athiverse

“Kak Cakra apa kabar?”

Apa yang diharapkan dari bocah sepuluh tahun yang untuk mengerti soal hidup aja masih remidi. hatiku hancur, begitu hancur saat itu. saat dimana duniaku pergi, saat dimana satu-satunya harta berharga yang harus ku jaga sebaik mungkin itu pergi secara tiba-tiba.

Kak Cakra, kakak kesayangan Isel sekarang lagi apa? Sudah ketemu bunda sama ayah?

“Isel saat itu masih kecil banget ya kak? belum ngerti sedihnya kakak, belum ngerti capeknya kakak, belum ngerti apa saja yang sudah kakak lalui. sampai-sampai kakak nyimpan semua sendirian.”

“Kalau diingat-ingat Isel dulu nyusahin ya? selalu minta kakak temani tidur, temani belajar, temani main, padahal kakak udah capek banget sama tugas dan kerjaan kakak.” monolog perempuan yang kini tengah terduduk di lantai dengan bersandar pada pintu coklat yang sudah sedikit reyot itu dengan tangannya menggenggam sebuah foto dua insan yang tengah memakan sebuah permen kapas di pasar malam dengan senyum yang begitu lebar

Kakak disana bahagia nggak? udah nggak capek kerja lagi ya, disana pasti udah banyak makanan enak dan kakak tinggal duduk manis dan semua tersedia, ya kan?

Kakak pasti sekarang lagi liat Isel berjuang sendiri di dunia, sambil senyum terus bilang, Adik kakak pinter banget sih? kuat banget hatinya kayak baja, hebat.

Kak, Isel rindu, rindu senyum manisnya kakak, rindu suara kakak yang selalu berhasil bikin Isel tenang, kangen pelukan hangat kakak di malam hari kalau Isel lagi kedinginan. Isel rindu pundak kakak yang selalu bisa Isel jadiin tempat Isel bersandar kalau dunia sedang jahat sama Isel.

Kak...sekarang pundak siapa yang harus Isel jadikan tempat bersandar? siapa yang harus Isel jadiin tumpuan hidup Isel? karena sejauh ini, selama ini Isel belum nemuin lagi tempat untuk Isel bisa mencurahkan isi hati selain sama kakak.

Kakak jangan sedih kalau lihat Isel nangis di kamar sendiri ya? Isel cuma butuh menyuarakan isi hati agar bisa lega. maaf kalau Isel gagal nepatin janji untuk jadi perempuan yang kuat untuk diri Isel sendiri.

Karena kak, ternyata dunia tidak sebaik itu, tidak seaman itu. Isel nggak kuat. maaf. maaf untuk kesekian kali karena Isel harus kembali menangis seorang diri.

Isel capek, mau nyusul kakak aja rasanya. tapi nanti kakak kecewa.

Kak, sekali aja, tolong datang ke Isel ya? Isel mau tidur Isel kali ini, Isel bisa ketemu kakak, bisa peluk kakak sekuat yang Isel bisa agar kakak tau kalau Isel bener-bener rindu sama kakak.

Hujan yang turun saat ini, seperti menjadi saksi bisu tangis perempuan yang hatinya tengah dilanda rindu, yang raganya telah lelah dengan semua cobaan hidup yang harus ia lalui seorang diri, tanpa seseorang yang menemani. karena janji untuk menjadi perempuan kuat pada sang kakak ada alasan ia masih bertahan disini

Tengkar

“Gua ke atas dulu,” ucap Hasan pada Nanda yang kini tengah menemaninya bermain basket di lapangan belakang guna menghilangkan penat yang sedari tadi singgah pada tubuh mereka karena pelajaran yang kian hari kian rumit untuk mereka cerna dengan baik.

“Mau ngapain? istirahat kan masih lama,” tanya Nanda dengan fokus yang masih pada bola yang hendak ia masukin ke ring. Hasan terduduk meminum air mineral yang sempat ia bawa sebelum ke lapangan, meneguknya tandas tak bersisa. “Abang gua dateng.” Nanda hanya mengangguk tanda mengerti, “Nanti kalo udah diatas panggilin Candra,” ucap Nanda saat Hasan hendak menutup pintu lapangan, lalu sesaat kemudian ia acungkan jempol tanda setuju. “Siap.”

Langkah cepat digunakan agar lebih cepat ia dapat menemui abangnya dan lebih cepat pria itu pergi dari sini, firasatnya akan terjadi hal yang tidak mengenakan nantinya semakin besar kala semakin dekat ia dengan tempat yang dituju.

Kakinya berhenti kala melihat abangnya sedang berbicara dengan Marvel. terlihat akrab namun mampu memunculkan senyum Hasan yang sedari kemarin hilang entah kemana.

“Halo bang,” sapanya lembut pada abangnya, diberinya tepuk pelan pada bahu abangnya salah satu bentuk sapaan yang mereka gunakan. Januar, pria itu menoleh memberi senyum hangat untuk adiknya yang hampir dua minggu tidak pulang ke rumah.

“Gue masuk dulu ya,” pamit Marvel namun sebelum Marvel pergi Hasan memanggil pria itu cepat, “Tolong bilangin Candra ditunggu Nanda di lapangan.” setelah Hasan selesai mengutarakan apa pesan yang diberikan Nanda tadi Marvel mengangguk lalu kembali pergi menuju kamarnya meninggalkan dua insan kakak beradik ini berdua di lorong.

“Masuk bang?” tawar Hasan untuk bicara di dalam kamarnya, Januar menggeleng, “Nggak usah, di sini aja.” Hasan mengangguk, lalu ia dudukkan tubuhnya pada kursi tepat di samping abangnya.

“Ada apaan bang?” ucapnya memulai obrolan. Januar menoleh, memutar tubuhnya hingga kini ia bisa menatap tubuh adiknya secara jelas. “Gue mau nanya sama lo, ada masalah apa lo sama ayah?”

Hasan diam, bibirnya ia gigit pelan ia tahu kedatangan abangnya ini pasti tidak jauh tentang kejadian dua minggu lalu. Hasan menggeleng lemah, “Nggak ada kok, kemarin kayaknya gua lagi capek aja terus kata-kata ayah bikin gua ke-trigger.”

Januar hanya mengangguk dengan jari yang tidak berhenti mengetuk-ngetuk meja di sampingnya. “Emang ayah bilang apa sampai lo ke-trigger? soalnya yang gue tahu adek gue ini jago kontrol emosi.”

berarti lo nggak tahu gua bang

Tidak kunjung dapat balasan, Januar hanya bisa menghela nafasnya, “Yaudah kalo lo nggak mau ngasih tahu ya nggak apa, tapi jangan diulangi lagi ya yang kemarin? itu nggak sopan, gue nggak pernah ajarin lo kayak gitu ke orang tua.”

“Iya bang, maaf.” Januar terkekeh kecil lalu mengusak lembut rambut adiknya itu, “Iya.”

“Eh iya, gimana di sini? lancar?” Hasan mengangguk, suasana kali ini jauh lebih santai dan Hasan bisa bernafas lega karena tidak perlu lagi memikirkan alasan apa yang harus ia berikan kala abangnya bertanya mengenai masalahnya dengan sang ayah.

“Lumayan lah.”

Januar mengangguk paham, ia tahu bagaimana sibuknya para siswa di sini, belajar, belajar, belajar sudah menjadi makanan sehari-hari disini. “Belajar yang bener ya San, abang tahu memang capek tapi ya harus dijalani karena banyak banget kepercayaan yang harus kita jaga, ya kan?”

“Dulu abang juga sering ngerasain, sekarang giliran lo ya? hahaha, asal lo jalaninnya bahagia semua akan lancar kok, percaya dah. asal serius dan ibadah yang nggak pernah lo tinggalin abang yakin semua akan baik-baik aja.”

“Kalau lo terlalu beban dengan kata kabar baik, lo harus yakinin diri lo, kalau kompetisi seperti ini itu kalah menang udah biasa, nggak ada kalah yang jelek. karena di sini, lo udah berusaha menjadi versi terbaik dari diri lo, lo udah berusaha semak-”

“Jadi maksud lo, gua nggak bisa menang?” ucap Hasan memotong ucapan abangnya itu, dan sukses membuat kening Januar berkerut, “Maksudnya?”

