Kak Arkana, Terimakasih ya.

Bel istirahat berbunyi, maka dari itu langkah Arunika percepat menuju kantin tempat ia bisa bertemu dengan kakak kelasnya itu, Arkana. seseorang yang tadi pagi ia buat kesal sampai semua sosial medianya diblokir semua agar ia tidak bisa menghubungi pria itu lagi.

Dengan tergesa ia berjalan menuju kantin, meninggalkan Faiz serta Loka yang belum selesai mencatat tugas dari guru di kelas. Netranya mengedar mencari pria mungil yang selalu tebar senyum kepada siapapun yang dikenalnya, yang selalu memberi rasa hangat kepada setiap orang yang dekat dengannya.

Netranya terkunci pada gerobak siomay dengan empat orang di depannya yang dari Arunika lihat, bahwa mereka sedang memesan siomay sesuai seleranya masing-masing. langkahnya maju menemui satu diantara mereka.

“Kak Arkan…,” panggilnya pelan, dengan nada takut yang tidak bisa lepas dari pendengaran Arkana, lelaki yang kini tengah menuangkan saus sambal pada siomaynya. “Apa?” jawabnya cukup jutek di telinga Arunika, membuat gadis yang berada di satu tingkat di bawahnya ini menundukkan kepala serta sedikit memajukan bibirnya. “Maaf….”

Arkana hanya menghela nafasnya kasar, “Ya, dimaafin.”

“Kak Arkan masih marah?” tanyanya lagi takut-takut. “maafin Aru yang udah ngetawain kak Arkan karena badannya kecil….” jelasnya lagi dengan tangan yang saling bertautan satu sama lain. ucapan Arunika barusan mampu membuat tiga pria di samping Arkana menoleh heran atas sikap Arkan yang kekanak-kanakan itu.

“Udah, sekarang istirahat dulu sana, nanti keburu masuk,” setelahnya Arkana pergi meninggalkan empat insan yang kini hanya diam tanpa bersuara. yang tanpa mereka sadari Arkana tengah tersenyum penuh arti, berharap semuanya akan menjadi lebih baik lagi.


Bel pulang sekolah berbunyi, dengan cepat Arkana segera keluar dari kelas dan langkahnya berhenti pada gadis yang kini duduk dengan kepala menunduk di pinggir kolam. Arkana tersenyum lalu kemudian mendekati gadis itu.

Baru saja Arkana mendudukan bokongnya di samping gadis itu, lantas tidak lama kemudian gadis itu langsung menyadari eksistensinya dan langsung menoleh, “E-eh kak Arkan….” Arkan tersenyum, “Tumben ayah belum jemput?”

Arunika menggeleng, “Nggak tahu... ,” jawabnya pelan, Arkana tahu bahwa gadis ini masih merasa bersalah padanya. “Ikut yuk, aku mau ngomong sesuatu sama Aru,” ucapnya yang lalu menggandeng tangan mungil itu, menggenggamnya dalam genggaman yang erat, seolah-olah tidak boleh ada yang bisa merebutnya dari Arkana.

“Duduk sini,” suara Arkana memecah kebingungan pada raut wajah Arunika sekarang, gerakannya menuruti apa yang diperintahkan kakak kelasnya ini, duduk di sampingnya.

Arkana tersenyum seperti biasa, berbeda dengannya saat istirahat tadi membuat Arunika begitu heran dibuatnya. “Kak Arkan…” panggilnya. Arkana menoleh menaikan satu alisnya dengan maksud bertanya apa alasan Arunika memanggil dirinya.

“Kak Arkan udah nggak marah sama Aru?” Arkana tersenyum lagi, “Nggak kok, nggak pernah marah malah sama Aru mah.”

“Terus yang tadi pagi?”

Sekarang Arkana merubah posisinya, menjadi berhadapan dengan Arunika, memandang lekat-lekat wajah manis gadis di depannya ini seraya berkata, “Buat kak Arkan si nggak marah, tapi nggak tahu yang lain?” Aruna mengerutkan alisnya bingung akan perkataan Arkan barusan, “Maksudnya?”

“Gini ya Aru, buat kak Arkan di bilang kecil, pendek, itu udah biasa. hampir tujuh belas tahun kakak hidup kata-kata itu tidak pernah sekalipun hilang dari radar pendengaran kakak. karena itu faktanya juga kan? kakak kecil, pendek, kurus, nggak kayak laki-laki lain?” Arunika menggeleng, “E-enggak git-” belum sempat Arunika menjelaskan Arkana terlebih dahulu kembali berbicara.

