athiverse

Datang dan kembali

“Udah ibu, Renja udah kenyang,” ujar Renjana pelan saat Naura hendak menyuapkan sepotong buat apel lagi untuk Renjana. Perempuan dengan mata bulat dan senyum yang begitu mirip dengan dirinya itu lantas mengangguk, mengambil segelas air untuk Renjana.

“Makasih ibu.…” Melihat Naura menunduk dapat Renjana lihat bahwa ibunya itu tengah menahan tangis yang akan keluar. semalam, ibunya telah menceritakan semuanya yang membuat ia membenci Renjana selama ini.

Malam itu dapat Renjana dengar nada bersalah dari setiap ucapan ibunya yang menganggap dirinya anak dari selingkuhan sang bapak. tidak bohong bahwa hatinya juga sakit mendengar penuturan kejujuran dari sang ibu. namun ia mencoba mengerti. bahwa menjadi Naura saat itu juga tidaklah mudah.

Dengan senyum tipis Renjana hadiahkan untuk sang ibu, meyakinkan bahwa ia tidak apa-apa dan itu hanya masa lalu yang cukup disimpan dan tidak perlu diungkit lagi. yang penting sekarang ibunya sudah ada bersama dengannya, itu lebih dari sekadar cukup untuk Renjana. “Ibu…” panggil Renjana. Naura menoleh menatap putranya yang keadaanya kini jauh lebih baik. “Kenapa sayang?”

“Tolong beri Nanda kasih sayang yang sama kayak Renja ya bu?” permintaan Renjana sukses membuat Naura bungkam. jujur dalam lubuk hatinya, setiap ia melihat Nanda bayangan kejadian tujuh belas tahun yang lalu selalu kembali terbayang dalam pikirannya. membuat perih pada hatinya kembali terasa.

“Renjana tahu berat untuk ibu, tapi dicoba ya bu? Nanda hadir itu sudah takdir dari Tuhan, dia bukan kesalahan yang harus kita benci,” lanjut Renjana. “Renjana tahu ibu orang baik, dan Renjana yakin ibu pasti bisa nerima Nanda nanti.”

Naura mengangguk dalam hatinya ia juga menyetujui apa yang barusan putranya katakan. Nanda lahir karena takdir. “Iya sayang, ibu coba ya?” Renjana tersenyum lalu segera memeluk tubuh Naura erat. Tidak lama, suara ketukan pintu terdengar membuat Renjana melepas pelukan singkat itu. melihat siapa yang datang pagi-pagi. Suara riuh menyapa pendengarannya setelah pintu terbuka, menampilkan sosok yang sudah mengisi hari-harinya sebulan terakhir ini. sosok yang membuat dia sedikit melupakan masalah-masalah serta sakit yang ia rasakan di rumah.

“SELAMAT ULANG TAHUN ABANG!!” Renjana membuka mulutnya lebar, tatapannya terkejut tidak bisa ia sembunyikan lagi. lantas dengan segera ia mengecek ponselnya melihat tanggal disana lalu tertawa. “Ya Allah, aku lupa hari ini ulang tahun,” ujarnya.

It’s okay abangggg, sini make a wish dulu!” ujar Candra yang dengan gembira membawa kue yang mereka pesan sebelum ke sini. tentunya sudah dihiasi dengan sebuah lilin angka delapan belas di atasnya. Renjana hanya tertawa melihat hanya ada tulisan ‘HBD’ pada kue putih itu. namun hatinya begitu senang. baru kali ini ia merasakan ulang tahunnya dirayakan.

Lilin sudah mati. tepat setelahnya Darma masuk ke dalam ruangan membawa sebuah kue juga ditangannya. “Waduh, bapak telat nih ceritanya?” lantas semuanya tertawa menanggapi ucapan Darma.

“Nggak bapak, nggak telat sama sekali,” jawab Renjana yang kini wajahnya begitu bahagia. senyumnya tidak pernah luntur dari wajahnya.

“Maaf Renja, ibu lupa ulang tahun kamu,” lirih Naura pelan. Renjana menggenggam tangan Naura. “Nggak apa-apa ibu, ada ibu di ulang tahun Renja kali ini itu adalah hadiah paling baik yang Tuhan kasih ke Renja,” jawab Renjana jujur. lantas Naura tersenyum lalu mengangguk. “Makasih ya sayang.”

Acara ulang tahun Renjana berjalan lancar. kue yang dibeli Darma serta Hasan dan kawan-kawan kini sudah habis tak bersisa. sekarang mereka sedang duduk sambil bercengkrama ria, saling berbagi tawa yang sudah lama tidak mereka lakukan. Sedangkan Naura, wanita itu kini tengah merapikan perlengkapan Renjana untuk pulang nanti sore.

“Makasih ya semua, aku kaget banget kalian tahu ulang tahun aku.”

“Nggak sengaja abang, kemarin aku nggak sengaja liat di data abang kalau hari ini abang ulang tahun.” Renjana hanya tersenyum lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. namun ia baru merasakan ada yang kurang hari ini.

“Loh iya, bang Marvel mana?” sontak pertanyaan Renjana barusan membuat suasana ceria itu berubah menjadi sunyi yang mencekam. membuat Renjana menautkan kedua alisnya bingung. “kemana?” tanyanya lagi.

Terjadi diam cukup lama sampai Darma akhirnya bersuara. “Dia ada urusan sama papanya Renja.” Sontak semuanya kembali bernafas lega dan mengucapkan banyak rasa terimakasih kepada Darma yang telah menolong mereka hari ini dalam hati. lalu semuanya mengangguk.

“Masalah apa sih, lama banget perasaan?” Hasan hanya mengedikkan bahu tanda tidak tahu. Renjana hanya bisa membuang nafasnya kasar. ia sudah begitu rindu ingin bertemu dengan abang satunya itu. sejak ia sadar, ia tidak lagi melihat batang hidung Marvel dalam netranya. “Ponselnya mati juga ya?” Lalu Jevana mengangguk. “Gue juga susah hubungin dia bang.”

Setelah yakin Renjana telah percaya akan rekayasa yang mereka buat lantas mereka kembali berbicara banyak sekali setelahnya. Renjana hanya bagian menyimak saja, ia hanya duduk bersandar seraya menatap satu-satu insan yang menjadi alasannya untuk terus berucap syukur kepada Tuhan karena sudah mempertemukannya dengan mereka.

Namun tiba-tiba dadanya kembali terasa nyeri, nafasnya terasa begitu sesak. dan secara tidak sengaja Hasan yang ingin mengambil minum dekat ranjang Renjana sontak kaget melihat Renjana kini tengah kesusahan bernafas dan berusaha mencari oksigen.

Teriakan panik Hasan membuat semua perhatian yang berada dalam ruangan tertuju pada Renjana. dengan cepat Darma berlari mendekat ke arah Renjana. berniat ingin menekan tombol untuk memanggil dokter. namun dengan cepat Renjana menahan pergerakan Darma.

‘N-nggak…u-sah pak…” ucapnya tertatih-tatih karena pasokan oksigen yang semakin susah memasuki tubuhnya. Naura hanya bisa menutup mulutnya menahan tangis yang hendak ingin keluar. sedangkan Candra, Zefa dan Jevana menatap khawatir pada dirinya.

Darma menggenggam tangan Renjana kuat-kuat seraya menahan tangis yang juga akan keluar. ia tidak suka situasi ini. situasi yang ia takutkan sedari kemarin. banyak sekali rapalan permohonan kepada sang pemegang kuasa atas dunia dan seisinya bahwa, jangan sekarang saya masih butuh dia.

Renjana membalas genggaman tangan Darma, lalu tangan satunya menggenggam Naura. ia menatap kedua orang tuanya bergantian, meneliti setiap inci dari wajah yang sekarang sudah mulai muncul kerutan di beberapa sisi. lalu tatapannya tergerak, menatap satu persatu wajah panik adik-adiknya.

“Ibu, tolong sayangi Nanda ya? Renjana minta sama ibu, tolong janji ya sama Renja buat sayang sama Nanda?” Naura memejamkan matanya lamat-lamat. hatinya begitu sesak, ia begitu takut sekarang. “Iya sayang ibu janji akan sayang sama Nanda sama kayak ibu sayang sama Renja,” ujar Naura akhirnya membuat seulas senyum tipis terbit pada wajah Renjana.

“Hasan, tetap menjadi diri sendiri ya? kamu hebat tahu jangan pernah ngerasa kurang karena kamu itu udah sangat hebat sekarang. inget ya nggak perlu jadi orang lain untuk terlihat sempurna.” Hasan menutup mulutnya kemudian menunduk berusaha semaksimal mungkin untuk tidak menjalin kontak mata dengan Renjana. “Hasan lihat abang,” Renjana kembali bersuara.

Hasan mengangkat kepalanya, berusaha menahana tangis yang hendak keluar. melihat Renjana yang kini tengah mengatur nafasnya susah payah sangat menyayat hatinya. “Janji ya untuk terus sayang sama diri kamu sendiri.” Hasan mengangguk susah payah. “Janji,” ucapnya pelan agar yang lain tidak mendengar nada suaranya yang mulai bergetar.

