athiverse

“Abang, terimakasih ya. terimakasih untuk selalu ada buat Zefa.”

Rasa bersalah yang kini menggerogoti Zefa akan kejadian beberapa minggu lalu dimana ia meninggalkan kakaknya dan membuat marah bundanya tidak juga bisa hilang dari benak pikirannya.

Rasanya seperti ada batu yang mengganjalnya saat ini, sudah dua minggu ia tidak membalas pesan bundanya, itu juga selain sibuk juga karena rasa takut yang semakin bertambah kian hari, sukses membuatnya gundah sekarang.

Kini ia tengah berada di kamar Hasan, Jevana, Nanda dan Candra, berkumpul seraya memakan camilan yang tadi baru saja dikirimkan oleh ayah Jevana. sekarang mereka tengah bersenda gurau, saling melempar candaan yang bisa dibilang garing tapi tetap saja mengundang tawa.

Melupakan sejenak tentang belajar, kini mereka ingin menghabiskan waktu bersama, sudah hampir seminggu mereka berkutat pada materi-materi yang kian hari kian membludak. belum lagi soal-soal latihan yang sangat banyak yang membuat pusing tujuh keliling.

Untung mereka punya Renjana, seseorang yang paling merawat mereka disana, selalu meminta mereka istirahat kalau ia rasa semua sudah mulai lelah, meminta mereka untuk makan teratur karena nanti kalau sakit, ya terserah kalau sakit kan kalian juga yang ngerasain, abang mah cuma bisa bantu obati aja. katanya, kalau mereka sedang susah diatur. posisi sebagai tertua kedua sangat ia jalani dengan baik.

Ada juga Marvel, si paling tua, juga partner ambis Jevana yang kalau sudah berkutat sama buku susah banget disuruh berhenti. langganan kena omel Renjana karena susah banget dibilangin. si paling keras kepala tapi juga yang paling siap siaga kalau adik-adiknya lagi ada masalah. ada abang disini, kalian bisa cerita, jangan pernah ngerasa sendiri ya?

Dan kalau mereka benar-benar lagi suntuk yang suntuk banget, bener-bener mumet sama semua yang lagi mereka kerjain, maka Hasan yang mereka cari. si konyol yang selalu punya banyak cara untuk bikin semuanya tertawa, yang paling berhasil membuat situasi menegangkan menjadi sebuah euforia yang menyenangkan.

Dering ponsel yang berbunyi di atas kasur kini menarik atensi mereka yang sedang bermain kartu uno yang dibawa Hasan waktu pulang ke rumah tiga minggu yang lalu. lantas Zefa sang pemilik ponsel segera menghampirinya untuk mengambil benda pipih itu.

‘bibi’

Nama kontak yang tertera sebagai penelpon itu sukses membuat kening Zefa berkerut, jarang sekali bibinya ini menelpon dirinya. dengan perasaan bingung ia angkat panggilan itu ragu-ragu. sambungan terhubung, namun bukan sapaan hangat yang ia dapat melainkan caci maki yang berhasil membuatnya membeku di tempat.

Ya, itu bundanya

Kakinya bergetar, jantungnya berdetak cepat, namun dengan cepat pula ia menyembunyikan itu semua dan berpamitan untuk keluar.

Marvel yang baru menyadari bahwa ponselnya tertinggal di kamar waktu mereka ingin mengambil gambar sebagai kenang-kenangan, lantas kembali ke kamarnya untuk mengambil ponsel.

Bunda, Zefa minta maaf

Namun langkahnya seketika berhenti.

Bunda Zef.. suara itu terdengar bergetar

Bunda… semakin bergetar.

Bunda… semakin pelan.

Bunda bisa nggak ngertiin Zefa? ya. akhirnya keluar juga, batin Marvel yang hanya diam menatap tubuh tinggi itu yang tengah menatap ke arah bangunan tinggi di depannya.

Sedikit aja bunda, sedikit tolong ngertiin posisi Zefa. Zefa selalu diminta untuk ngerti, tapi apa pernah Zefa dimengerti?

Zefa ini anak bunda juga kan? tapi kenapa rasanya cuma kakak yang anak bunda? kenapa semua terasa kalau Zefa ini ada hanya untuk sebagai penjaganya kakak? Zefa juga manusia, punya rasa juga yang bisa hancur kapanpun itu.

Dari kecil, Zefa selalu dituntut dewasa tanpa tahu kalau Zefa ini juga anak remaja yang masih labil akan masa depannya sendiri.

Bunda, Zefa dari dulu... dari dulu selalu mimpi kalau Zefa bisa ngerasa disayang sama bunda, selalu mimpi akan dapat tatapan yang sama kayak kakak dari bunda.

Tujuh belas tahun hidup, tapi Zefa ngerasa kalau hidup Zefa hanya seputar kakak, kakak, dan kakak. Zefa mau punya kehidupan sendiri bunda, Zefa mau kayak anak-anak lain yang sekolah di sekolah, yang main layangan sore-sore yang nanti pulangnya waktu adzan maghrib, yang punya cerita menarik yang bisa diceritain malamnya saat waktu makan malam,

dan yang punya dua orang tua yang perhatiannya seimbang antara kakak dan adik.

Bukan berarti Zefa nggak ikhlas jaga kakak, nggak bunda. Zefa sayang kakak, banget. tapi Zefa nggak akan selamanya ada untuk kakak juga. nantinya mungkin Zefa akan pergi, entah kemana, entah karena apa, dan Zefa nggak mau kakak bergantung sepenuhnya sama Zefa.

Kalau bunda tanya Zefa senang apa nggak disini, Zefa seneng banget bunda, seneng banget. sampai- sampai Zefa berharap olimpiade ini nggak akan pernah selesai, karena Zefa nggak mau pergi dari sini. di sini, di tempat ini. Zefa bisa jadi diri Zefa sendiri, Zefa bisa ngelakuin apa yang Zefa mau, bisa ngerasain apa yang belum pernah Zefa rasain waktu di rumah. kasih sayang, perhatian yang belum pernah Zefa rasakan sebelumnya.

Zefa capek bunda, Zefa capek dimarahin sama bunda. Zefa capek ngertiin orang yang nggak pernah mau ngertiin Zefa.

sambungan terputus. genggaman tangannya ia eratkan pada railing putih di depannya untuk sekedar menopang berat tubuhnya sendiri yang hampir terjatuh akibat bergetar hebat. nafasnya tercekat, tangisnya tertahan agar tidak ketahuan orang-orang.

Namun sebuah tepukan pelan di bahunya, membuatnya terpaksa menengadah, menampakkan wajah yang basah akan air mata, namun senyum insan di depannya ini seakan membawa semua rasa sesak yang tadi bersemayam rapi pada hatinya.

“Abang…” Marvel lantas segera menarik tubuh itu, memeluknya erat, “Abang kan udah bilang, kalau Zefa mau bicara sama bundanya Zefa, bilang abang, biar abang temenin,” ujarnya pelan dengan tangan yang kini mengusap halus surai hitam Zefa.

“Jangan nangis, abang nggak suka.” Zefa terkekeh kecil tapi tidak ada niatan untuk melepas pelukan Marvel. “Abang peluk Zefa yang lama ya, soalnya pelukan abang nyaman banget.” Marvel tersenyum, “Kalo gitu nggak akan abang lepasinnnn,” jawab Marvel gemas.

“Sumpah, jadi gini kelakuan kalian???” ucap Hasan yang ternyata di belakangnya ada empat orang lagi yang ngikutin. “sayang-sayangannya kok nggak ngajak sih!” omelnya tapi langkahnya tak berhenti untuk mendekat ke arah Marvel serta Zefa yang masih setia berpelukan.

“Apa?” tanya Marvel sok galak. Hasan memutar bola matanya, “Ya gua kan juga mau!” lalu setelahnya ia menghamburkan pelukannya di belakang Zefa, disusul keempat lainnya. Zefa terkekeh sekaligus senang sekali bisa bertemu dengan mereka.

Yang awalnya hanya seorang partner olimpiade, sebagai teman bertukar pikiran sekarang menjadi seseorang yang begitu berarti bagi hidupnya. karena mungkin jika tidak ada mereka, kehangatan seperti ini tidak akan pernah Zefa rasakan kehadirannya.