“Kak Arkan udah biasa, harus terbiasa sih lebih tepatnya,” ucapnya lagi. “tapi Ru, nggak semua orang sama kayak kak Arkan, yang menanggapi lelucon yang Aru keluarkan tadi sebagai angin lalu, ada orang yang mati-matian menghilangkan sebutan itu untuk dirinya, ada orang yang sensitif akan sebutan itu, ada orang yang kembali insecure atas apa yang dia punya sekarang ketimbang harus mencintai dirinya sendiri.”

“Mungkin dalam pikiran Aru kata-kata yang Aru sebutin itu memang fakta yang sudah diakui kebenarannya dan Aru lihat sendiri aslinya. jadi Aru dengan mudah bisa berkata seperti itu, tapi… semua yang Aru lihat itu tidak semuanya Aru lihatkan? Aru nggak lihat kan gimana perasaannya saat Aru bilang pendek pada orang pendek yang sedang berusaha mencintai dirinya, Aru bilang gemuk pada orang yang sudah diet besar-besaran namun belum membuahkan hasil, dan Aru bilang bodoh pada orang yang sudah mati-matian belajar namun kemampuannya hanya sebatas yang dia punya? bisa jadi mereak sakit hati, merasa kecil kembali namun mereka cuma bisa ikut tertawa, ikut tersenyum menanggapi ocehan Aru, atau bisa juga mereka sama kayak kak Arkan, kita nggak ada yang tahu kan?”

“Kak Arkan nggak mau, kata-kata yang Aru keluarkan nanti kedepannya bisa menjadi boomerang buat Aru sendiri, jadi sebelum bicara, harus dipikirin dulu ya apa yang seharusnya dikeluarkan atau tidak.”

Arunika mengangguk, “Aru...Aru nggak nyangka kalau kata-kata yang Aru anggap biasa menjadi luar biasa bila di dengar oleh orang yang salah....” Arkan tersenyum, “Nggak apa-apa, sekarang Aru kan udah tahu, jadi jangan diulang ya?”

Arunika tersenyum. lalu Arkana mengangkat kelingkingnya, “Janji ya?”

“Janji!”

“Sekarang hapus dulu air matanya, nanti kakak kena marah ayahmu lagi,” ucap Arkana dengan nada pura-pura kesal.

“Loh anak gadis ayah kenapa nangis???” tanya seseorang dari arah samping mereka, sedang berjalan dengan langkah cepat menghampiri keduanya, membuat tubuh Arkana seketika membeku, gugup dan takut menjadi satu.

Tatapan tajam Vindra tidak bisa ia hindari, membuat Aru yang sudah menyadari suasana lantas menengahi perang tatap ayahnya itu, “EHHH, AYAH kak Arkan nggak ngapa-ngapain Aru kok!”

“Terus Aru kenapa nangis, hm?” tanya Vindra cepat seraya membantu menghapus air mata yang masih membasahi pipi putri kesayangannya ini.

“Kak Arkan tadi baru aja ngejelasin apa yang bener sama yang nggak, abis ngajarin Aru kalau mau bicara harus dipikirin dulu jangan asal bicara aja….” mendengar Aru menjelaskan itu hati Vindra menghangat, lalu tatapannya menatap pemuda yang kini hanya diam menatap Vindra sedikit takut.

“Makasih ya Arkan.” Arkana yang kaget mendapati ucapan terimakasih dari Vindra lantas mengangguk cepat, “Sama-sama ayah!” jawab Arkana semangat, Vindra tersenyum sepertinya pria muda di depannya ini sudah nyaman untuk memanggilnya 'ayah' juga, seperti dengan teman-teman Aru lainnya.

“Yuk makan siang, ayah mau traktir bakso yang baru buka di pertigaan sana itu, katanya Delvin enak soalnya,” ucap Vindra.

“AYOO!!” jawab Aru semangat, namun langkah keduanya berhenti kala merasakan bahwa ada sesuatu yang tertinggal, “Loh Arkan? ayo ngapain diem disitu?” tanya Vindra yang heran melihat Arkana hanya berdiri diam menatap dirinya dan Aru dalam diam.

“Eh aku ikut?”

“Ya iya, ayo!” Arkana tersenyum, menghampiri keduanya lalu menyamakan langkah mereka, kemudian berkata, “Ayah…” Vindra menoleh, “Apa?”

“Mau dirangkul juga dong kayak Aruuu,” jawab Arkana semangat. “Dih, kayak anak kecil aja!” balas Vindra yang lalu ikut merangkul lelaki di sampingnya ini.