Hasan capek jadi pemenuh ekspektasi
Hasan masuk ke rumah dengan perlahan, takut-takut membangunkan keluarganya yang mungkin sudah tertidur lelap. namun ternyata ia salah sebab ayah ibunya kini tengah berkumpul di ruang televisi menonton berita yang kini tengah ramai diperbincangkan.
“Darimana lo San?” tanya Januar yang baru saja datang dari arah dapur membawa tiga gelas air putih dingin. Hasan yang kala itu sedang meletakkan alas kakinya pada rak di samping pintu lantas menjawab, “Dari rumah sakit.”
Januar yang baru saja meletakkan bokongnya pada sofa empuk itu segera menoleh menatap sang adik yang sekarang sedang berjalan menuju tangga menuju kamarnya, “Siapa yang sakit?”
“Omanya temen gua.” jawaban Hasan hanya dibalas anggukkan oleh Januar, sedangkan kedua orang tuanya hanya mendengarnya perbincangan kedua anaknya itu dalam diam dengan mata yang pura-pura fokus pada layar televisi.
Sebelum Hasan benar-benar menghilang dari balik tangga, Januar kembali bersuara, “Gua beli cilok tuh, kalo mau makan ambil aja di meja.” perkataan Januar barusan hanya dibalas acungan jempol oleh Hasan.
“Dimana bang ciloknya?” tanya Hasan yang kini sudah mengganti bajunya menjadi kaos hitam tipis dengan celana boxer coklat kesukaannya sembari menghampiri meja makan di samping tangga.
“Nih,” ujar Januar seraya mengangkat sekantong plastik berisi satu bungkus cilok di dalamnya. “Pake mangkok aja makannya, takut tumpah.” Hasan mengangguk, lantas menuju dapur untuk mengambil sebuah mangkok di sana.
“Lo udah makan?” Januar mengangguk, “Udah tadi sama ayah ibu.” Hasan hanya mengangguk dengan mulut penuh. lalu tidak lama ponsel Januar berdering, “Gue ke atas dulu ya, ada telepon penting.”
“Cewek ya,” ledek Hasan dengan cengiran tengilnya.
“Ngaco!” setelahnya Hasan tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban sewot Januar.
Sepeninggal Januar ke kamarnya, sekarang hanya tinggal ia sendiri. rasanya ia merasa sedikit deja vu akan suatu hal tapi ia lupa itu apa. lalu tidak lama pintu kamar terbuka, menampilkan sosok yang sedari tadi sedang sibuk pada pekerjaannya.
“Nilai kamu jelek San,” ujarnya pertama kali dari ia keluar kamar, membuat jantung Hasan seketika tersentak kaget. dengan susah payah ia menelan sisa makannya yang masih tersisa di mulut.
“Gimana yah?” tanya sedikit takut. dengan kasar ayahnya menyodorkan ponsel yang sedari tadi ia pegang, menampilkan sebuah rekap nilainya selama satu minggu di asrama.
“Ayah rasa kamu nggak perlu nanya lagi San, kamu sengaja diem-diem aja ya? kayaknya kalo gurumu nggak kasih rekap nilai ini, kamu nggak akan kasih tahu ayah.” Hasan menelan ludahnya gugup, melihat mata legam ayahnya yang kini sedang menatapnya tajam.
“Maaf ayah, Hasan nggak maksud begitu,” jawabnya dengan mata yang tidak bisa melihat balik mata ayahnya. “lagi juga, nilai Hasan nggak yang paling kecil kok,” belanya.
“Terus maksudnya? kamu itu berada di dua paling bawah Hasan, kamu lihat kakakmu yang tidak pernah lepas dari tiga besar.” perkataan ayahnya tadi membuat ia meremas sendok di tangannya dengan kencang, menahan emosi yang mulai memuncak.
“Kamu itu anak ayah, seharusnya kamu juga bisa seperti abang-”
“Tapi Hasan bukan abang,” potong Hasan cepat sebelum sang ayah melengkapkan kalimatnya. “Hasan bukan abang dan nggak akan menjadi kayak abang ayah,” lanjutnya lagi.
“Hasan itu Hasan, anak kedua ayah. bukan bayang-bayang dari abang, anak kesayangan ayah. Hasan cuma anak kedua ayah yang kata ayah anak manja, cengeng dan kerjaannya main mulu, bukan abang yang pinter dan selalu bisa bahagiain ayah.”
“Ayah maafin Hasan karena kemampuan Hasan cuma sampai sebatas itu, Hasan udah berusaha keras untuk mendapat nilai lebih tinggi dari itu. tapi ternyata kapasitas otak Hasan hanya mampu bisa sampai segitu, maafin Hasan yang tidak pernah bisa bahagiain ayah.”
“Hasan cuma mau, ayah bisa ngerti Hasan. bisa paham Hasan, bukan malah menuntut, menuntut dan menuntut Hasan atas apa kemauan ayah. maaf ayah kalau tidak sopan, tapi ini hidup Hasan, dan Hasan berhak atas itu,” ucap Hasan menggebu-gebu menyuarakan isi hati yang selama ini ia pendam.
Ia lelah dituntut sempurna, ia lelah menjadi bayang-bayang abangnya, ia lelah. anak berumur tujuh belas tahun itu terlalu capek menanggung semuanya. sekarang cilok di depannya kini sudah tidak lagi menggugah selera makannya. dengan terpaksa ia bangkit berniat menuju kamarnya. namun sebelum itu, ia kembali berbicara pada ayahnya yang kini hanya diam menatap lurus ke depan.
“Hasan capek jadi pemenuh ekspektasi ayah.”