“Malam ini Renjana boleh tidur sama bapak?”

Renjana berjalan menuruni tangga menghampiri sang ayah yang tadi memanggilnya untuk makan malam, jelas saja Renjana begitu senang, apalagi moodnya sedang baik akibat tingkah konyol teman-temannya tadi.

Netranya menatap sang ayah yang kini sedang mencari sesuatu di dapur. “Cari apa pak?” tanyanya sembari mendekat ke arah ayahnya itu. Darma yang tadi fokus mencari bahan makanan untuk ia masak itu lantas menoleh menatap putranya itu.

“Hah,” tanyanya sedikit kaget. “lagi cari bahan makanan, bapak kira ada isinya ternyata kosong semua ya, hehe.” Renjana tersenyum seraya menggeleng-geleng kecil, tangannya kemudian membuka kulkas dan mengeluarkan dua butir telur. “Ini ada,” ucapnya sumringah.

Dengan cepat Darma mengambil alih dua butir telur itu dan mulai memasaknya, Renjana diam memperhatikan ayahnya itu yang sedang memasak untuknya, iya untuknya. tidak bisa lagi Renjana sembunyikan senyum bahagianya itu. melihat ayahnya sedang memasak memang sudah biasa, tapi masakannya kali ini untuknya.

Untuk Renjana.

“Jadi,” ujar Darma memamerkan dua butir telur mata sapi yang sudah matang di penggorengan, dengan cepat Renjana mengambil piring, dan dengan hati-hati Darma meletakkan telur itu, satu-satunya makanan yang tersisa di rumah. namun sial, sepertinya mereka tidak ditakdirkan untuk makan sekarang.

Tepatnya baru saja Darma akan meletakkan telur miliknya pada piring, seekor cicak terjatuh pada piring milik Renjana, dan secara spontan membuat keduanya melempar piring serta penggorengan yang mereka pegang masing-masing.

Hening.

Mereka diam, menatap telur yang sudah kotor di lantai. mereka cukup lama terdiam sampai Darma berdehem pelan, membuat Renjana kembali pada kesadarannya. Dengan gugup Darma menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, “Kita makan di luar aja ya?”


“Loh pak, pakai motor?” tanya Renjana yang baru saja keluar rumah dan melihat Darma mengeluarkan vespa hitam miliknya, dengan senyum Darma mengangguk, “Iya, naik motor aja ya, kalau jalan bapak capek.” Renjana sebenarnya tidak masalah, mau naik motor atau mobil atau bahkan berjalan kaki sekalian, asal bersama bapak Renjana senang.

“Pegangan yang kenceng Ja, nanti jatoh,” ucap Darma sedikit teriak seraya menarik tangan Renjana untuk semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh Darma, dengan nurut Renjana semakin memeluk ayahnya kuat, dan sekarang kepalanya bertopang pada bahu kekar milik ayahnya. Tidak lupa dengan senyum yang sedari tadi tidak hilang dari wajahnya.

Sekarang mereka sudah berada di warung pecel lele di pertigaan lampu merah, tidak cukup jauh dari rumah Renjana, tapi kalau berjalan, bisa memakan waktu lima belas menit.

“Nasi uduk dua, pakai lele dua-duanya,” pesan Darma pada salah satu karyawan warung makan kaki lima tersebut, lalu setelahnya kembali memesan minum untuk mereka, “teh hangat satu, jeruk hangat satu.” setelah karyawan itu selesai mencatat, perhatian Darma kembali pada tubuh kecil di hadapannya ini yang kini sedang menatapnya juga.

Hatinya teriris melihat putranya terasa sangat jauh darinya, ia tahu dan begitu sadar atas apa yang ia lakukan selama ini pada Renjana, pikirannya sekarang diliputi berbagai macam penyesalan sampai-sampai semuanya melebur kala suara lembut milik Renjana menyapanya.

