Abang dan Adek
“Bang tiduran aja udah,” ucap Hasan yang masih setia berdiri tepat di samping pintu ruangan Renjana, sedangkan yang lain tengah duduk di sofa. “jangan kelamaan duduk dulu.”
Renjana yang mendengarnya tertawa, lalu menggeleng. “Nggak enak lah, kalian duduk masa abang tiduran gini,” jawab Renjana.
“Ini kan lo lagi sakit abangggg,” ucap Hasan gemas yang dihadiahi tawa semua orang yang berada di sana, membuat Renjana ikut tertawa karenanya. “Iya-iya ini tiduran.”
Hening cukup lama mengisi suasana ruang rawat Renjana sekarang. sampai suara perut Candra membuat semua atensi tertuju padanya. mukanya memerah menahan malu akibat perbuatan perutnya yang tidak bisa bekerja sama sekarang. tak perlu menunggu lama ruangan itu kembali terisi suara tawa enam pemuda yang terhibur akan suara perut Candra barusan.
“Yok ke kantin dulu, lo belum makan ya Can?” ajak Hasan yang sudah siap untuk keluar ruangan. Candra hanya terkekeh lalu mengangguk malu-malu. “Yaudah sana makan dulu, abang di sini sendiri nggak apa-apa.”
“Biar gue aja yang nemenin bang Renja,” ucap Nanda cepat yang dibalas anggukan yang lainnya.”Yaudah bang, kita ke bawah dulu ya,” pamit Jevana yang lalu keluar ruangan bersama Zefa, Candra dan Hasan.
Setelah keempat pemuda itu pergi lantas tinggal Nanda serta Renjana yang tersisa. Keduanya saling diam, tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana. Nanda kini sudah berpindah tempat dan duduk tepat di samping ranjang Renjana, membuat Renjana mengulas senyumnya kecil.
Renjana mengangkat tangannya elan-pelan hingga sampai pada puncak kepala Nanda yang sedari tadi menunduk lalu mengelusnya pelan. membuat Nanda sedikit terlonjak kaget mendapati sapuan hangat pada kepalanya secara tiba-tiba. Kepalanya ia miringkan dengan maksud bertanya pada Renjana.
Renjana menggeleng. “Nggak ada apa-apa, cuma mau ngusap kepala adeknya abang aja.” Nanda diam, kenyataan baru bahwa ia memiliki sebuah hubungan darah dengan Renjana masih belum bisa sepenuhnya ia terima. “nggak boleh ya?” tanya Renjana lagi.
Nanda menggeleng, lalu mengambil kembali tangan Renjana yang hendak diturunkan pemiliknya dari kepalanya, menahannya untuk tetap pada kepalanya. “Terusin bang, gue suka kok.” Renjana terkekeh, lalu bukannya mengelus lembut surai Nanda seperti tadi, malah sebuah usakan kecil yang ia berikan. membuat rambut Nanda sedikit berantakan. “diusap bang, bukan diacakin,” gerutu Nanda sebal seraya merapikan kembali rambutnya yang sukses membuat Renjana tertawa lebar.
Setelah kejadian tadi, mereka kembali terjebak dalam hening yang menyelimuti. kembali sibuk mencari topik yang harus dibicarakan. hingga tangan Renjana yang sedari tadi masih setiap mengelus lembut surai Nanda turun dan meraih tangan Nanda yang sedari tadi tidak bisa diam untuk mengetuk besi ranjang Renjana.
“Dek.” Nanda menoleh dengan raut wajah bingung akan panggilan yang tadi Renjana lontarkan. “kenapa? kamu kan adeknya abang sekarang. jadi boleh kan abang panggil kamu adek?”
Nanda terdiam sejenak, lalu mengangguk sebagai jawaban. Renjana tersenyum lalu semakin mengeratkan genggamannya pada tangan Nanda. “Dek tahu nggak? dari dulu abang selalu berdoa sama Tuhan buat dikasih adek laki-laki buat nemenin abang di rumah.”
Nanda menatap Renjana dalam diam seakan memberi akses untuk Renjana berbicara lebih jauh lagi. “Akhirnya dikabulin ya walau sepuluh tahun kemudian,” ucapnya seraya terkekeh dengan tatapan lurus pada langit-langit kamar. “tapi tetep perasaan seneng ini tuh nggak bisa digambarin lagi, pokoknya seneng banget.”
Mendengar ucapan Renjana barusan ada sedikit rasa senang serta lega dalam diri Nanda, seakan beban yang beberapa hari ini selalu mengganggu pikirannya sirna seketika. Nanda ciptakan seulas senyum yang belakangan ini hilang dari wajahnya. “Nah gitu dong senyum, kan ganteng.”
Nanda cuma bisa memalingkan wajahnya dari hadapan Renjana, rasa malu tiba-tiba menghampirinya. “Dek, lihat ke sini coba.” Nanda menoleh kembali menatap wajah pucat Renjana.
“Abang minta tolong,” ujar Renjana menggantung membuat Nanda mengerutkan kedua alisnya. “tolong jagain ibu sama bapak ya adek? walau ibu bukan ibu kandung kamu, tolong sayangi dia layaknya ibu kandung kamu sendiri ya?” jantung Nanda berdetak cepat mendengar ucapan Renjana barusan.
“Kita jaga mereka sama-sama ya bang, bukan gue doang tapi sama lo juga,” jawab Nanda pelan. Renjana menggeleng. “kamu, bukan abang.”
Baru saja Nanda berniat kembali berbicara namun Renjana langsung mengalihkan pembicaraan. “Eh udah sore, kamu balik gih ke asrama, jangan lupa ajak yang lain yang masih pada di kantin.”
“Bang,”
“Udah sana, nanti bapak sama ibu dateng kok.” Nanda hanya bisa menghembuskan nafasnya kasar, jika Renjana sudah seperti ini tandanya ia tidak mau lagi membahas obrolan mereka tadi.
Akhirnya Nanda bangkit, lalu mengambil tangan Renjana, mengecupnya singkat. “Gue balik dulu ya bang, cepet sembuh.”
Renjana tersenyum lalu mengangguk berusaha menahan air mata yang sudah berteriak ingin segera keluar. tepat setelah Nanda keluar dari kamar. air mata yang sedari tadi Renjana tahan akhirnya keluar tanpa ada rencana untuk berhenti.