Auriga

Pagi ini aku menagih janji pada Auriga untuk pergi ke sebuah pameran lukisan yang cuma diadakan satu tahun sekali, tapi kamu memang selalu begitu, selalu datang satu jam lebih awal dari jam perjanjian kita semalam. kataku, “Kebiasaan, selalu datang lebih cepat, aku kan belum siap!”

Dan seperti biasa juga, kamu hanya tertawa menanggapi ocehanku yang bagaimana bisa kamu bilang itu lucu. kamu masih tersenyum dengan tangan yang di masukan ke dalam saku celana, masih berdiri menatapku dari pagar depan rumah. lalu aku bilang, “Ngapain disana? ayo masuk, aku masih mau dandan dulu.”

Lalu tanganmu keluar dari saku memegang gagang pagar yang tertutup rapat, membukanya perlahan sehingga tidak ada bunyi yang keluar, lalu berjalan tanpa suara.

“Apa?” kataku saat Auriga sudah tepat berada dihadapan, ia tersenyum lalu tangan besarnya itu terangkat, menangkup pipiku lalu sedikit mencubitnya, “masuk kemana, hm?”

“Ya.. ke rumah aku lah? kemana lagi?” dan tengilnya dia hanya mengangguk-angguk dengan memajukan bibirnya sedikit lalu berkata, “Aku kira masuk ke hatinya Kalila, soalnya aku udah,” ucapnya dengan cengiran yang menurutku sangat menjengkelkan.

“Gombalanmu nggak ngefek lagi tau nggak, udah sering aku dengernya,” ucapku ketus seraya memutar bola mata malas. dan lagi dia hanya tertawa.

Sekarang aku sudah rapi dengan balutan dress mini pemberiannya saat hari jadi kita ke dua tahun. “Ayo pergi nanti aku kasih lihat lukisan paling cantik yang pernah ada.” tapi kamu hanya diam masih setia duduk di teras rumahku, memandangku tanpa berniat bangkit dan bergegas pergi.

“Buat apa aku pergi untuk lihat lukisan cantik kalau sekarang aja aku udah melihat karya Tuhan yang paling indah.”

Jujur aku benci saat ia mengeluarkan kata-kata manis padaku, aku benci tatapan hangat yang selalu ia pancarkan untukku, aku benci akan sikap lembutnya yang selalu ia berikan untukku dan aku lebih benci saat hatiku tak kunjung terbiasa akan hal itu.

Jantungku berdebar, lagi. padahal ini adalah gombalan kesekian kali yang dikeluarkan hari ini, tapi kenapa debaran ini selalu muncul. aku rasakan pipiku memerah, semerah tomat ceri yang kemarin ia samakan merahnya pada merah pipiku.

“Sekarang, mau jalan apa terus gombal?” jawabku setelah berhasil mengatur deru nafas yang tadi bergejolak hebat. dia kembali tertawa, “Hahahaha, ternyata ada yang malu.” Tapi sebelum kita jalan tiba-tiba kamu berhenti, berhasil membuatku bingung sekaligus kesal sendiri, kataku, “Apalagi Riga?” dia terkekeh kecil, lagi. lalu tangannya terjulur, menggenggam telapak tanganku yang kosong seraya berkata, “Aku genggam ya? soalnya takut perempuanku hilang disana.”

Hah, Auriga memang selalu lolos dalam perihal membuat hati saya tidak karuan keadaannya.