“Abang, terimakasih ya. terimakasih untuk selalu ada buat Zefa.”

Anak hebat, bertahan sedikit lagi ya untuk ketemu bahagia

Brak

Ponsel hitam milik Candra dengan sempurna terlempar ke lantai dingin kamar.

“Candra cuma butuh perhatian….” lirih pemuda itu pelan seraya meringkuk di samping ranjang miliknya. menenggelamkan kepalanya di antara lutut yang ia rapatkan. “tapi kenapa kalian nggak pernah ngerti.”

Renjana yang baru saja selesai buang air kecil di kamarnya terkejut mendengar bunyi benda jatuh dari kamar Candra. rasa khawatir yang melanda membuat ia segera menghampiri kamar tersebut, mencari tahu asal sumber suara itu.

“Candra?” ujarnya sedikit terkejut melihat keadaan Candra yang jauh dari kata baik-baik saja. pipi pemuda itu sudah sangat basah oleh air mata, matanya bengkak, hidungnya memerah. dan tubuhnya gemetar.

“Ya Tuhan kamu kenapa?” tanya Renjana yang langsung merengkuh tubuh itu. didekapnya erat tubuh adiknya itu, “Candra kenapa?” tanyanya lagi seraya mengelus punggung Candra pelan.

“Cup-cup, udah udah.” atensi Renjana berpaling pada ponsel Candra yang tidak hentinya berbunyi. “itu siapa? kok nggak diangkat?”

Candra menggeleng, “Nggak abang, jangan…” Renjana mengernyit, “Kenapa?” “Itu ayah sama ibun, Candra barusan abis ngeluarin apa yang ada di hati Candra, Candra abis bersikap kurang ajar tadi abang, Candra takut….” getar pada tubuh Candra semakin kencang membuat Renjana kewalahan, juga tangis Candra yang kian terdengar begitu perih di telinga Renjana.

Tangan Renjana mengambil alih ponsel itu, mematikannya untuk sementara agar Candra bisa tenang terlebih dahulu. “Udah, udah abang matiin, sekarang Candra berhenti nangisnya ya?” nggak apa-apa semua akan baik-baik aja.”

“Candra takut…Candra takut abang….” Hati Renjana begitu perih melihat Candra sekarang, tangannya masih setia mengelus punggung Candra berharap lelaki itu bisa tenang dalam dekapannya. “Nggak, Candra punya abang, Candra nggak usah takut ya? ada abang disini, ada abang yang akan lindungi Candra dari siapapun itu.”

“Sekarang Candra istirahat aja ya? kasian matanya pasti capek banget dia abis ngeluarin banyak air mata, kasian juga hatinya pasti capek nahan lelah, istirahat ya? biar abang yang bilang ke pak Theo kalau Candra hari ini izin kelas dulu.”

Candra mengangguk, lalu ia berjalan menuju ranjangnya tentu saja dibantu oleh Renjana sebab untuk saat ini membawa beban tubuhnya saja ia tidak sanggup, ia terlalu lemas seakan baru saja melakukan sesuatu yang begitu besar.

Ya sebenarnya yang sedang ia alami juga besar, ia baru saja mengungkapkan isi hati yang selama ini hanya tertanam dalam diri, tidak pernah ia keluarkan walau hanya sedikit, ia terlalu rapi menyimpan semuanya.

Sekarang Candra hanya ingin setelah ini semuanya bisa berubah. berubah kearah yang lebih baik. ia harap ayah dan ibunnya mengerti kalau yang ia butuh bukan hanya sekedar materi melainkan juga kasih sayang.

“Anak hebat, anak kuat bertahan sedikit lagi ya buat ketemu bahagia,” ucap Renjana tulus sembari mengelus pucuk kepala Candra, menuntunnya agar segera pergi ke alam mimpi.

“Candra itu yang paling keren, kesayangannya abang nggak boleh cengeng.” ucap Renjana setelah Candra terlelap, ia mengecup kening Candra singkat, lalu tersenyum. kemudian netranya menatap ponsel Candra yang berada di lantai.

Ia menghela nafasnya kemudian setelah beberapa menit ia mengambil benda pipih itu, menyalakannya kembali.

“Buat Candra satu hari aja cukup.”

Cahaya demi cahaya yang mencoba masuk menyapa indera penglihatannya membuat Candra terpaksa membuka matanya, kepalanya sudah tidak seberat semalam, panas di tubuhnya pun sudah kembali normal dan badannya lebih enakan dari sebelumnya.

Semua terlihat biasa-biasa saja, namun kamar sudah sepi, ia tahu pasti kakak-kakaknya juga Zefa sudah berada di kelas hari ini, membuat dia membuang nafasnya pelan. namun tidak menunggu waktu lama, pintu kamarnya terbuka perlahan.

Sosok yang masuk ke dalam kamarnya saat ini sukses membuatnya membeku di tempat, netra mereka saling bertubrukan. Candra susah payah menelan ludahnya, tangannya meremas kencang selimut di sampingnya. “Ibun…?”

Wanita dengan balutan kemeja putih dengan celana kain dengan warna senada itu menatap putra semata wayangnya dengan teduh seraya tersenyum, hatinya terasa nyeri melihat tubuh putranya yang terasa semakin kurus. langkahnya ia bawa menuju ranjang Candra.

“Iya, ini ibun,” jawabnya sesudah duduk tepat di samping Candra seraya mengelus peluh pada kening Candra, “kenapa? Candra kaget ya?” dengan tatapan polos Candra mengangguk, ia masih belum bisa mencerna apa yang terjadi sekarang. yang ia ingat hanyalah kemarin ia baru saja mengatakan isi hatinya dan menyebabkan dirinya dan kedua orang tuanya bertengkar, lalu sekarang ibunnya datang dengan keadaan baik-baik saja seolah tidak ada kejadian apapun kemarin.

Niana, ibun Candra tersenyum, “Maafin ibun ya sayang? maafin ibun yang nggak pernah ada untuk Candra.” satu bulir air mata berhasil lolos dari pelupuk mata Candra, tubuhnya mulai bergetar lalu sedetik kemudian ia hamburkan satu pelukan pada wanita yang begitu ia rindukan kehadirannya. “Candra nggak mimpi kan ibun?” Niana bergeleng pelan walau ia tahu putranya ini tidak akan melihatnya, “Nggak sayang, Candra nggak mimpi kok, ini ibun yang Candra peluk, maafin ibun ya nak?” Candra melepaskan pelukan itu, kepalanya ia angkat agar ia bisa dengan puas menatap wajah cantik yang cantiknya tidak pernah luput dimakan usia itu. Candra tersenyum, “harusnya Candra yang minta maaf ibun….”

“Candra nggak pernah salah, ini kesalahan ibun, salah ibun yang kurang perhatiin apa maunya Candra.” Candra tersenyum, hatinya merasa begitu bahagia. namun hanya tangis yang bisa ia keluarkan. lalu setelahnya ia kembali memeluk ibunnya, pelukan hangat yang terasa sangat jauh dulu itu bisa ia rengkuh sekarang dengan begitu dekat, tidak berjarak. “Candra kangen banget sama ibun, Candra kangen dipeluk kayak gini sama ibun.”

Belum sempat Niana membalas, pintu kembali terbuka, “Waduh, ayah nggak di ajak pelukan juga nih? ayah juga mau tau,” canda Keenan, membuat Candra serta Niana terkekeh setelahnya. “Ayah siniiii, kita pelukan bareng-bareng!!” seru Candra yang begitu semangat sekarang. lantas dengan cepat Keenan langsung menubruk tubuh kecil itu, merengkuhnya erat, menciumi pucuk kepalanya seraya menggumamkan kata maaf berkali-kali. “Maafin ayah ya sayang.”

“Candra mau tanya,” ujar Candra pelan. setelah mendapat guratan tanda tanya dari kedua orang tuanya, lantas ia kembali meneruskan ucapannya, “ibun sama ayah udah nggak marah kan sama Candra?” tanyanya takut-takut.

Usapan lembut pada surai hitamnya Candra dapatkan, “Nggak sayang, ibun nggak pernah marah sama Candra, maaf ya? kemarin ibun kebawa emosi.” Candra kembali tersenyum senang, sekarang hatinya benar-benar lega, ia merasa sudah tidak ada lagi hal buruk yang mengganjal hatinya.