Setelah puas mendengar jawaban Hasan, Netra Renjana tertuju pada Candra yang sudah menangis. ditatapnya lembut adiknya itu. “Kamu kenapa nangis Can?” Candra menggeleng seraya menghapus jejak air mata serta ingus pada wajahnya. Renjana terkekeh kecil dibuatnya. “jangan nangis, abang nggak kemana-mana.”

“Candra nanti jangan gampang nangis ya, walau dunia nanti akan jahat ke kamu. tapi seenggaknya kamu harus kuat untuk diri kamu sendiri, karena nggak selamanya kamu akan selalu didampingi. akan ada saatnya kamu harus berdiri sendiri.” Candra membuang mukanya dari hadapan Renjana. mencegah air mata yang ingin turun lalu kemudian ia kembali tatap wajah yang sedari tadi membuat menangis. “Iya abang, tapi kalau Candra nggak kuat. boleh nangis kan?”

Renjana tersenyum. “Ya boleh dong? nanti air matanya nggak kepake.” Sontak Candra hadirkan tawa penuh paksa untuk Renjana. tatapan Renjana beralih menatap tubuh jangkung yang menemani selalu menemani malamnya.

“Zefa, adik kecilnya abang.” kini Zefa menatap wajah Renjana dengan tatapan buram karena tertutup bulir air mata yang akan jatuh. “kamu itu yang paling hebat. semua sayang sama Zefa, mungkin caranya salah ya? tapi semua udah baik-baik aja kan sekarang?”

“Zefa udah dapat kasih sayang ayah sama bunda, dapat kasih sayang abang-abang juga. apalagi bang Renja, abang sayang pake banget ke Zefa. jangan merasa sendiri ya? kamu punya kita untuk tempat berkeluh kesah. semuanya jangan dipendam sendiri ya?” Zefa mengangguk lidahnya terlalu kelu untuk berbicara. Kini keadaan Renjana sudah terlihat membaik, nafasnya sudah sedikit lebih teratur.

“Jevana,” panggil Renjana kemudian. “jangan terlalu memforsir diri kamu, semua yang berlebihan itu nggak pernah baik nantinya. sayangi tubuh kamu ya? mereka terlalu berhaga untuk kamu sia-siain.” Jevana menarik nafasnya dalam-dalam sekarang seakan dirinya yang kekurangan oksigen. ia mengangguk patah-patah.

“Nanda…adeknya abang, sini,” panggil Renjana meminta Nanda untuk mendekat. “sekarang orang yang harus kamu jaga nambah dua, bapak sama ibu. jaga mereka ya? abang percaya kamu bisa.”

“Nanda orang yang paling kuat, adeknya abang tetap bertahan ya?” Nanda hanya diam, tapi air matanya tidak bisa bohong. bahwa ia kini tengah hancur. “jangan nangis, abang nggak suka,” ucap Renjana seraya berusaha menghapus air mata Nanda.

“Salam ya buat bang Marvel. dia itu yang paling keren.”

Seakan mengerti bahwa ia sudah selesai dengan bicaranya, sesak yang tadi sempat hilang kini kembali muncul. “Bapak panggil dokter ya nak?” namun Renjana tetap menggeleng. “semuanya udah ketemu bahagia pak, sekarang giliran Renja yang mau ketemu bahagia.”

Suara pekikan tertahan terdengar mengisi penuh ruangan Renjana. Darma, kakinya sudah lemas namun ia paksakan kuat karena ia yakin Renjana akan bertahan. “Jangan gini nak, bapak nggak suka.”

“Bapak nggak suka Renja ketemu bahagia?” Darma menggeleng cepat. “Nggak bukan gitu nak.”

“Pak, tuntun Renjana ya? Renjana mau jemput bahagia.” Tangis yang sedari ditahan semuanya keluar tanpa aba-aba. seakan sudah saatnya ia meluncur deras tanpa ada yang berhak menghentikan.

“Iya, bapak tuntun ya sayang?” Renjana tersenyum lalu mengangguk.

“Laa ilaa…”

“Laa ilaa…”

Suara Darma tercekat, hatinya hancur berkeping-keping.

“ha illallah”

“ha…illallah” Darma menggigit bibirnya kencang, perlahan mata Renjana tertutup bersamaan pula dunianya hancur. anaknya pergi ke pangkuan sang pencipta lebih dahulu. tidak pernah terpikirkan bahwa ia harus menuntun Renjana seperti tadi. seakan ini semua hanya mimpi dan ia ingin segera bangun dari mimpi buruk itu.

Erangan penuh pedih menggema diseluruh ruangan. Naura sudah terduduk lemas di lantai dingin dengan tangan bertopang pada sebuah lemari kecil di sampingnya. Darma ia hanya bisa diam dengan tatapan kosongnya. sedangkan keempat pemuda yang juga kini hancur hanya bisa menangis.

“BANG RENJA BANGUN!” teriak Hasan histeris. suara seraknya yang penuh dengan duka itu menggema, mengguncang-guncang tubuh Renjana kencang seakan jika ia melakukan itu Renjana akan terbangun.

“BANGUN BANG, PERJUANGAN KITA BELUM SELESAI KAN?!”

“BANGUN!”

Sedangkan Nanda, ia bersimpuh di samping tubuh kaku Renjana, tangisnya tidak bersuara. namun sesak di dadanya begitu nyata terasa. Zefa dan Candra memeluk erat Jevana yang juga tengah hancur. mereka bertiga saling menguatkan satu sama lain.

“Bang janji lo buat kita pegang piala sama-sama belum terwujud…” ujar Hasan lagi yang terlihat lebih tenang namun ia terlihat begitu hampa. tatapannya sama seperti Darma, kosong.


Tepat di tempat lain, seorang pemuda yang dari kemarin ditunggu hadirnya kembali. kini sudah kembali sepenuhnya. kembali menatap dunia yang sempat hampir ia tinggalkan. “Ananda Marvel sudah sadar pak.”

Datang dan kembali

“Udah ibu, Renja udah kenyang,” ujar Renjana pelan saat Naura hendak menyuapkan sepotong buat apel lagi untuk Renjana. Perempuan dengan mata bulat dan senyum yang begitu mirip dengan dirinya itu lantas mengangguk, mengambil segelas air untuk Renjana.

“Makasih ibu.…” Melihat Naura menunduk dapat Renjana lihat bahwa ibunya itu tengah menahan tangis yang akan keluar. semalam, ibunya telah menceritakan semuanya yang membuat ia membenci Renjana selama ini.

Malam itu dapat Renjana dengar nada bersalah dari setiap ucapan ibunya yang menganggap dirinya anak dari selingkuhan sang bapak. tidak bohong bahwa hatinya juga sakit mendengar penuturan kejujuran dari sang ibu. namun ia mencoba mengerti. bahwa menjadi Naura saat itu juga tidaklah mudah.

Dengan senyum tipis Renjana hadiahkan untuk sang ibu, meyakinkan bahwa ia tidak apa-apa dan itu hanya masa lalu yang cukup disimpan dan tidak perlu diungkit lagi. yang penting sekarang ibunya sudah ada bersama dengannya, itu lebih dari sekadar cukup untuk Renjana. “Ibu…” panggil Renjana. Naura menoleh menatap putranya yang keadaanya kini jauh lebih baik. “Kenapa sayang?”

“Tolong beri Nanda kasih sayang yang sama kayak Renja ya bu?” permintaan Renjana sukses membuat Naura bungkam. jujur dalam lubuk hatinya, setiap ia melihat Nanda bayangan kejadian tujuh belas tahun yang lalu selalu kembali terbayang dalam pikirannya. membuat perih pada hatinya kembali terasa.

“Renjana tahu berat untuk ibu, tapi dicoba ya bu? Nanda hadir itu sudah takdir dari Tuhan, dia bukan kesalahan yang harus kita benci,” lanjut Renjana. “Renjana tahu ibu orang baik, dan Renjana yakin ibu pasti bisa nerima Nanda nanti.”

Naura mengangguk dalam hatinya ia juga menyetujui apa yang barusan putranya katakan. Nanda lahir karena takdir. “Iya sayang, ibu coba ya?” Renjana tersenyum lalu segera memeluk tubuh Naura erat. Tidak lama, suara ketukan pintu terdengar membuat Renjana melepas pelukan singkat itu. melihat siapa yang datang pagi-pagi. Suara riuh menyapa pendengarannya setelah pintu terbuka, menampilkan sosok yang sudah mengisi hari-harinya sebulan terakhir ini. sosok yang membuat dia sedikit melupakan masalah-masalah serta sakit yang ia rasakan di rumah.

“SELAMAT ULANG TAHUN ABANG!!” Renjana membuka mulutnya lebar, tatapannya terkejut tidak bisa ia sembunyikan lagi. lantas dengan segera ia mengecek ponselnya melihat tanggal disana lalu tertawa. “Ya Allah, aku lupa hari ini ulang tahun,” ujarnya.

