahnya.

Malam itu tujuh pemuda yang baru saja saling bertatap muka sudah saling membagi tawa satu sama lain. seraya mengakrabkan diri karena setelah saat ini mereka akan terus bersama sampai dua bulan ke depan.

Semoga kali ini perjalanan mulia yang sedang mereka lalui direstui Tuhan, agar semua harapan yang sedang mereka pikul dapat mereka lepaskan dengan hati yang berbahagia.

Sekarang, kita ini satu.

“Hasan datang!!!” ujar Hasan kala sudah berhasil masuk ke dalam kamar Marvel. Aroma makanan kini menyeruak memenuhi indera penciuman Hasan.

“Masih nggak percaya?” tanya Marvel sinis pada Hasan. Hasan terkekeh kecil, menggaruk rambutnya yang tidak gatal sembari mengangguk-angguk pelan, “Percaya kok bang.”

“Yaudah sini makan,” ajak Renjana cepat.

Makanan telah tandas tanpa sisa, menyisakan tujuh orang yang kini tengah kekenyangan. “Kenyang banget,” keluh Hasan. “Lagian makan banyak banget sih,” ketus Nanda yang sekarang baru kembali dari balkon untuk menghirup sedikit udara segar.

“Khilaf.”

Candra terkekeh kecil mendengarnya, sebenarnya keadaan dia tidak jauh berbeda dengan Hasan, tengah terduduk dengan posisi sedikit lebih menyender pada sofa sembari mengelus-elus perutnya yang sekarang sudah mengeras, penuh terisi makanan.

“Nggak usah ketawa, ketawa lo jelek,” protes Hasan.

“Udah-udah, sekarang mending lo lari-larian aja,” ujar Jevana.

“Muntah bego,” jawab Hasan makin sewot berbanding terbalik dengan Candra yang semakin tertawa geli.

Sedangkan Renjana dan Zefa, keduanya tengah duduk di balkon depan, menikmati pemandangan kota Bandung di malam hari itu ikut tertawa mendengar keluhan Hasan sedari tadi.


Sekarang ketujuh pemuda itu kembali berkumpul di dalam ruangan, sebab udara yang semakin dingin membuat Renjana dan Zefa menggigil kedinginan dan memilih masuk untuk menghangatkan badan.

“Sekarang kita ini partner.” itu suara Marvel, sekaligus yang tertua diantara mereka. “Gue minta, kita harus kompak. karena kita ini sedang memikul banyak kepercayaan yang harus kita jaga.”

Renjana mengangguk menyetujui perkataan Marvel barusan, “Iya bener, aku juga mau kita semua saling terbuka aja, kalau misal nanti ada yang nggak ngerti atau apa, langsung bilang aja ya? kita ini satu dan akan terus begitu sampai perlombaan ini selesai. nggak ada yang lebih sendiri ataupun kurang sendiri. harus saling kerjasama ya?”

Jevana mengangguk-angguk, “Iya, jangan egois.”

“Jadi minta tolong kerjasamanya ya, teman-temanku sayang,” ucap Hasan setelahnya.

“Buat Zefa sama Candra, jangan sungkan buat tanya-tanya pelajaran yang nggak kalian ngerti ya,” lanjut Renjana lagi.

“Siap abang!” jawab Candra cepat.

“Pasti! makasih abang.” jawab Zefa juga setelahnya.

Malam itu tujuh pemuda yang baru saja saling bertatap muka sudah saling membagi tawa satu sama lain. seraya mengakrabkan diri karena setelah saat ini mereka akan terus bersama sampai dua bulan ke depan.

Semoga kali ini perjalanan mulia yang sedang mereka lalui direstui Tuhan, agar semua harapan yang sedang mereka pikul dapat mereka lepaskan dengan hati yang berbahagia.

Pertemuan Pertama

Mobil milik pak Rahmat berhenti tepat pada sebuah bangunan besar yang sudah ramai dipenuhi para siswa yang akan mengikuti osn. Renjana tersenyum, seraya mengeluarkan barang-barang bawaannya dari bagasi mobil milik pak Rahmat.

Langkahnya ia bawa menuju aula tempat semuanya berkumpul nantinya. di sana sudah banyak sekali siswa yang duduk pada kursi yang telah tersedia. didudukinya sebuah kursi kosong di pojok ruangan, menunggu acara dimulai. sedangkan pak Rahmat, ia sudah berbaur dengan para guru dari sekolah lain.

