Sakit
“Kenapa sih?” ujar Marvel kesal pasalnya ia baru saja ingin menutup matanya tiba-tiba notif pesan dari Hasan memenuhi ruang pendengarannya. Hasan masih diam tapi nafasnya memburu cepat membuat Marvel yang sedang melihatnya ikut panik.
“Ada apa sih?” tanya Marvel mulai kesal. membuat Renjana dan Zefa yang sedari tadi menunggu di tempat tidur ikut penasaran akan apa yang terjadi. “Ada apa?”
“Tau tuh, Hasan nggak jelas.”
“Candra sakit,” ucap Hasan cepat dengan nada khawatir yang mengikuti. “badannya panas banget bang… gua takut.”
“Udah malem, cari obat kemana? gue nggak tahu daerah sini,” keluh Marvel. ia begitu khawatir akan kondisi Candra, suhu tubuhnya tidak kunjung turun juga bahkan setelah Renjana kompres beberapa kali.
“Ayo bang, kita cari,” ajak Nanda yang sudah siap dengan jaket hitamnya, “kemana aja, asal kita nemu obat buat Candra, seenggaknya dia harus minum obat penurun demamnya dulu.” lanjutnya. Marvel mengangguk, menyetujui apa yang diucap Nanda.
“Kalian disini aja, kasih tahu kalau ada apa-apa.”
Renjana, lelaki tertua yang berada dikamar ini masih setia duduk serta mengompres kening Candra, pelan-pelan ia lakukan kegiatan itu agar Candra tidak terbangun. sedangkan Zefa, Hasan dan Jevana, ketiganya duduk tepat di seberang ranjang Candra, menunggunya agar nanti bila Candra membutuhkan sesuatu mereka siap.
“I...bun...ayah...kang...ngen,” gumam Candra pelan, sedari tadi pemuda itu terus menerus secara tidak sadar menyebut ibun serta ayahnya bergantian, membuat Renjana menghela nafasnya pelan.
“Jev, San tolong gantiin aku kompres Candra ya,” ucap Renjana pelan seraya menghapus jejak air pada kening Candra lembut, “Aku mau keluar sebentar.”
Tekad Renjana sudah bulat untuk menghubungi orang tua Candra sekarang. kini di tangannya sudah ia genggam ponsel milik Candra. ia mengucapkan beribu maaf untuk sang empunya benda pipih di genggamannya ini karena membukanya tanpa izin.
Diusapnya layar itu, mencari sebuah nama yang sedang ia cari, sampai sebuah kontak bernama ‘Ibun’ ia temukan. ia tarik nafasnya dalam-dalam, memikirkan kembali apa yang akan ia lakukan.
Tombol hijau ia tekan, tulisan berdering yang muncul berganti menjadi sebuah angka penghitung lama percakapan yang akan terjadi setelah ini. nafas Renjana tercekat kala mendengar tutur kata dari lawan bicaranya di seberang sana.
“Kemana aja kamu Can? pesan ibun nggak ada yang kamu jawab, telepon ibun nggak kamu angkat, malah matiin ponsel. udah berani ngelawan ibun?”
“Maaf tante,” ujar Renjana pelan, “ini Renjana, teman satu kelompok Candra.” Terjadi jeda cukup lama antara keduanya, “Ada apa? kemana anak saya?”
Renjana menelan ludahnya susah payah. akhirnya ia kembali memulai percakapan, “Candra demam, badannya panas banget, dan dia terus-terusan panggil tante di bawah sadarnya, jika tante masih peduli sama anak tante…” Renjana sengaja menjeda ucapannya.
“Selesaikan apa yang perlu diselesaikan diantara kalian hari ini. dan untuk malam ini, Candra biar kakak-kakaknya yang jaga. oh iya tante, sebelum itu Renja cuma mau bilang, kalau Candra sayang banget sama ayah ibunnya, soal kejadian tadi siang… Candra benar-benar ngerasa bersalah dan takut sama tante, dia beneran ngerasa udah kurang ajar sama orang tuanya.” Renja diam, ia memejamkan matanya perlahan sebelum kembali melanjutkan ucapannya.
“dan satu lagi maaf kalau terkesan ikut campur, tapi Renja minta tante dan om coba renungi dulu apa kesalahan kalian sebelum kalian tumpahkan semuanya ke Candra, karena kadang seseorang lebih mudah menyalahkan daripada mengintrospeksi dirinya sendiri terlebih dahulu. Renja harap setelah ini tante tahu apa yang harus tante lakukan untuk kebaikan Candra, terima kasih tante, selamat malam.” tanpa menunggu balasan dari lawan bicara, Renjana mematikan sambungan itu sepihak.
Sebentar lagi ya Candra, sebentar lagi, batin Renjana.
“Ja?” panggil seseorang dari belakangnya, “ngapain di sini?” Marvel dan Nanda sudah kembali dengan dua kantong plastik berisi seporsi bubur serta obat penurun demam. belum sempat Renjana jawab namun suara Nanda terlebih dahulu menginterupsi mereka.
“Ayo masuk bang, Candra harus cepet minum obat,” ujar Nanda.” Renjana lantas mengangguk, “Iya ayo.”
Setelah Candra selesai makan bubur dan minum obatnya ia kembali tidur, meninggalkan keenam lainnya yang masih memasang raut wajah khawatir, karena tidak terbiasa melihat Candra yang lemas dan lemah seperti ini.
“Udah kalian juga tidur, besok kan juga masih ada kelas,” perintah Renjana.
“Malam ini kita tidur di sini bareng-bareng aja ya abang? sekalian jagain Candra,” bujuk Zefa pelan.
Renjana tersenyum, “Yaudah.”