It’s okay abangggg, sini make a wish dulu!” ujar Candra yang dengan gembira membawa kue yang mereka pesan sebelum ke sini. tentunya sudah dihiasi dengan sebuah lilin angka delapan belas di atasnya. Renjana hanya tertawa melihat hanya ada tulisan ‘HBD’ pada kue putih itu. namun hatinya begitu senang. baru kali ini ia merasakan ulang tahunnya dirayakan.

Lilin sudah mati. tepat setelahnya Darma masuk ke dalam ruangan membawa sebuah kue juga ditangannya. “Waduh, bapak telat nih ceritanya?” lantas semuanya tertawa menanggapi ucapan Darma.

“Nggak bapak, nggak telat sama sekali,” jawab Renjana yang kini wajahnya begitu bahagia. senyumnya tidak pernah luntur dari wajahnya.

“Maaf Renja, ibu lupa ulang tahun kamu,” lirih Naura pelan. Renjana menggenggam tangan Naura. “Nggak apa-apa ibu, ada ibu di ulang tahun Renja kali ini itu adalah hadiah paling baik yang Tuhan kasih ke Renja,” jawab Renjana jujur. lantas Naura tersenyum lalu mengangguk. “Makasih ya sayang.”

Acara ulang tahun Renjana berjalan lancar. kue yang dibeli Darma serta Hasan dan kawan-kawan kini sudah habis tak bersisa. sekarang mereka sedang duduk sambil bercengkrama ria, saling berbagi tawa yang sudah lama tidak mereka lakukan. Sedangkan Naura, wanita itu kini tengah merapikan perlengkapan Renjana untuk pulang nanti sore.

“Makasih ya semua, aku kaget banget kalian tahu ulang tahun aku.”

“Nggak sengaja abang, kemarin aku nggak sengaja liat di data abang kalau hari ini abang ulang tahun.” Renjana hanya tersenyum lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. namun ia baru merasakan ada yang kurang hari ini.

“Loh iya, bang Marvel mana?” sontak pertanyaan Renjana barusan membuat suasana ceria itu berubah menjadi sunyi yang mencekam. membuat Renjana menautkan kedua alisnya bingung. “kemana?” tanyanya lagi.

Terjadi diam cukup lama sampai Darma akhirnya bersuara. “Dia ada urusan sama papanya Renja.” Sontak semuanya kembali bernafas lega dan mengucapkan banyak rasa terimakasih kepada Darma yang telah menolong mereka hari ini dalam hati. lalu semuanya mengangguk.

“Masalah apa sih, lama banget perasaan?” Hasan hanya mengedikkan bahu tanda tidak tahu. Renjana hanya bisa membuang nafasnya kasar. ia sudah begitu rindu ingin bertemu dengan abang satunya itu. sejak ia sadar, ia tidak lagi melihat batang hidung Marvel dalam netranya. “Ponselnya mati juga ya?” Lalu Jevana mengangguk. “Gue juga susah hubungin dia bang.”

Setelah yakin Renjana telah percaya akan rekayasa yang mereka buat lantas mereka kembali berbicara banyak sekali setelahnya. Renjana hanya bagian menyimak saja, ia hanya duduk bersandar seraya menatap satu-satu insan yang menjadi alasannya untuk terus berucap syukur kepada Tuhan karena sudah mempertemukannya dengan mereka.

Namun tiba-tiba dadanya kembali terasa nyeri, nafasnya terasa begitu sesak. dan secara tidak sengaja Hasan yang ingin mengambil minum dekat ranjang Renjana sontak kaget melihat Renjana kini tengah kesusahan bernafas dan berusaha mencari oksigen.

Teriakan panik Hasan membuat semua perhatian yang berada dalam ruangan tertuju pada Renjana. dengan cepat Darma berlari mendekat ke arah Renjana. berniat ingin menekan tombol untuk memanggil dokter. namun dengan cepat Renjana menahan pergerakan Darma.

‘N-nggak…u-sah pak…” ucapnya tertatih-tatih karena pasokan oksigen yang semakin susah memasuki tubuhnya. Naura hanya bisa menutup mulutnya menahan tangis yang hendak ingin keluar. sedangkan Candra, Zefa dan Jevana menatap khawatir pada dirinya.

Darma menggenggam tangan Renjana kuat-kuat seraya menahan tangis yang juga akan keluar. ia tidak suka situasi ini. situasi yang ia takutkan sedari kemarin. banyak sekali rapalan permohonan kepada sang pemegang kuasa atas dunia dan seisinya bahwa, jangan sekarang saya masih butuh dia.

Renjana membalas genggaman tangan Darma, lalu tangan satunya menggenggam Naura. ia menatap kedua orang tuanya bergantian, meneliti setiap inci dari wajah yang sekarang sudah mulai muncul kerutan di beberapa sisi. lalu tatapannya tergerak, menatap satu persatu wajah panik adik-adiknya.

“Ibu, tolong sayangi Nanda ya? Renjana minta sama ibu, tolong janji ya sama Renja buat sayang sama Nanda?” Naura memejamkan matanya lamat-lamat. hatinya begitu sesak, ia begitu takut sekarang. “Iya sayang ibu janji akan sayang sama Nanda sama kayak ibu sayang sama Renja,” ujar Naura akhirnya membuat seulas senyum tipis terbit pada wajah Renjana.

“Hasan, tetap menjadi diri sendiri ya? kamu hebat tahu jangan pernah ngerasa kurang karena kamu itu udah sangat hebat sekarang. inget ya nggak perlu jadi orang lain untuk terlihat sempurna.” Hasan menutup mulutnya kemudian menunduk berusaha semaksimal mungkin untuk tidak menjalin kontak mata dengan Renjana. “Hasan lihat abang,” Renjana kembali bersuara.

Hasan mengangkat kepalanya, berusaha menahana tangis yang hendak keluar. melihat Renjana yang kini tengah mengatur nafasnya susah payah sangat menyayat hatinya. “Janji ya untuk terus sayang sama diri kamu sendiri.” Hasan mengangguk susah payah. “Janji,” ucapnya pelan agar yang lain tidak mendengar nada suaranya yang mulai bergetar.

Setelah puas mendengar jawaban Hasan, Netra Renjana tertuju pada Candra yang sudah menangis. ditatapnya lembut adiknya itu. “Kamu kenapa nangis Can?” Candra menggeleng seraya menghapus jejak air mata serta ingus pada wajahnya. Renjana terkekeh kecil dibuatnya. “jangan nangis, abang nggak kemana-mana.”

“Candra nanti jangan gampang nangis ya, walau dunia nanti akan jahat ke kamu. tapi seenggaknya kamu harus kuat untuk diri kamu sendiri, karena nggak selamanya kamu akan selalu didampingi. akan ada saatnya kamu harus berdiri sendiri.” Candra membuang mukanya dari hadapan Renjana. mencegah air mata yang ingin turun lalu kemudian ia kembali tatap wajah yang sedari tadi membuat menangis. “Iya abang, tapi kalau Candra nggak kuat. boleh nangis kan?”

Renjana tersenyum. “Ya boleh dong? nanti air matanya nggak kepake.” Sontak Candra hadirkan tawa penuh paksa untuk Renjana. tatapan Renjana beralih menatap tubuh jangkung yang menemani selalu menemani malamnya.

“Zefa, adik kecilnya abang.” kini Zefa menatap wajah Renjana dengan tatapan buram karena tertutup bulir air mata yang akan jatuh. “kamu itu yang paling hebat. semua sayang sama Zefa, mungkin caranya salah ya? tapi semua udah baik-baik aja kan sekarang?”

“Zefa udah dapat kasih sayang ayah sama bunda, dapat kasih sayang abang-abang juga. apalagi bang Renja, abang sayang pake banget ke Zefa. jangan merasa sendiri ya? kamu punya kita untuk tempat berkeluh kesah. semuanya jangan dipendam sendiri ya?” Zefa mengangguk lidahnya terlalu kelu untuk berbicara. Kini keadaan Renjana sudah terlihat membaik, nafasnya sudah sedikit lebih teratur.

“Jevana,” panggil Renjana kemudian. “jangan terlalu memforsir diri kamu, semua yang berlebihan itu nggak pernah baik nantinya. sayangi tubuh kamu ya? mereka terlalu berhaga untuk kamu sia-siain.” Jevana menarik nafasnya dalam-dalam sekarang seakan dirinya yang kekurangan oksigen. ia mengangguk patah-patah.

“Nanda…adeknya abang, sini,” panggil Renjana meminta Nanda untuk mendekat. “sekarang orang yang harus kamu jaga nambah dua, bapak sama ibu. jaga mereka ya? abang percaya kamu bisa.”

“Nanda orang yang paling kuat, adeknya abang tetap bertahan ya?” Nanda hanya diam, tapi air matanya tidak bisa bohong. bahwa ia kini tengah hancur. “jangan nangis, abang nggak suka,” ucap Renjana seraya berusaha menghapus air mata Nanda.

“Salam ya buat bang Marvel. dia itu yang paling keren.”

Seakan mengerti bahwa ia sudah selesai dengan bicaranya, sesak yang tadi sempat hilang kini kembali muncul. “Bapak panggil dokter ya nak?” namun Renjana tetap menggeleng. “semuanya udah ketemu bahagia pak, sekarang giliran Renja yang mau ketemu bahagia.”