Netranya menatap ke sana kemari, mengamati siswa-siswa yang saling berbincang satu sama lain, tanpa sadar membuat senyumnya sedikit terukir. masih mengamati sekitar, sampai sosok yang tengah diam berdiri di ambang pintu dengan sedikit menunduk mengambil semua perhatiannya. dipandanginya sosok tinggi itu dengan heran, sampai pada akhirnya ia bangkit dan menghampirinya.

“Halo?” sapanya pelan. melihat yang dipanggil menoleh, lantas ia memberikan senyuman manisnya itu. “Kenalin, saya Renjana,” ujarnya seraya mengulurkan tangannya.

lelaki itu masih diam, tidak membalas uluran tangan Renjana. terlihat tangannya sedikit gemetar. “Hei kamu kenapa?” tanya Renjana sedikit khawatir melihat lelaki di hadapannya ini. “Ayo duduk dulu.” dituntunnya sosok itu menuju kursi yang berada tepat di samping kursinya. “Nih minum dulu ya.” disodorkannya segelas air mineral yang ia dapat dari panitia.

setelah air mineral itu tandas, lelaki yang sedari tadi diam itu sedikit menolehkan kepalanya menatap Renjana yang tengah menghadap ke arah depan dengan senyum yang masih setia ia pasang dan tanpa sadar membuatnya ikut menorehkan senyum dan sedikit rasa lega.

“Zefa,” ujarnya pelan namun bisa terdengar jelas oleh Renjana. senyumnya Renjana semakin lebar, tangannya terangkat dan segera merengkuh tubuh Zefa. “Salam kenal ya, Zefa?” jawabnya sembari menepuk-nepuk pelan pundak lelaki yang sepertinya lebih muda darinya ini.

Acara berlangsung hampir selama tiga puluh menit, yang berisi perkenalan tiap guru pembimbing dan juga jadwal kegiatan yang akan mereka lewati nantinya. sampai pada saatnya mereka diperintahkan untuk berkumpul dengan kelompoknya masing-masing. tepat pada kursi yang Renjana duduki, kursi itulah yang menjadi para perwakilan Jakarta berkumpul.

“Zefa, perwakilan dari kota mana?” tanya Renjana lembut.

“Jakarta kak,” jawabnya pelan. Mata Renjana membulat, “Loh sama dong? aku juga dari Jakarta.”

Baru saja Zefa ingin membalas ucapan Renjana, namun suara-suara lain lebih dahulu membuat mereka berdua menoleh. “Perwakilan Jakarta di sini kan ya?” tanya seorang lelaki bertubuh tinggi dengan jaket coklat dengan kaos putih sebagai dalaman serta sebuah ransel hitam besar yang sudah berdiri tepat di depan mereka.

“Iya di sini,” jawab Renjana cepat. “Saya Renjana, kamu?” tambahnya seraya memperkenalkan diri.

“Nanda, Nanda Syahreza.”

“Bro di sini!” ujar lelaki yang kini tengah menggerek koper hijaunya sembari tangannya melambai-lambai entah kepada siapa, tak lama seorang pemuda yang terlihat lebih tua darinya menghampiri. lalu segera dua insan itu mendekati ke arah tiga pemuda yang juga sedang memperhatikan mereka. “Jakarta?” tanya si yang lebih tua to the point kala sudah sampai tepat di tempat Renjana.

“Bener,” jawab Renjana cepat, lagi-lagi ia terus memasang senyum bahagia menyambut teman demi teman yang akan menjadi partnernya dua bulan ke depan. kelimanya berkenalan cukup singkat dan sekarang sudah terjalin sedikit keakraban diantara mereka. sampai seorang lelaki dengan kulit putih yang sekarang tengah tersenyum begitu manis menarik penuh atensi mereka semua.

“Halo kak, ini Jakarta bukan ya?”

“Bener disini, lo perwakilan Jakarta juga?” jawab Hasan disertai pertanyaan selanjutnya. Candra kini mengangguk, “Iya kak, kenalin aku Candra,” jawabnya disertai senyuman yang berhasil membuat matanya menghilang entah kemana.

“Eh emang setiap perwakilan daerah berapa sih?” tanya Marvel tiba-tiba, belum sempat salah diantara mereka menjawab, suara berat dari arah belakang posisi Nanda duduk lebih dulu bersuara.

