Diskualifikasi
Detak jantung dari ketujuh pemuda itu tidak bisa lagi dielakkan kehadirannya, pasalnya setelah sarapan, ketujuh pemuda itu dipanggil oleh ketua pelaksana acara, yang membuat ketujuhnya panik karena pasti ini berhubungan dengan kaburnya mereka kemarin.
“Bapak kecewa sama kalian,” ujar pak Haris memecah keheningan pertama kali. “kalian tidak ada kelas, bukan berarti kalian bisa kabur gitu aja. bukannya udah jelas informasi yang dikasih tau dari pak Theo kalau kalian belajar-sendiri-sendiri-di-kamar,” ucapnya dengan menekankan kata belajar sendiri-sendiri.
“Dan masalah kalian bukan ini saja yang saya dapat, dua kali saya dapat info kalau kalian terlibat pertengkaran,” lanjutnya lagi. “saya rasa, tindakan kalian kali ini tidak bisa lagi kami tolerir lagi. dan dengan berat hati kalian kami diskualifikasi dari olimpiade ini.”
Ucapan terakhir dari pak Haris, membuat ketujuhnya memejamkan mata, perasaan mereka sedikit teriris akan pernyataan yang baru saja dikeluarkan itu.
“kecuali Jevana,” ujar pak Haris lagi singkat. “kecuali Jevana, yang lain kami diskualifikasi, sebab nilai yang diraih masih bisa menjadi perhitungan kami untuk mempertahankan dia untuk tetap bertahan disini,” jelasnya.
Jevana mengernyit tidak terima, “Bagaimana bisa? saya ikut kabur, saya ikut bertengkar, kenapa saya tidak ikut di diskualifikasi juga? saya juga salah, dan saya rasa nilai saya juga tidak sebagus itu,” ujarnya tidak terima, ia tidak mau tetap bertahan sedangkan teman-temannya harus pulang dengan kekecewaan. “saya juga harus di diskualifikasi,” lanjutnya.
Pak Haris menghela nafasnya, “Ini sudah dirundingkan, dan kamu tidak bisa mengubahnya semudah itu Jevana, kamu tetap disini, dan partner barumu akan segera datang besok.”
“Jika tidak dengan mereka, maka saya tidak mau lagi berada disini,” jawab Jevana dingin dan tegas. ia tidak main-main. ia tahu alasan ia masih berada disini adalah karena kakeknya. ia tahu kakeknya akan melakukan berbagai macam cara agar ia bisa tetap berada disini dengan tim yang kompeten menurutnya.
“Jev…” panggil Marvel pelan, “lo disini, harus disini. lo harus lanjutin perjuangan kita yang belum selesai ini.”
“Perjuangan kita kan bang?” jawab Jevana cepat seraya terkekeh kecil, “kalau gitu ya harus kita bareng-bareng lah yang lakuin, harus kita yang ngerasain senang bareng-bareng, bukan gue doang.”
Renjana menghela nafasnya pasrah, sifat Jevana yang terbilang keras itu memang susah untuk ditaklukan. jujur ia tidak tahu lagi harus berbuat apa selain menurut dan bersiap-siap untuk pulang ke rumah. sedangkan yang lain, hanya bisa diam, saling menyalahkan diri sendiri.
“Maaf….” lirih Hasan, ia merasa semua yang terjadi karena salahnya, karena egoisnya yang tidak mau mendengar apa kata Marvel untuk tidak melakukan tindakan gegabahnya itu. yang sekarang membuat semuanya makin runyam.
“Gue keluar dulu.” setelahnya Jevana keluar ruangan dengan cepat, menuju sebuah tempat sepi untuk menghubungi seseorang.
“Gimana? nggak kapok bikin malu kakek?”
brengsek
“Jadi bener ini semua ulah kakek? kakek kan yang minta buat kelompokku di diskualifikasi?”
“Iya, buat apa kamu bertahan sama kelompok yang hanya beri pengaruh buruk? bikin malu saja.”
“Kalau gitu aku juga mau keluar,”
“Jangan bodoh Jevana. ini kesempatan kamu untuk jadi lebih baik dengan tim yang sudah kakek pilihkan.”
“Aku tetap nggak mau, terserah kalau kakek tetap maksa aku buat tetap disini dengan tim yang baru. maka aku akan kasih tau dad kalau kakek adalah salah satu penyebab ibu meninggal tiga tahun yang lalu.”
Telepon terputus begitu saja, siapa lagi kalau bukan Jevana yang memutuskan itu secara sepihak. ia sudah terlalu kesal pada sikap kakeknya yang begitu jahat. selalu bermain curang agar apa yang ia mau bisa tercapai dengan mudah tidak peduli jika harus merugikan orang lain.
Jevana terduduk lemas dibangku taman, meremat rambutnya frustasi. ia tidak tahu lagi harus bersikap bagaimana, ia jelas tidak mau harus berpisah dengan timnya. dan tidak dipungkiri lagi ia juga merasa bersalah karena tidak nurut akan perkataan Marvel untuk tidak pergi saat itu.
“Arghh brengsek!” pekiknya kencang, tidak peduli dengan tatapan sinis dari beberapa siswa yang juga sedang berada disana.