“Abang, terimakasih ya. terimakasih untuk selalu ada buat Zefa.”

Rasa bersalah yang kini menggerogoti Zefa akan kejadian beberapa minggu lalu dimana ia meninggalkan kakaknya dan membuat marah bundanya tidak juga bisa hilang dari benak pikirannya.

Rasanya seperti ada batu yang mengganjalnya saat ini, sudah dua minggu ia tidak membalas pesan bundanya, itu juga selain sibuk juga karena rasa takut yang semakin bertambah kian hari, sukses membuatnya gundah sekarang.

Kini ia tengah berada di kamar Hasan, Jevana, Nanda dan Candra, berkumpul seraya memakan camilan yang tadi baru saja dikirimkan oleh ayah Jevana. sekarang mereka tengah bersenda gurau, saling melempar candaan yang bisa dibilang garing tapi tetap saja mengundang tawa.

Melupakan sejenak tentang belajar, kini mereka ingin menghabiskan waktu bersama, sudah hampir seminggu mereka berkutat pada materi-materi yang kian hari kian membludak. belum lagi soal-soal latihan yang sangat banyak yang membuat pusing tujuh keliling.

Untung mereka punya Renjana, seseorang yang paling merawat mereka disana, selalu meminta mereka istirahat kalau ia rasa semua sudah mulai lelah, meminta mereka untuk makan teratur karena nanti kalau sakit, ya terserah kalau sakit kan kalian juga yang ngerasain, abang mah cuma bisa bantu obati aja. katanya, kalau mereka sedang susah diatur. posisi sebagai tertua kedua sangat ia jalani dengan baik.

Ada juga Marvel, si paling tua, juga partner ambis Jevana yang kalau sudah berkutat sama buku susah banget disuruh berhenti. langganan kena omel Renjana karena susah banget dibilangin. si paling keras kepala tapi juga yang paling siap siaga kalau adik-adiknya lagi ada masalah. ada abang disini, kalian bisa cerita, jangan pernah ngerasa sendiri ya?

Dan kalau mereka benar-benar lagi suntuk yang suntuk banget, bener-bener mumet sama semua yang lagi mereka kerjain, maka Hasan yang mereka cari. si konyol yang selalu punya banyak cara untuk bikin semuanya tertawa, yang paling berhasil membuat situasi menegangkan menjadi sebuah euforia yang menyenangkan.

Dering ponsel yang berbunyi di atas kasur kini menarik atensi mereka yang sedang bermain kartu uno yang dibawa Hasan waktu pulang ke rumah tiga minggu yang lalu. lantas Zefa sang pemilik ponsel segera menghampirinya untuk mengambil benda pipih itu.

‘bibi’

Nama kontak yang tertera sebagai penelpon itu sukses membuat kening Zefa berkerut, jarang sekali bibinya ini menelpon dirinya. dengan perasaan bingung ia angkat panggilan itu ragu-ragu. sambungan terhubung, namun bukan sapaan hangat yang ia dapat melainkan caci maki yang berhasil membuatnya membeku di tempat.

Ya, itu bundanya

Kakinya bergetar, jantungnya berdetak cepat, namun dengan cepat pula ia menyembunyikan itu semua dan berpamitan untuk keluar.

Marvel yang baru menyadari bahwa ponselnya tertinggal di kamar waktu mereka ingin mengambil gambar sebagai kenang-kenangan, lantas kembali ke kamarnya untuk mengambil ponsel.

Bunda, Zefa minta maaf

Namun langkahnya seketika berhenti.

Bunda Zef.. suara itu terdengar bergetar

Bunda… semakin bergetar.

Bunda… semakin pelan.

Bunda bisa nggak ngertiin Zefa? ya. akhirnya keluar juga, batin Marvel yang hanya diam menatap tubuh tinggi itu yang tengah menatap ke arah bangunan tinggi di depannya.

Sedikit aja bunda, sedikit tolong ngertiin posisi Zefa. Zefa selalu diminta untuk ngerti, tapi apa pernah Zefa dimengerti?

Zefa ini anak bunda juga kan? tapi kenapa rasanya cuma kakak yang anak bunda? kenapa semua terasa kalau Zefa ini ada hanya untuk sebagai penjaganya kakak? Zefa juga manusia, punya rasa juga yang bisa hancur kapanpun itu.

