Kecewa
Marvel mengepalkan tangannya kuat-kuat lalu melempar gelas air yang sudah kosong ke arah asal dengan kencang. rahangnya mengeras, ia benar-benar marah pada papanya sekarang. kurang apa lagi ia dalam perihal menurut pada papanya itu.
Matanya menatap asal jalan, sampai netranya berhenti pada sosok yang saat ini sedang memenuhi kepalanya, papanya. Tama kini berdiri di seberang jalan dari tempat Marvel berada, tatapannya lurus menatap Marvel, tatapan tajam yang dulu Marvel takuti namun seiring berjalannya waktu tatapan itu seakan sudah tak berarti lagi.
Marvel berjalan mendekat ke arah Tama dengan wajah yang begitu datar. ia benar-benar tidak habis pikir akan tindakan yang dilakukan Tama terhadap studio yang ia bangun susah payah itu.
“Maksud papa hancurin studio Marvel apa?” ungkap Marvel kala ia sudah berada tepat di hadapan Tama. sedangkan Tama, pria itu masih diam tak bersuara. “kenapa papa hancurin studio yang Marvel bangun sendiri selama dua tahun, papa tahu sendiri kan betapa susahnya Marvel bangun studio itu?!”
“Yang seharusnya marah itu papa.” Marvel tertawa miris menanggapinya. “mau kamu apa Marvel? nilai kamu turun, dari dua minggu yang lalu nggak ada peningkatan sama sekali. papa udah biarkan kamu mempertahankan band nggak jelas mu itu, papa udah kasih kamu semuanya, masih kurang buat kamu balas apa yang papa kasih?”
“Jadi papa butuh imbalan dari semua yang papa lakukan ke Marvel? jadi ini semua itu bagai timbal balik ya pa?” tanya Marvel setelahnya dengan tangan yang mengepal begitu kuat sampai jari-jari kukunya menancap jelas pada permukaan telapak tangannya. “Marvel capek pa, capek hidup di bawah kekangan papa. kalau begini caranya papa sama aja bunuh Marvel pelan-pelan.”
“Papa cuma mau yang terbaik buat kamu Marvel.”
“Cukup papa ngertiin Marvel aja, itu udah sangat baik buat Marvel pa,” jawab Marvel.
“Emang ya selama ini cuma prestasi Marvel aja yang papa butuhin. cuma nilai, nilai, nilai yang papa liat. papa terlalu mementingkan reputasi papa sebagai pengusaha sukses yang mempunyai anak yang pintar dibanding Marvel anak papa sendiri yang sekarang seakan-akan bagai boneka tak bernyawa yang bisa papa atur sesuka hati. papa tahu nggak kalau Marvel itu capek? capek untuk selalu memenuhi ekspektasi papa. selama ini Marvel selalu nurut sama papa, karena mungkin papa kayak gini untuk kebaikan Marvel. tapi ternyata nggak ya pa,” lanjut Marvel sembari membuang muka ke arah lain.
“Tapi pa, yang harus papa inget nggak semua yang papa mau harus terjadi dan nggak semua yang papa inginkan bisa Marvel kabulkan. Marvel juga manusia.”
“Dan dunia ini, nggak cuma punya papa.”
“Marvel akan jalani semuanya, semua yang papa minta. tapi pinta Marvel cuma satu,” ucap Marvel menggantung. “jangan ganggu apa yang jadi kesukaan Marvel.”
“Apa sih yang selama ini nggak Marvel turutin dari semua permintaan papa? nggak ada. semua Marvel turutin. tapi kenapa papa masih usik studio Marvel, kenapa pa?”
“Cuma gara-gara nilai ujian mingguan Marvel yang turun? iya? apa nilai-nilai dan prestasi yang Marvel kasih ke papa hampir delapan belas tahun ini kurang pa? nggak cukup ya buat bikin papa bangga?” tanya Marvel. matanya sudah basah ia benar-benar marah pada dirinya sendiri kenapa begitu lemah sekarang di hadapan Tama. “padahal itu cuma nilai evaluasi mingguan yang nggak ngaruh sama sekali sama olimpiade nanti.”
“kenapa papa nggak tonjok Marvel aja, kenapa papa nggak tampar Marvel aja kayak dulu-dulu. lebih baik Marvel dipukul daripada harus denger kalau studio Marvel udah nggak berbentuk lagi. sakit pa,” lanjutnya secara memukul dadanya kencang.
“Nggak usah terus ngebela band mu itu Marvel. tangisan kamu cuma akan jadi sia-sia aja. kamu nggak akan dapat masa depan apapun dari sana. itu semua hanya akan menghambat kesuksesan kamu,” ujar Tama angkuh dengan tatapan datarnya kepada Marvel seakan tangis yang Marvel keluarkan tak akan bisa meruntuhkan hatinya.
Marvel tertawa renyah, kepalanya menggeleng tak percaya akan perkataan papanya barusan. “Papa yang bilang sendiri, kalau punya mimpi harus bisa kita perjuangin. tapi, papa juga yang ngehancurin mimpi Marvel.”
“Sekarang papa puas? papa seneng hal yang menghambat rencana papa udah nggak ada, studio Marvel udah nggak ada pa. sekarang papa bebas buat ngatur Marvel apa aja. eh kalo itu mah udah dari dulu ya?” Marvel tertawa lagi. “Marvel udah capek. sekarang tinggal terserah papa, mau tetap liat Marvel hidup apa nggak.” ucap Marvel seraya berjalan mundur hendak menjauh dari Tama.
Yang Marvel tahu ia harus segera pergi dari hadapan papanya, takut kalau emosinya semakin memuncak dan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. tapi yang tidak Marvel tahu, ada sebuah truk yang kini tengah berjalan dengan kecepatan yang begitu cepat ke arahnya.
“MARVEL!”