“Maksud lo kesini tuh mau banding-bandingin diri lo ke gua? bandingin diri lo yang selalu sukses di setiap lomba dan nggak pernah ketemu sama yang namanya kata gagal?”

“Nggak percaya sama kemampuan gua? iya? sok nasehatin harus gini harus gitu, gua ya gua, nggak usah sok peduli kalau niatnya cuma mau muji diri sendiri.”

“Lo kenapa sih? gue dateng baik-baik ya kesini, ngomong baik-baik, kok lo jadi sewot gitu?”

Hasan tertawa remeh, “Baik-baik apa sok baik?”

Januar mengeraskan kepalan tangannya, “Lo aneh, sumpah lo aneh, lo bukan Hasan. lo kenapa sih? ada masalah apa? ada yang ngusik pikiran lo? siapa?”

“Diem bisa nggak anjing!” teriak Hasan dengan kepalan tangan yang berhenti tepat pada wajah sang kakak. membuat Januar kaget setengah mati melihat sifat adiknya yang tidak pernah dia keluarkan sebelumnya.

“Kenapa berhenti? nggak jadi nonjok?” tanya Januar dengan posisi yang masih diam di tempat, “Tonjok aja.” melihat tidak ada pergerakan dari Hasan membuat Januar kembali bersuara, “kok diem? TONJOK!” teriak Januar.

Mendengar suara ribut dari luar membuat Marvel yang sedang membaca buku rumus lantas segera loncat dari kasur dan segera keluar, betapa kagetnya ia melihat tangan Hasan yang berada tepat di wajah abangnya.

“SAN LO NGAPAIN?” ucap Marvel seraya menjauhkan tangan Hasan, menatap adiknya itu lekat namun tatapannya tetap mengayomi dari pandangan Hasan. tidak lama kemudian, Jevana dan yang lain ikut keluar penasaran tentang apa yang terjadi di luar.

Sekarang abangnya, Januar sudah pulang dan Hasan sudah berada di kamarnya ditemani oleh para abang dan adiknya, mencoba menenangkan emosi Hasan yang masih menggebu-gebu itu. dengan pelan Marvel sebagai yang tertua bertanya, “Lo kenapa San? kayaknya dari kemarin gampang emosi?” lantas dengan berat hati Hasan menjelaskan rasa gundahnya yang ia tahan selama ini, sedangkan yang lain semua diam menyimak.

Mereka tidak menyangka bahwa Hasan yang terlihat seperti yang paling abai dan santai ternyata memiliki tekanan yang cukup banyak dari sang ayah. mereka juga baru tahu bahwa Hasan sering tidur larut agar ia bisa menyamakan ketertinggalannya yang berhasil membuat mata Renjana membulat seketika, “Kamu terlalu memforsir San,” ucap Renjana. “kalau lupa kita ini tim, bang Renja udah bilang kan? kalau kita ini satu, kalau kamu merasa kurang kamu bisa tanya sama yang lain di jam pelajaran. jangan malah ngurangin waktu tidur kamu buat belajar lagi. itu nggak baik.”

Hasan mengangguk. “Iya bang, maaf.”

Terjadi hening cukup lama, entah mereka bingung berbicara apa atau hanya enggan membuka suara. sampai celetukan dari seseorang sedang duduk di ranjang dengan buku di depannya itu berhasil merebut semua eksistensi orang yang sedari tadi larut dalam sunyi yang menjalar.

“Pantes nilainya hancur, masalah rumah dibawa ke sini, gimana bisa fokus,” celetuk Jevana pelan namun karena keadaan sangat sepi maka suaranya sangat terdengar jelas di telinga Hasan. membuat lelaki itu bangkit dari duduknya menghampiri Jevana yang masih tenang dengan bukunya.

“MAKSUD LO APA BANGSAT?!” teriak Hasan sembari merampas kasar buku ditangan Jevana dan dilempar ke sembarang arah. “Nggak usah komentarin hidup gua kalau lo aja masih jadi seorang pengecut di hidup lo sendiri.” ucapan Hasan barusan membuat Jevana menatap dirinya heran.

“Lo kemaren nyudutin gua karena target lo buat masuk lima besar nggak tercapai kan? lo tau? cuma seorang pengecut yang nyalahin orang lain atas kegagalan yang dia buat sendiri. dan ya lo itu pengecut.” ulangnya lagi membalas tatapan tajam Jevana yang kini rahangnya sudah mengeras.

“Kok diem? omongan gua bener ya?” lanjutnya lagi. “Ya... emang bener sih orang ambis kayak lo apa lagi sih yang dipikirin? paling nggak jauh dari nilai, peringkat, reputasi,” serang Hasan terus menerus.

Baru saja Jevana ingin membalas ucapan Hasan namun suaranya terpotong kala terdengar rintihan kesakitan dari ujung ruangan, lantas keenamnya menoleh, menatap kaget ke arah tertua kedua yang kini meringkuk dengan tubuh yang bergetar. “To...long, ber...hen..ti,” Lirih Renjana pelan sambil memukul dadanya kuat-kuat.

“To...long….”

Dengan cepat Nanda, Candra serta Zefa memapah Renjana menuju kamarnya meninggalkan dua insan yang sedari kemarin ribut dengan tatapan bersalah dengan Marvel. setelah Renjana benar-benar keluar dari kamar mereka. lantas kini Marvel menoleh ke dua adiknya itu. “Udah?” ujarnya ketus, “Udah emosinya? udah berantemnya? udah saling sindirnya? UDAH?” gertaknya kasar. “Kok nggak jawab? gagu ya? tadi bisa tuh teriak-teriak kenceng, kok sekarang gue tanya diem aja kayak orang bisu?”

Mereka hanya menunduk, merasa sesal untuk kedua kalinya. “Sekarang gue minta lo berdua selesaikan masalah ini secepatnya, gue nggak mau kejadian kayak gini kejadian sampai tiga kali, cukup ini yang terakhir.”

Setelah berkata seperti itu Marvel segera meninggalkan keduanya di kamar, dengan harapan mereka dapat segera menyelesaikan semuanya sekarang. dan dengan cepat ia pergi menuju kamarnya, untuk mengecek keadaan Renjana, yang tadi berhasil membuat Marvel kaget bukan main.

Ada opsi bicara baik-baik kenapa kekerasan yang dipilih?

Pagi ini semuanya sudah berkumpul pada ruang ujian. suasana dingin serta sedikit mencekam menemani mereka hampir selama tiga jam. desah frustasi akan soal yang meminta untuk dikerjakan tak luput hilang dari pendengaran masing-masing dari mereka.

Hasan yang semalaman belajar untuk ujian kali ini, merasakan matanya terkantuk hebat sekarang, sedikit menyesal dalam dirinya karena tidak mendengar Renjana untuk tidur lebih cepat. Sekarang ia begitu mengantuk dan tidak bisa fokus akan soal di depannya ini.

Sedangkan Jevana, lelaki itu begitu fokus pada soal-soal di depannya, memeriksa setiap soal hingga sepuluh kali lebih agar tidak ada yang salah satu pun nantinya.

Ujian selesai tepat setelah Hasan berhasil menyelesaikan semua soal, tentu saja ada beberapa soal yang diisi dengan hitung kancing karena tidak bisa lagi untuk dia menghitung di waktu yang begitu singkat.

Sekarang setelah enam jam mereka beristirahat sehabis ujian pagi tadi, ketujuh pemuda itu sudah berkumpul pada ruang belajar mereka, tentu saja bersama pak Theo yang akan mengumumkan hasil ujian mereka tadi. Ketujuhnya memperhatikan raut wajah pak Theo yang berubah kala sudah membuka hasil nilai mereka.

“Gimana pak?” tanya Marvel yang sudah penasaran.

“Lima belas besar,” jawaban pak Theo membuat Jevana memejamkan matanya, bibirnya ia gigit kencang, tangannya ia kepal kuat-kuat agar emosi yang sedang ia tahan mati-matian tidak hilang kendali dan menyakiti orang lain.

