Ada opsi bicara baik-baik kenapa kekerasan yang dipilih?

Pagi ini semuanya sudah berkumpul pada ruang ujian. suasana dingin serta sedikit mencekam menemani mereka hampir selama tiga jam. desah frustasi akan soal yang meminta untuk dikerjakan tak luput hilang dari pendengaran masing-masing dari mereka.

Hasan yang semalaman belajar untuk ujian kali ini, merasakan matanya terkantuk hebat sekarang, sedikit menyesal dalam dirinya karena tidak mendengar Renjana untuk tidur lebih cepat. Sekarang ia begitu mengantuk dan tidak bisa fokus akan soal di depannya ini.

Sedangkan Jevana, lelaki itu begitu fokus pada soal-soal di depannya, memeriksa setiap soal hingga sepuluh kali lebih agar tidak ada yang salah satu pun nantinya.

Ujian selesai tepat setelah Hasan berhasil menyelesaikan semua soal, tentu saja ada beberapa soal yang diisi dengan hitung kancing karena tidak bisa lagi untuk dia menghitung di waktu yang begitu singkat.

Sekarang setelah enam jam mereka beristirahat sehabis ujian pagi tadi, ketujuh pemuda itu sudah berkumpul pada ruang belajar mereka, tentu saja bersama pak Theo yang akan mengumumkan hasil ujian mereka tadi. Ketujuhnya memperhatikan raut wajah pak Theo yang berubah kala sudah membuka hasil nilai mereka.

“Gimana pak?” tanya Marvel yang sudah penasaran.

“Lima belas besar,” jawaban pak Theo membuat Jevana memejamkan matanya, bibirnya ia gigit kencang, tangannya ia kepal kuat-kuat agar emosi yang sedang ia tahan mati-matian tidak hilang kendali dan menyakiti orang lain.

Suasana tiba-tiba menjadi diam tidak ada yang berkomentar satu pun hingga dering ponsel pak Theo menginterupsi seisi ruangan, “Saya angkat telepon dulu.” setelah itu pak Theo menghilang dari balik pintu.

“Nggak apa-apa guys, ini baru ujian materi aja kok,” ujar Hasan akhirnya setelah mereka diam begitu lama bermaksud mencairkan suasana akan atmosfer yang berubah menjadi aneh menurutnya. yang benar saja, ucapannya tadi membuat emosi seseorang salah satu disana tersulut.

“Enteng banget lo ngomong gitu?” Ya itu Jevana, rupanya lelaki itu sudah tidak bisa lagi menahan emosinya.

“Loh Jev, emang bener kan? ini cuma ujian materi biasa?” jawab Hasan masih dengan santai, walau sebenarnya ia juga sedikit kecewa dengan hasilnya, bisa-bisa nanti ia kembali diomeli ayahnya lagi.

Jevana tertawa kecil, namun terdengar seperti cemoohan bagi Hasan “Orang yang lolos olimpiade karena hoki ngerti apa sih soal peringkat ginian?” ucap Jevana pada akhirnya dengan tubuh yang bersandar sepenuhnya pada kursi dengan tatapan lekat pada Hasan. membuat orang-orang disana yang sedari tadi diam mendengarkan menatapnya tidak percaya.

“Jev!” seru Marvel dan Renjana secara bersamaan. Jevana menoleh, menatap nyalang kedua orang yang lebih tua darinya itu bergantian, “Kenapa? emang bener kan?”

“Dia masuk kesini karena hoki doang, nilai juga pas-pasan, tapi usahanya nol besar buat berubah, dari awal nggak ada kemajuan, selalu yang terbawah, kalah sama Candra dan Zefa yang baru kelas sepuluh tapi udah bisa ngikutin pelajaran kelas dua belas,” jelas Jevana panjang lebar.

kemudian tatapannya menatap Hasan yang rupanya kini juga sedang menatapnya dengan tajam, tangannya sudah terkepal kuat, nafasnya memburu cepat. lalu sepersekian detik kemudian, “Lo keterlaluan Jev,” ucap Hasan pelan dengan intonasi rendah yang tidak biasa digunakan sebelumnya. masih berusaha menahan emosi yang sudah berada di ujung, yang jika dipanaskan sedikit lagi maka akan keluar dengan mudah.