Suara pekikan tertahan terdengar mengisi penuh ruangan Renjana. Darma, kakinya sudah lemas namun ia paksakan kuat karena ia yakin Renjana akan bertahan. “Jangan gini nak, bapak nggak suka.”

“Bapak nggak suka Renja ketemu bahagia?” Darma menggeleng cepat. “Nggak bukan gitu nak.”

“Pak, tuntun Renjana ya? Renjana mau jemput bahagia.” Tangis yang sedari ditahan semuanya keluar tanpa aba-aba. seakan sudah saatnya ia meluncur deras tanpa ada yang berhak menghentikan.

“Iya, bapak tuntun ya sayang?” Renjana tersenyum lalu mengangguk.

“Laa ilaa…”

“Laa ilaa…”

Suara Darma tercekat, hatinya hancur berkeping-keping.

“ha illallah”

“ha…illallah” Darma menggigit bibirnya kencang, perlahan mata Renjana tertutup bersamaan pula dunianya hancur. anaknya pergi ke pangkuan sang pencipta lebih dahulu. tidak pernah terpikirkan bahwa ia harus menuntun Renjana seperti tadi. seakan ini semua hanya mimpi dan ia ingin segera bangun dari mimpi buruk itu.

Erangan penuh pedih menggema diseluruh ruangan. Naura sudah terduduk lemas di lantai dingin dengan tangan bertopang pada sebuah lemari kecil di sampingnya. Darma ia hanya bisa diam dengan tatapan kosongnya. sedangkan keempat pemuda yang juga kini hancur hanya bisa menangis.

“BANG RENJA BANGUN!” teriak Hasan histeris. suara seraknya yang penuh dengan duka itu menggema, mengguncang-guncang tubuh Renjana kencang seakan jika ia melakukan itu Renjana akan terbangun.

“BANGUN BANG, PERJUANGAN KITA BELUM SELESAI KAN?!”

“BANGUN!”

Sedangkan Nanda, ia bersimpuh di samping tubuh kaku Renjana, tangisnya tidak bersuara. namun sesak di dadanya begitu nyata terasa. Zefa dan Candra memeluk erat Jevana yang juga tengah hancur. mereka bertiga saling menguatkan satu sama lain.

“Bang janji lo buat kita pegang piala sama-sama belum terwujud…” ujar Hasan lagi yang terlihat lebih tenang namun ia terlihat begitu hampa. tatapannya sama seperti Darma, kosong.


Tepat di tempat lain, seorang pemuda yang dari kemarin ditunggu hadirnya kembali. kini sudah kembali sepenuhnya. kembali menatap dunia yang sempat hampir ia tinggalkan. “Ananda Marvel sudah sadar pak.”

Sebelum menyesal

“Gue keluar dulu ya sebentar,” ujar Hasan saat Nanda baru saja masuk ke ruang rawat Marvel. Marvel sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa, namun ia belum sadarkan diri. lantas hanya anggukan yang diberi empat pemuda itu sebagai jawaban.

Langkah Hasan berhenti tepat di samping Tama yang kini sedang menunduk dengan tangan yang saling bertautan satu sama lain. Hasan menghirup nafasnya dalam-dalam, mengumpulkan keberanian untuk duduk di samping Tama.

Seakan menyadari bahwa ada seseorang yang mengamatinya, Tama mendongakkan kepalanya, menatap lurus ke arah Hasan yang kini diam membeku seketika. “Ada apa?” tanyanya datar.

Hasan menghembuskan nafasnya, lalu tersenyum. ia dudukkan tubuhnya pada kursi kosong di samping Tama. menatap lurus ke arah dinding putih di hadapan mereka sekarang.

“Maaf kalau saya lancang ya om,” ujar Hasan memulai perbincangan. berkali-kali ia meyakinkan dirinya untuk mengatakan ini pada Tama. “om jangan terlalu keras sama bang Marvel.”

“Kamu tahu apa soal anak saya.”

“Saya emang nggak tahu banyak om tentang bang Marvel, toh saya baru kenal dia satu bulan ini. tapi saya tahu kalau anak om itu sayang banget sama om dan berusaha sekeras yang ia bisa buat bikin om selalu bangga.”

“Om tahu nggak, setiap hari bang Marvel selalu kepergok begadang sama bang Renja sampai jam dua pagi, padahal waktu istirahat kita aja di asrama terbatas. dia juga kadang telat makan karena belum nyelesain baca materi buat besok.”

“Mungkin bagi om, bandnya bang Marvel itu cuma kegiatan nggak jelas yang buang-buang waktu. tapi buat bang Marvel, bandnya itu hidupnya. dia itu sayang banget sama bandnya. apa om pernah liat mata berbinarnya waktu dia ngomongin bandnya? kayaknya nggak pernah ya? dia kelihatan antusias banget kalau kita udah mulai nanya-nanya tentang bandnya. sesayang itu dia sama bandnya.”

“Jadi, cukup om tekan dia untuk masalah belajar, tapi untuk hobinya jangan pernah om usik itu.”

“Om yang kenal bang Marvel dari dia masih dalam kandungan, seharusnya lebih tahu apa yang bang Marvel butuhin. apa yang buat dia bahagia dan apa yang buat dia sedih. seharusnya om bisa jadi sosok pelindungnya bukan jadi sosok yang ia takuti keberadaannya.”

“Dia juga manusia, punya titik lelahnya. bukan robot yang nggak punya rasa. saya di sini cuma nggak mau om nyesel nantinya karena sifat om yang keras sama bang Marvel.”

“Tolong turunin ego yang om punya, apalagi ini buat anak sendiri.”

Hasan membuang mukanya lalu berdiri, “Maaf sekali lagi kalau lancang om. kalau om sayang bang Marvel seharusnya om bisa belajar dari kejadian ini. saya permisi ya om.”

Hasan kemudian pergi meninggalkan Tama yang kini hanya diam dengan tatapan kosongnya sendirian.

Abang dan Adek

“Bang tiduran aja udah,” ucap Hasan yang masih setia berdiri tepat di samping pintu ruangan Renjana, sedangkan yang lain tengah duduk di sofa. “jangan kelamaan duduk dulu.”

Renjana yang mendengarnya tertawa, lalu menggeleng. “Nggak enak lah, kalian duduk masa abang tiduran gini,” jawab Renjana.

“Ini kan lo lagi sakit abangggg,” ucap Hasan gemas yang dihadiahi tawa semua orang yang berada di sana, membuat Renjana ikut tertawa karenanya. “Iya-iya ini tiduran.”

Hening cukup lama mengisi suasana ruang rawat Renjana sekarang. sampai suara perut Candra membuat semua atensi tertuju padanya. mukanya memerah menahan malu akibat perbuatan perutnya yang tidak bisa bekerja sama sekarang. tak perlu menunggu lama ruangan itu kembali terisi suara tawa enam pemuda yang terhibur akan suara perut Candra barusan.

“Yok ke kantin dulu, lo belum makan ya Can?” ajak Hasan yang sudah siap untuk keluar ruangan. Candra hanya terkekeh lalu mengangguk malu-malu. “Yaudah sana makan dulu, abang di sini sendiri nggak apa-apa.”

“Biar gue aja yang nemenin bang Renja,” ucap Nanda cepat yang dibalas anggukan yang lainnya.”Yaudah bang, kita ke bawah dulu ya,” pamit Jevana yang lalu keluar ruangan bersama Zefa, Candra dan Hasan.

Setelah keempat pemuda itu pergi lantas tinggal Nanda serta Renjana yang tersisa. Keduanya saling diam, tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana. Nanda kini sudah berpindah tempat dan duduk tepat di samping ranjang Renjana, membuat Renjana mengulas senyumnya kecil.

Renjana mengangkat tangannya elan-pelan hingga sampai pada puncak kepala Nanda yang sedari tadi menunduk lalu mengelusnya pelan. membuat Nanda sedikit terlonjak kaget mendapati sapuan hangat pada kepalanya secara tiba-tiba. Kepalanya ia miringkan dengan maksud bertanya pada Renjana.

Renjana menggeleng. “Nggak ada apa-apa, cuma mau ngusap kepala adeknya abang aja.” Nanda diam, kenyataan baru bahwa ia memiliki sebuah hubungan darah dengan Renjana masih belum bisa sepenuhnya ia terima. “nggak boleh ya?” tanya Renjana lagi.

Nanda menggeleng, lalu mengambil kembali tangan Renjana yang hendak diturunkan pemiliknya dari kepalanya, menahannya untuk tetap pada kepalanya. “Terusin bang, gue suka kok.” Renjana terkekeh, lalu bukannya mengelus lembut surai Nanda seperti tadi, malah sebuah usakan kecil yang ia berikan. membuat rambut Nanda sedikit berantakan. “diusap bang, bukan diacakin,” gerutu Nanda sebal seraya merapikan kembali rambutnya yang sukses membuat Renjana tertawa lebar.

Setelah kejadian tadi, mereka kembali terjebak dalam hening yang menyelimuti. kembali sibuk mencari topik yang harus dibicarakan. hingga tangan Renjana yang sedari tadi masih setiap mengelus lembut surai Nanda turun dan meraih tangan Nanda yang sedari tadi tidak bisa diam untuk mengetuk besi ranjang Renjana.