Suasana tiba-tiba menjadi diam tidak ada yang berkomentar satu pun hingga dering ponsel pak Theo menginterupsi seisi ruangan, “Saya angkat telepon dulu.” setelah itu pak Theo menghilang dari balik pintu.

“Nggak apa-apa guys, ini baru ujian materi aja kok,” ujar Hasan akhirnya setelah mereka diam begitu lama bermaksud mencairkan suasana akan atmosfer yang berubah menjadi aneh menurutnya. yang benar saja, ucapannya tadi membuat emosi seseorang salah satu disana tersulut.

“Enteng banget lo ngomong gitu?” Ya itu Jevana, rupanya lelaki itu sudah tidak bisa lagi menahan emosinya.

“Loh Jev, emang bener kan? ini cuma ujian materi biasa?” jawab Hasan masih dengan santai, walau sebenarnya ia juga sedikit kecewa dengan hasilnya, bisa-bisa nanti ia kembali diomeli ayahnya lagi.

Jevana tertawa kecil, namun terdengar seperti cemoohan bagi Hasan “Orang yang lolos olimpiade karena hoki ngerti apa sih soal peringkat ginian?” ucap Jevana pada akhirnya dengan tubuh yang bersandar sepenuhnya pada kursi dengan tatapan lekat pada Hasan. membuat orang-orang disana yang sedari tadi diam mendengarkan menatapnya tidak percaya.

“Jev!” seru Marvel dan Renjana secara bersamaan. Jevana menoleh, menatap nyalang kedua orang yang lebih tua darinya itu bergantian, “Kenapa? emang bener kan?”

“Dia masuk kesini karena hoki doang, nilai juga pas-pasan, tapi usahanya nol besar buat berubah, dari awal nggak ada kemajuan, selalu yang terbawah, kalah sama Candra dan Zefa yang baru kelas sepuluh tapi udah bisa ngikutin pelajaran kelas dua belas,” jelas Jevana panjang lebar.

kemudian tatapannya menatap Hasan yang rupanya kini juga sedang menatapnya dengan tajam, tangannya sudah terkepal kuat, nafasnya memburu cepat. lalu sepersekian detik kemudian, “Lo keterlaluan Jev,” ucap Hasan pelan dengan intonasi rendah yang tidak biasa digunakan sebelumnya. masih berusaha menahan emosi yang sudah berada di ujung, yang jika dipanaskan sedikit lagi maka akan keluar dengan mudah.

“Kenapa? kerasa ya?” jawab Jevana tidak gentar tetap dengan nada yang terdengar menjengkelkan pada telinga Hasan. dan itu sukses membangkitkan emosi Hasan yang sedari tadi ia tahan kehadirannya. dan tanpa mereka percaya Hasan berdiri berjalan menuju Jevana dan satu pukulan keras mendarat tepat pada pipi Jevana, membuat sang korban tersungkur ke lantai. “Lo. Nggak. Tahu. Apa-apa. Jadi. Mending. Lo. Diem. Aja. Jev,” ujar Hasan penuh penekanan.

Jevana yang tidak terima atas pukulan yang dilayangkan Hasan lantas kembali berdiri dan memberi pukulan balik untuk Hasan. setelahnya mereka terjadi baku hantam yang sangat susah dipisahkan bahkan Marvel dan Nanda sudah menyerah akan itu, tenaga mereka kali ini begitu kuat karena tercampur akan amarah yang membuncah.

“Zefa Candra tolong panggil pak Theo!” perintah Marvel pada kedua adiknya yang kini hanya bisa diam di pojok ruangan. ia sudah menyerah memisahkan dua insan yang masih saling serang itu. sampai ia tidak sadar ada seseorang yang berusaha menjauh dari tempat kejadian untuk meminimalisir sakit di dadanya yang tiba-tiba muncul kembali setelah hampir tiga minggu ini hilang entah kemana. mati-matian ia menahan sesak di pojok ruangan dengan tubuh yang meringkuk, “Sakit….” lirihnya pelan, agar tidak ada satupun yang dapat mendengarnya.

“BERHENTI KALIAN!” teriak pak Theo yang baru saja masuk ke ruangan. tatapan tak percaya ia tampilkan kala melihat kedua pemuda yang sekarang penampilannya begitu berantakan. “Kalian ini ngapain hah?! BANGUN!”

Keduanya langsung bangun, sembari merapikan pakaian yang sudah tak berbentuk lagi. “Kalian tahu perbuatan kalian ini bisa membuat kalian didiskualifikasi? SADAR NGGAK?” gertaknya keras membuat kedua pemuda di hadapannya ini terjingkat kaget.

“Bapak tahu kalian sudah besar, dan seharusnya kalian bisa paham apa maksud bapak. jangan kekanak-kanakan, ada opsi berbicara baik-baik kenapa kekerasan yang dipilih? udah nggak punya mulut buat bicara? iya?!” keduanya tetap diam tidak bergeming.

“Bapak nggak mau sampai kejadian seperti ini terulang lagi, kalian disini itu tim, harusnya kerjasama bukan malah terpecah kayak gini. ” setelahnya ia keluar dari ruangan, meninggalkan hening yang begitu panjang di antara mereka.

“Gue keluar dulu,” ucap Jevana final lalu meninggalkan ruangan. sedangkan Hasan lelaki itu langsung terduduk lemas pada sofa disana mengusap wajahnya kasar dan tidak lama kemudian bahunya bergetar. “Maaf bang, gua khilaf,” ujarnya lirih. “Maaf…”

Marvel menghela nafasnya, “Lain kali jangan gitu San, itu bisa bahayain kalian berdua. kita ini udah kayak keluarga. semarah-marahnya lo nanti jangan main tangan lagi ya? gue akuin Jevana tadi keterlaluan, tapi tindakan lo yang langsung nonjok Jevana gitu aja juga nggak bisa gue benerin, itu salah juga.”

Hasan mengangguk, “Iya bang, gua paham.”

Disisi lain Jevana kini terduduk di bawah pohon mangga dengan kepala tertunduk lemas. menyesali perbuatannya tadi dalam diam, ia juga tidak percaya bahwa ia bisa berkata sekasar dan semenyakitkan itu pada Hasan, padahal ia sendiri melihat bagaimana kerasnya Hasan dalam mengejar ketertinggalan mereka.

Ia juga sering merpergoki Hasan yang tengah belajar diam-diam di bawah selimutnya. “San, maafin gue…” lirihnya pelan. “Arghh,” racaunya frustasi lalu ia usap wajahnya dengan kasar. tekanan yang diberikan sang kakek hari ini sukses membuatnya terlihat menjadi orang yang jahat.

“Sialan.”

Kak Arkana, Terimakasih ya.

Bel istirahat berbunyi, maka dari itu langkah Arunika percepat menuju kantin tempat ia bisa bertemu dengan kakak kelasnya itu, Arkana. seseorang yang tadi pagi ia buat kesal sampai semua sosial medianya diblokir semua agar ia tidak bisa menghubungi pria itu lagi.

Dengan tergesa ia berjalan menuju kantin, meninggalkan Faiz serta Loka yang belum selesai mencatat tugas dari guru di kelas. Netranya mengedar mencari pria mungil yang selalu tebar senyum kepada siapapun yang dikenalnya, yang selalu memberi rasa hangat kepada setiap orang yang dekat dengannya.

Netranya terkunci pada gerobak siomay dengan empat orang di depannya yang dari Arunika lihat, bahwa mereka sedang memesan siomay sesuai seleranya masing-masing. langkahnya maju menemui satu diantara mereka.

“Kak Arkan…,” panggilnya pelan, dengan nada takut yang tidak bisa lepas dari pendengaran Arkana, lelaki yang kini tengah menuangkan saus sambal pada siomaynya. “Apa?” jawabnya cukup jutek di telinga Arunika, membuat gadis yang berada di satu tingkat di bawahnya ini menundukkan kepala serta sedikit memajukan bibirnya. “Maaf….”

Arkana hanya menghela nafasnya kasar, “Ya, dimaafin.”