Sekarang mereka masih tetap diam dengan posisi saling memeluk satu sama lain, perasaan Candra sudah tidak bisa lagi ia gambarkan betapa bahagianya dia hari ini. “Candra seneng deh dipeluk kayak gini sama ayah ibun.” ucapan Candra barusan membuat Niana serta Keenan tersenyum miris, mereka kembali mengingat perlakuan mereka terhadap putra semata wayangnya.

“Sekarang ibun sama ayah akan selalu ada buat Candra kapanpun itu,” ucap Niana sembari mengeratkan pelukannya pada Candra. Candra menggeleng lemah, “Candra nggak pernah minta ibun sama ayah untuk selalu ada buat Candra, tapi Candra cuma minta waktunya sebentar aja buat Candra, sehari aja lebih dari cukup kok.”

“Kalau gitu, gimana kalau hari ini?” Candra mendongak ke arah Keenan seraya mengerutkan alisnya tanda ia bingung, “Maksudnya?”

“Gimana kalau hari ini kita habisin waktu bareng-bareng?”

Air muka Candra yang semula bersemangat tiba-tiba kembali redup, “Eh, kenapa murung gitu?”

“Candra kan harus belajar ayah,” lesu Candra.

“Gampang lah bisa diatur,” ucap Keenan tersenyum seraya menaik turunkan alisnya.

Sakit

“Kenapa sih?” ujar Marvel kesal pasalnya ia baru saja ingin menutup matanya tiba-tiba notif pesan dari Hasan memenuhi ruang pendengarannya. Hasan masih diam tapi nafasnya memburu cepat membuat Marvel yang sedang melihatnya ikut panik.

“Ada apa sih?” tanya Marvel mulai kesal. membuat Renjana dan Zefa yang sedari tadi menunggu di tempat tidur ikut penasaran akan apa yang terjadi. “Ada apa?”

“Tau tuh, Hasan nggak jelas.”

“Candra sakit,” ucap Hasan cepat dengan nada khawatir yang mengikuti. “badannya panas banget bang… gua takut.”


“Udah malem, cari obat kemana? gue nggak tahu daerah sini,” keluh Marvel. ia begitu khawatir akan kondisi Candra, suhu tubuhnya tidak kunjung turun juga bahkan setelah Renjana kompres beberapa kali.

“Ayo bang, kita cari,” ajak Nanda yang sudah siap dengan jaket hitamnya, “kemana aja, asal kita nemu obat buat Candra, seenggaknya dia harus minum obat penurun demamnya dulu.” lanjutnya. Marvel mengangguk, menyetujui apa yang diucap Nanda.

“Kalian disini aja, kasih tahu kalau ada apa-apa.”

Renjana, lelaki tertua yang berada dikamar ini masih setia duduk serta mengompres kening Candra, pelan-pelan ia lakukan kegiatan itu agar Candra tidak terbangun. sedangkan Zefa, Hasan dan Jevana, ketiganya duduk tepat di seberang ranjang Candra, menunggunya agar nanti bila Candra membutuhkan sesuatu mereka siap.

“I...bun...ayah...kang...ngen,” gumam Candra pelan, sedari tadi pemuda itu terus menerus secara tidak sadar menyebut ibun serta ayahnya bergantian, membuat Renjana menghela nafasnya pelan.

“Jev, San tolong gantiin aku kompres Candra ya,” ucap Renjana pelan seraya menghapus jejak air pada kening Candra lembut, “Aku mau keluar sebentar.”

Tekad Renjana sudah bulat untuk menghubungi orang tua Candra sekarang. kini di tangannya sudah ia genggam ponsel milik Candra. ia mengucapkan beribu maaf untuk sang empunya benda pipih di genggamannya ini karena membukanya tanpa izin.

Diusapnya layar itu, mencari sebuah nama yang sedang ia cari, sampai sebuah kontak bernama ‘Ibun’ ia temukan. ia tarik nafasnya dalam-dalam, memikirkan kembali apa yang akan ia lakukan.

Tombol hijau ia tekan, tulisan berdering yang muncul berganti menjadi sebuah angka penghitung lama percakapan yang akan terjadi setelah ini. nafas Renjana tercekat kala mendengar tutur kata dari lawan bicaranya di seberang sana.

“Kemana aja kamu Can? pesan ibun nggak ada yang kamu jawab, telepon ibun nggak kamu angkat, malah matiin ponsel. udah berani ngelawan ibun?”

“Maaf tante,” ujar Renjana pelan, “ini Renjana, teman satu kelompok Candra.” Terjadi jeda cukup lama antara keduanya, “Ada apa? kemana anak saya?”

Renjana menelan ludahnya susah payah. akhirnya ia kembali memulai percakapan, “Candra demam, badannya panas banget, dan dia terus-terusan panggil tante di bawah sadarnya, jika tante masih peduli sama anak tante…” Renjana sengaja menjeda ucapannya.

“Selesaikan apa yang perlu diselesaikan diantara kalian hari ini. dan untuk malam ini, Candra biar kakak-kakaknya yang jaga. oh iya tante, sebelum itu Renja cuma mau bilang, kalau Candra sayang banget sama ayah ibunnya, soal kejadian tadi siang… Candra benar-benar ngerasa bersalah dan takut sama tante, dia beneran ngerasa udah kurang ajar sama orang tuanya.” Renja diam, ia memejamkan matanya perlahan sebelum kembali melanjutkan ucapannya.

“dan satu lagi maaf kalau terkesan ikut campur, tapi Renja minta tante dan om coba renungi dulu apa kesalahan kalian sebelum kalian tumpahkan semuanya ke Candra, karena kadang seseorang lebih mudah menyalahkan daripada mengintrospeksi dirinya sendiri terlebih dahulu. Renja harap setelah ini tante tahu apa yang harus tante lakukan untuk kebaikan Candra, terima kasih tante, selamat malam.” tanpa menunggu balasan dari lawan bicara, Renjana mematikan sambungan itu sepihak.

Sebentar lagi ya Candra, sebentar lagi, batin Renjana.

“Ja?” panggil seseorang dari belakangnya, “ngapain di sini?” Marvel dan Nanda sudah kembali dengan dua kantong plastik berisi seporsi bubur serta obat penurun demam. belum sempat Renjana jawab namun suara Nanda terlebih dahulu menginterupsi mereka.

“Ayo masuk bang, Candra harus cepet minum obat,” ujar Nanda.” Renjana lantas mengangguk, “Iya ayo.”

Setelah Candra selesai makan bubur dan minum obatnya ia kembali tidur, meninggalkan keenam lainnya yang masih memasang raut wajah khawatir, karena tidak terbiasa melihat Candra yang lemas dan lemah seperti ini.

“Udah kalian juga tidur, besok kan juga masih ada kelas,” perintah Renjana.

“Malam ini kita tidur di sini bareng-bareng aja ya abang? sekalian jagain Candra,” bujuk Zefa pelan.

Renjana tersenyum, “Yaudah.”

Auriga

Pagi ini aku menagih janji pada Auriga untuk pergi ke sebuah pameran lukisan yang cuma diadakan satu tahun sekali, tapi kamu memang selalu begitu, selalu datang satu jam lebih awal dari jam perjanjian kita semalam. kataku, “Kebiasaan, selalu datang lebih cepat, aku kan belum siap!”

Dan seperti biasa juga, kamu hanya tertawa menanggapi ocehanku yang bagaimana bisa kamu bilang itu lucu. kamu masih tersenyum dengan tangan yang di masukan ke dalam saku celana, masih berdiri menatapku dari pagar depan rumah. lalu aku bilang, “Ngapain disana? ayo masuk, aku masih mau dandan dulu.”

Lalu tanganmu keluar dari saku memegang gagang pagar yang tertutup rapat, membukanya perlahan sehingga tidak ada bunyi yang keluar, lalu berjalan tanpa suara.

“Apa?” kataku saat Auriga sudah tepat berada dihadapan, ia tersenyum lalu tangan besarnya itu terangkat, menangkup pipiku lalu sedikit mencubitnya, “masuk kemana, hm?”