“Bapak pesan jeruk untuk Renja?” tanya Renjana dengan kepala sedikit dimiringkan. Darma mengangguk, ia tahu betul apa saja kesukaan anaknya itu. jeruk hangat, menggambar, ikan lele, juga kue dadar gulung yang dijual di toko yang berada tepat di depan sekolah Renjana. ia juga tahu bahwa putranya itu sangat menyukai film bergenre thriller walau nantinya ia akan tidur meringkuk di kasur dengan selimut yang menutupinya.

“Bapak tahu Renja suka jeruk hangat?”

Darma tahu, sangat tahu.

Tapi ia tidak bisa berbuat banyak, atau nantinya hal buruk akan menimpa Renja.

Ia sayang, sangat sayang pada putranya ini. namun ia harus tahan segala emosi yang ia pendam untuk menyalurkan kerinduannya pada anaknya ini. “Bapak selalu tahu apa yang Renja suka.”

“Berarti bapak tahu kalau Renja butuh bapak?” hati Darma tercekat, perih yang ia rasa sangat tidak bisa bekerja sama sekarang, pada akhirnya ia hanya bisa memutus kontak mata pada anaknya itu. untunglah di saat yang tepat pesanan mereka datang, “Makan yang banyak Ja.”

Renjana diam, melihat ayahnya mengalihkan pembicaraan secepat ini membuatnya ingin menangis sekarang, ia hanya ingin tahu apa ayahnya ini benar-benar peduli padanya sekarang atau ada hal lain yang membuatnya bersikap seperti ini.

Makanan mereka telah tandas, dan mereka pun kini sudah berada pada pasar malam yang ternyata sedang diadakan malam ini. awalnya Renjana menolak tapi Darma segera menarik tangan kecil itu lalu menuntunnya memasuki pasar malam yang sudah tidak begitu ramai lagi.

Tujuan Darma adalah permen kapas dengan berbagai macam karakter di sana. dengan cepat ia pergi menuju toko tersebut meninggalkan Renjana yang berjalan pelan di belakangnya.

Renjana memejamkan matanya, bibirnya ia gigit kuat-kuat agar tidak menangis. ia tidak tahu kenapa ia harus menangis di saat ia harus merasa senang?

Pertama kalinya ia pergi berdua dengan ayahnya, pertama kali juga ia melihat ayahnya tersenyum bahkan tertawa begitu manis padanya. Tapi kenapa matanya malah memanas dan sekarang malah meneteskan bulir air bening? dengan cepat Renjana menghapus jejak air mata itu, dia tidak ingin Darma melihatnya.

Kini matanya tidak bisa lepas pada pria yang kini tengah memesan permen kapas itu. tatapan serius ayahnya yang menuntut sang penjual untuk membuat karakter pesanannya itu membuatnya ia terkekeh kecil.

Tak lama kemudian Darma datang dengan sebuah permen kapas besar berwarna putih dengan raut wajah masam, Renjana bingung menatap ayahnya, “Pak? kenapa?”

Darma menunduk, “Bapak sebel, penjualnya nggak tahu moomin, kamu suka moomin kan?” tanya Darma yang sukses membuat kaki Renjana lemas, bagaimana bisa ayahnya yang sangat terlihat tidak peduli padanya bisa mengetahui karakter kartun kesukaannya juga?

Dengan senyum Renjana mengambil permen kapas yang hanya berbentuk gumpalan putih dengan kuping yang tidak terbentuk dengan jelas itu, dipegangnya erat seraya berkata, “Renjana lebih suka ini karena bapak yang belikan. mau moomin atau yang lain, asal bapak yang belikan Renja pasti suka pak,” ucapnya dengan tatapan yang melekat pada permen kapas itu.

Darma diam, diam-diam tersenyum miris melihat putranya yang sudah terlalu lama ia campakkan kehadirannya. “Duduk di sana yuk,” ajaknya menunjuk pada kursi taman yang berada tidak jauh dari tempat mereka sekarang.