“Kak Arkan masih marah?” tanyanya lagi takut-takut. “maafin Aru yang udah ngetawain kak Arkan karena badannya kecil….” jelasnya lagi dengan tangan yang saling bertautan satu sama lain. ucapan Arunika barusan mampu membuat tiga pria di samping Arkana menoleh heran atas sikap Arkan yang kekanak-kanakan itu.

“Udah, sekarang istirahat dulu sana, nanti keburu masuk,” setelahnya Arkana pergi meninggalkan empat insan yang kini hanya diam tanpa bersuara. yang tanpa mereka sadari Arkana tengah tersenyum penuh arti, berharap semuanya akan menjadi lebih baik lagi.


Bel pulang sekolah berbunyi, dengan cepat Arkana segera keluar dari kelas dan langkahnya berhenti pada gadis yang kini duduk dengan kepala menunduk di pinggir kolam. Arkana tersenyum lalu kemudian mendekati gadis itu.

Baru saja Arkana mendudukan bokongnya di samping gadis itu, lantas tidak lama kemudian gadis itu langsung menyadari eksistensinya dan langsung menoleh, “E-eh kak Arkan….” Arkan tersenyum, “Tumben ayah belum jemput?”

Arunika menggeleng, “Nggak tahu... ,” jawabnya pelan, Arkana tahu bahwa gadis ini masih merasa bersalah padanya. “Ikut yuk, aku mau ngomong sesuatu sama Aru,” ucapnya yang lalu menggandeng tangan mungil itu, menggenggamnya dalam genggaman yang erat, seolah-olah tidak boleh ada yang bisa merebutnya dari Arkana.

“Duduk sini,” suara Arkana memecah kebingungan pada raut wajah Arunika sekarang, gerakannya menuruti apa yang diperintahkan kakak kelasnya ini, duduk di sampingnya.

Arkana tersenyum seperti biasa, berbeda dengannya saat istirahat tadi membuat Arunika begitu heran dibuatnya. “Kak Arkan…” panggilnya. Arkana menoleh menaikan satu alisnya dengan maksud bertanya apa alasan Arunika memanggil dirinya.

“Kak Arkan udah nggak marah sama Aru?” Arkana tersenyum lagi, “Nggak kok, nggak pernah marah malah sama Aru mah.”

“Terus yang tadi pagi?”

Sekarang Arkana merubah posisinya, menjadi berhadapan dengan Arunika, memandang lekat-lekat wajah manis gadis di depannya ini seraya berkata, “Buat kak Arkan si nggak marah, tapi nggak tahu yang lain?” Aruna mengerutkan alisnya bingung akan perkataan Arkan barusan, “Maksudnya?”

“Gini ya Aru, buat kak Arkan di bilang kecil, pendek, itu udah biasa. hampir tujuh belas tahun kakak hidup kata-kata itu tidak pernah sekalipun hilang dari radar pendengaran kakak. karena itu faktanya juga kan? kakak kecil, pendek, kurus, nggak kayak laki-laki lain?” Arunika menggeleng, “E-enggak git-” belum sempat Arunika menjelaskan Arkana terlebih dahulu kembali berbicara.

“Kak Arkan udah biasa, harus terbiasa sih lebih tepatnya,” ucapnya lagi. “tapi Ru, nggak semua orang sama kayak kak Arkan, yang menanggapi lelucon yang Aru keluarkan tadi sebagai angin lalu, ada orang yang mati-matian menghilangkan sebutan itu untuk dirinya, ada orang yang sensitif akan sebutan itu, ada orang yang kembali insecure atas apa yang dia punya sekarang ketimbang harus mencintai dirinya sendiri.”

“Mungkin dalam pikiran Aru kata-kata yang Aru sebutin itu memang fakta yang sudah diakui kebenarannya dan Aru lihat sendiri aslinya. jadi Aru dengan mudah bisa berkata seperti itu, tapi… semua yang Aru lihat itu tidak semuanya Aru lihatkan? Aru nggak lihat kan gimana perasaannya saat Aru bilang pendek pada orang pendek yang sedang berusaha mencintai dirinya, Aru bilang gemuk pada orang yang sudah diet besar-besaran namun belum membuahkan hasil, dan Aru bilang bodoh pada orang yang sudah mati-matian belajar namun kemampuannya hanya sebatas yang dia punya? bisa jadi mereak sakit hati, merasa kecil kembali namun mereka cuma bisa ikut tertawa, ikut tersenyum menanggapi ocehan Aru, atau bisa juga mereka sama kayak kak Arkan, kita nggak ada yang tahu kan?”

“Kak Arkan nggak mau, kata-kata yang Aru keluarkan nanti kedepannya bisa menjadi boomerang buat Aru sendiri, jadi sebelum bicara, harus dipikirin dulu ya apa yang seharusnya dikeluarkan atau tidak.”

Arunika mengangguk, “Aru...Aru nggak nyangka kalau kata-kata yang Aru anggap biasa menjadi luar biasa bila di dengar oleh orang yang salah....” Arkan tersenyum, “Nggak apa-apa, sekarang Aru kan udah tahu, jadi jangan diulang ya?”

Arunika tersenyum. lalu Arkana mengangkat kelingkingnya, “Janji ya?”

“Janji!”

“Sekarang hapus dulu air matanya, nanti kakak kena marah ayahmu lagi,” ucap Arkana dengan nada pura-pura kesal.

“Loh anak gadis ayah kenapa nangis???” tanya seseorang dari arah samping mereka, sedang berjalan dengan langkah cepat menghampiri keduanya, membuat tubuh Arkana seketika membeku, gugup dan takut menjadi satu.

Tatapan tajam Vindra tidak bisa ia hindari, membuat Aru yang sudah menyadari suasana lantas menengahi perang tatap ayahnya itu, “EHHH, AYAH kak Arkan nggak ngapa-ngapain Aru kok!”

“Terus Aru kenapa nangis, hm?” tanya Vindra cepat seraya membantu menghapus air mata yang masih membasahi pipi putri kesayangannya ini.

“Kak Arkan tadi baru aja ngejelasin apa yang bener sama yang nggak, abis ngajarin Aru kalau mau bicara harus dipikirin dulu jangan asal bicara aja….” mendengar Aru menjelaskan itu hati Vindra menghangat, lalu tatapannya menatap pemuda yang kini hanya diam menatap Vindra sedikit takut.

“Makasih ya Arkan.” Arkana yang kaget mendapati ucapan terimakasih dari Vindra lantas mengangguk cepat, “Sama-sama ayah!” jawab Arkana semangat, Vindra tersenyum sepertinya pria muda di depannya ini sudah nyaman untuk memanggilnya 'ayah' juga, seperti dengan teman-teman Aru lainnya.

“Yuk makan siang, ayah mau traktir bakso yang baru buka di pertigaan sana itu, katanya Delvin enak soalnya,” ucap Vindra.

“AYOO!!” jawab Aru semangat, namun langkah keduanya berhenti kala merasakan bahwa ada sesuatu yang tertinggal, “Loh Arkan? ayo ngapain diem disitu?” tanya Vindra yang heran melihat Arkana hanya berdiri diam menatap dirinya dan Aru dalam diam.

“Eh aku ikut?”

“Ya iya, ayo!” Arkana tersenyum, menghampiri keduanya lalu menyamakan langkah mereka, kemudian berkata, “Ayah…” Vindra menoleh, “Apa?”

“Mau dirangkul juga dong kayak Aruuu,” jawab Arkana semangat. “Dih, kayak anak kecil aja!” balas Vindra yang lalu ikut merangkul lelaki di sampingnya ini.

Ibu itu dunianya Jevana

“Siapa yang berani mengusik ibu, maka mereka akan berurusan sama saya.” – Jevana.

20:20

Bunyi denting sendok dan garpu yang bertabrakan kini memenuhi ruangan, hanya suara itu yang menemani makan malam besar keluarga Aksara. salah satu keluarga terpandang di kota ini. Semuanya hanya diam namun suasana mencekam tidak dapat mereka hindari.

Entah apapun itu, mereka rasa sebentar lagi akan ada sebuah keributan besar.