“Ya.. ke rumah aku lah? kemana lagi?” dan tengilnya dia hanya mengangguk-angguk dengan memajukan bibirnya sedikit lalu berkata, “Aku kira masuk ke hatinya Kalila, soalnya aku udah,” ucapnya dengan cengiran yang menurutku sangat menjengkelkan.

“Gombalanmu nggak ngefek lagi tau nggak, udah sering aku dengernya,” ucapku ketus seraya memutar bola mata malas. dan lagi dia hanya tertawa.

Sekarang aku sudah rapi dengan balutan dress mini pemberiannya saat hari jadi kita ke dua tahun. “Ayo pergi nanti aku kasih lihat lukisan paling cantik yang pernah ada.” tapi kamu hanya diam masih setia duduk di teras rumahku, memandangku tanpa berniat bangkit dan bergegas pergi.

“Buat apa aku pergi untuk lihat lukisan cantik kalau sekarang aja aku udah melihat karya Tuhan yang paling indah.”

Jujur aku benci saat ia mengeluarkan kata-kata manis padaku, aku benci tatapan hangat yang selalu ia pancarkan untukku, aku benci akan sikap lembutnya yang selalu ia berikan untukku dan aku lebih benci saat hatiku tak kunjung terbiasa akan hal itu.

Jantungku berdebar, lagi. padahal ini adalah gombalan kesekian kali yang dikeluarkan hari ini, tapi kenapa debaran ini selalu muncul. aku rasakan pipiku memerah, semerah tomat ceri yang kemarin ia samakan merahnya pada merah pipiku.

“Sekarang, mau jalan apa terus gombal?” jawabku setelah berhasil mengatur deru nafas yang tadi bergejolak hebat. dia kembali tertawa, “Hahahaha, ternyata ada yang malu.” Tapi sebelum kita jalan tiba-tiba kamu berhenti, berhasil membuatku bingung sekaligus kesal sendiri, kataku, “Apalagi Riga?” dia terkekeh kecil, lagi. lalu tangannya terjulur, menggenggam telapak tanganku yang kosong seraya berkata, “Aku genggam ya? soalnya takut perempuanku hilang disana.”

Hah, Auriga memang selalu lolos dalam perihal membuat hati saya tidak karuan keadaannya.

Diskualifikasi

Detak jantung dari ketujuh pemuda itu tidak bisa lagi dielakkan kehadirannya, pasalnya setelah sarapan, ketujuh pemuda itu dipanggil oleh ketua pelaksana acara, yang membuat ketujuhnya panik karena pasti ini berhubungan dengan kaburnya mereka kemarin.

“Bapak kecewa sama kalian,” ujar pak Haris memecah keheningan pertama kali. “kalian tidak ada kelas, bukan berarti kalian bisa kabur gitu aja. bukannya udah jelas informasi yang dikasih tau dari pak Theo kalau kalian belajar-sendiri-sendiri-di-kamar,” ucapnya dengan menekankan kata belajar sendiri-sendiri.

“Dan masalah kalian bukan ini saja yang saya dapat, dua kali saya dapat info kalau kalian terlibat pertengkaran,” lanjutnya lagi. “saya rasa, tindakan kalian kali ini tidak bisa lagi kami tolerir lagi. dan dengan berat hati kalian kami diskualifikasi dari olimpiade ini.”

Ucapan terakhir dari pak Haris, membuat ketujuhnya memejamkan mata, perasaan mereka sedikit teriris akan pernyataan yang baru saja dikeluarkan itu.

“kecuali Jevana,” ujar pak Haris lagi singkat. “kecuali Jevana, yang lain kami diskualifikasi, sebab nilai yang diraih masih bisa menjadi perhitungan kami untuk mempertahankan dia untuk tetap bertahan disini,” jelasnya.

Jevana mengernyit tidak terima, “Bagaimana bisa? saya ikut kabur, saya ikut bertengkar, kenapa saya tidak ikut di diskualifikasi juga? saya juga salah, dan saya rasa nilai saya juga tidak sebagus itu,” ujarnya tidak terima, ia tidak mau tetap bertahan sedangkan teman-temannya harus pulang dengan kekecewaan. “saya juga harus di diskualifikasi,” lanjutnya.

Pak Haris menghela nafasnya, “Ini sudah dirundingkan, dan kamu tidak bisa mengubahnya semudah itu Jevana, kamu tetap disini, dan partner barumu akan segera datang besok.”

“Jika tidak dengan mereka, maka saya tidak mau lagi berada disini,” jawab Jevana dingin dan tegas. ia tidak main-main. ia tahu alasan ia masih berada disini adalah karena kakeknya. ia tahu kakeknya akan melakukan berbagai macam cara agar ia bisa tetap berada disini dengan tim yang kompeten menurutnya.

“Jev…” panggil Marvel pelan, “lo disini, harus disini. lo harus lanjutin perjuangan kita yang belum selesai ini.”

“Perjuangan kita kan bang?” jawab Jevana cepat seraya terkekeh kecil, “kalau gitu ya harus kita bareng-bareng lah yang lakuin, harus kita yang ngerasain senang bareng-bareng, bukan gue doang.”

Renjana menghela nafasnya pasrah, sifat Jevana yang terbilang keras itu memang susah untuk ditaklukan. jujur ia tidak tahu lagi harus berbuat apa selain menurut dan bersiap-siap untuk pulang ke rumah. sedangkan yang lain, hanya bisa diam, saling menyalahkan diri sendiri.

“Maaf….” lirih Hasan, ia merasa semua yang terjadi karena salahnya, karena egoisnya yang tidak mau mendengar apa kata Marvel untuk tidak melakukan tindakan gegabahnya itu. yang sekarang membuat semuanya makin runyam.

“Gue keluar dulu.” setelahnya Jevana keluar ruangan dengan cepat, menuju sebuah tempat sepi untuk menghubungi seseorang.


“Gimana? nggak kapok bikin malu kakek?”

brengsek

“Jadi bener ini semua ulah kakek? kakek kan yang minta buat kelompokku di diskualifikasi?”

“Iya, buat apa kamu bertahan sama kelompok yang hanya beri pengaruh buruk? bikin malu saja.”

“Kalau gitu aku juga mau keluar,”

“Jangan bodoh Jevana. ini kesempatan kamu untuk jadi lebih baik dengan tim yang sudah kakek pilihkan.”

“Aku tetap nggak mau, terserah kalau kakek tetap maksa aku buat tetap disini dengan tim yang baru. maka aku akan kasih tau dad kalau kakek adalah salah satu penyebab ibu meninggal tiga tahun yang lalu.”

Telepon terputus begitu saja, siapa lagi kalau bukan Jevana yang memutuskan itu secara sepihak. ia sudah terlalu kesal pada sikap kakeknya yang begitu jahat. selalu bermain curang agar apa yang ia mau bisa tercapai dengan mudah tidak peduli jika harus merugikan orang lain.

Jevana terduduk lemas dibangku taman, meremat rambutnya frustasi. ia tidak tahu lagi harus bersikap bagaimana, ia jelas tidak mau harus berpisah dengan timnya. dan tidak dipungkiri lagi ia juga merasa bersalah karena tidak nurut akan perkataan Marvel untuk tidak pergi saat itu.

“Arghh brengsek!” pekiknya kencang, tidak peduli dengan tatapan sinis dari beberapa siswa yang juga sedang berada disana.

Kedua kali

“Gua ke atas dulu,” ucap Hasan pada Nanda yang kini tengah menemaninya bermain basket di lapangan belakang guna menghilangkan penat yang sedari tadi singgah pada tubuh mereka karena pelajaran yang kian hari kian rumit untuk mereka cerna dengan baik.

“Mau ngapain? istirahat kan masih lama,” tanya Nanda dengan fokus yang masih pada bola yang hendak ia masukin ke ring. Hasan terduduk meminum air mineral yang sempat ia bawa sebelum ke lapangan, meneguknya tandas tak bersisa. “Abang gua dateng.”

Nanda hanya mengangguk tanda mengerti, “Nanti kalo udah diatas panggilin Candra,” ucap Nanda saat Hasan hendak menutup pintu lapangan, lalu sesaat kemudian ia acungkan jempol tanda setuju. “Siap.”