“Dek.” Nanda menoleh dengan raut wajah bingung akan panggilan yang tadi Renjana lontarkan. “kenapa? kamu kan adeknya abang sekarang. jadi boleh kan abang panggil kamu adek?”

Nanda terdiam sejenak, lalu mengangguk sebagai jawaban. Renjana tersenyum lalu semakin mengeratkan genggamannya pada tangan Nanda. “Dek tahu nggak? dari dulu abang selalu berdoa sama Tuhan buat dikasih adek laki-laki buat nemenin abang di rumah.”

Nanda menatap Renjana dalam diam seakan memberi akses untuk Renjana berbicara lebih jauh lagi. “Akhirnya dikabulin ya walau sepuluh tahun kemudian,” ucapnya seraya terkekeh dengan tatapan lurus pada langit-langit kamar. “tapi tetep perasaan seneng ini tuh nggak bisa digambarin lagi, pokoknya seneng banget.”

Mendengar ucapan Renjana barusan ada sedikit rasa senang serta lega dalam diri Nanda, seakan beban yang beberapa hari ini selalu mengganggu pikirannya sirna seketika. Nanda ciptakan seulas senyum yang belakangan ini hilang dari wajahnya. “Nah gitu dong senyum, kan ganteng.”

Nanda cuma bisa memalingkan wajahnya dari hadapan Renjana, rasa malu tiba-tiba menghampirinya. “Dek, lihat ke sini coba.” Nanda menoleh kembali menatap wajah pucat Renjana.

“Abang minta tolong,” ujar Renjana menggantung membuat Nanda mengerutkan kedua alisnya. “tolong jagain ibu sama bapak ya adek? walau ibu bukan ibu kandung kamu, tolong sayangi dia layaknya ibu kandung kamu sendiri ya?” jantung Nanda berdetak cepat mendengar ucapan Renjana barusan.

“Kita jaga mereka sama-sama ya bang, bukan gue doang tapi sama lo juga,” jawab Nanda pelan. Renjana menggeleng. “kamu, bukan abang.”

Baru saja Nanda berniat kembali berbicara namun Renjana langsung mengalihkan pembicaraan. “Eh udah sore, kamu balik gih ke asrama, jangan lupa ajak yang lain yang masih pada di kantin.”

“Bang,”

“Udah sana, nanti bapak sama ibu dateng kok.” Nanda hanya bisa menghembuskan nafasnya kasar, jika Renjana sudah seperti ini tandanya ia tidak mau lagi membahas obrolan mereka tadi.

Akhirnya Nanda bangkit, lalu mengambil tangan Renjana, mengecupnya singkat. “Gue balik dulu ya bang, cepet sembuh.”

Renjana tersenyum lalu mengangguk berusaha menahan air mata yang sudah berteriak ingin segera keluar. tepat setelah Nanda keluar dari kamar. air mata yang sedari tadi Renjana tahan akhirnya keluar tanpa ada rencana untuk berhenti.

Kecewa

Marvel mengepalkan tangannya kuat-kuat lalu melempar gelas air yang sudah kosong ke arah asal dengan kencang. rahangnya mengeras, ia benar-benar marah pada papanya sekarang. kurang apa lagi ia dalam perihal menurut pada papanya itu.

Matanya menatap asal jalan, sampai netranya berhenti pada sosok yang saat ini sedang memenuhi kepalanya, papanya. Tama kini berdiri di seberang jalan dari tempat Marvel berada, tatapannya lurus menatap Marvel, tatapan tajam yang dulu Marvel takuti namun seiring berjalannya waktu tatapan itu seakan sudah tak berarti lagi.

Marvel berjalan mendekat ke arah Tama dengan wajah yang begitu datar. ia benar-benar tidak habis pikir akan tindakan yang dilakukan Tama terhadap studio yang ia bangun susah payah itu.

“Maksud papa hancurin studio Marvel apa?” ungkap Marvel kala ia sudah berada tepat di hadapan Tama. sedangkan Tama, pria itu masih diam tak bersuara. “kenapa papa hancurin studio yang Marvel bangun sendiri selama dua tahun, papa tahu sendiri kan betapa susahnya Marvel bangun studio itu?!”

“Yang seharusnya marah itu papa.” Marvel tertawa miris menanggapinya. “mau kamu apa Marvel? nilai kamu turun, dari dua minggu yang lalu nggak ada peningkatan sama sekali. papa udah biarkan kamu mempertahankan band nggak jelas mu itu, papa udah kasih kamu semuanya, masih kurang buat kamu balas apa yang papa kasih?”

“Jadi papa butuh imbalan dari semua yang papa lakukan ke Marvel? jadi ini semua itu bagai timbal balik ya pa?” tanya Marvel setelahnya dengan tangan yang mengepal begitu kuat sampai jari-jari kukunya menancap jelas pada permukaan telapak tangannya. “Marvel capek pa, capek hidup di bawah kekangan papa. kalau begini caranya papa sama aja bunuh Marvel pelan-pelan.”

“Papa cuma mau yang terbaik buat kamu Marvel.”

“Cukup papa ngertiin Marvel aja, itu udah sangat baik buat Marvel pa,” jawab Marvel.

“Emang ya selama ini cuma prestasi Marvel aja yang papa butuhin. cuma nilai, nilai, nilai yang papa liat. papa terlalu mementingkan reputasi papa sebagai pengusaha sukses yang mempunyai anak yang pintar dibanding Marvel anak papa sendiri yang sekarang seakan-akan bagai boneka tak bernyawa yang bisa papa atur sesuka hati. papa tahu nggak kalau Marvel itu capek? capek untuk selalu memenuhi ekspektasi papa. selama ini Marvel selalu nurut sama papa, karena mungkin papa kayak gini untuk kebaikan Marvel. tapi ternyata nggak ya pa,” lanjut Marvel sembari membuang muka ke arah lain.

“Tapi pa, yang harus papa inget nggak semua yang papa mau harus terjadi dan nggak semua yang papa inginkan bisa Marvel kabulkan. Marvel juga manusia.”

“Dan dunia ini, nggak cuma punya papa.”

“Marvel akan jalani semuanya, semua yang papa minta. tapi pinta Marvel cuma satu,” ucap Marvel menggantung. “jangan ganggu apa yang jadi kesukaan Marvel.”

“Apa sih yang selama ini nggak Marvel turutin dari semua permintaan papa? nggak ada. semua Marvel turutin. tapi kenapa papa masih usik studio Marvel, kenapa pa?”

“Cuma gara-gara nilai ujian mingguan Marvel yang turun? iya? apa nilai-nilai dan prestasi yang Marvel kasih ke papa hampir delapan belas tahun ini kurang pa? nggak cukup ya buat bikin papa bangga?” tanya Marvel. matanya sudah basah ia benar-benar marah pada dirinya sendiri kenapa begitu lemah sekarang di hadapan Tama. “padahal itu cuma nilai evaluasi mingguan yang nggak ngaruh sama sekali sama olimpiade nanti.”

“kenapa papa nggak tonjok Marvel aja, kenapa papa nggak tampar Marvel aja kayak dulu-dulu. lebih baik Marvel dipukul daripada harus denger kalau studio Marvel udah nggak berbentuk lagi. sakit pa,” lanjutnya secara memukul dadanya kencang.

“Nggak usah terus ngebela band mu itu Marvel. tangisan kamu cuma akan jadi sia-sia aja. kamu nggak akan dapat masa depan apapun dari sana. itu semua hanya akan menghambat kesuksesan kamu,” ujar Tama angkuh dengan tatapan datarnya kepada Marvel seakan tangis yang Marvel keluarkan tak akan bisa meruntuhkan hatinya.

Marvel tertawa renyah, kepalanya menggeleng tak percaya akan perkataan papanya barusan. “Papa yang bilang sendiri, kalau punya mimpi harus bisa kita perjuangin. tapi, papa juga yang ngehancurin mimpi Marvel.”

“Sekarang papa puas? papa seneng hal yang menghambat rencana papa udah nggak ada, studio Marvel udah nggak ada pa. sekarang papa bebas buat ngatur Marvel apa aja. eh kalo itu mah udah dari dulu ya?” Marvel tertawa lagi. “Marvel udah capek. sekarang tinggal terserah papa, mau tetap liat Marvel hidup apa nggak.” ucap Marvel seraya berjalan mundur hendak menjauh dari Tama.

Yang Marvel tahu ia harus segera pergi dari hadapan papanya, takut kalau emosinya semakin memuncak dan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. tapi yang tidak Marvel tahu, ada sebuah truk yang kini tengah berjalan dengan kecepatan yang begitu cepat ke arahnya.

“MARVEL!”

Bahagia yang ditunggu

Derap langkah kaki dua manusia kini menggema ke seluruh ruangan rumah sakit yang hening, derap yang terdengar begitu panik itu semakin mendekat ke arah enam pemuda yang tengah terduduk tepat di sebuah ruangan seseorang.

“Om…” ucap Marvel pelan.