“Aku keluar dulu ya, ada telepon dari klien,” ucap Jeffry, ayah dari Jevana.

“Jevana.”

Ya dugaan mereka benar akan ada keributan setelah ini.

Sang kakek yang baru saja menyelesaikan makannya dan melihat anaknya sudah keluar dari ruang makan lantas langsung bersuara memanggil cucu pertamanya. Jevana Kenzo. cucu pertama dari anak pertama keluarga Aksara. yang dipanggil hanya memejamkan matanya malas lalu menoleh ke arah sang kakek.

“Apa?”

“Kenapa kelompok kamu bisa mendapat urutan keluar dari sepuluh besar?” Jevana tersenyum lirih, ia sebenarnya sudah tahu bahwa masalah ini akan dibicarakan sekarang. sedangkan Kentara hanya meneguk ludahnya lambat, ia takut kejadian dua tahun lalu terjadi lagi.

“Bukan masalah besar, lagi juga itu cuma latihan,” jawab Jevana santai seraya memakan buah apelnya.

“Semakin hari kakek lihat sopan santunmu makin hilang ya Jevana,” ucap Kakeknya tajam. Jevana hanya memutar bola matanya malas. “Kakek nggak mau lagi dapat laporan bahwa kelompok kamu turun dari sepuluh besar lagi.”

“Jangan buat malu kakek sebagai salah satu penyelenggara osn ini Jevana. kakek nggak mau ada kata kalah keluar nantinya.” Jevana hanya berdehem menanggapi sang kakek, jujur ia tahu ini tidak sopan tapi sudah sangat malas mendengar pembahasan ini. “Iya.”

“Jadi ini ya yang diajarkan ibumu, tidak ada sopan santunnya pada orang tua.” ucapan kakeknya barusan benar-benar membangunkan macan tidur dalam diri Jevana. ia lantas berdiri dan menggebrak meja.

“JANGAN BAWA-BAWA IBU!”

Sang kakek tersenyum meremehkan, “Kenapa? kamu nggak suka? tapi itu faktanya, Jevana.”

“Ibu nggak tahu apa-apa, jadi stop bawa-bawa ibu atas kesalahan yang tidak beliau perbuat.”

“Apa sih yang kamu harapkan dari wanita tidak berpendidikan itu, sudah jelas pasti anaknya tidak jauh berbeda dari dirinya. saya bingung kenapa Jeffry begitu mencintai dia, ckck.”

Mata Jevana memerah, ditariknya kerah baju sang kakek dengan amarah, “Sudah saya bilang jangan pernah bawa-bawa ibu lagi!”

“Kurang ajar kamu sama orang tua!” teriak sang kakek yang langsung meninju pipi Jevana hingga sang korban tersungkur ke lantai dengan darah yang sukses mengucur keluar.

Jevana bangkit, ia tertawa remeh pada sang kakek, “Rupanya tuan Aksara ini lupa siapa yang dengan tulus ngerawat dia waktu paru-parunya sedang kambuh. siapa yang dengan telaten memeriksa keadaan anda? dia, siapa ngasih obat anda tepat waktu dan ngejaga anda semalaman? dia, ibu saya yang anda bilang wanita tidak berpendidikan itu,” ujar Jevana seraya mendekat ke arah kakeknya.

“Lupa ya tuan Aksara? disaat semua anak dan menantu anda yang anda bangga-banggakan itu tidak datang walau cuma melihat ayahnya yang sakit, cuma ibu saya yang datang. cuma ibu saya yang ngerawat anda hingga kembali sehat,” ucap Jevana tepat di samping telinga sang kakek, yang siapapun mendengarnya nanti akan merasakan bulu kuduknya merinding.

“Cuma ibu, cuma ibu yang setia jagain anda, CUMA DIA!” teriak Jevana akhirnya. “tapi apa balasan anda? anda terus-terusan nyiksa dia, jelek-jelekin dia, bahkan selalu meremehkan dia hanya karena ia tidak sekolah?”

Jevana berdecih kasar.

“Anda ini manusia kan? diberi hati dan akal. tapi sayang hati anda tidak pernah anda pakai untuk melihat baiknya ibu saya selama ini. yang anda pikirkan hanya reputasi, reputasi, karena anda malu punya menantu yang tidak berpendidikan kan? sehingga semua kebaikan yang dia lakukan hanya angin lalu bagi anda.”

“Tidak tahu terima kasih,” ujar Jevana lagi seraya menghapus sisa darah pada sudut bibirnya. “saya pergi, disini terlalu sesak, juga saya sudah begitu muak dengan orang-orang yang selalu memakai topeng sebagai orang baik disini,” finalnya lalu pergi meninggalkan kekacauan yang sempat ia perbuat.

Sedangkan para anggota keluarga lainnya yang menyaksikan kejadian tadi hanya bisa berdiam tidak bergeming, hingga Jeffry yang baru saja kembali begitu terkejut dengan keadaan ruang makan yang begitu kacau sekarang.

“Ada apa ini?”

Ibu itu dunianya Jevana

“Siapa yang berani mengusik ibu, maka mereka akan berurusan sama saya.” – Jevana.

20:20

Bunyi denting sendok dan garpu yang bertabrakan kini memenuhi ruangan, hanya suara itu yang menemani makan malam besar keluarga Aksara. salah satu keluarga terpandang di kota ini. Semuanya hanya diam namun suasana mencekam tidak dapat mereka hindari.

Entah apapun itu, mereka rasa sebentar lagi akan ada sebuah keributan besar.

“Aku keluar dulu ya, ada telepon dari klien,” ucap Jeffry, ayah dari Jevana.

“Jevana.”

Ya dugaan mereka benar akan ada keributan setelah ini.

Sang kakek yang baru saja menyelesaikan makannya dan melihat anaknya sudah keluar dari ruang makan lantas langsung bersuara memanggil cucu pertamanya. Jevana Kenzo. cucu pertama dari anak pertama keluarga Aksara. yang dipanggil hanya memejamkan matanya malas lalu menoleh ke arah sang kakek.

“Apa?”

“Kenapa kelompok kamu bisa mendapat urutan keluar dari sepuluh besar?” Jevana tersenyum lirih, ia sebenarnya sudah tahu bahwa masalah ini akan dibicarakan sekarang. sedangkan Kentara hanya meneguk ludahnya lambat, ia takut kejadian dua tahun lalu terjadi lagi.

“Bukan masalah besar, lagi juga itu cuma latihan,” jawab Jevana santai seraya memakan buah apelnya.

“Semakin hari kakek lihat sopan santunmu makin hilang ya Jevana,” ucap Kakeknya tajam. Jevana hanya memutar bola matanya malas. “Kakek nggak mau lagi dapat laporan bahwa kelompok kamu turun dari sepuluh besar lagi.”

“Jangan buat malu kakek sebagai salah satu penyelenggara osn ini Jevana. kakek nggak mau ada kata kalah keluar nantinya.” Jevana hanya berdehem menanggapi sang kakek, jujur ia tahu ini tidak sopan tapi sudah sangat malas mendengar pembahasan ini. “Iya.”

“Jadi ini ya yang diajarkan ibumu, tidak ada sopan santunnya pada orang tua.” ucapan kakeknya barusan benar-benar membangunkan macan tidur dalam diri Jevana. ia lantas berdiri dan menggebrak meja.

“JANGAN BAWA-BAWA IBU!”

Sang kakek tersenyum meremehkan, “Kenapa? kamu nggak suka? tapi itu faktanya, Jevana.”

“Ibu nggak tahu apa-apa, jadi stop bawa-bawa ibu atas kesalahan yang tidak beliau perbuat.”

“Apa sih yang kamu harapkan dari wanita tidak berpendidikan itu, sudah jelas pasti anaknya tidak jauh berbeda dari dirinya. saya bingung kenapa Jeffry begitu mencintai dia, ckck.”

Mata Jevana memerah, ditariknya kerah baju sang kakek dengan amarah, “Sudah saya bilang jangan pernah bawa-bawa ibu lagi!”

“Kurang ajar kamu sama orang tua!” teriak sang kakek yang langsung meninju pipi Jevana hingga sang korban tersungkur ke lantai dengan darah yang sukses mengucur keluar.