Langkah cepat digunakan agar lebih cepat ia dapat menemui abangnya dan lebih cepat pria itu pergi dari sini, firasatnya akan terjadi hal yang tidak mengenakan nantinya semakin besar kala semakin dekat ia dengan tempat yang dituju.

Kakinya berhenti kala melihat abangnya sedang berbicara dengan Marvel. terlihat akrab namun mampu memunculkan senyum Hasan yang sedari kemarin hilang entah kemana.

“Halo bang,” sapanya lembut pada abangnya, diberinya tepuk pelan pada bahu abangnya salah satu bentuk sapaan yang mereka gunakan. Januar, pria itu menoleh memberi senyum hangat untuk adiknya yang hampir dua minggu tidak pulang ke rumah.

“Gue masuk dulu ya,” pamit Marvel namun sebelum Marvel pergi Hasan memanggil pria itu cepat, “Tolong bilangin Candra ditunggu Nanda di lapangan.” setelah Hasan selesai mengutarakan apa pesan yang diberikan Nanda tadi Marvel mengangguk lalu kembali pergi menuju kamarnya meninggalkan dua insan kakak beradik ini berdua di lorong.

“Masuk bang?” tawar Hasan untuk bicara di dalam kamarnya, Januar menggeleng, “Nggak usah, di sini aja.” Hasan mengangguk, lalu ia dudukkan tubuhnya pada kursi tepat di samping abangnya.

“Ada apaan bang?” ucapnya memulai obrolan. Januar menoleh, memutar tubuhnya hingga kini ia bisa menatap tubuh adiknya secara jelas. “Gue mau nanya sama lo, ada masalah apa lo sama ayah?”

Hasan diam, bibirnya ia gigit pelan ia tahu kedatangan abangnya ini pasti tidak jauh tentang kejadian dua minggu lalu. Hasan menggeleng lemah, “Nggak ada kok, kemarin kayaknya gua lagi capek aja terus kata-kata ayah bikin gua ke-trigger.

Januar hanya mengangguk dengan jari yang tidak berhenti mengetuk-ngetuk meja di sampingnya. “Emang ayah bilang apa sampai lo ke-trigger? soalnya yang gue tahu adek gue ini jago kontrol emosi.”

berarti lo nggak tahu gua bang

Tidak kunjung dapat balasan, Januar hanya bisa menghela nafasnya, “Yaudah kalo lo nggak mau ngasih tahu ya nggak apa, tapi jangan diulangi lagi ya yang kemarin? itu nggak sopan, gue nggak pernah ajarin lo kayak gitu ke orang tua.”

“Iya bang, maaf.” Januar terkekeh kecil lalu mengusak lembut rambut adiknya itu, “Iya.”

“Eh iya, gimana di sini? lancar?” Hasan mengangguk, suasana kali ini jauh lebih santai dan Hasan bisa bernafas lega karena tidak perlu lagi memikirkan alasan apa yang harus ia berikan kala abangnya bertanya mengenai masalahnya dengan sang ayah.

“Lumayan lah.”

Januar mengangguk paham, ia tahu bagaimana sibuknya para siswa di sini, belajar, belajar, belajar sudah menjadi makanan sehari-hari disini. “Belajar yang bener ya San, abang tahu memang capek tapi ya harus dijalani karena banyak banget kepercayaan yang harus kita jaga, ya kan?”

“Dulu abang juga sering ngerasain, sekarang giliran lo ya? hahaha, asal lo jalaninnya bahagia semua akan lancar kok, percaya dah. asal serius dan ibadah yang nggak pernah lo tinggalin abang yakin semua akan baik-baik aja.”

“Kalau lo terlalu beban dengan kata kabar baik, lo harus yakinin diri lo, kalau kompetisi seperti ini itu kalah menang udah biasa, nggak ada kalah yang jelek. karena di sini, lo udah berusaha menjadi versi terbaik dari diri lo, lo udah berusaha semak-”

“Jadi maksud lo, gua nggak bisa menang?” ucap Hasan memotong ucapan abangnya itu, dan sukses membuat kening Januar berkerut, “Maksudnya?”

“Maksud lo kesini tuh mau banding-bandingin diri lo ke gua? bandingin diri lo yang selalu sukses di setiap lomba dan nggak pernah ketemu sama yang namanya kata gagal?”

“Nggak percaya sama kemampuan gua? iya? sok nasehatin harus gini harus gitu, gua ya gua, nggak usah sok peduli kalau niatnya cuma mau muji diri sendiri.”

“Lo kenapa sih? gue dateng baik-baik ya kesini, ngomong baik-baik, kok lo jadi sewot gitu?”

Hasan tertawa remeh, “Baik-baik apa sok baik?”

Januar mengeraskan kepalan tangannya, “Lo aneh, sumpah lo aneh, lo bukan Hasan. lo kenapa sih? ada masalah apa? ada yang ngusik pikiran lo? siapa?”

“Diem bisa nggak anjing!” teriak Hasan dengan kepalan tangan yang berhenti tepat pada wajah sang kakak. membuat Januar kaget setengah mati melihat sifat adiknya yang tidak pernah dikeluarkan sebelumnya.

“Kenapa berhenti? nggak jadi nonjok?” tanya Januar dengan posisi yang masih diam di tempat, “Tonjok aja.” melihat tidak ada pergerakan dari Hasan membuat Januar kembali bersuara, “kok diem? TONJOK!” teriak Januar.

Mendengar suara ribut dari luar membuat Marvel yang sedang membaca buku rumus lantas segera loncat dari kasur dan segera keluar, betapa kagetnya ia melihat tangan Hasan yang berada tepat di wajah abangnya.

“SAN LO NGAPAIN?” ucap Marvel seraya menjauhkan tangan Hasan, menatap adiknya itu lekat namun tatapannya tetap mengayomi dari pandangan Hasan. tidak lama kemudian, Jevana dan yang lain ikut keluar penasaran tentang apa yang terjadi di luar.

Sekarang Januar sudah pulang dan Hasan sudah berada di kamarnya ditemani oleh para abang dan adiknya, mencoba menenangkan emosi Hasan yang masih menggebu-gebu itu. dengan pelan Marvel sebagai yang tertua bertanya, “Lo kenapa San? kayaknya dari kemarin gampang emosi?” lantas dengan berat hati Hasan menjelaskan rasa gundahnya yang ia tahan selama ini, sedangkan yang lain semua diam menyimak.

Mereka tidak menyangka bahwa Hasan yang terlihat seperti yang paling abai dan santai ternyata memiliki tekanan yang cukup banyak dari sang ayah. mereka juga baru tahu bahwa Hasan sering tidur larut agar ia bisa menyamakan ketertinggalannya yang berhasil membuat mata Renjana membulat seketika, “Kamu terlalu memforsir San,” ucap Renjana. “kalau lupa kita ini tim, bang Renja udah bilang kan? kalau kita ini satu, kalau kamu merasa kurang kamu bisa tanya sama yang lain di jam pelajaran. jangan malah ngurangin waktu tidur kamu buat belajar lagi. itu nggak baik.”

Hasan mengangguk. “Iya bang, maaf.”

Terjadi hening cukup lama, entah mereka bingung berbicara apa atau hanya enggan membuka suara. sampai celetukan dari seseorang sedang duduk di ranjang dengan buku di depannya itu berhasil merebut semua eksistensi orang yang sedari tadi larut dalam sunyi yang menjalar.

“Pantes nilainya hancur, masalah rumah dibawah ke sini, gimana bisa fokus,” celetuk Jevana pelan namun karena keadaan sangat sepi maka suaranya sangat terdengar jelas di telinga Hasan. membuat lelaki itu bangkit dari duduknya menghampiri Jevana yang masih tenang dengan bukunya.

“MAKSUD LO APA BANGSAT?!” teriak Hasan sembari merampas kasar buku ditangan Jevana dan dilempar ke sembarang arah. “Nggak usah komentari hidup gua kalau lo aja masih jadi seorang pengecut di hidup lo sendiri.” ucapan Hasan barusan membuat Jevana menatap dirinya Heran.

“Lo kemaren nyudutin gue karena target lo buat masuk lima besar nggak tercapai kan? lo tau nggak? cuma seorang pengecut yang nyalahin orang lain atas kegagalan yang dia buat sendiri. dan ya lo itu pengecut.” ulangnya lagi membalas tatapan tajam Jevana yang kini rahangnya sudah mengeras.

