Sekuat superman pun, juga bisa capek kan?

ketukan pintu membuat fokus Hasan pada soal matematika kini buyar, hilang entah kemana. membuat decakan sebal berhasil lolos dari mulutnya. dengan malas ia sedikit berteriak, “Buka aja, nggak dikunci.”

Tak butuh waktu lama, wajah kakaknya yang kini tengah nyengir tidak jelas dengan seplastik martabak yang diangkat setinggi kepalanya menyapa penglihatan pertama kali kala pintu terbuka.

Kini mereka duduk diatas karpet bulu berwarna hitam favorit Hasan. memakan martabak coklat kacang pesenan Hasan dengan diam. sampai ucapan kakaknya memecah keheningan diantara mereka. “Gue kira lo udah tiduran dikasur sambil nonton film.” Hasan mendengus, besok ada ulangan matematika, mana bisa gua santai-santai yang ada di geplak ayah,” tutur Hasan membuat kakaknya, Januar tertawa. “Jangan dipaksa juga, ini udah malem. percuma, nggak akan masuk ke otak lo.”

“Habis ini tidur, nanti gue bangunin lo subuh-subuh buat belajar lagi, biar otak lo seger dulu baru bisa cerna tuh rumus-rumus yang ribet mampus.” Hasan mengangguk, diam-diam menyetujui apa yang dikatakan kakaknya ini.

Sekarang hanya suara detak jarum jam yang menemani dua kakak beradik yang kini hanya diam menatap langit-langit kamar. “Lo nggak tidur bang?” Januar menggeleng, karena memang belum mengantuk. “Ada yang ganggu pikiran lo ya sekarang?” tanya Hasan lagi.

“Iya ada.” Hasan menoleh, melihat wajah kakaknya yang kini sudah memunculkan guratan-guratan kecil. “Muka lo kusut banget, ada apa sih?”

Januar menghela nafasnya. “Lo masih inget ga pasien yang gue bilang takut sama suara keras?” Hasan mengangguk, ia masih ingat betul tentang pemuda yang berhasil mengambil alih perhatian kakaknya itu. “Masih, kenapa?”

“Katanya dia udah nggak sakit lagi waktu denger suara keras San.”

“Bagus dong?” Hasan langsung menjawab pernyataan kakaknya itu. Januar menggeleng, “Bagus apanya? dia bohong.”

“Tahu darimana lo kalo dia bohong?”

“Matanya nggak bisa bohong San.” Hasan diam, ia masih memandang lekat wajah kakaknya yang kini terlihat putus asa. “Terus lo mau apa? maksa dia jujur?”

“Gila kali ya gue.” Hasan terkekeh. jujur ia juga tidak tahu harus menanggapinya gimana.

“Dia rapuh banget San.”

“Gua tahu.” kini kakaknya menatap balik ke arahnya. “Lo jangan sok kuat.”

Dih? gua kan superman,” jawab Hasan sekenanya. Januar cuma bisa ketawa kecil nanggepinnya lalu setelahnya mengangguk menyetujui, “Iyalah, adek gue emang yang paling kuat,” ucap Januar sembari mengacak-acak rambut Hasan membuat dia memunculkan raut kesal kepadanya kakaknya, yang dibalas tawa renyah Januar. “Orang makannya banyak.”

“Rese lo bang.” lalu Januar hanya tertawa puas.

Hasan diam-diam tersenyum, juga merasa sakit, atau lebih tepatnya kecewa?

kecewa karena kakaknya dengan mudah bisa melihat raut wajah kebohongan di diri orang lain, namun tidak dengan dirinya.

“Tapi bang, sekuat superman pun juga bisa merasa capek kan?”