Jevana bangkit, ia tertawa remeh pada sang kakek, “Rupanya tuan Aksara ini lupa siapa yang dengan tulus ngerawat dia waktu paru-parunya sedang kambuh. siapa yang dengan telaten memeriksa keadaan anda? dia, siapa yang ngasih obat untuk anda minum tepat waktu dan ngejaga anda semalaman? dia,” ujar Jevana seraya mendekat ke arah kakeknya.

“Lupa ya tuan Aksara? disaat semua anak dan menantu anda yang anda bangga-banggakan itu tidak datang walau cuma melihat ayahnya yang sakit, cuma ibu saya yang datang. cuma ibu saya yang ngerawat anda hingga kembali sehat,” ucap Jevana tepat di samping telinga sang kakek, yang siapapun mendengarnya nanti akan merasakan bulu kuduknya merinding.

“Cuma ibu, cuma ibu yang setia jagain anda, CUMA DIA!” teriak Jevana akhirnya. “tapi apa balasan anda? anda terus-terusan nyiksa dia, jelek-jelekin dia, bahkan selalu meremehkan dia hanya karena ia tidak sekolah?”

Jevana berdecih kasar.

“Anda ini manusia kan? diberi hati dan akal. tapi sayang hati anda tidak pernah anda pakai untuk melihat baiknya ibu saya selama ini. yang anda pikirkan hanya reputasi, reputasi, karena anda malu punya menantu yang tidak berpendidikan, iya kan? sehingga semua kebaikan yang dia lakukan hanya angin lalu bagi anda.”

“Tidak tahu terima kasih,” ujar Jevana lagi seraya menghapus sisa darah pada sudut bibirnya. “saya pergi, disini terlalu sesak, juga saya sudah begitu muak dengan orang-orang yang selalu memakai topeng sebagai orang baik disini,” finalnya lalu pergi meninggalkan kekacauan yang sempat ia perbuat.

Sedangkan para anggota keluarga lainnya yang menyaksikan kejadian tadi hanya bisa berdiam tidak bergeming, hingga Jeffry yang baru saja kembali begitu terkejut dengan keadaan ruang makan yang begitu kacau sekarang.

“Ada apa ini?”

Lebih baik pergi daripada kena marah

Dengan cepat Hasan sudah rapi dengan jaket hitam sebagai luarannya serta ransel hitam berisi baju-bajunya yang sudah di cuci. tekadnya sudah bulat untuk pulang lebih cepat dari rancangannya. semula ia ingin pulang nanti sore, namun sejak kejadian semalam bersama ayahnya, ia memutuskan untuk pulang lebih cepat.

Benar saja dugaannya bahwa keluarganya kini sudah berkumpul di meja makan untuk sarapan. langkah Hasan yang kini menghampiri mereka, membuat Januar menoleh dan seketika membulatkan matanya, “Lo mau kemana anjir?”

“Balik bang.”

“Loh, katanya sore biar gue anter? kok jadi pagi-pagi gini?” Hasan hanya menggeleng lemah mendapati pertanyaan beruntun dari abangnya. “Nggak apa-apa, temen gua ada yang di sana sendirian, kasian.”

Baru saja ia mau duduk pada salah satu kursi meja makan, namun ayahnya tiba-tiba berbicara yang membuat Hasan sontak menghentikan gerakannya.

“Sudah bosan kamu San di rumah?”

Hasan tersenyum miris, kini ia kembali berdiri mengurungkan niatnya untuk duduk, “Sebenarnya nggak, tapi karena kena marah ayah mulu jadi males lama-lama di rumah. takut kebawa emosi,” jawabnya sinis dengan mata yang menatap ayahnya, yang pada akhirnya mendapat tatapan tajam dari ayahnya.

Sedangkan Januar dan sang ibu yang sedari tadi hanya diam mendengarkan sontak terkejut. Januar yang merasakan kejanggalan itu lantas dengan cepat bertanya, “Marah? marah apa?” tanyanya bingung.

Hasan menggeleng, “Tanya aja sama ayah,” ucap Hasan cepat. ia langsung kembali memakai ranselnya yang semula sudah ia letakkan pada kursi. “Aku pergi dulu.”

“Hasan kamu belum sarapan.” itu ibunya yang bicara. Hasan lantas menggeleng, “Gampang bu, nanti Hasan sarapan di luar aja,” jawabnya seraya menyalami tangan ibunya, lalu beralih ke ayahnya yang hanya diam tanpa bicara apapun.

“Hasan pamit, kalo nggak males Hasan pulang lagi minggu depan, Assalamualaikum.”

“Waalaikumussalam,” jawab semuanya kompak.

Lebih baik pergi daripada kena marah

Dengan cepat Hasan sudah rapi dengan jaket hitam sebagai luarannya serta ransel hitam berisi baju-bajunya yang sudah di cuci. tekadnya sudah bulat untuk pulang lebih cepat dari rancangannya. semula ia ingin pulang nanti sore, namun sejak kejadian semalam bersama ayahnya, ia memutuskan untuk pulang lebih cepat.

Benar saja dugaannya bahwa keluarganya kini sudah berkumpul di meja makan untuk sarapan. langkah Hasan yang kini menghampiri mereka, membuat Januar menoleh dan seketika membulatkan matanya, “Lo mau kemana anjir?”

“Balik bang.”

“Loh, katanya sore biar gue anter? kok jadi pagi-pagi gini?” Hasan hanya menggeleng lemah mendapati pertanyaan beruntun dari abangnya. “Nggak apa-apa, temen gua ada yang di sana sendirian, kasian.”

Baru saja ia mau duduk pada salah satu kursi meja makan, namun ayahnya tiba-tiba berbicara yang membuat Hasan sontak menghentikan gerakannya.

“Sudah bosan kamu San di rumah?”

Hasan tersenyum miris, kini ia kembali berdiri mengurungkan niatnya untuk duduk, “Sebenarnya nggak, tapi karena kena marah ayah mulu jadi males lama-lama di rumah. takut kebawa emosi,” jawabnya sinis dengan mata yang menatap ayahnya, yang pada akhirnya mendapat tatapan tajam dari ayahnya.

Sedangkan Januar dan sang ibu yang sedari tadi hanya diam mendengarkan sontak terkejut. Januar yang merasakan kejanggalan itu lantas dengan cepat bertanya, “Marah? marah apa?” tanyanya bingung.

Hasan menggeleng, “Tanya aja sama ayah,” ucap Hasan cepat. ia langsung kembali memakai ranselnya yang semula sudah ia letakkan pada kursi. “Aku pergi dulu.”

“Hasan kamu belum sarapan.” itu ibunya yang bicara. Hasan lantas menggeleng, “Gampang bu, nanti Hasan sarapan di luar aja,” jawabnya seraya menyalami tangan ibunya, lalu beralih ke ayahnya yang hanya diam tanpa bicara apapun.

“Hasan pamit, Assalamualaikum.”

“Waalaikumussalam,” jawab semuanya kompak.

Hasan capek jadi pemenuh ekspektasi

Hasan masuk ke rumah dengan perlahan, takut-takut membangunkan keluarganya yang mungkin sudah tertidur lelap. namun ternyata ia salah sebab ayah ibunya kini tengah berkumpul di ruang televisi menonton berita yang kini tengah ramai diperbincangkan.

“Darimana lo San?” tanya Januar yang baru saja datang dari arah dapur membawa tiga gelas air putih dingin. Hasan yang kala itu sedang meletakkan alas kakinya pada rak di samping pintu lantas menjawab, “Dari rumah sakit.”

Januar yang baru saja meletakkan bokongnya pada sofa empuk itu segera menoleh menatap sang adik yang sekarang sedang berjalan menuju tangga menuju kamarnya, “Siapa yang sakit?”

“Omanya temen gua.” jawaban Hasan hanya dibalas anggukkan oleh Januar, sedangkan kedua orang tuanya hanya mendengarnya perbincangan kedua anaknya itu dalam diam dengan mata yang pura-pura fokus pada layar televisi.