“Kok diem? omongan gua bener ya? lanjutnya lagi. “Ya… emang bener sih orang ambis kayak lo apa lagi sih yang dipikirin? paling nggak jauh dari nilai, peringkat dan reputasi,” serang Hasan terus-menerus.

Baru saja Jevana ingin membalas ucapan Hasan namun suaranya terpotong kala terdengar rintihan kesakitan dari ujung ruangan, lantas keenamnya menoleh, menatap kaget ke arah tertua kedua yang kini meringkuk dengan tubuh yang bergetar. “To...long, ber...hen..ti,” Lirih Renjana pelan sambil memukul dadanya kuat-kuat.

“To...long….”

Dengan cepat Nanda, Candra serta Zefa memapah Renjana menuju kamarnya meninggalkan dua insan yang sedari kemarin ribut dengan tatapan bersalah dengan Marvel. setelah Renjana benar-benar keluar dari kamar mereka. lantas kini Marvel menoleh ke dua adiknya itu.

“Udah?” ujarnya ketus, “Udah emosinya? udah berantemnya? udah saling sindirnya? UDAH?” gertaknya kasar. “Kok nggak jawab? gagu ya? tadi bisa tuh teriak-teriak kenceng, kok sekarang gue tanya diem aja kayak orang bisu?”

Mereka hanya menunduk, merasa sesal untuk kedua kalinya. “Sekarang gue minta lo berdua selesaikan masalah ini secepatnya, gue nggak mau kejadian kayak gini kejadian sampai tiga kali, cukup ini yang terakhir.”

Setelah berkata seperti itu Marvel segera meninggalkan keduanya di kamar, dengan harapan mereka dapat segera menyelesaikan semuanya sekarang. dan dengan cepat ia pergi menuju kamarnya, untuk mengecek keadaan Renjana, yang tadi berhasil membuat Marvel kaget bukan main.

Maaf

Tekad mereka untuk kabur hari ini benar-benar bulat setelah ditambah informasi bahwa guru-guru pembimbing yang akan mengajar mereka tengah mengadakan rapat dadakan sehingga pembelajaran untuk hari ini dilaksanakan di ruangan masing-masing secara sendiri-sendiri tanpa guru yang mengawasi. sehingga ini menjadi kesempatan emas untuk rencana mereka yang akan kabur hari ini.

“San lo serius?” tanya Marvel ragu, ia tidak mau semuanya kena masalah hanya karena ingin membantu dirinya, apalagi hanya untuk bandnya. iya, hanya untuk bandnya. apa ini nggak terlalu berlebihan? mereka seperti dengan suka rela masuk pada sebuah jurang yang bisa membuat mereka menyesal nantinya. dan Marvel nggak mau semua itu terjadi hanya karena dirinya.

“Mending nggak usah deh, nyari perkara aja ini namanya,” ucap Marvel lagi dengan gigi yang tidak lepas menggigit bibirnya. “Sssttt,” jawab Hasan dengan telunjuk yang berada tepat di mulutnya.

“Percaya sama gua dah, aman.”

Sekarang disini lah mereka, di sekolah Marvel. setelah melakukan aksi berbahaya melompat pagar belakang asrama yang penuh jeruji dan juga dengan acara ketinggalan bus, akhirnya mereka sampai tepat waktu di sekolah Marvel.

“SEMANGAT ABANGGG, kita nonton dari sana ya!!!” ujar Candra semangat walau lututnya tadi sempat terluka akibat tergores saat turun dari pagar sembari menunjuk area depan panggung yang sudah mulai dipenuhi banyak pengunjung. “abang keren banget.”

“Semangat bang!! kita lihat dari depan ya,” ujar Renjana dengan senyum yang membuat Marvel sedikit tenang, jujur ia sangat takut. takut aksi kaburnya ini ketahuan papanya dan akan bermasalah nantinya. tapi untuk itu Marvel singkirkan dulu ia harus tampil maksimal pada penampilannya kali ini.

“Semoga semuanya berjalan sesuai rencana.”


Terminal bus, pukul 20.00

“Gila bang Marvel kalo di panggung beda banget, keren banget,” puji Candra yang tiada habisnya sedari Marvel selesai manggung. lelaki itu terus menerus memuji penampilan abangnya membuat pipi Marvel merah karena malu, “Udah ah, muji mulu,” ujar Marvel sok marah. lantas semuanya tertawa, namun sedetik kemudian suasana hangat yang sedari tadi mereka rasakan berubah menjadi seram saat seorang pria datang ke hadapan mereka dengan tatapan penuh amarah.

PLAK!

Marvel terjatuh akibat tamparan keras dari papanya yang secara tiba-tiba sudah berada tepat di depan Marvel dan lainnya yang masih berada di sebuah terminal bus. keenam pemuda lainnya lantas mundur, mereka takut melihat wajah dari papa Marvel yang begitu menyeramkan sekarang.

“Ini kelakuan kamu Vel? kabur dari asrama hanya untuk band nggak jelas kamu?” ucap Tama, dengan nada yang terdengar begitu marah pada putranya. “Bikin malu aja kamu bisanya, kamu nggak lupa kan? kalau kamu ngelanggar apa yang papa larang, papa nggak akan segan-segan berbuat sesuatu yang lebih parah, seperti membakar studio kesayanganmu itu,” lanjutnya lagi, lalu setelahnya ia pergi meninggalkan Marvel yang masih tersungkur dengan kepala yang menunduk dengan rasa nyeri pada pipinya yang masih begitu hangat terasa, namun sebelum ia benar-benar pergi, ia sempat menatap tajam pada keenam pemuda lainnya yang bisa berdiri mematung di hadapannya sekarang.

“Maaf papa….” lirihnya pelan dengan air mata yang turun begitu saja dari pelupuk matanya. ia tidak tahu ancaman yang papanya beri kali ini akan benar-benar akan lelaki itu lakukan atau hanya gertakan semata seperti yang sudah-sudah.

Lantas setelah Tama benar-benar hilang dari radar keenam adiknya itu berkerumun, merengkuh tubuh yang sudah terisak itu, memeluknya seerat yang mereka bisa seraya menggumamkan kata maaf berkali-kali.

“Abang, maafin kita….” ucap Hasan pelan, Marvel menggeleng disertai senyum yang kentara sekali ia paksakan kehadirannya. “Nggak apa-apa, ini bukan salah kalian.”

“Harusnya tadi kita nurut sama abang….”

Marvel menggeleng, “Nggak apa, seharusnya abang yang berterima kasih, kalau bukan karena kalian mungkin band abang nggak bisa tampil sempurna hari ini, terimakasih ya sudah penuhin salah satu keinginan bang Marvel,” lanjutnya dengan suara yang bergetar.

“Maaf kalau setelah ini kalian bisa kena imbasnya.” dan setelah ucapan terakhir Marvel, keenamnya lantas semakin mengeratkan pelukan mereka, seakan tidak ada yang bisa memisahkan mereka saat ini, biarlah semua orang menatap mereka aneh karena sekarang mereka tengah terduduk di tengah jalan dengan tangis yang menemani.

Tuhan, jika memang akan terjadi hal buruk setelah ini, aku memohon agar aku saja yang menanggungnya, tapi jangan mereka.

Selesai

Sunyi. hanya itu yang bisa dikatakan dari suasana kamar yang berisi dua insan muda yang saling membuang muka. saling membelakangi tanpa mau memulai aksi untuk menepati janji menyelesaikan masalah hari ini.

Hasan masih setia pada ponsel tipisnya yang padahal hanya dinyalakan lalu dimatikan kembali, berulang-ulang. sedangkan Jevana kembali membaca buku yang tadi sempat di lempar kasar oleh Hasan. mencoba menaruh fokus pada buku itu yang jelas sekali sangat susah, karena sekarang pikirannya telah bercabang kemana-mana.

Dua anak adam itu masih teguh pada pendiriannya untuk saling diam, saling termakan ego yang entah kapan bisa mereka kalahkan. sampai pada akhirnya, Jevana memulai pembicaraan karena ia sendiri sadar bahwa awal masalah ini karena dirinya yang tidak bisa mengontrol emosi.

