Hancurnya dua hati
Membutuhkan waktu sekitar dua jam untuknya kembali ke Bandung. pikiran kacaunya tadi secara sontak membawanya kembali ke asrama. dengan wajah yang sembab dan penampilan yang begitu berantakan membuatnya mengurungkan niat untuk kembali ke asrama.
Pikirannya sekarang kosong, masih mencoba mencerna sebuah kenyataan yang begitu terlihat seperti sebuah lelucon semata. ayah. seseorang yang sedari dulu ia nantikan kehadirannya itu kini benar-benar sudah berada tepat di hadapannya.
bahkan, ia sudah mengenalnya dekat dan bahkan ia sudah pernah memeluknya. Nanda kembali tertawa seraya menengadah ke arah langit yang kini penuh akan bintang. dunia kayaknya seneng banget bercanda ya sama gue, disaat gue udah bisa nerima hidup gue, disaat gue udah nggak mau cari tahu lagi tentang ayah, kalian malah temuin gue sama sosok yang hampir tujuh belas tahun ini gue cari secara tiba-tiba, sosok ayah yang juga ayah dari teman gue?
“BRENGSEK!”
“KENAPA HARUS DIA?”
“KENAPA GUE HARUS PUNYA AYAH YANG SAMA KAYAK BANG RENJA? KENAPA?”
berkali-kali Nanda berteriak di taman kosong ini, berteriak menyuarakan isi hati yang sebenarnya sia-sia saja ia lakukan. karena takdir telah berkata seperti itu. sudah pukul sebelas malam namun tak ada juga niatnya untuk kembali. dering ponsel yang sedari tadi bergetar tak berhenti, ia hiraukan.
Ia terduduk lemas pada tanah beralaskan rumput-rumput kecil diatasnya. kepalanya tertunduk, menatap ke bawah seraya menghitung tiap tetes air mata yang jatuh bergantian mengenai rumput yang kini telah basah akibat air matanya. “Dari banyaknya manusia, kenapa harus om Darma yang harus jadi ayah gue?” lirihnya pelan.
“Maksudnya?” suara pelan itu berhasil membuat Nanda menoleh, mendapati Renjana serta Marvel di sana dengan raut wajah bingung setengah mati. “maksudnya bapak itu jadi ayah kamu, apa Nan?” tanya Renjana lagi dengan hati-hati.
Nanda tergagap, ia tidak mengira Renjana akan menemukannya di sini. padahal tempat ini berada cukup jauh dari asrama. “Nan!” ujar Renjana seraya mengguncang tubuh Nanda. “MAKSUDNYA APA?”
Dengan susah payah, Nanda berupaya mengeluarkan suaranya yang tercekat di tenggorokan. “Om Darma, bapak gue juga bang.”
“Tapi ibu cuma punya satu anak Nan.”
“Dari wanita lain,” sambung Nanda cepat. lidah Renjana mendadak kelu, pikirannya mendadak kosong, bahkan sekarang tubuhnya terasa kaku. genggaman kuat pada bahu Nanda kian melemah, lalu perlahan lepas. kepalanya setia menggeleng, lelaki itu tak percaya.
“Jangan ngaco kamu Nan,” ujarnya pada akhirnya. “aku kenal bapak, bapak nggak mungkin kayak gitu.”
“Tapi gue denger sendiri dari mulut bapak bang,” jawab Nanda. “kalau gitu gue tanya, nama ibu gue Kayla, nama ibu lo Kayla juga bukan?”
“Bukan.”
“Jelaskan?”
Renjana memejamkan matanya, kemudian potongan-potongan memori yang Darma lakukan untuk Nanda belakangan ini kian bergantian mengisi ruang pikir Renjana, kejadian demi kejadian yang terlihat berlebihan dahulu seakan menemukan titik terangnya sekarang.
Ia terkekeh, kekehan pahit akan kebenaran masa lalu yang baru saja terungkap itu begitu menyiksa batinnya.
Namun tak cukup lama mereka terlibat hening. Renjana merasakan dadanya nyeri hingga berjalar ke seluruh badan, keringat mulai turun bercucuran, tubuhnya kian melemas, sesak, begitu sesak yang ia rasa sekarang, seakan oksigen yang ia butuhkan sangat terbatas adanya.
Tubuhnya oleng, karena sudah tidak bisa lagi menahan berat badannya sendiri dan bahkan bisa saja jatuh jika tidak cepat ditangkap oleh Marvel dari belakang. “Ja? lo kenapa?!” itu suara Marvel yang terdengar begitu panik.
Pusing di kepalanya semakin menjadi hingga hanya hitam yang bisa ia lihat juga suara sahutan Marvel serta Nanda yang memanggil namanya samar-samar terdengar mulai hilang tak bersisa.
Renjana pingsan di rengkuhan Marvel.