Sebelum Hasan benar-benar menghilang dari balik tangga, Januar kembali bersuara, “Gua beli cilok tuh, kalo mau makan ambil aja di meja.” perkataan Januar barusan hanya dibalas acungan jempol oleh Hasan.


“Dimana bang ciloknya?” tanya Hasan yang kini sudah mengganti bajunya menjadi kaos hitam tipis dengan celana boxer coklat kesukaannya sembari menghampiri meja makan di samping tangga.

“Nih,” ujar Januar seraya mengangkat sekantong plastik berisi satu bungkus cilok di dalamnya. “Pake mangkok aja makannya, takut tumpah.” Hasan mengangguk, lantas menuju dapur untuk mengambil sebuah mangkok di sana.

“Lo udah makan?” Januar mengangguk, “Udah tadi sama ayah ibu.” Hasan hanya mengangguk dengan mulut penuh. lalu tidak lama ponsel Januar berdering, “Gue ke atas dulu ya, ada telepon penting.”

“Cewek ya,” ledek Hasan dengan cengiran tengilnya.

“Ngaco!” setelahnya Hasan tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban sewot Januar.

Sepeninggal Januar ke kamarnya, sekarang hanya tinggal ia sendiri. rasanya ia merasa sedikit deja vu akan suatu hal tapi ia lupa itu apa. lalu tidak lama pintu kamar terbuka, menampilkan sosok yang sedari tadi sedang sibuk pada pekerjaannya.

“Nilai kamu jelek San,” ujarnya pertama kali dari ia keluar kamar, membuat jantung Hasan seketika tersentak kaget. dengan susah payah ia menelan sisa makannya yang masih tersisa di mulut.

“Gimana yah?” tanya sedikit takut. dengan kasar ayahnya menyodorkan ponsel yang sedari tadi ia pegang, menampilkan sebuah rekap nilainya selama satu minggu di asrama.

“Ayah rasa kamu nggak perlu nanya lagi San, kamu sengaja diem-diem aja ya? kayaknya kalo gurumu nggak kasih rekap nilai ini, kamu nggak akan kasih tahu ayah.” Hasan menelan ludahnya gugup, melihat mata legam ayahnya yang kini sedang menatapnya tajam.

“Maaf ayah, Hasan nggak maksud begitu,” jawabnya dengan mata yang tidak bisa melihat balik mata ayahnya. “lagi juga, nilai Hasan nggak yang paling kecil kok,” belanya.

“Terus maksudnya? kamu itu berada di dua paling bawah Hasan, kamu lihat kakakmu yang tidak pernah lepas dari tiga besar.” perkataan ayahnya tadi membuat ia meremas sendok di tangannya dengan kencang, menahan emosi yang mulai memuncak.

“Kamu itu anak ayah, seharusnya kamu juga bisa seperti abang-”

“Tapi Hasan bukan abang,” potong Hasan cepat sebelum sang ayah melengkapkan kalimatnya. “Hasan bukan abang dan nggak akan menjadi kayak abang ayah,” lanjutnya lagi.

“Hasan itu Hasan, anak kedua ayah. bukan bayang-bayang dari abang, anak kesayangan ayah. Hasan cuma anak kedua ayah yang kata ayah anak manja, cengeng dan kerjaannya main mulu, bukan abang yang pinter dan selalu bisa bahagiain ayah.”

“Ayah maafin Hasan karena kemampuan Hasan cuma sampai sebatas itu, Hasan udah berusaha keras untuk mendapat nilai lebih tinggi dari itu. tapi ternyata kapasitas otak Hasan hanya mampu bisa sampai segitu, maafin Hasan yang tidak pernah bisa bahagiain ayah.”

“Hasan cuma mau, ayah bisa ngerti Hasan. bisa paham Hasan, bukan malah menuntut, menuntut dan menuntut Hasan atas apa kemauan ayah. maaf ayah kalau tidak sopan, tapi ini hidup Hasan, dan Hasan berhak atas itu,” ucap Hasan menggebu-gebu menyuarakan isi hati yang selama ini ia pendam.

Ia lelah dituntut sempurna, ia lelah menjadi bayang-bayang abangnya, ia lelah. anak berumur tujuh belas tahun itu terlalu capek menanggung semuanya. sekarang cilok di depannya kini sudah tidak lagi menggugah selera makannya. dengan terpaksa ia bangkit berniat menuju kamarnya. namun sebelum itu, ia kembali berbicara pada ayahnya yang kini hanya diam menatap lurus ke depan.

“Hasan capek jadi pemenuh ekspektasi ayah.”

“Malam ini Renjana boleh tidur sama bapak?”

Renjana berjalan menuruni tangga menghampiri sang ayah yang tadi memanggilnya untuk makan malam, jelas saja Renjana begitu senang, apalagi moodnya sedang baik akibat tingkah konyol teman-temannya tadi.

Netranya menatap sang ayah yang kini sedang mencari sesuatu di dapur. “Cari apa pak?” tanyanya sembari mendekat ke arah ayahnya itu. Darma yang tadi fokus mencari bahan makanan untuk ia masak itu lantas menoleh menatap putranya itu.

“Hah,” tanyanya sedikit kaget. “lagi cari bahan makanan, bapak kira ada isinya ternyata kosong semua ya, hehe.” Renjana tersenyum seraya menggeleng-geleng kecil, tangannya kemudian membuka kulkas dan mengeluarkan dua butir telur. “Ini ada,” ucapnya sumringah.

Dengan cepat Darma mengambil alih dua butir telur itu dan mulai memasaknya, Renjana diam memperhatikan ayahnya itu yang sedang memasak untuknya, iya untuknya. tidak bisa lagi Renjana sembunyikan senyum bahagianya itu. melihat ayahnya sedang memasak memang sudah biasa, tapi masakannya kali ini untuknya.

Untuk Renjana.

“Jadi,” ujar Darma memamerkan dua butir telur mata sapi yang sudah matang di penggorengan, dengan cepat Renjana mengambil piring, dan dengan hati-hati Darma meletakkan telur itu, satu-satunya makanan yang tersisa di rumah. namun sial, sepertinya mereka tidak ditakdirkan untuk makan sekarang.

Tepatnya baru saja Darma akan meletakkan telur miliknya pada piring, seekor cicak terjatuh pada piring milik Renjana, dan secara spontan membuat keduanya melempar piring serta penggorengan yang mereka pegang masing-masing.

Hening.

Mereka diam, menatap telur yang sudah kotor di lantai. mereka cukup lama terdiam sampai Darma berdehem pelan, membuat Renjana kembali pada kesadarannya. Dengan gugup Darma menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, “Kita makan di luar aja ya?”


“Loh pak, pakai motor?” tanya Renjana yang baru saja keluar rumah dan melihat Darma mengeluarkan vespa hitam miliknya, dengan senyum Darma mengangguk, “Iya, naik motor aja ya, kalau jalan bapak capek.” Renjana sebenarnya tidak masalah, mau naik motor atau mobil atau bahkan berjalan kaki sekalian, asal bersama bapak Renjana senang.

“Pegangan yang kenceng Ja, nanti jatoh,” ucap Darma sedikit teriak seraya menarik tangan Renjana untuk semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh Darma, dengan nurut Renjana semakin memeluk ayahnya kuat, dan sekarang kepalanya bertopang pada bahu kekar milik ayahnya. Tidak lupa dengan senyum yang sedari tadi tidak hilang dari wajahnya.

Sekarang mereka sudah berada di warung pecel lele di pertigaan lampu merah, tidak cukup jauh dari rumah Renjana, tapi kalau berjalan, bisa memakan waktu lima belas menit.

“Nasi uduk dua, pakai lele dua-duanya,” pesan Darma pada salah satu karyawan warung makan kaki lima tersebut, lalu setelahnya kembali memesan minum untuk mereka, “teh hangat satu, jeruk hangat satu.” setelah karyawan itu selesai mencatat, perhatian Darma kembali pada tubuh kecil di hadapannya ini yang kini sedang menatapnya juga.