“Tujuh bang.” celetuk lelaki dengan kacamata bulat serta kaos putih dengan ransel biru yang disampirkan di pundak kirinya tidak lupa sebelah tangannya memangku sebuah jaket putih itu menjawab pertanyaan Marvel spontan. “Maaf nyeletuk aja, tapi bener kan ini tempat Jakarta?” yang lain mengangguk.

“Kenalin, gue Jevana.”


“Kamarnya dua, berarti ada yang bertiga ada yang berempat,” monolog Hasan sedangkan yang lain masih sibuk memperhatikan tempat mereka akan beristirahat nantinya. “Baginya gimana deh?”

“Aku mau yang berempat bang!” seru Candra tiba-tiba membuat keenam pemuda lainnya menoleh ke arahnya sekarang, “Menurut gua lo aneh Can, orang-orang maunya bertiga biar lebih luas, lo malah maunya berempat.” balas Hasan.

“Kan kasurnya sendiri-sendiri bego,” timpal Jevana. “ga ngaruh juga sebenernya,” lanjutnya.

“Hompimpa aja yang lainnya, biar Candra udah masuk ke list kamar yang berempat,” tutur Nanda yang sedari tadi diam memperhatikan. lantas semuanya mengangguk menyetujui arahan lelaki itu. lalu setelahnya hasil dari hompimpa tersebut menghasilkan tiga putih dan tiga hitam. dan setiap perwakilan dari salah satu diantaranya melakukan suit untuk menentukan siapa yang akan tinggal di kamar untuk tiga orang ini.

“Yes AHAHAHA,” teriak Marvel bangga setelah menang suit melawan Hasan. jangan tanya kabar lelaki itu, dia sedang duduk seraya menatap jengkel ke arah Marvel yang tengah tertawa terbahak-bahak di depannya.

Sebenarnya besar kamar mereka sama, yang membedakan dan menarik perhatian Hasan adalah, kamar untuk tiga orang ini memiliki teras di dalam kamar dan sangat menggiurkan bagi Hasan yang sangat suka nongkrong tengah malam di rooftop rumah meratapi nasib hidupnya yang gitu-gitu aja.

“Jadi gue, Nanda, Hasan sama Candra tidur berempat, dan bang Marvel, Zefa sama bang Renja bertiga.” jelas Jevana yang diangguki oleh mereka semua.

“Sip, yaudah sana kalian pada istirahat dulu,” perintah Renjana.

Visualisasi kamar mereka

Lagi

Sepeda motor yang tadi ia kendarai ia matikan, tangannya merogoh sekantong plastik berwarna putih berisikan beberapa pesanan adiknya, Kentara. setelahnya tubuhnya ia bawa masuk rumah segera, sebab cuaca siang ini tengah terik membuat kepalanya cukup pusing saat ini.

Udara yang begitu sejuk menyapanya kala memasuki rumah. langkahnya ia bawa menuju dapur yang berada di paling belakang rumahnya untuk mengambil segelas air. ia butuh penyegar sekarang, sebab tenggorokannya amat terasa kering sedari tadi.

“Makan bang.” sebuah suara yang mampu membuat ia sedikit terpekik terkejut. ditolehkannya kepalanya itu, mendapati sang adik yang kini tengah menyantap makan siangnya dengan kaki yang dinaikan satu sebagai penyangga tangannya itu dengan khidmat. “Ngagetin aja anjir,” ujar Jevana sembari mengelus-elus dadanya.

Kentara, anak itu hanya terkekeh kecil melihat raut kesal di wajah abangnya itu. “Maap, reflek gue liat lo dateng, ya gue tawarin makan,” jawabnya lalu kembali menyuapkan sesendok besar nasi ke dalam mulutnya.

“Kaki lo turunin, ga sopan.”

“Bawel ah.”

“Bilangin dad, tau rasa lo.”

“Dih, ember banget bocah.”

“Lo juga ya nyet.”

Lalu setelahnya Jevana segera melaksanakan niat pertamanya menuju dapur, untuk mengambil minum. minum itu ia bawa menuju meja yang sama dimana tempat Kentara makan.

Mereka diam tanpa suara, saling diam dengan kegiatan masing-masing. Sampai suara Kentara memecah keheningan sementara itu dan berhasil membuat amarah Jevana naik.

“Tadi kakek ngechat gue lagi.”

Jevana diam, matanya terpejam guna menahan emosi yang mungkin sebentar lagi akan keluar. Mati-matian ia menahan emosi sampai ia kembali bersuara, “Bilang apa dia?” tanya Jevana akhirnya. Suaranya berat, rendah dan cukup menyekat indra pendengaran Ken. sangat berbeda dengan intonasinya beberapa menit yang lalu. Dan Ken takut bila abangnya sudah seperti ini.