“Maaf,” ujar Jevana pelan dan singkat, namun Hasan masih bisa mendengar jelas. dimatikannya ponsel itu seutuhnya lalu diletakkannya benda pipih itu pada meja belajarnya. kemudian ia menoleh, menatap lelaki yang kini juga tengah menatap dirinya. ia mengangguk-angguk, “Gua juga minta maaf.”

Tubuhnya ia bangkitkan dari kursi yang sedari tadi ia duduki menuju ranjang tepat di seberang ranjang yang sedang ditempati Jevana. ditatapnya mata pemuda itu lekat-lekat. “Maafin kalau kata-kata gua tadi bikin lo sakit hati, maaf juga buat luka yang gua beri kemarin malam,” ucap Hasan.

Jevana mengangguk, “Gue yang salah udah mancing duluan kemarin...dan tadi.” Hasan tersenyum masam, “Iya nggak apa.”

Setelahnya, kedua pemuda itu kembali diam. kembali bingung harus berbicara apa setelah mereka merubah title yang tadinya bertengkar menjadi berbaikan. Hasan kemudian merebahkan tubuhnya, menatap papan kayu yang menjadi alas kasur yang berada di atas.

“Kakak lo begitu karena dia sayang sama lo San,” ujar Jevana tiba-tiba yang mampu merebut atensinya tadi. ia hanya mengangkat sebelah alisnya tanda ia tidak mengerti.

“Lo harus tahu, seorang kakak pasti secara nggak sadar ingin memiliki rasa ingin menjadi teladan buat adiknya, menjadi contoh yang baik buat adik-adiknya. menjadi seseorang yang bisa diandalkan nantinya kala adik-adiknya kesusahan. dan menjadi pundak untuk adik-adiknya bersandar kelak.”

“Menjadi seorang kakak itu nggak mudah San, dia adalah harapan pertama, dan title anak pertama itu tidak semenyenangkan dari yang dipikirkan orang-orang. dia selalu merasa dia harus bisa segalanya, dia harus sempurna dimanapun dia berada, agar orang tuanya tidak kecewa, agar orang tuanya tidak malu nantinya. dia adalah contoh pertama untuk adik-adiknya. dia juga harus suka rela membagi kasih sayang yang dia dapat selama ini untuk adiknya, menjadi tumpuan orang tua itu nggak enak.”

Hasan diam, memori tentang sang kakak yang sering ia pergoki tertidur di meja belajarnya, yang lebih memilih berdiam di kamar membaca buku daripada bermain game bersamanya, dan yang diam-diam menangis di kamar mandi.

“Tapi seorang kakak yang sempurna itu semacam beban untuk adiknya,” ucap Hasan pelan. “ia yang terlalu sempurna sangat susah untuk di susul keberadaannya. menjadi patokan sukses orang tua, yang dimana nggak setiap anak mempunyai kemampuan yang sama.”

“Dipaksa menyusul apa yang nggak mau kita susul itu capek Jev, tujuh belas tahun gua hidup, gua belum bisa nemuin apa yang gua mau, apa yang gua bisa, karena selama ini gua cuma ngikutin langkah kakak kemana, dia kesana gua kesana, dia kesini gua ikut kesini,dia bisa maka gua harus bisa, dia nggak bisa? gua tetep harus bisa karena gua harapan terakhir.”

“Capek, dituntut untuk jadi yang sama itu capek. apa ayah gua nggak mau liat gua sebagai Hasan ya? sebagai anak keduanya yang juga bisa diandalkan dengan caranya sendiri, yang juga bisa dibanggakkan dengan kemampuannya sendiri.”

Jevana diam mendengarkan Hasan berceloteh panjang, pikirannya berkelana memunculkan wajah dengan penuh tawa adiknya yang selama ini selalu menampilkan senyum di depannya, yang selalu baik-baik saja di hadapannya. apa iya Ken juga ngerasa yang sama kayak Hasan? apa iya dia merasa terbebani dengan sikap ambis gue ini? apa dia merasa dituntut? batin Jevana.

“Gitu ya…” lirih Jevana ia gigit bibirnya pelan perasaannya sedikit teriris setelah mendengar penuturan dalam sudut pandang sebagai seorang adik. Hasan hanya mengangguk pelan sebagai jawaban.

“Dan ya apa yang gua ceritain tadi itu, emang bikin gua jadi sedikit emosional, gua merasa orang-orang nggak percaya kalau gua bisa, selalu natap gua sebelah mata. ya walau tatapan itu udah kayak makanan gua sehari-hari sih,” Hasan tertawa, lebih tepatnya menertawai dirinya sendiri. “makanya ucapan lo kemarin bener-bener bikin gua sakit hati.”

“Maa-”

“Nggak apa-apa, gua juga tau lo pasti ada alasan buat ngomong sekasar itu kemarin.”

“Sekarang semua udah selesai ya,” ujar Hasan seraya menoleh menatap Jevana yang ternyata sedang menatap dirinya juga. Jevana tersenyum lalu terkekeh kecil. kemudian ia turun dari ranjangnya berjalan mendekat ke arah Hasan, seraya melayangkan satu kepalan tangan menuju Hasan.

Satu kepalan yang sama dari Hasan meninju kepalan tangan yang sudah menunggu sedari tadi, “Selesai,” jawab Jevana.

Lalu mereka tertawa, merasa malu akan kejadian beberapa waktu lalu. “Sekarang masalahnya gimana bisa kita keluar, di kunciin bang Marvel anjingggg,” geram Hasan.

Lagi

“Gua ke atas dulu,” ucap Hasan pada Nanda yang kini tengah menemaninya bermain basket di lapangan belakang guna menghilangkan penat yang sedari tadi singgah pada tubuh mereka karena pelajaran yang kian hari kian rumit untuk mereka cerna dengan baik.

“Mau ngapain? istirahat kan masih lama,” tanya Nanda dengan fokus yang masih pada bola yang hendak ia masukin ke ring. Hasan terduduk meminum air mineral yang sempat ia bawa sebelum ke lapangan, meneguknya tandas tak bersisa. “Abang gua dateng.”

Nanda hanya mengangguk tanda mengerti, “Nanti kalo udah diatas panggilin Candra,” ucap Nanda saat Hasan hendak menutup pintu lapangan, lalu sesaat kemudian ia acungkan jempol tanda setuju. “Siap.”

Langkah cepat digunakan agar lebih cepat ia dapat menemui abangnya dan lebih cepat pria itu pergi dari sini, firasatnya akan terjadi hal yang tidak mengenakan nantinya semakin besar kala semakin dekat ia dengan tempat yang dituju.

Kakinya berhenti kala melihat abangnya sedang berbicara dengan Marvel. terlihat akrab namun mampu memunculkan senyum Hasan yang sedari kemarin hilang entah kemana.

“Halo bang,” sapanya lembut pada abangnya, diberinya tepuk pelan pada bahu abangnya salah satu bentuk sapaan yang mereka gunakan. Januar, pria itu menoleh memberi senyum hangat untuk adiknya yang hampir dua minggu tidak pulang ke rumah.

“Gue masuk dulu ya,” pamit Marvel namun sebelum Marvel pergi Hasan memanggil pria itu cepat, “Tolong bilangin Candra ditunggu Nanda di lapangan.” setelah Hasan selesai mengutarakan apa pesan yang diberikan Nanda tadi Marvel mengangguk lalu kembali pergi menuju kamarnya meninggalkan dua insan kakak beradik ini berdua di lorong.

“Masuk bang?” tawar Hasan untuk bicara di dalam kamarnya, Januar menggeleng, “Nggak usah, di sini aja.” Hasan mengangguk, lalu ia dudukkan tubuhnya pada kursi tepat di samping abangnya.

“Ada apaan bang?” ucapnya memulai obrolan. Januar menoleh, memutar tubuhnya hingga kini ia bisa menatap tubuh adiknya secara jelas. “Gue mau nanya sama lo, ada masalah apa lo sama ayah?”

Hasan diam, bibirnya ia gigit pelan ia tahu kedatangan abangnya ini pasti tidak jauh tentang kejadian dua minggu lalu. Hasan menggeleng lemah, “Nggak ada kok, kemarin kayaknya gua lagi capek aja terus kata-kata ayah bikin gua ke-trigger.