Dari kecil, Zefa selalu dituntut dewasa tanpa tahu kalau Zefa ini juga anak remaja yang masih labil akan masa depannya sendiri.

Bunda, Zefa dari dulu... dari dulu selalu mimpi kalau Zefa bisa ngerasa disayang sama bunda, selalu mimpi akan dapat tatapan yang sama kayak kakak dari bunda.

Tujuh belas tahun hidup, tapi Zefa ngerasa kalau hidup Zefa hanya seputar kakak, kakak, dan kakak. Zefa mau punya kehidupan sendiri bunda, Zefa mau kayak anak-anak lain yang sekolah di sekolah, yang main layangan sore-sore yang nanti pulangnya waktu adzan maghrib, yang punya cerita menarik yang bisa diceritain malamnya saat waktu makan malam,

dan yang punya dua orang tua yang perhatiannya seimbang antara kakak dan adik.

Bukan berarti Zefa nggak ikhlas jaga kakak, nggak bunda. Zefa sayang kakak, banget. tapi Zefa nggak akan selamanya ada untuk kakak juga. nantinya mungkin Zefa akan pergi, entah kemana, entah karena apa, dan Zefa nggak mau kakak bergantung sepenuhnya sama Zefa.

Kalau bunda tanya Zefa senang apa nggak disini, Zefa seneng banget bunda, seneng banget. sampai- sampai Zefa berharap olimpiade ini nggak akan pernah selesai, karena Zefa nggak mau pergi dari sini. di sini, di tempat ini. Zefa bisa jadi diri Zefa sendiri, Zefa bisa ngelakuin apa yang Zefa mau, bisa ngerasain apa yang belum pernah Zefa rasain waktu di rumah. kasih sayang, perhatian yang belum pernah Zefa rasakan sebelumnya.

Zefa capek bunda, Zefa capek dimarahin sama bunda. Zefa capek ngertiin orang yang nggak pernah mau ngertiin Zefa.

sambungan terputus. genggaman tangannya ia eratkan pada railing putih di depannya untuk sekedar menopang berat tubuhnya sendiri yang hampir terjatuh akibat bergetar hebat. nafasnya tercekat, tangisnya tertahan agar tidak ketahuan orang-orang.

Namun sebuah tepukan pelan di bahunya, membuatnya terpaksa menengadah, menampakkan wajah yang basah akan air mata, namun senyum insan di depannya ini seakan membawa semua rasa sesak yang tadi bersemayam rapi pada hatinya.

“Abang…” Marvel lantas segera menarik tubuh itu, memeluknya erat, “Abang kan udah bilang, kalau Zefa mau bicara sama bundanya Zefa, bilang abang, biar abang temenin,” ujarnya pelan dengan tangan yang kini mengusap halus surai hitam Zefa.

“Jangan nangis, abang nggak suka.” Zefa terkekeh kecil tapi tidak ada niatan untuk melepas pelukan Marvel. “Abang peluk Zefa yang lama ya, soalnya pelukan abang nyaman banget.” Marvel tersenyum, “Kalo gitu nggak akan abang lepasinnnn,” jawab Marvel gemas.

“Sumpah, jadi gini kelakuan kalian???” ucap Hasan yang ternyata di belakangnya ada empat orang lagi yang ngikutin. “sayang-sayangannya kok nggak ngajak sih!” omelnya tapi langkahnya tak berhenti untuk mendekat ke arah Marvel serta Zefa yang masih setia berpelukan.

“Apa?” tanya Marvel sok galak. Hasan memutar bola matanya, “Ya gua kan juga mau!” lalu setelahnya ia menghamburkan pelukannya di belakang Zefa, disusul keempat lainnya. Zefa terkekeh sekaligus senang sekali bisa bertemu dengan mereka.

Yang awalnya hanya seorang partner olimpiade, sebagai teman bertukar pikiran sekarang menjadi seseorang yang begitu berarti bagi hidupnya. karena mungkin jika tidak ada mereka, kehangatan seperti ini tidak akan pernah Zefa rasakan kehadirannya.

“Abang, terimakasih ya. terimakasih untuk selalu ada buat Zefa.”