Kentara menelan ludahnya kasar. Menahan gugup yang kini melanda. “Dia bilang apa Ken?” Pertanyaan Jevana kali ini, benar-benar membuat jantungnya berdebar. Ia dilema harus memberi tahu abangnya ini atau tidak.

“Kakek bilang, gue nggak berguna, nggak bisa apa-apa. Cuma bisa nyusahin dad doang … Sama kayak ibu....” Susah payah Kentara mengucapkan itu semua. Sedikit menyesal kenapa ia harus mengadu pada abangnya ini. “Tapi gue nggak apa-apa serius,” timpal Ken dengan wajah yang ia buat semeyakinkan mungkin. “Bang … beneran, gue nggak apa-apa,” lanjut Ken lagi saat melihat Jevana hanya diam di tempatnya.

Jevana menunduk, dan tangannya mengepal kuat. Kentara lihat. Ia berusaha meraih tangan abangnya meyakinkan bahwa ia benar-benar tidak apa-apa, namun belum sempat ia bisa meraih tangan itu Jevana berdiri, sedikit menggebrak meja.

“ANJING.”

lalu ia pergi ke kamarnya dengan emosi yang menyelimuti.

Sayang

“Bi, sepatu Zefa dimana ya?” teriak Zefa dari arah gudang tempat barang-barang lama disimpan.

“Sepatu yang mana dek?” tanya bu Lilis yang baru saja keluar dari dapur seraya mengelap tangannya pada celemek yang sedang ia kenakan. Zefa yang masih sibuk dengan pencahariannya itu lantas menoleh kala bu Lilis sudah berada tepat di sampingnya. “Itu bi, sepatu biru Zefa, perasaan Zefa taruh di rak biasa deh. kok nggak ada….” jelas Zefa.

Mendengar itu bu Lilis lantas ikut mencari keberadaan sepatu itu. sepatu kesayangan si bungsu rumah ini. setiap sudut sudah mereka jelajahi namun sepasang sepatu itu tak kunjung kelihatan juga. sampai derap langkah kaki dari arah kolam renang belakang rumah mengambil alih atensi kedua insan tersebut.

“Lapar, lapar, lapar,” ujar Syafiq dengan tangan yang mengusap perut tanda bahwa ia tengah lapar. netra Zefa langsung tertuju pada alas kaki yang dipakai kakaknya itu, helaan nafas kasar berhasil ia keluarkan, sedikit ada kelegaan di sana.

“Ih kakak, pantes aja aku cari sepatunya nggak ada dimana-mana, ternyata dipakai kakak,” ucap Zefa seraya meminta Syafiq untuk segera melepaskan sepatunya itu. dengan patuh Syafiq segera mempermudah Zefa yang sedang melepaskan sepatu dari kakinya itu.

“Maaf,” ucap Syafiq pelan dengan sendu menatap Zefa. Zefa tersenyum, “Nggak apa-apa, tapi lain kali izin Zefa dulu ya.”


Zefa dengan semangat kembali mengemas barang yang akan ia bawa nanti ke asrama. mulai baju, buku, hingga kipas angin portable ia masukkan pada koper hitam miliknya, jaga-jaga bila ternyata di asrama tidak terdapat pendingin udara.

tidak lama terdengar suara pintu sedikit terdorong, terlihat tubuh sang kakak yang tengah diam menatap lurus ke arahnya. dengan cepat Zefa tersenyum, “Kakak ngapain di sana? sini masuk,” ajaknya sembari menggerak-gerakkan tangannya.

“Pergi?” tanya Syafiq yang netranya masih terpaku pada baju-baju Zefa yang berserakan di kasur. Zefa mengangguk, “Iya pergi, Zefa mau pergi sebentar. boleh ya?”

Syafiq terlihat berpikir lalu setelahnya ia menggeleng, “Nggak.” Senyum Zefa perlahan luntur, bahunya melemah. tangannya terulur mengusap pundak kakaknya. “Janji, sebentar aja. nanti Zefa pulang lagi, boleh ya?”

Syafiq sebenarnya tidak mengerti juga maksud dari perginya Zefa untuk apa, tapi dari raut wajah Zefa yang sangat memancarkan aura kebahagiaan membuat ia dengan berat, mengangguk mengizinkan. melihat anggukkan dari sang kakak, Zefa segera menubrukkan tubuhnya memeluk erat sang kakak yang juga membalas pelukkan tiba-tibanya itu.