Hatinya teriris melihat putranya terasa sangat jauh darinya, ia tahu dan begitu sadar atas apa yang ia lakukan selama ini pada Renjana, pikirannya sekarang diliputi berbagai macam penyesalan sampai-sampai semuanya melebur kala suara lembut milik Renjana menyapanya.

“Bapak pesan jeruk untuk Renja?” tanya Renjana dengan kepala sedikit dimiringkan. Darma mengangguk, ia tahu betul apa saja kesukaan anaknya itu. jeruk hangat, menggambar, ikan lele, juga kue dadar gulung yang dijual di toko yang berada tepat di depan sekolah Renjana. ia juga tahu bahwa putranya itu sangat menyukai film bergenre thriller walau nantinya ia akan tidur meringkuk di kasur dengan selimut yang menutupinya.

“Bapak tahu Renja suka jeruk hangat?”

Darma tahu, sangat tahu.

Tapi ia tidak bisa berbuat banyak, atau nantinya hal buruk akan menimpa Renja.

Ia sayang, sangat sayang pada putranya ini. namun ia harus tahan segala emosi yang ia pendam untuk menyalurkan kerinduannya pada anaknya ini. “Bapak selalu tahu apa yang Renja suka.”

“Berarti bapak tahu kalau Renja butuh bapak?” hati Darma tercekat, perih yang ia rasa sangat tidak bisa bekerja sama sekarang, pada akhirnya ia hanya bisa memutus kontak mata pada anaknya itu. untunglah di saat yang tepat pesanan mereka datang, “Makan yang banyak Ja.”

Renjana diam, melihat ayahnya mengalihkan pembicaraan secepat ini membuatnya ingin menangis sekarang, ia hanya ingin tahu apa ayahnya ini benar-benar peduli padanya sekarang atau ada hal lain yang membuatnya bersikap seperti ini.

Makanan mereka telah tandas, dan mereka pun kini sudah berada pada pasar malam yang ternyata sedang diadakan malam ini. awalnya Renjana menolak tapi Darma segera menarik tangan kecil itu lalu menuntunnya memasuki pasar malam yang sudah tidak begitu ramai lagi.

Tujuan Darma adalah permen kapas dengan berbagai macam karakter di sana. dengan cepat ia pergi menuju toko tersebut meninggalkan Renjana yang berjalan pelan di belakangnya.

Renjana memejamkan matanya, bibirnya ia gigit kuat-kuat agar tidak menangis. ia tidak tahu kenapa ia harus menangis di saat ia harus merasa senang?

Pertama kalinya ia pergi berdua dengan ayahnya, pertama kali juga ia melihat ayahnya tersenyum bahkan tertawa begitu manis padanya. Tapi kenapa matanya malah memanas dan sekarang malah meneteskan bulir air bening? dengan cepat Renjana menghapus jejak air mata itu, dia tidak ingin Darma melihatnya.

Kini matanya tidak bisa lepas pada pria yang kini tengah memesan permen kapas itu. tatapan serius ayahnya yang menuntut sang penjual untuk membuat karakter pesanannya itu membuatnya ia terkekeh kecil.

Tak lama kemudian Darma datang dengan sebuah permen kapas besar berwarna putih dengan raut wajah masam, Renjana bingung menatap ayahnya, “Pak? kenapa?”

Darma menunduk, “Bapak sebel, penjualnya nggak tahu moomin, kamu suka moomin kan?” tanya Darma yang sukses membuat kaki Renjana lemas, bagaimana bisa ayahnya yang sangat terlihat tidak peduli padanya bisa mengetahui karakter kartun kesukaannya juga?

Dengan senyum Renjana mengambil permen kapas yang hanya berbentuk gumpalan putih dengan kuping yang tidak terbentuk dengan jelas itu, dipegangnya erat seraya berkata, “Renjana lebih suka ini karena bapak yang belikan. mau moomin atau yang lain, asal bapak yang belikan Renja pasti suka pak,” ucapnya dengan tatapan yang melekat pada permen kapas itu.

Darma diam, diam-diam tersenyum miris melihat putranya yang sudah terlalu lama ia campakkan kehadirannya. “Duduk di sana yuk,” ajaknya menunjuk pada kursi taman yang berada tidak jauh dari tempat mereka sekarang.

Hanya suara-suara bising dari para pengunjung yang menemani dua insan yang kini larut dalam diamnya masing-masing. tidak berniat bicara ataupun mencari topik pembicaraan. saling larut dalam kesedihan yang saling dirasakan, saling menyakiti diri dengan bersikap egois. hingga yang kecil berbicara terlebih dahulu.

“Bapak kenapa?” Darma tersentak, ia lantas menoleh pada Renjana yang tatapannya masih menatap lurus ke depan, ia menggeleng, belum sempat ia menjawab tapi Renjana terlebih dahulu kembali bersuara.

“Bapak kenapa baik ke Renja? bapak kenapa bersikap seolah-seolah bapak sayang banget sama Renja? apa ada sesuatu yang maksa bapak buat bersikap kayak gini ke Renja?” Darma diam seribu bahasa, ia tidak menyangka bahwa ini akan keluar dari mulut Renjana.

“Bapak sayang Renja, selalu nak.”

Renjana menggeleng, “Kalau sayang kenapa bapak nggak pernah ada buat Renja, kenapa bapak diam waktu ibu marahin bahkan pukul Renja? kenapa bapak cuek banget sama Renja bahkan bapak nggak pernah berada di dekat Renja walau cuma lima menit?” tutur Renjana dengan suara yang mulai bergetar menahan tangis, “kenapa bapak, Renja ada salah apa sama bapak?”

“Renja nggak ada salah apa-apa nak, sama bapak,” potong Darma kini tubuhnya sudah sepenuhnya menghadap Renjana, tubuh putranya yang bergetar tidak luput dari perhatiannya. “Renja anak bapak yang paling baik, nggak pernah buat salah sama bapak, nggak pernah ngecewain bapak, Renjana itu malaikatnya bapak.”

Satu bulir air mata yang sedari tadi Renjana tahan, lolos begitu saja. “Tapi kenapa bapak dingin banget sama Renja, kenapa bapak selalu menganggap kalau Renja nggak ada kena-” omongan Renjana terpotong akibat tarikan pada tangannya. kini ia berada pada dekapan Darma, ayahnya.

Tangis Renjana pecah begitu saja, bibirnya ia gigit kuat-kuat. merasakan sensasi yang belum sama sekali pernah ia rasakan. keduanya kini sama-sama terisak, sama-sama merasakan penderitaan yang sama, sama-sama merasa sesak bukan main.

“Maaf nak, maaf,” ujar Darma dengan gemetar diiringi kecupan hangat pada puncak kepala Renjana berkali-kali. sedangkan Renjana hanya bisa meremat hoodie yang dikenakan Darma saat ini menumpahkan segala perasaan yang ia pendam selama ini.

Hangat

Begitu hangat

Jadi ini rasanya dipeluk bapak?

Darma melepaskan pelukannya, menangkup kedua pipi putranya lalu mengusapnya pelan seraya menghapus sisa-sisa air mata yang membekas pada pipi Renjana, “Maafin bapak ya? bapak belum bisa jadi bapak yang baik buat Renja, belum bisa beri kasih sayang yang Renja mau, maaf ya, bapak terlalu egois. tapi nak, bapak melakukan ini untuk melindungi kamu.” ucapan Darma sontak berhasil membuat Renjana mengerutkan alisnya, tanda ia bingung akan pernyataan terakhir yang Darma berikan.

“Dan untuk masalah ini, belum saatnya kamu tahu. sekarang yang harus Renjana anak bapak tahu itu, kalau bapak sayang banget sama Renja,” ucap Darma final dan kembali menuntun Renjana untuk masuk ke dalam pelukannya.

“Maaf,” lirih Darma pelan. “maafin bapak.”

“Pak,” panggil Renjana pelan namun Darma tetap mendengarnya dengan jelas, “Kenapa?”

“Malam ini boleh Renja tidur sama bapak?” Darma terkekeh, “Boleh banget, mau seterusnya sama bapak pun boleh.”

Masih dalam dekapan Darma Renjana tersenyum, semakin mengeratkan pelukannya, “Makasih bapak, Renja seneng banget.”