Januar hanya mengangguk dengan jari yang tidak berhenti mengetuk-ngetuk meja di sampingnya. “Emang ayah bilang apa sampai lo ke-trigger? soalnya yang gue tahu adek gue ini jago kontrol emosi.”

berarti lo nggak tahu gua bang

Tidak kunjung dapat balasan, Januar hanya bisa menghela nafasnya, “Yaudah kalo lo nggak mau ngasih tahu ya nggak apa, tapi jangan diulangi lagi ya yang kemarin? itu nggak sopan, gue nggak pernah ajarin lo kayak gitu ke orang tua.”

“Iya bang, maaf.” Januar terkekeh kecil lalu mengusak lembut rambut adiknya itu, “Iya.”

“Eh iya, gimana di sini? lancar?” Hasan mengangguk, suasana kali ini jauh lebih santai dan Hasan bisa bernafas lega karena tidak perlu lagi memikirkan alasan apa yang harus ia berikan kala abangnya bertanya mengenai masalahnya dengan sang ayah.

“Lumayan lah.”

Januar mengangguk paham, ia tahu bagaimana sibuknya para siswa di sini, belajar, belajar, belajar sudah menjadi makanan sehari-hari disini. “Belajar yang bener ya San, abang tahu memang capek tapi ya harus dijalani karena banyak banget kepercayaan yang harus kita jaga, ya kan?”

“Dulu abang juga sering ngerasain, sekarang giliran lo ya? hahaha, asal lo jalaninnya bahagia semua akan lancar kok, percaya dah. asal serius dan ibadah yang nggak pernah lo tinggalin abang yakin semua akan baik-baik aja.”

“Kalau lo terlalu beban dengan kata kabar baik, lo harus yakinin diri lo, kalau kompetisi seperti ini itu kalah menang udah biasa, nggak ada kalah yang jelek. karena di sini, lo udah berusaha menjadi versi terbaik dari diri lo, lo udah berusaha semak-”

“Jadi maksud lo, gua nggak bisa menang?” ucap Hasan memotong ucapan abangnya itu, dan sukses membuat kening Januar berkerut, “Maksudnya?”

“Maksud lo kesini tuh mau banding-bandingin diri lo ke gua? bandingin diri lo yang selalu sukses di setiap lomba dan nggak pernah ketemu sama yang namanya kata gagal?”

“Nggak percaya sama kemampuan gua? iya? sok nasehatin harus gini harus gitu, gua ya gua, nggak usah sok peduli kalau niatnya cuma mau muji diri sendiri.”

“Lo kenapa sih? gue dateng baik-baik ya kesini, ngomong baik-baik, kok lo jadi sewot gitu?”

Hasan tertawa remeh, “Baik-baik apa sok baik?”

Januar mengeraskan kepalan tangannya, “Lo aneh, sumpah lo aneh, lo bukan Hasan. lo kenapa sih? ada masalah apa? ada yang ngusik pikiran lo? siapa?”

“Diem bisa nggak anjing!” teriak Hasan dengan kepalan tangan yang berhenti tepat pada wajah sang kakak. membuat Januar kaget setengah mati melihat sifat adiknya yang tidak pernah dikeluarkan sebelumnya.

“Kenapa berhenti? nggak jadi nonjok?” tanya Januar dengan posisi yang masih diam di tempat, “Tonjok aja.” melihat tidak ada pergerakan dari Hasan membuat Januar kembali bersuara, “kok diem? TONJOK!” teriak Januar.

Mendengar suara ribut dari luar membuat Marvel yang sedang membaca buku rumus lantas segera loncat dari kasur dan segera keluar, betapa kagetnya ia melihat tangan Hasan yang berada tepat di wajah abangnya.

“SAN LO NGAPAIN?” ucap Marvel seraya menjauhkan tangan Hasan, menatap adiknya itu lekat namun tatapannya tetap mengayomi dari pandangan Hasan. tidak lama kemudian, Jevana dan yang lain ikut keluar penasaran tentang apa yang terjadi di luar.

Sekarang Januar sudah pulang dan Hasan sudah berada di kamarnya ditemani oleh para abang dan adiknya, mencoba menenangkan emosi Hasan yang masih menggebu-gebu itu. dengan pelan Marvel sebagai yang tertua bertanya, “Lo kenapa San? kayaknya dari kemarin gampang emosi?” lantas dengan berat hati Hasan menjelaskan rasa gundahnya yang ia tahan selama ini, sedangkan yang lain semua diam menyimak.

Mereka tidak menyangka bahwa Hasan yang terlihat seperti yang paling abai dan santai ternyata memiliki tekanan yang cukup banyak dari sang ayah. mereka juga baru tahu bahwa Hasan sering tidur larut agar ia bisa menyamakan ketertinggalannya yang berhasil membuat mata Renjana membulat seketika, “Kamu terlalu memforsir San,” ucap Renjana. “kalau lupa kita ini tim, bang Renja udah bilang kan? kalau kita ini satu, kalau kamu merasa kurang kamu bisa tanya sama yang lain di jam pelajaran. jangan malah ngurangin waktu tidur kamu buat belajar lagi. itu nggak baik.”

Hasan mengangguk. “Iya bang, maaf.”

Terjadi hening cukup lama, entah mereka bingung berbicara apa atau hanya enggan membuka suara. sampai celetukan dari seseorang sedang duduk di ranjang dengan buku di depannya itu berhasil merebut semua eksistensi orang yang sedari tadi larut dalam sunyi yang menjalar.

“Pantes nilainya hancur, masalah rumah dibawah ke sini, gimana bisa fokus,” celetuk Jevana pelan namun karena keadaan sangat sepi maka suaranya sangat terdengar jelas di telinga Hasan. membuat lelaki itu bangkit dari duduknya menghampiri Jevana yang masih tenang dengan bukunya.

“MAKSUD LO APA BANGSAT?!” teriak Hasan sembari merampas kasar buku ditangan Jevana dan dilempar ke sembarang arah. “Nggak usah komentari hidup gua kalau lo aja masih jadi seorang pengecut di hidup lo sendiri.” ucapan Hasan barusan membuat Jevana menatap dirinya Heran.

“Lo kemaren nyudutin gue karena target lo buat masuk lima besar nggak tercapai kan? lo tau nggak? cuma seorang pengecut yang nyalahin orang lain atas kegagalan yang dia buat sendiri. dan ya lo itu pengecut.” ulangnya lagi membalas tatapan tajam Jevana yang kini rahangnya sudah mengeras.

“Kok diem? omongan gua bener ya? lanjutnya lagi. “Ya… emang bener sih orang ambis kayak lo apa lagi sih yang dipikirin? paling nggak jauh dari nilai, peringkat dan reputasi,” serang Hasan terus-menerus.

Baru saja Jevana ingin membalas ucapan Hasan namun suaranya terpotong kala terdengar rintihan kesakitan dari ujung ruangan, lantas keenamnya menoleh, menatap kaget ke arah tertua kedua yang kini meringkuk dengan tubuh yang bergetar. “To...long, ber...hen..ti,” Lirih Renjana pelan sambil memukul dadanya kuat-kuat.

“To...long….”

Dengan cepat Nanda, Candra serta Zefa memapah Renjana menuju kamarnya meninggalkan dua insan yang sedari kemarin ribut dengan tatapan bersalah dengan Marvel. setelah Renjana benar-benar keluar dari kamar mereka. lantas kini Marvel menoleh ke dua adiknya itu.

“Udah?” ujarnya ketus, “Udah emosinya? udah berantemnya? udah saling sindirnya? UDAH?” gertaknya kasar. “Kok nggak jawab? gagu ya? tadi bisa tuh teriak-teriak kenceng, kok sekarang gue tanya diem aja kayak orang bisu?”

Mereka hanya menunduk, merasa sesal untuk kedua kalinya. “Sekarang gue minta lo berdua selesaikan masalah ini secepatnya, gue nggak mau kejadian kayak gini kejadian sampai tiga kali, cukup ini yang terakhir.”

Setelah berkata seperti itu Marvel segera meninggalkan keduanya di kamar, dengan harapan mereka dapat segera menyelesaikan semuanya sekarang. dan dengan cepat ia pergi menuju kamarnya, untuk mengecek keadaan Renjana, yang tadi berhasil membuat Marvel kaget bukan main.