Tengkar

“Gua ke atas dulu,” ucap Hasan pada Nanda yang kini tengah menemaninya bermain basket di lapangan belakang guna menghilangkan penat yang sedari tadi singgah pada tubuh mereka karena pelajaran yang kian hari kian rumit untuk mereka cerna dengan baik.

“Mau ngapain? istirahat kan masih lama,” tanya Nanda dengan fokus yang masih pada bola yang hendak ia masukin ke ring. Hasan terduduk meminum air mineral yang sempat ia bawa sebelum ke lapangan, meneguknya tandas tak bersisa. “Abang gua dateng.” Nanda hanya mengangguk tanda mengerti, “Nanti kalo udah diatas panggilin Candra,” ucap Nanda saat Hasan hendak menutup pintu lapangan, lalu sesaat kemudian ia acungkan jempol tanda setuju. “Siap.”

Langkah cepat digunakan agar lebih cepat ia dapat menemui abangnya dan lebih cepat pria itu pergi dari sini, firasatnya akan terjadi hal yang tidak mengenakan nantinya semakin besar kala semakin dekat ia dengan tempat yang dituju.

Kakinya berhenti kala melihat abangnya sedang berbicara dengan Marvel. terlihat akrab namun mampu memunculkan senyum Hasan yang sedari kemarin hilang entah kemana.

“Halo bang,” sapanya lembut pada abangnya, diberinya tepuk pelan pada bahu abangnya salah satu bentuk sapaan yang mereka gunakan. Januar, pria itu menoleh memberi senyum hangat untuk adiknya yang hampir dua minggu tidak pulang ke rumah.

“Gue masuk dulu ya,” pamit Marvel namun sebelum Marvel pergi Hasan memanggil pria itu cepat, “Tolong bilangin Candra ditunggu Nanda di lapangan.” setelah Hasan selesai mengutarakan apa pesan yang diberikan Nanda tadi Marvel mengangguk lalu kembali pergi menuju kamarnya meninggalkan dua insan kakak beradik ini berdua di lorong.

“Masuk bang?” tawar Hasan untuk bicara di dalam kamarnya, Januar menggeleng, “Nggak usah, di sini aja.” Hasan mengangguk, lalu ia dudukkan tubuhnya pada kursi tepat di samping abangnya.

“Ada apaan bang?” ucapnya memulai obrolan. Januar menoleh, memutar tubuhnya hingga kini ia bisa menatap tubuh adiknya secara jelas. “Gue mau nanya sama lo, ada masalah apa lo sama ayah?”

Hasan diam, bibirnya ia gigit pelan ia tahu kedatangan abangnya ini pasti tidak jauh tentang kejadian dua minggu lalu. Hasan menggeleng lemah, “Nggak ada kok, kemarin kayaknya gua lagi capek aja terus kata-kata ayah bikin gua ke-trigger.”

Januar hanya mengangguk dengan jari yang tidak berhenti mengetuk-ngetuk meja di sampingnya. “Emang ayah bilang apa sampai lo ke-trigger? soalnya yang gue tahu adek gue ini jago kontrol emosi.”

berarti lo nggak tahu gua bang

Tidak kunjung dapat balasan, Januar hanya bisa menghela nafasnya, “Yaudah kalo lo nggak mau ngasih tahu ya nggak apa, tapi jangan diulangi lagi ya yang kemarin? itu nggak sopan, gue nggak pernah ajarin lo kayak gitu ke orang tua.”

“Iya bang, maaf.” Januar terkekeh kecil lalu mengusak lembut rambut adiknya itu, “Iya.”

“Eh iya, gimana di sini? lancar?” Hasan mengangguk, suasana kali ini jauh lebih santai dan Hasan bisa bernafas lega karena tidak perlu lagi memikirkan alasan apa yang harus ia berikan kala abangnya bertanya mengenai masalahnya dengan sang ayah.

“Lumayan lah.”

Januar mengangguk paham, ia tahu bagaimana sibuknya para siswa di sini, belajar, belajar, belajar sudah menjadi makanan sehari-hari disini. “Belajar yang bener ya San, abang tahu memang capek tapi ya harus dijalani karena banyak banget kepercayaan yang harus kita jaga, ya kan?”

“Dulu abang juga sering ngerasain, sekarang giliran lo ya? hahaha, asal lo jalaninnya bahagia semua akan lancar kok, percaya dah. asal serius dan ibadah yang nggak pernah lo tinggalin abang yakin semua akan baik-baik aja.”

“Kalau lo terlalu beban dengan kata kabar baik, lo harus yakinin diri lo, kalau kompetisi seperti ini itu kalah menang udah biasa, nggak ada kalah yang jelek. karena di sini, lo udah berusaha menjadi versi terbaik dari diri lo, lo udah berusaha semak-”

“Jadi maksud lo, gua nggak bisa menang?” ucap Hasan memotong ucapan abangnya itu, dan sukses membuat kening Januar berkerut, “Maksudnya?”

“Maksud lo kesini tuh mau banding-bandingin diri lo ke gua? bandingin diri lo yang selalu sukses di setiap lomba dan nggak pernah ketemu sama yang namanya kata gagal?”

“Nggak percaya sama kemampuan gua? iya? sok nasehatin harus gini harus gitu, gua ya gua, nggak usah sok peduli kalau niatnya cuma mau muji diri sendiri.”

“Lo kenapa sih? gue dateng baik-baik ya kesini, ngomong baik-baik, kok lo jadi sewot gitu?”

Hasan tertawa remeh, “Baik-baik apa sok baik?”

