Lagi
Sepeda motor yang tadi ia kendarai ia matikan, tangannya merogoh sekantong plastik berwarna putih berisikan beberapa pesanan adiknya, Kentara. setelahnya tubuhnya ia bawa masuk rumah segera, sebab cuaca siang ini tengah terik membuat kepalanya cukup pusing saat ini.
Udara yang begitu sejuk menyapanya kala memasuki rumah. langkahnya ia bawa menuju dapur yang berada di paling belakang rumahnya untuk mengambil segelas air. ia butuh penyegar sekarang, sebab tenggorokannya amat terasa kering sedari tadi.
“Makan bang.” sebuah suara yang mampu membuat ia sedikit terpekik terkejut. ditolehkannya kepalanya itu, mendapati sang adik yang kini tengah menyantap makan siangnya dengan kaki yang dinaikan satu sebagai penyangga tangannya itu dengan khidmat. “Ngagetin aja anjir,” ujar Jevana sembari mengelus-elus dadanya.
Kentara, anak itu hanya terkekeh kecil melihat raut kesal di wajah abangnya itu. “Maap, reflek gue liat lo dateng, ya gue tawarin makan,” jawabnya lalu kembali menyuapkan sesendok besar nasi ke dalam mulutnya.
“Kaki lo turunin, ga sopan.”
“Bawel ah.”
“Bilangin dad, tau rasa lo.”
“Dih, ember banget bocah.”
“Lo juga ya nyet.”
Lalu setelahnya Jevana segera melaksanakan niat pertamanya menuju dapur, untuk mengambil minum. minum itu ia bawa menuju meja yang sama dimana tempat Kentara makan.
Mereka diam tanpa suara, saling diam dengan kegiatan masing-masing. Sampai suara Kentara memecah keheningan sementara itu dan berhasil membuat amarah Jevana naik.
“Tadi kakek ngechat gue lagi.”
Jevana diam, matanya terpejam guna menahan emosi yang mungkin sebentar lagi akan keluar. Mati-matian ia menahan emosi sampai ia kembali bersuara, “Bilang apa dia?” tanya Jevana akhirnya. Suaranya berat, rendah dan cukup menyekat indra pendengaran Ken. sangat berbeda dengan intonasinya beberapa menit yang lalu. Dan Ken takut bila abangnya sudah seperti ini.
Kentara menelan ludahnya kasar. Menahan gugup yang kini melanda. “Dia bilang apa Ken?” Pertanyaan Jevana kali ini, benar-benar membuat jantungnya berdebar. Ia dilema harus memberi tahu abangnya ini atau tidak.
“Kakek bilang, gue nggak berguna, nggak bisa apa-apa. Cuma bisa nyusahin dad doang … Sama kayak ibu....” Susah payah Kentara mengucapkan itu semua. Sedikit menyesal kenapa ia harus mengadu pada abangnya ini. “Tapi gue nggak apa-apa serius,” timpal Ken dengan wajah yang ia buat semeyakinkan mungkin. “Bang … beneran, gue nggak apa-apa,” lanjut Ken lagi saat melihat Jevana hanya diam di tempatnya.
Jevana menunduk, dan tangannya mengepal kuat. Kentara lihat. Ia berusaha meraih tangan abangnya meyakinkan bahwa ia benar-benar tidak apa-apa, namun belum sempat ia bisa meraih tangan itu Jevana berdiri, sedikit menggebrak meja.
“ANJING.”
lalu ia pergi ke kamarnya dengan emosi yang menyelimuti.