“Renjana gimana nak?” tanya Darma tergugup, ia begitu khawatir akan keadaan anaknya saat ini. Marvel berdiri dari duduknya. “Renjana udah sadar om, sekarang lagi istirahat aja.”

“Om mau masuk, boleh?” Marvel mengangguk. mendapatkan persetujuan dari Marvel, lantas Darma serta istrinya bergegas memasuki ruangan Renjana tanpa menoleh sedikitpun ke arah Nanda yang kini berdiri tepat di samping ruangan Renjana.

Langkah Naura melambat, hatinya bergemuruh hebat melihat anak semata wayangnya kini terbaring lemah pada bangkar rumah sakit. sayu-sayu mata Renjana terbuka, lalu setelahnya lelaki itu terbitkan senyum paling manis yang ia punya.

“Ibu… ibu datang?” lirihnya begitu pelan, nyaris tak terdengar. Naura menutup mulutnya cepat, berusaha mencegah air matanya turun saat ini juga. dengan berat, ia dekatkan tubuhnya pada Renjana. ia ambil tangan dingin itu, mengelusnya, lalu mengecupkan lambat. dengan isi hati yang berulang kali mengucapkan kata maaf.

Netra Naura, menatap Renjana teduh. tatapan yang selalu Renjana inginkan, tatapan yang selama ini belum pernah Renjana dapatkan. “Ibu…mata ibu cantik banget,” ujar Renjana seraya menyingkirkan helai rambut Naura yang sedikit menutupi wajahnya. “terus tatap Renja kayak gini ya bu.”

Naura memalingkan wajahnya dari hadapan Renja, tidak mau anaknya itu melihatnya menangis. namun dia Renjana, anak yang paling peka akan keadaan, sekalipun ia tidak melihatnya. “Ibu kenapa nangis?”

Seakan waktu terhenti begitu saja, Naura hanya bisa menatap wajah anaknya tanpa bisa berbicara satu kata pun. sampai usapan lembut pada bahunya seakan memberinya kekuatan untuk menyelesaikan masalahnya sekarang. “Bisa Nau, kamu bisa.”

Dengan getir, ia tatap wajah pucat Renjana. mengusap kembali surainya lalu mengecup keningnya. Renjana dapat merasakan beberapa air jatuh membasahi keningnya, yang membuatnya yakin kalau ibunya kini tengah menangis. “Maaf.” satu kata yang berhasil membuat Renjana mendongak menatap wajah basah Naura.

“Maafin ibu Renjana, maafin ibu,” ulang Naura lagi. “maafin ibu yang nggak becus jadi orang tua, maafin ibu yang nggak pernah ngasih sedikitpun perhatian ibu ke kamu, maafin ibu yang udah buat kamu sakit berkali-kali, maafin ibu sayang.”

Diluar dugaan Naura, Renjana tersenyum. ia paksakan bangkit dari tidurnya lalu meminta Naura untuk duduk di samping. “Ibu jangan minta maaf. Renjana ngerti, ibu pasti punya alasan untuk berbuat kayak gitu ke Renja. ibu jangan nangis, Renja nggak suka liat ibu nangis, sakit,” jawab Renjana seraya menunjuk ke arah hatinya. “hati Renja sakit kalau liat ibu nangis, jangan nangis ya ibu.”

Seakan tak peduli apa yang dikatakan Renjana barusan, tangis Naura semakin pecah. ia merengkuh tubuh anaknya erat-erat, seakan besok ia tidak bisa lagi merengkuh tubuh mungil itu yang dahulu ia sia-siakan keberadaannya. mengecup puncak kepalanya berkali-kali. Renjana tersenyum, kemudian ia membalas pelukan yang sangat ia nantikan itu. pelukan ibunya.

“Ibu jangan dilepas, Renjana suka dipeluk ibu,” ujar Renjana yang kini tengah tertidur dengan posisi saling merengkuh dengan Naura. tanpa membalas ucapannya Naura hanya bisa mengangguk cepat ia juga tidak mau saat ini ia lewatkan lagi hadirnya.

Sedangkan Darma, pria itu hanya bisa menyaksikan momen paling hangat yang sedari dulu ia tunggu. momen dimana Renjana bisa merasakan kasih sayang ibunya. Naura, wanita paling angkuh dan tidak punya hati itu sudah kembali menjadi wanita lembut yang ia kenal.

Beribu maaf sepertinya tidak akan cukup bagi Darma untuk meminta maaf pada Naura. dahulu ia begitu bodoh. menganggap pernikahan atas perjodohannya dengan Naura adalah neraka baginya. dan ia lebih bodoh lagi dengan menikah diam-diam dengan pacarnya, Kayla saat itu di belakang Naura.

Ia menyadari, bahwa itu adalah dosa paling besar yang ia punya, menyakiti hati perempuannya yang akhirnya berakibat buruk pada anaknya. Renjana anak kesayangan bapak, maafin bapak ya nak? karena bapak, selama tujuh belas tahun ini, kamu nggak pernah mendapat perhatian dari ibumu sama sekali. maaf juga karena bapak masih belum bisa jadi bapak yang baik untuk kamu. anak kuatnya bapak, harus sembuh. kita belum merasakan bahagia bareng-bareng kan nak? jadi bapak mau minta tolong, tolong Renjana sembuh ya.

Hancurnya dua hati

Membutuhkan waktu sekitar dua jam untuknya kembali ke Bandung. pikiran kacaunya tadi secara sontak membawanya kembali ke asrama. dengan wajah yang sembab dan penampilan yang begitu berantakan membuatnya mengurungkan niat untuk kembali ke asrama.

Pikirannya sekarang kosong, masih mencoba mencerna sebuah kenyataan yang begitu terlihat seperti sebuah lelucon semata. ayah. seseorang yang sedari dulu ia nantikan kehadirannya itu kini benar-benar sudah berada tepat di hadapannya.

bahkan, ia sudah mengenalnya dekat dan bahkan ia sudah pernah memeluknya. Nanda kembali tertawa seraya menengadah ke arah langit yang kini penuh akan bintang. dunia kayaknya seneng banget bercanda ya sama gue, disaat gue udah bisa nerima hidup gue, disaat gue udah nggak mau cari tahu lagi tentang ayah, kalian malah temuin gue sama sosok yang hampir tujuh belas tahun ini gue cari secara tiba-tiba, sosok ayah yang juga ayah dari teman gue?

“BRENGSEK!”

“KENAPA HARUS DIA?”

“KENAPA GUE HARUS PUNYA AYAH YANG SAMA KAYAK BANG RENJA? KENAPA?”

berkali-kali Nanda berteriak di taman kosong ini, berteriak menyuarakan isi hati yang sebenarnya sia-sia saja ia lakukan. karena takdir telah berkata seperti itu. sudah pukul sebelas malam namun tak ada juga niatnya untuk kembali. dering ponsel yang sedari tadi bergetar tak berhenti, ia hiraukan.

Ia terduduk lemas pada tanah beralaskan rumput-rumput kecil diatasnya. kepalanya tertunduk, menatap ke bawah seraya menghitung tiap tetes air mata yang jatuh bergantian mengenai rumput yang kini telah basah akibat air matanya. “Dari banyaknya manusia, kenapa harus om Darma yang harus jadi ayah gue?” lirihnya pelan.

“Maksudnya?” suara pelan itu berhasil membuat Nanda menoleh, mendapati Renjana serta Marvel di sana dengan raut wajah bingung setengah mati. “maksudnya bapak itu jadi ayah kamu, apa Nan?” tanya Renjana lagi dengan hati-hati.

Nanda tergagap, ia tidak mengira Renjana akan menemukannya di sini. padahal tempat ini berada cukup jauh dari asrama. “Nan!” ujar Renjana seraya mengguncang tubuh Nanda. “MAKSUDNYA APA?”

Dengan susah payah, Nanda berupaya mengeluarkan suaranya yang tercekat di tenggorokan. “Om Darma, bapak gue juga bang.”

“Tapi ibu cuma punya satu anak Nan.”

“Dari wanita lain,” sambung Nanda cepat. lidah Renjana mendadak kelu, pikirannya mendadak kosong, bahkan sekarang tubuhnya terasa kaku. genggaman kuat pada bahu Nanda kian melemah, lalu perlahan lepas. kepalanya setia menggeleng, lelaki itu tak percaya.

“Jangan ngaco kamu Nan,” ujarnya pada akhirnya. “aku kenal bapak, bapak nggak mungkin kayak gitu.”

“Tapi gue denger sendiri dari mulut bapak bang,” jawab Nanda. “kalau gitu gue tanya, nama ibu gue Kayla, nama ibu lo Kayla juga bukan?”

“Bukan.”

“Jelaskan?”

Renjana memejamkan matanya, kemudian potongan-potongan memori yang Darma lakukan untuk Nanda belakangan ini kian bergantian mengisi ruang pikir Renjana, kejadian demi kejadian yang terlihat berlebihan dahulu seakan menemukan titik terangnya sekarang.

Ia terkekeh, kekehan pahit akan kebenaran masa lalu yang baru saja terungkap itu begitu menyiksa batinnya.