“Tapi janji jangan nangis pas Zefa pergi ya?” ujar Zefa yang masih setia diam di tempatnya, di pelukan sang kakak.

Jujur, dalam hati terdalam Syafiq, ia sangat tidak mau Zefa pergi dan berada jauh dari dirinya. namun ia tidak boleh egois. sudah terlalu lama Zefa selalu menuruti keinginannya, sekarang dirinya lah yang harus memaklumi keinginan adik kecilnya itu.

sebab,

Adiknya harus bisa merasakan rasa bahagia.

“Zefa sayang kakak!”

“Sayang, sayang.”

Sekuat superman pun, juga bisa capek kan?

ketukan pintu membuat fokus Hasan pada soal matematika kini buyar, hilang entah kemana. membuat decakan sebal berhasil lolos dari mulutnya. dengan malas ia sedikit berteriak, “Buka aja, nggak dikunci.”

Tak butuh waktu lama, wajah kakaknya yang kini tengah nyengir tidak jelas dengan seplastik martabak yang diangkat setinggi kepalanya menyapa penglihatan pertama kali kala pintu terbuka.

Kini mereka duduk diatas karpet bulu berwarna hitam favorit Hasan. memakan martabak coklat kacang pesenan Hasan dengan diam. sampai ucapan kakaknya memecah keheningan diantara mereka. “Gue kira lo udah tiduran dikasur sambil nonton film.” Hasan mendengus, besok ada ulangan matematika, mana bisa gua santai-santai yang ada di geplak ayah,” tutur Hasan membuat kakaknya, Januar tertawa. “Jangan dipaksa juga, ini udah malem. percuma, nggak akan masuk ke otak lo.”

“Habis ini tidur, nanti gue bangunin lo subuh-subuh buat belajar lagi, biar otak lo seger dulu baru bisa cerna tuh rumus-rumus yang ribet mampus.” Hasan mengangguk, diam-diam menyetujui apa yang dikatakan kakaknya ini.

Sekarang hanya suara detak jarum jam yang menemani dua kakak beradik yang kini hanya diam menatap langit-langit kamar. “Lo nggak tidur bang?” Januar menggeleng, karena memang belum mengantuk. “Ada yang ganggu pikiran lo ya sekarang?” tanya Hasan lagi.

“Iya ada.” Hasan menoleh, melihat wajah kakaknya yang kini sudah memunculkan guratan-guratan kecil. “Muka lo kusut banget, ada apa sih?”

Januar menghela nafasnya. “Lo masih inget ga pasien yang gue bilang takut sama suara keras?” Hasan mengangguk, ia masih ingat betul tentang pemuda yang berhasil mengambil alih perhatian kakaknya itu. “Masih, kenapa?”

“Katanya dia udah nggak sakit lagi waktu denger suara keras San.”

“Bagus dong?” Hasan langsung menjawab pernyataan kakaknya itu. Januar menggeleng, “Bagus apanya? dia bohong.”

“Tahu darimana lo kalo dia bohong?”

“Matanya nggak bisa bohong San.” Hasan diam, ia masih memandang lekat wajah kakaknya yang kini terlihat putus asa. “Terus lo mau apa? maksa dia jujur?”

“Gila kali ya gue.” Hasan terkekeh. jujur ia juga tidak tahu harus menanggapinya gimana.

“Dia rapuh banget San.”

“Gua tahu.” kini kakaknya menatap balik ke arahnya. “Lo jangan sok kuat.”

Dih? gua kan superman,” jawab Hasan sekenanya. Januar cuma bisa ketawa kecil nanggepinnya lalu setelahnya mengangguk menyetujui, “Iyalah, adek gue emang yang paling kuat,” ucap Januar sembari mengacak-acak rambut Hasan membuat dia memunculkan raut kesal kepadanya kakaknya, yang dibalas tawa renyah Januar. “Orang makannya banyak.”

“Rese lo bang.” lalu Januar hanya tertawa puas.

Hasan diam-diam tersenyum, juga merasa sakit, atau lebih tepatnya kecewa?

kecewa karena kakaknya dengan mudah bisa melihat raut wajah kebohongan di diri orang lain, namun tidak dengan dirinya.

“Tapi bang, sekuat superman pun juga bisa merasa capek kan?”