Hanya suara-suara bising dari para pengunjung yang menemani dua insan yang kini larut dalam diamnya masing-masing. tidak berniat bicara ataupun mencari topik pembicaraan. saling larut dalam kesedihan yang saling dirasakan, saling menyakiti diri dengan bersikap egois. hingga yang kecil berbicara terlebih dahulu.

“Bapak kenapa?” Darma tersentak, ia lantas menoleh pada Renjana yang tatapannya masih menatap lurus ke depan, ia menggeleng, belum sempat ia menjawab tapi Renjana terlebih dahulu kembali bersuara.

“Bapak kenapa baik ke Renja? bapak kenapa bersikap seolah-seolah bapak sayang banget sama Renja? apa ada sesuatu yang maksa bapak buat bersikap kayak gini ke Renja?” Darma diam seribu bahasa, ia tidak menyangka bahwa ini akan keluar dari mulut Renjana.

“Bapak sayang Renja, selalu nak.”

Renjana menggeleng, “Kalau sayang kenapa bapak nggak pernah ada buat Renja, kenapa bapak diam waktu ibu marahin bahkan pukul Renja? kenapa bapak cuek banget sama Renja bahkan bapak nggak pernah berada di dekat Renja walau cuma lima menit?” tutur Renjana dengan suara yang mulai bergetar menahan tangis, “kenapa bapak, Renja ada salah apa sama bapak?”

“Renja nggak ada salah apa-apa nak, sama bapak,” potong Darma kini tubuhnya sudah sepenuhnya menghadap Renjana, tubuh putranya yang bergetar tidak luput dari perhatiannya. “Renja anak bapak yang paling baik, nggak pernah buat salah sama bapak, nggak pernah ngecewain bapak, Renjana itu malaikatnya bapak.”

Satu bulir air mata yang sedari tadi Renjana tahan, lolos begitu saja. “Tapi kenapa bapak dingin banget sama Renja, kenapa bapak selalu menganggap kalau Renja nggak ada kena-” omongan Renjana terpotong akibat tarikan pada tangannya. kini ia berada pada dekapan Darma, ayahnya.

Tangis Renjana pecah begitu saja, bibirnya ia gigit kuat-kuat. merasakan sensasi yang belum sama sekali pernah ia rasakan. keduanya kini sama-sama terisak, sama-sama merasakan penderitaan yang sama, sama-sama merasa sesak bukan main.

“Maaf nak, maaf,” ujar Darma dengan gemetar diiringi kecupan hangat pada puncak kepala Renjana berkali-kali. sedangkan Renjana hanya bisa meremat hoodie yang dikenakan Darma saat ini menumpahkan segala perasaan yang ia pendam selama ini.

Hangat

Begitu hangat

Jadi ini rasanya dipeluk bapak?

Darma melepaskan pelukannya, menangkup kedua pipi putranya lalu mengusapnya pelan seraya menghapus sisa-sisa air mata yang membekas pada pipi Renjana, “Maafin bapak ya? bapak belum bisa jadi bapak yang baik buat Renja, belum bisa beri kasih sayang yang Renja mau, maaf ya, bapak terlalu egois. tapi nak, bapak melakukan ini untuk melindungi kamu.” ucapan Darma sontak berhasil membuat Renjana mengerutkan alisnya, tanda ia bingung akan pernyataan terakhir yang Darma berikan.

“Dan untuk masalah ini, belum saatnya kamu tahu. sekarang yang harus Renjana anak bapak tahu itu, kalau bapak sayang banget sama Renja,” ucap Darma final dan kembali menuntun Renjana untuk masuk ke dalam pelukannya.

“Maaf,” lirih Darma pelan. “maafin bapak.”

“Pak,” panggil Renjana pelan namun Darma tetap mendengarnya dengan jelas, “Kenapa?”

“Malam ini boleh Renja tidur sama bapak?” Darma terkekeh, “Boleh banget, mau seterusnya sama bapak pun boleh.”

Masih dalam dekapan Darma Renjana tersenyum, semakin mengeratkan pelukannya, “Makasih bapak, Renja seneng banget.”