Namun tak cukup lama mereka terlibat hening. Renjana merasakan dadanya nyeri hingga berjalar ke seluruh badan, keringat mulai turun bercucuran, tubuhnya kian melemas, sesak, begitu sesak yang ia rasa sekarang, seakan oksigen yang ia butuhkan sangat terbatas adanya.

Tubuhnya oleng, karena sudah tidak bisa lagi menahan berat badannya sendiri dan bahkan bisa saja jatuh jika tidak cepat ditangkap oleh Marvel dari belakang. “Ja? lo kenapa?!” itu suara Marvel yang terdengar begitu panik.

Pusing di kepalanya semakin menjadi hingga hanya hitam yang bisa ia lihat juga suara sahutan Marvel serta Nanda yang memanggil namanya samar-samar terdengar mulai hilang tak bersisa.

Renjana pingsan di rengkuhan Marvel.

Kebenaran

Pukul satu siang Nanda sudah sampai di Jakarta. sekarang ia tengah mencari ojek yang akan mengantarnya menuju rumah sakit tempat omanya dirawat. cuaca cerah seakan menggambarkan suasana hatinya yang tengah bahagia.

Terlalu hanyut menikmati perjalanan sampai tak sadar bahwa ojek yang ia naiki kini sudah sampai tepat di depan rumah sakit. dikeluarkannya satu lembar uang lima puluh ribu dari dompet dan diserahkan kepada tukang ojek yang nampaknya sudah berumur lebih dari lima puluh tahun itu kemudian.

“Kebanyakan ini mas,” ujar sang bapak tua. Nanda tersenyum. “Ambil aja, buat bapak,” jawabnya yang kemudian dihadiahi senyuman lebar sang bapak, membuat Nanda ikut tersenyum juga. lantas setelahnya ia segera masuk ke dalam rumah sakit.

Langkahnya ia bawa menuju kamar rawat inap omanya setelah bertanya nomor kamar pada resepsionis.

‘Ruang Mawar’

Pintunya sedikit terbuka membuat Nanda dengan mudah mengetahui siapa seseorang yang tengah berbincang dengan omanya. seseorang yang belakangan ini tengah mencoba masuk ke dalam kehidupannya. melihat pembicaraan yang sedang dibahas cukup terlihat serius, dengan hati-hati ia dekatkan tubuhnya pada celah pintu agar bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan.

“Ibu tahu jelas saya ayahnya tapi kenapa ibu tega bawa dia pergi dengan memalsukan kematiannya kepada saya?”

Deg. jantung Nanda berpacu lebih cepat dari biasanya, telinganya ia pertajam guna mendengar penjelasan lebih lanjut.

“Ibu nggak mau kamu bawa Nanda pergi. setelah Kayla meninggal ibu sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi selain Nanda. ibu takut kamu akan menjauhi ibu dari cucu ibu, karena dia satu-satunya harta yang ibu punya. terlebih lagi, istri kamu mungkin tidak akan bisa menerima Nanda semudah itu nak. ibu nggak mau Nanda harus tumbuh di lingkungan dimana ia belum bisa diterima sepenuhnya.”

“Tapi saya ayahnya, saya ayah kandungnya, yang selama tujuh belas tahun saya menganggap anak saya sudah meninggal!” ujar Darma sedikit teriak. perasaan yang selama ini ia rasakan pada Nanda, rasa dekat yang selama ini membuat ia bertanya-tanya ada hubungan apa ia dengan teman Renjana itu sekarang terjawab sudah.

“Dan dengan bodohnya saya baru tahu kalau dia masih hidup dan dia menjadi teman Renjana?” Darma terkekeh pelan, tapi air matanya tidak bisa membohongi bahwa pria itu tengah hancur perasaannya. “mungkin kalau Renjana kala itu nggak minta saya untuk membantu temannya yang sedang kesusahan, mungkin sampai sekarang saya masih mengira kalau anak saya sudah meninggal, yang dimana kenyataannya dia masih ada dan sudah tumbuh menjadi seorang pria dewasa.”

“Maksudnya anak saya itu apa?” potong Nanda cepat dengan muka datarnya, berbanding terbalik dengan keadaan jantungnya yang kini berdebar begitu cepat dan sendi-sendi di tubuhnya yang kian melemas. ia mengepal tangannya kuat-kuat, menahan emosi yang kapan saja bisa keluar. ia bisa lihat air muka kaget dari dua insan di depannya.

“MAKSUDNYA APA?!” bentak Nanda, air matanya kini tak bisa ia bendung lagi. “anak? anak siapa?”

“Siapa yang lagi kalian bicarain? aku?” ujarnya lagi. “Aku… anaknya om Darma?” tanyanya memastikan.

“Nanda, oma bisa jelasin nak alasan oma menyembunyikan identitas ayah kamu,” tukas omanya cepat.

Nanda menggeleng kuat tak percaya. “Jadi, selama ini aku punya ayah yang sama kayak bang Renja?” tanyanya dengan nada yang bergetar. “Pantes aja ya om Darma minta aku panggil bapak sama kayak bang Renja, jadi ini alasannya,” monolognya.

Lalu setelahnya ia tertawa, menertawakan jalan hidupnya yang bisa dibilang sangat di luar logikanya saat ini. merenggut rambutnya kencang seraya menatap nyalang bergantian ke arah omanya serta Darma. “gila, bercanda banget hidup aku.”

Lalu setelahnya ia pergi, menjauh dari ruangan yang membuatnya sesak setengah mati.

Orang kaya itu yang kayak apa?

Bunyi tawa serta teriakan anak-anak kini bagai irama yang terdengar begitu menyenangkan sekarang. seakan beban di hati dan pikiran yang sedari tadi hinggap, terbang dan hilang begitu saja. menemani hari soreku yang ku harap akan menjadi lebih baik di hari ku hari ini. Semilir angin sore yang menerpa rambutku membuatnya terbang kesana kemari, sejuk. Ayunan yang kini aku duduki kini kian ramai oleh anak-anak yang antri untuk ikut duduk.

“Ayo, di sana aja, gantian sama yang lain,” ucap seseorang dari arah belakangku dengan senyuman khasnya, dengan balutan kaos hitam juga celana training dengan warna yang sama membuatnya terlihat begitu menawan seakan kehadiran mereka memang ditakdirkan memang untuk ia kenakan. seseorang yang pukul empat tadi menjemputku di rumah, katanya, ayo keluar kamu butuh angin segar.

Aku mengangguk, menyetujui ucapannya. kini sekarang kami tengah berada di bangku taman, menghadap ke sebuah komplek perumahan elite yang berada tepat di depan taman. menatap hilir mudik para penghuni perumahan keluar masuk dengan mobil serta kendaraan mewah yang mereka miliki.

Aku tersenyum, melihat kehidupan mereka yang terlihat sangat begitu nyaman. “Enak ya jadi orang kaya,” celetuk ku asal yang dimana mataku juga tak lepas dari perumahan itu.

Membuat Nakula yang baru saja ingin minum menghentikan pergerakannya. menatapku seraya menaik turunkan alisnya, “Maksudnya? enak gimana?”

“Ya enak, hidupnya serba cukup, semua yang dia mau ada, mau pergi kemana aja bisa, impian banget deh, enak kan?”

“Nggak butuh jadi kaya untuk merasa cukup Ra,” ucapnya pelan, “semua yang kita punya itu udah lebih dari cukup kalau kita bersyukur akan itu.”

“Sayangnya masih banyak yang belum bisa bersyukur, selalu merasa kurang dan selalu iri hati akan pencapaian orang.” Aku mengerutkan kening tanda bingung. “seberapa yakin kamu waktu bilang mereka hidupnya enak?”

Aku diam, tidak berniat menjawab atau lebih tepatnya tidak yakin akan jawaban yang aku punya. Nakula tersenyum, “Belum tentu yang kita lihat dari sini adalah kenyataannya, syukur kalau bener mereka bahagia, kalau cuma topeng, bagaimana?”

Sekarang kami berdua diam, tidak ada konversasi lagi, hanya hening yang menemani dan juga masih dengan teriakan anak-anak yang anehnya kian sore kian ramai. sampai ia kembali bersuara.

“Menurut kamu Ra, kakek diujung jalan itu orang kaya apa nggak?” tangannya menunjuk ke arah seorang kakek tua dengan baju lusuh sedang duduk di pinggir jalan ditemani seekor kucing hitam yang dengan nyamannya tertidur di pangkuan. “Nggak ya?” tanyanya lagi tapi seakan menjawab isi pikiranku. Aku mengangguk. “coba kalau kamu tanya, apa dia ngerasa hidupnya cukup?” aku bingung, lalu Nakula kembali berbicara, “pasti dia akan jawab iya.”

“Kok yakin banget?”

Dia tertawa, “Orang yang selalu mengutamakan Tuhan di hidupnya akan selalu merasa hidupnya cukup Ra, karena sesusah apapun dia, sesulit apapun hidupnya akan selalu ada Tuhan yang nemenin dia.”

“Kakek itu, tinggalnya di masjid dekat rumahku, setiap hari selalu pergi pagi sehabis sholat dhuha dan baru pulang abis isya, kamu bisa tebak dia kerja apa?”

