“Buat Candra satu hari aja cukup.”
Cahaya demi cahaya yang mencoba masuk menyapa indera penglihatannya membuat Candra terpaksa membuka matanya, kepalanya sudah tidak seberat semalam, panas di tubuhnya pun sudah kembali normal dan badannya lebih enakan dari sebelumnya.
Semua terlihat biasa-biasa saja, namun kamar sudah sepi, ia tahu pasti kakak-kakaknya juga Zefa sudah berada di kelas hari ini, membuat dia membuang nafasnya pelan. namun tidak menunggu waktu lama, pintu kamarnya terbuka perlahan.
Sosok yang masuk ke dalam kamarnya saat ini sukses membuatnya membeku di tempat, netra mereka saling bertubrukan. Candra susah payah menelan ludahnya, tangannya meremas kencang selimut di sampingnya. “Ibun…?”
Wanita dengan balutan kemeja putih dengan celana kain dengan warna senada itu menatap putra semata wayangnya dengan teduh seraya tersenyum, hatinya terasa nyeri melihat tubuh putranya yang terasa semakin kurus. langkahnya ia bawa menuju ranjang Candra.
“Iya, ini ibun,” jawabnya sesudah duduk tepat di samping Candra seraya mengelus peluh pada kening Candra, “kenapa? Candra kaget ya?” dengan tatapan polos Candra mengangguk, ia masih belum bisa mencerna apa yang terjadi sekarang. yang ia ingat hanyalah kemarin ia baru saja mengatakan isi hatinya dan menyebabkan dirinya dan kedua orang tuanya bertengkar, lalu sekarang ibunnya datang dengan keadaan baik-baik saja seolah tidak ada kejadian apapun kemarin.
Niana, ibun Candra tersenyum, “Maafin ibun ya sayang? maafin ibun yang nggak pernah ada untuk Candra.” satu bulir air mata berhasil lolos dari pelupuk mata Candra, tubuhnya mulai bergetar lalu sedetik kemudian ia hamburkan satu pelukan pada wanita yang begitu ia rindukan kehadirannya. “Candra nggak mimpi kan ibun?” Niana bergeleng pelan walau ia tahu putranya ini tidak akan melihatnya, “Nggak sayang, Candra nggak mimpi kok, ini ibun yang Candra peluk, maafin ibun ya nak?” Candra melepaskan pelukan itu, kepalanya ia angkat agar ia bisa dengan puas menatap wajah cantik yang cantiknya tidak pernah luput dimakan usia itu. Candra tersenyum, “harusnya Candra yang minta maaf ibun….”
“Candra nggak pernah salah, ini kesalahan ibun, salah ibun yang kurang perhatiin apa maunya Candra.” Candra tersenyum, hatinya merasa begitu bahagia. namun hanya tangis yang bisa ia keluarkan. lalu setelahnya ia kembali memeluk ibunnya, pelukan hangat yang terasa sangat jauh dulu itu bisa ia rengkuh sekarang dengan begitu dekat, tidak berjarak. “Candra kangen banget sama ibun, Candra kangen dipeluk kayak gini sama ibun.”
Belum sempat Niana membalas, pintu kembali terbuka, “Waduh, ayah nggak di ajak pelukan juga nih? ayah juga mau tau,” canda Keenan, membuat Candra serta Niana terkekeh setelahnya. “Ayah siniiii, kita pelukan bareng-bareng!!” seru Candra yang begitu semangat sekarang. lantas dengan cepat Keenan langsung menubruk tubuh kecil itu, merengkuhnya erat, menciumi pucuk kepalanya seraya menggumamkan kata maaf berkali-kali. “Maafin ayah ya sayang.”
“Candra mau tanya,” ujar Candra pelan. setelah mendapat guratan tanda tanya dari kedua orang tuanya, lantas ia kembali meneruskan ucapannya, “ibun sama ayah udah nggak marah kan sama Candra?” tanyanya takut-takut.
Usapan lembut pada surai hitamnya Candra dapatkan, “Nggak sayang, ibun nggak pernah marah sama Candra, maaf ya? kemarin ibun kebawa emosi.” Candra kembali tersenyum senang, sekarang hatinya benar-benar lega, ia merasa sudah tidak ada lagi hal buruk yang mengganjal hatinya.
Sekarang mereka masih tetap diam dengan posisi saling memeluk satu sama lain, perasaan Candra sudah tidak bisa lagi ia gambarkan betapa bahagianya dia hari ini. “Candra seneng deh dipeluk kayak gini sama ayah ibun.” ucapan Candra barusan membuat Niana serta Keenan tersenyum miris, mereka kembali mengingat perlakuan mereka terhadap putra semata wayangnya.
“Sekarang ibun sama ayah akan selalu ada buat Candra kapanpun itu,” ucap Niana sembari mengeratkan pelukannya pada Candra. Candra menggeleng lemah, “Candra nggak pernah minta ibun sama ayah untuk selalu ada buat Candra, tapi Candra cuma minta waktunya sebentar aja buat Candra, sehari aja lebih dari cukup kok.”
“Kalau gitu, gimana kalau hari ini?” Candra mendongak ke arah Keenan seraya mengerutkan alisnya tanda ia bingung, “Maksudnya?”
“Gimana kalau hari ini kita habisin waktu bareng-bareng?”
Air muka Candra yang semula bersemangat tiba-tiba kembali redup, “Eh, kenapa murung gitu?”
“Candra kan harus belajar ayah,” lesu Candra.
“Gampang lah bisa diatur,” ucap Keenan tersenyum seraya menaik turunkan alisnya.