Januar mengeraskan kepalan tangannya, “Lo aneh, sumpah lo aneh, lo bukan Hasan. lo kenapa sih? ada masalah apa? ada yang ngusik pikiran lo? siapa?”

“Diem bisa nggak anjing!” teriak Hasan dengan kepalan tangan yang berhenti tepat pada wajah sang kakak. membuat Januar kaget setengah mati melihat sifat adiknya yang tidak pernah dia keluarkan sebelumnya.

“Kenapa berhenti? nggak jadi nonjok?” tanya Januar dengan posisi yang masih diam di tempat, “Tonjok aja.” melihat tidak ada pergerakan dari Hasan membuat Januar kembali bersuara, “kok diem? TONJOK!” teriak Januar.

Mendengar suara ribut dari luar membuat Marvel yang sedang membaca buku rumus lantas segera loncat dari kasur dan segera keluar, betapa kagetnya ia melihat tangan Hasan yang berada tepat di wajah abangnya.

“SAN LO NGAPAIN?” ucap Marvel seraya menjauhkan tangan Hasan, menatap adiknya itu lekat namun tatapannya tetap mengayomi dari pandangan Hasan. tidak lama kemudian, Jevana dan yang lain ikut keluar penasaran tentang apa yang terjadi di luar.

Sekarang abangnya, Januar sudah pulang dan Hasan sudah berada di kamarnya ditemani oleh para abang dan adiknya, mencoba menenangkan emosi Hasan yang masih menggebu-gebu itu. dengan pelan Marvel sebagai yang tertua bertanya, “Lo kenapa San? kayaknya dari kemarin gampang emosi?” lantas dengan berat hati Hasan menjelaskan rasa gundahnya yang ia tahan selama ini, sedangkan yang lain semua diam menyimak.

Mereka tidak menyangka bahwa Hasan yang terlihat seperti yang paling abai dan santai ternyata memiliki tekanan yang cukup banyak dari sang ayah. mereka juga baru tahu bahwa Hasan sering tidur larut agar ia bisa menyamakan ketertinggalannya yang berhasil membuat mata Renjana membulat seketika, “Kamu terlalu memforsir San,” ucap Renjana. “kalau lupa kita ini tim, bang Renja udah bilang kan? kalau kita ini satu, kalau kamu merasa kurang kamu bisa tanya sama yang lain di jam pelajaran. jangan malah ngurangin waktu tidur kamu buat belajar lagi. itu nggak baik.”

Hasan mengangguk. “Iya bang, maaf.”

Terjadi hening cukup lama, entah mereka bingung berbicara apa atau hanya enggan membuka suara. sampai celetukan dari seseorang sedang duduk di ranjang dengan buku di depannya itu berhasil merebut semua eksistensi orang yang sedari tadi larut dalam sunyi yang menjalar.

“Pantes nilainya hancur, masalah rumah dibawa ke sini, gimana bisa fokus,” celetuk Jevana pelan namun karena keadaan sangat sepi maka suaranya sangat terdengar jelas di telinga Hasan. membuat lelaki itu bangkit dari duduknya menghampiri Jevana yang masih tenang dengan bukunya.

“MAKSUD LO APA BANGSAT?!” teriak Hasan sembari merampas kasar buku ditangan Jevana dan dilempar ke sembarang arah. “Nggak usah komentarin hidup gua kalau lo aja masih jadi seorang pengecut di hidup lo sendiri.” ucapan Hasan barusan membuat Jevana menatap dirinya heran.

“Lo kemaren nyudutin gua karena target lo buat masuk lima besar nggak tercapai kan? lo tau? cuma seorang pengecut yang nyalahin orang lain atas kegagalan yang dia buat sendiri. dan ya lo itu pengecut.” ulangnya lagi membalas tatapan tajam Jevana yang kini rahangnya sudah mengeras.

“Kok diem? omongan gua bener ya?” lanjutnya lagi. “Ya... emang bener sih orang ambis kayak lo apa lagi sih yang dipikirin? paling nggak jauh dari nilai, peringkat, reputasi,” serang Hasan terus menerus.

Baru saja Jevana ingin membalas ucapan Hasan namun suaranya terpotong kala terdengar rintihan kesakitan dari ujung ruangan, lantas keenamnya menoleh, menatap kaget ke arah tertua kedua yang kini meringkuk dengan tubuh yang bergetar. “To...long, ber...hen..ti,” Lirih Renjana pelan sambil memukul dadanya kuat-kuat.

“To...long….”

Dengan cepat Nanda, Candra serta Zefa memapah Renjana menuju kamarnya meninggalkan dua insan yang sedari kemarin ribut dengan tatapan bersalah dengan Marvel. setelah Renjana benar-benar keluar dari kamar mereka. lantas kini Marvel menoleh ke dua adiknya itu. “Udah?” ujarnya ketus, “Udah emosinya? udah berantemnya? udah saling sindirnya? UDAH?” gertaknya kasar. “Kok nggak jawab? gagu ya? tadi bisa tuh teriak-teriak kenceng, kok sekarang gue tanya diem aja kayak orang bisu?”

Mereka hanya menunduk, merasa sesal untuk kedua kalinya. “Sekarang gue minta lo berdua selesaikan masalah ini secepatnya, gue nggak mau kejadian kayak gini kejadian sampai tiga kali, cukup ini yang terakhir.”

Setelah berkata seperti itu Marvel segera meninggalkan keduanya di kamar, dengan harapan mereka dapat segera menyelesaikan semuanya sekarang. dan dengan cepat ia pergi menuju kamarnya, untuk mengecek keadaan Renjana, yang tadi berhasil membuat Marvel kaget bukan main.