Pertemuan Pertama
Mobil milik pak Rahmat berhenti tepat pada sebuah bangunan besar yang sudah ramai dipenuhi para siswa yang akan mengikuti osn. Renjana tersenyum, seraya mengeluarkan barang-barang bawaannya dari bagasi mobil milik pak Rahmat.
Langkahnya ia bawa menuju aula tempat semuanya berkumpul nantinya. di sana sudah banyak sekali siswa yang duduk pada kursi yang telah tersedia. didudukinya sebuah kursi kosong di pojok ruangan, menunggu acara dimulai. sedangkan pak Rahmat, ia sudah berbaur dengan para guru dari sekolah lain.
Netranya menatap ke sana kemari, mengamati siswa-siswa yang saling berbincang satu sama lain, tanpa sadar membuat senyumnya sedikit terukir. masih mengamati sekitar, sampai sosok yang tengah diam berdiri di ambang pintu dengan sedikit menunduk mengambil semua perhatiannya. dipandanginya sosok tinggi itu dengan heran, sampai pada akhirnya ia bangkit dan menghampirinya.
“Halo?” sapanya pelan. melihat yang dipanggil menoleh, lantas ia memberikan senyuman manisnya itu. “Kenalin, saya Renjana,” ujarnya seraya mengulurkan tangannya.
lelaki itu masih diam, tidak membalas uluran tangan Renjana. terlihat tangannya sedikit gemetar. “Hei kamu kenapa?” tanya Renjana sedikit khawatir melihat lelaki di hadapannya ini. “Ayo duduk dulu.” dituntunnya sosok itu menuju kursi yang berada tepat di samping kursinya. “Nih minum dulu ya.” disodorkannya segelas air mineral yang ia dapat dari panitia.
setelah air mineral itu tandas, lelaki yang sedari tadi diam itu sedikit menolehkan kepalanya menatap Renjana yang tengah menghadap ke arah depan dengan senyum yang masih setia ia pasang dan tanpa sadar membuatnya ikut menorehkan senyum dan sedikit rasa lega.
“Zefa,” ujarnya pelan namun bisa terdengar jelas oleh Renjana. senyumnya Renjana semakin lebar, tangannya terangkat dan segera merengkuh tubuh Zefa. “Salam kenal ya, Zefa?” jawabnya sembari menepuk-nepuk pelan pundak lelaki yang sepertinya lebih muda darinya ini.
Acara berlangsung hampir selama tiga puluh menit, yang berisi perkenalan tiap guru pembimbing dan juga jadwal kegiatan yang akan mereka lewati nantinya. sampai pada saatnya mereka diperintahkan untuk berkumpul dengan kelompoknya masing-masing. tepat pada kursi yang Renjana duduki, kursi itulah yang menjadi para perwakilan Jakarta berkumpul.
“Zefa, perwakilan dari kota mana?” tanya Renjana lembut.
“Jakarta kak,” jawabnya pelan. Mata Renjana membulat, “Loh sama dong? aku juga dari Jakarta.”
Baru saja Zefa ingin membalas ucapan Renjana, namun suara-suara lain lebih dahulu membuat mereka berdua menoleh. “Perwakilan Jakarta di sini kan ya?” tanya seorang lelaki bertubuh tinggi dengan jaket coklat dengan kaos putih sebagai dalaman serta sebuah ransel hitam besar yang sudah berdiri tepat di depan mereka.
“Iya di sini,” jawab Renjana cepat. “Saya Renjana, kamu?” tambahnya seraya memperkenalkan diri.
“Nanda, Nanda Syahreza.”
“Bro di sini!” ujar lelaki yang kini tengah menggerek koper hijaunya sembari tangannya melambai-lambai entah kepada siapa, tak lama seorang pemuda yang terlihat lebih tua darinya menghampiri. lalu segera dua insan itu mendekati ke arah tiga pemuda yang juga sedang memperhatikan mereka. “Jakarta?” tanya si yang lebih tua to the point kala sudah sampai tepat di tempat Renjana.
“Bener,” jawab Renjana cepat, lagi-lagi ia terus memasang senyum bahagia menyambut teman demi teman yang akan menjadi partnernya dua bulan ke depan. kelimanya berkenalan cukup singkat dan sekarang sudah terjalin sedikit keakraban diantara mereka. sampai seorang lelaki dengan kulit putih yang sekarang tengah tersenyum begitu manis menarik penuh atensi mereka semua.
“Halo kak, ini Jakarta bukan ya?”
“Bener disini, lo perwakilan Jakarta juga?” jawab Hasan disertai pertanyaan selanjutnya. Candra kini mengangguk, “Iya kak, kenalin aku Candra,” jawabnya disertai senyuman yang berhasil membuat matanya menghilang entah kemana.
“Eh emang setiap perwakilan daerah berapa sih?” tanya Marvel tiba-tiba, belum sempat salah diantara mereka menjawab, suara berat dari arah belakang posisi Nanda duduk lebih dulu bersuara.
“Tujuh bang.” celetuk lelaki dengan kacamata bulat serta kaos putih dengan ransel biru yang disampirkan di pundak kirinya tidak lupa sebelah tangannya memangku sebuah jaket putih itu menjawab pertanyaan Marvel spontan. “Maaf nyeletuk aja, tapi bener kan ini tempat Jakarta?” yang lain mengangguk.
“Kenalin, gue Jevana.”
“Kamarnya dua, berarti ada yang bertiga ada yang berempat,” monolog Hasan sedangkan yang lain masih sibuk memperhatikan tempat mereka akan beristirahat nantinya. “Baginya gimana deh?”
“Aku mau yang berempat bang!” seru Candra tiba-tiba membuat keenam pemuda lainnya menoleh ke arahnya sekarang, “Menurut gua lo aneh Can, orang-orang maunya bertiga biar lebih luas, lo malah maunya berempat.” balas Hasan.
“Kan kasurnya sendiri-sendiri bego,” timpal Jevana. “ga ngaruh juga sebenernya,” lanjutnya.
“Hompimpa aja yang lainnya, biar Candra udah masuk ke list kamar yang berempat,” tutur Nanda yang sedari tadi diam memperhatikan. lantas semuanya mengangguk menyetujui arahan lelaki itu. lalu setelahnya hasil dari hompimpa tersebut menghasilkan tiga putih dan tiga hitam. dan setiap perwakilan dari salah satu diantaranya melakukan suit untuk menentukan siapa yang akan tinggal di kamar untuk tiga orang ini.
“Yes AHAHAHA,” teriak Marvel bangga setelah menang suit melawan Hasan. jangan tanya kabar lelaki itu, dia sedang duduk seraya menatap jengkel ke arah Marvel yang tengah tertawa terbahak-bahak di depannya.
Sebenarnya besar kamar mereka sama, yang membedakan dan menarik perhatian Hasan adalah, kamar untuk tiga orang ini memiliki teras di dalam kamar dan sangat menggiurkan bagi Hasan yang sangat suka nongkrong tengah malam di rooftop rumah meratapi nasib hidupnya yang gitu-gitu aja.
“Jadi gue, Nanda, Hasan sama Candra tidur berempat, dan bang Marvel, Zefa sama bang Renja bertiga.” jelas Jevana yang diangguki oleh mereka semua.
“Sip, yaudah sana kalian pada istirahat dulu,” perintah Renjana.
Visualisasi kamar mereka