Aku menggeleng, benar-benar tidak tahu. “Nyari paku.” jawaban Nakula sukses membuatku membulatkan mulut, tidak percaya. “iya, nyari paku. nanti pakunya dikiloin abis itu dijual, tapi poinnya bukan itu sih.”

“Poinnya, dia ikhlas ngejalanin semuanya, dan dengan pekerjaan yang dia lakuin itu secara tidak sengaja ngebantu orang banyak.”

“Secara nggak sengaja dia udah bantu nyingkirin paku-paku yang nanti bisa aja bikin celaka pengendara motor atau orang-orang yang lagi jalan, keren ya awalnya cuma mau cari uang tapi bisa jadi bantu banyak orang.”

Nakula tersenyum, lalu ia serongkan duduknya sehingga sempurna raganya sekarang menghadap penuh ke arahku.

“Ra,” panggilnya. “kalau kamu masih menganggap orang kaya itu dari harta yang mereka punya, lalu orang-orang seperti kakek itu nggak akan pernah bisa dibilang kaya ya, karena kalau dari harta mereka nggak akan mampu untuk mewujudkannya.”

“Tapi kalau kamu ngeliat seberapa kaya seseorang dari hatinya, maka seseorang yang tampilannya kayak preman dengan tato yang banyak sekali di tubuhnya sekalipun akan terlihat seperti malaikat yang dikirim Tuhan.”

“Jadi, jangan ngeliat semuanya dari luarnya aja ya, karena jika baik diluar belum tentu di dalamnya juga baik, tapi yang selalu kuharapkan sih, semoga mereka baik luar dalam. ya mau bagaimana pun kita juga manusia kan, selalu banyak prasangka, nggak apa, jadiin pelajaran aja ya,” sesi kuliah singkat sore itu akhirnya berhenti. Nakula yang tadi baru saja bicara panjang itu dengan cepat menegak habis air dalam botol mineral yang tadi ia beli.

Aku tersenyum menampilkan sederet gigi putih bersih ke arahnya. “Kayaknya jadiin kamu pacar aku itu adalah pilihan paling tepat ya Na.” Dia terkekeh, seraya mengusak kecil pucuk kepalaku, “Jangan gitu lah, aku juga manusia, masih punya banyak salah.”

Namun tak lama, wajahnya mendekat ke arahku, lalu ia berkata, “Tapi untuk kamu, akan ku coba untuk jadi pacar yang serba bisa.”

Maaf

“Cari pacar dong bang, udah gede kok pacaran masih sama rumus matematika.” celetuk Hasan yang kini tengah menggambar di atas tanah tanpa melihat sang lawan bicara yang sudah sinis menatap dirinya.

“Bacot dah, kayak punya pacar aja,” jawab Marvel sewot yang berhasil membuat semua yang mendengar tertawa.

“Sesama jomblo lebih baik diem,” ucap Jevana yang kini tengah duduk selonjoran tepat di samping Marvel beristirahat karena kepalanya sedikit pusing akibat banyaknya putaran yang ia dapat karena kalah suit dari Hasan tadi itu membuat mudah Marvel untuk menempeleng kepala Jevana pelan, “Lo juga jomblo ya monyet.”

“Single,” koreksi Jevana cepat, membuat Marvel mendengus seraya memutar bola matanya kesal.

Sesi perbincangan absurd itu tidak berhenti di sana saja, banyak hal random yang mereka bicarakan dan jangan ditanya pasti Hasan Mahardika yang memulai itu semua.

“Adek….adek….” Sebuah suara yang sukses membuat atensi mereka teralihkan, terfokus pada seorang pria bertubuh tinggi dengan sweater coklat kini tengah menatap mereka, ralat menatap adiknya, Zefa Diratama.

Sedangkan yang ditatap hanya diam tanpa suara, dadanya bergemuruh hebat. definisi rasa yang tidak bisa lagi dia deskripsikan maksudnya apa. terlalu banyak rasa yang ia rasakan akhir-akhir ini. Tidak lama, muncul kembali dua orang yang sangat tidak asing baginya, dua orang yang sedari kemarin ia hindari adanya. orang tuanya.

Zefa memejamkan matanya, takut yang kemarin telah hilang kembali muncul ke permukaan. lantas dengan segera, Renjana yang tengah duduk tepat di sampingnya menggenggam tangan Zefa erat menandakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

“Adek,” panggil Wistara pada anak bungsunya itu seraya tersenyum. Zefa hanya menoleh tapi tidak ada niat menghampiri. menyadari tidak ada pergerakan dari lawan bicara, Wistara berjalan pelan mendekati Zefa yang kini tengah menunduk dalam-dalam. genggaman pada tangan Renjana juga kian kuat.

“Adek,” panggilnya lagi seraya mengusap lembut rambut Zefa, “maafin ayah ya?” Zefa mendongak, netranya terkunci pada netra sang ayah yang kini juga tengah menatapnya lekat. “hah?” katakan Zefa bodoh, tapi untuk sekarang otaknya tidak bisa mencerna semua perkataan yang dilontarkan Wistara tadi.

“Ayah mau minta maaf sama Zefa,” ulangnya lembut, Zefa tertegun, ia bersumpah ini adalah tindakan paling bodoh dari dirinya yang tidak bersuara sedikitpun sekarang. “maafin bundanya juga ya?” lanjutnya lagi seraya menatap istrinya yang masih setia berdiri di depan taman membuat Zefa mengikuti arah pandang sang ayah.

“Maaf kalau selama ini, ayah nggak adil sama Zefa dan kakak, maaf kalau selama ini Zefa merasa terasingkan, merasa nggak dipeduliin, maaf ya sayang, maaf,” ujar Wistara dengan nada bergetar, hatinya juga hancur mendengar perkataan yang Zefa lontarkan tempo lalu.

Hari itu, di hari Zefa mengungkapkan semua rasa yang ia tahan, Wistara juga Davira sama hancurnya, merasa gagal menjadi orang tua bagi dua anak hebat yang mereka punya. terutama untuk si bungsu yang selama ini mereka anggap sudah dewasa, mereka terlalu fokus pada si sulung sampai bisa-bisanya si bungsu mereka abaikan keberadaannya.

“Ayah baru pertama kali jadi orang tua, maaf kalau masih banyak kurangnya ya nak?”

“Ayah sama bunda juga manusia, punya salah dan juga kesempatan untuk memperbaiki semuanya kan nak?” pertanyaan yang Wistara katakan barusan benar-benar meruntuhkan benteng pertahanan yang sedari tadi Zefa tahan.

Segera ia hamburkan pelukan itu pada sang ayah, menangis sekeras yang ia bisa, menyalurkan emosi yang sudah ia tahan terlalu lama seraya mengangguk yakin. sedangkan Wistara, ia hanya bisa mendekap tubuh ringkih yang dipaksa kuat itu dengan erat. dipeluk Zefa seperti ini, membuat hatinya semakin sakit, semakin merasa kalau ia telah begitu jahat pada anak keduanya ini.

Suasana ceria yang tadi mereka bangun lantas dengan cepat berubah menjadi sendu yang bahagia, Zefa melepas pelukan itu perlahan, mengusap air mata yang membasahi pipinya lalu bangkit menuju Davira yang juga tengah menangis.

Langkahnya berhenti tepat di hadapan sang bunda, menatapnya lekat namun getaran pada bibirnya tidak bisa lagi ia sembunyikan, dengan cepat ia hamburkan juga satu pelukan pada bundanya juga. merengkuh tubuh wanita yang sangat ia sayang itu.

“Maafin bunda ya sayang….” lirih Davira disela pelukan mereka.

Satu tangan mengelus pundaknya pelan, awalnya ia kira itu ayahnya namun ia salah,

“Adek, jangan nangis....nggak suka.” itu kakaknya.


Sekarang, mereka tengah bersiap-siap karena Wistara, mengajak semuanya untuk makan siang bersama. sebagai rasa terimakasih telah menjaga Zefanya selama tiga minggu belakangan ini.

“Bang,” ujar Nanda pelan tepat di depan kamar Marvel. sedangkan Marvel yang ingin mengambil ponselnya lantas menoleh, menaikan satu alisnya tanda bertanya. sekarang tinggal mereka berdua di kamar, karena semuanya sudah siap dan lebih memilih untuk menunggu di lobby asrama.

“Gue, nggak bisa ikut,” alis Marvel mengerut, “Loh kenapa?” “Gue dapet kabar dari bapak kemarin, kalau oma nyariin gue, dan juga udah lama gue nggak pulang buat jenguk oma.”

“Bapak?” tanya Marvel bingung.

Nanda terdiam, lantas mengangguk, “I-iya, om Darma ayahnya bang Renjana.”

“Lo manggil dia bapak? bukannya itu sebutan yang Renja pake buat manggil ayahnya?”

“Dia yang minta.” Sekarang giliran Marvel yang terdiam, lalu mengangguk, “Yaudah, nanti gue yang bilang kalau lo nggak bisa ikut.” Nanda tersenyum seraya mengangguk-anggukan kepalanya.

“Hati-hati Nan, jangan pulang malem,” pesan Marvel. “gue jalan dulu.”

“Iya.”