“Kenapa? kerasa ya?” jawab Jevana tidak gentar tetap dengan nada yang terdengar menjengkelkan pada telinga Hasan. dan itu sukses membangkitkan emosi Hasan yang sedari tadi ia tahan kehadirannya. dan tanpa mereka percaya Hasan berdiri berjalan menuju Jevana dan satu pukulan keras mendarat tepat pada pipi Jevana, membuat sang korban tersungkur ke lantai. “Lo. Nggak. Tahu. Apa-apa. Jadi. Mending. Lo. Diem. Aja. Jev,” ujar Hasan penuh penekanan.

Jevana yang tidak terima atas pukulan yang dilayangkan Hasan lantas kembali berdiri dan memberi pukulan balik untuk Hasan. setelahnya mereka terjadi baku hantam yang sangat susah dipisahkan bahkan Marvel dan Nanda sudah menyerah akan itu, tenaga mereka kali ini begitu kuat karena tercampur akan amarah yang membuncah.

“Zefa Candra tolong panggil pak Theo!” perintah Marvel pada kedua adiknya yang kini hanya bisa diam di pojok ruangan. ia sudah menyerah memisahkan dua insan yang masih saling serang itu. sampai ia tidak sadar ada seseorang yang berusaha menjauh dari tempat kejadian untuk meminimalisir sakit di dadanya yang tiba-tiba muncul kembali setelah hampir tiga minggu ini hilang entah kemana. mati-matian ia menahan sesak di pojok ruangan dengan tubuh yang meringkuk, “Sakit….” lirihnya pelan, agar tidak ada satupun yang dapat mendengarnya.

“BERHENTI KALIAN!” teriak pak Theo yang baru saja masuk ke ruangan. tatapan tak percaya ia tampilkan kala melihat kedua pemuda yang sekarang penampilannya begitu berantakan. “Kalian ini ngapain hah?! BANGUN!”

Keduanya langsung bangun, sembari merapikan pakaian yang sudah tak berbentuk lagi. “Kalian tahu perbuatan kalian ini bisa membuat kalian didiskualifikasi? SADAR NGGAK?” gertaknya keras membuat kedua pemuda di hadapannya ini terjingkat kaget.

“Bapak tahu kalian sudah besar, dan seharusnya kalian bisa paham apa maksud bapak. jangan kekanak-kanakan, ada opsi berbicara baik-baik kenapa kekerasan yang dipilih? udah nggak punya mulut buat bicara? iya?!” keduanya tetap diam tidak bergeming.

“Bapak nggak mau sampai kejadian seperti ini terulang lagi, kalian disini itu tim, harusnya kerjasama bukan malah terpecah kayak gini. ” setelahnya ia keluar dari ruangan, meninggalkan hening yang begitu panjang di antara mereka.

“Gue keluar dulu,” ucap Jevana final lalu meninggalkan ruangan. sedangkan Hasan lelaki itu langsung terduduk lemas pada sofa disana mengusap wajahnya kasar dan tidak lama kemudian bahunya bergetar. “Maaf bang, gua khilaf,” ujarnya lirih. “Maaf…”

Marvel menghela nafasnya, “Lain kali jangan gitu San, itu bisa bahayain kalian berdua. kita ini udah kayak keluarga. semarah-marahnya lo nanti jangan main tangan lagi ya? gue akuin Jevana tadi keterlaluan, tapi tindakan lo yang langsung nonjok Jevana gitu aja juga nggak bisa gue benerin, itu salah juga.”

Hasan mengangguk, “Iya bang, gua paham.”

Disisi lain Jevana kini terduduk di bawah pohon mangga dengan kepala tertunduk lemas. menyesali perbuatannya tadi dalam diam, ia juga tidak percaya bahwa ia bisa berkata sekasar dan semenyakitkan itu pada Hasan, padahal ia sendiri melihat bagaimana kerasnya Hasan dalam mengejar ketertinggalan mereka.

Ia juga sering merpergoki Hasan yang tengah belajar diam-diam di bawah selimutnya. “San, maafin gue…” lirihnya pelan. “Arghh,” racaunya frustasi lalu ia usap wajahnya dengan kasar. tekanan yang diberikan sang kakek hari ini sukses membuatnya terlihat menjadi orang yang jahat.

“Sialan.”