Sayang

“Bi, sepatu Zefa dimana ya?” teriak Zefa dari arah gudang tempat barang-barang lama disimpan.

“Sepatu yang mana dek?” tanya bu Lilis yang baru saja keluar dari dapur seraya mengelap tangannya pada celemek yang sedang ia kenakan. Zefa yang masih sibuk dengan pencahariannya itu lantas menoleh kala bu Lilis sudah berada tepat di sampingnya. “Itu bi, sepatu biru Zefa, perasaan Zefa taruh di rak biasa deh. kok nggak ada….” jelas Zefa.

Mendengar itu bu Lilis lantas ikut mencari keberadaan sepatu itu. sepatu kesayangan si bungsu rumah ini. setiap sudut sudah mereka jelajahi namun sepasang sepatu itu tak kunjung kelihatan juga. sampai derap langkah kaki dari arah kolam renang belakang rumah mengambil alih atensi kedua insan tersebut.

“Lapar, lapar, lapar,” ujar Syafiq dengan tangan yang mengusap perut tanda bahwa ia tengah lapar. netra Zefa langsung tertuju pada alas kaki yang dipakai kakaknya itu, helaan nafas kasar berhasil ia keluarkan, sedikit ada kelegaan di sana.

“Ih kakak, pantes aja aku cari sepatunya nggak ada dimana-mana, ternyata dipakai kakak,” ucap Zefa seraya meminta Syafiq untuk segera melepaskan sepatunya itu. dengan patuh Syafiq segera mempermudah Zefa yang sedang melepaskan sepatu dari kakinya itu.

“Maaf,” ucap Syafiq pelan dengan sendu menatap Zefa. Zefa tersenyum, “Nggak apa-apa, tapi lain kali izin Zefa dulu ya.”


Zefa dengan semangat kembali mengemas barang yang akan ia bawa nanti ke asrama. mulai baju, buku, hingga kipas angin portable ia masukkan pada koper hitam miliknya, jaga-jaga bila ternyata di asrama tidak terdapat pendingin udara.

tidak lama terdengar suara pintu sedikit terdorong, terlihat tubuh sang kakak yang tengah diam menatap lurus ke arahnya. dengan cepat Zefa tersenyum, “Kakak ngapain di sana? sini masuk,” ajaknya sembari menggerak-gerakkan tangannya.

“Pergi?” tanya Syafiq yang netranya masih terpaku pada baju-baju Zefa yang berserakan di kasur. Zefa mengangguk, “Iya pergi, Zefa mau pergi sebentar. boleh ya?”

Syafiq terlihat berpikir lalu setelahnya ia menggeleng, “Nggak.” Senyum Zefa perlahan luntur, bahunya melemah. tangannya terulur mengusap pundak kakaknya. “Janji, sebentar aja. nanti Zefa pulang lagi, boleh ya?”

Syafiq sebenarnya tidak mengerti juga maksud dari perginya Zefa untuk apa, tapi dari raut wajah Zefa yang sangat memancarkan aura kebahagiaan membuat ia dengan berat, mengangguk mengizinkan. melihat anggukkan dari sang kakak, Zefa segera menubrukkan tubuhnya memeluk erat sang kakak yang juga membalas pelukkan tiba-tibanya itu.

“Tapi janji jangan nangis pas Zefa pergi ya?” ujar Zefa yang masih setia diam di tempatnya, di pelukan sang kakak.

Jujur, dalam hati terdalam Syafiq, ia sangat tidak mau Zefa pergi dan berada jauh dari dirinya. namun ia tidak boleh egois. sudah terlalu lama Zefa selalu menuruti keinginannya, sekarang dirinya lah yang harus memaklumi keinginan adik kecilnya itu.

sebab,

Adiknya harus bisa merasakan rasa bahagia.

“Zefa sayang kakak!”

“Sayang, sayang.”