Orang kaya itu yang kayak apa?

Bunyi tawa serta teriakan anak-anak kini bagai irama yang terdengar begitu menyenangkan sekarang. seakan beban di hati dan pikiran yang sedari tadi hinggap, terbang dan hilang begitu saja. menemani hari soreku yang ku harap akan menjadi lebih baik di hari ku hari ini. Semilir angin sore yang menerpa rambutku membuatnya terbang kesana kemari, sejuk. Ayunan yang kini aku duduki kini kian ramai oleh anak-anak yang antri untuk ikut duduk.

“Ayo, di sana aja, gantian sama yang lain,” ucap seseorang dari arah belakangku dengan senyuman khasnya, dengan balutan kaos hitam juga celana training dengan warna yang sama membuatnya terlihat begitu menawan seakan kehadiran mereka memang ditakdirkan memang untuk ia kenakan. seseorang yang pukul empat tadi menjemputku di rumah, katanya, ayo keluar kamu butuh angin segar.

Aku mengangguk, menyetujui ucapannya. kini sekarang kami tengah berada di bangku taman, menghadap ke sebuah komplek perumahan elite yang berada tepat di depan taman. menatap hilir mudik para penghuni perumahan keluar masuk dengan mobil serta kendaraan mewah yang mereka miliki.

Aku tersenyum, melihat kehidupan mereka yang terlihat sangat begitu nyaman. “Enak ya jadi orang kaya,” celetuk ku asal yang dimana mataku juga tak lepas dari perumahan itu.

Membuat Nakula yang baru saja ingin minum menghentikan pergerakannya. menatapku seraya menaik turunkan alisnya, “Maksudnya? enak gimana?”

“Ya enak, hidupnya serba cukup, semua yang dia mau ada, mau pergi kemana aja bisa, impian banget deh, enak kan?”

“Nggak butuh jadi kaya untuk merasa cukup Ra,” ucapnya pelan, “semua yang kita punya itu udah lebih dari cukup kalau kita bersyukur akan itu.”

“Sayangnya masih banyak yang belum bisa bersyukur, selalu merasa kurang dan selalu iri hati akan pencapaian orang.” Aku mengerutkan kening tanda bingung. “seberapa yakin kamu waktu bilang mereka hidupnya enak?”

Aku diam, tidak berniat menjawab atau lebih tepatnya tidak yakin akan jawaban yang aku punya. Nakula tersenyum, “Belum tentu yang kita lihat dari sini adalah kenyataannya, syukur kalau bener mereka bahagia, kalau cuma topeng, bagaimana?”

Sekarang kami berdua diam, tidak ada konversasi lagi, hanya hening yang menemani dan juga masih dengan teriakan anak-anak yang anehnya kian sore kian ramai. sampai ia kembali bersuara.

“Menurut kamu Ra, kakek diujung jalan itu orang kaya apa nggak?” tangannya menunjuk ke arah seorang kakek tua dengan baju lusuh sedang duduk di pinggir jalan ditemani seekor kucing hitam yang dengan nyamannya tertidur di pangkuan. “Nggak ya?” tanyanya lagi tapi seakan menjawab isi pikiranku. Aku mengangguk. “coba kalau kamu tanya, apa dia ngerasa hidupnya cukup?” aku bingung, lalu Nakula kembali berbicara, “pasti dia akan jawab iya.”

“Kok yakin banget?”

Dia tertawa, “Orang yang selalu mengutamakan Tuhan di hidupnya akan selalu merasa hidupnya cukup Ra, karena sesusah apapun dia, sesulit apapun hidupnya akan selalu ada Tuhan yang nemenin dia.”

“Kakek itu, tinggalnya di masjid dekat rumahku, setiap hari selalu pergi pagi sehabis sholat dhuha dan baru pulang abis isya, kamu bisa tebak dia kerja apa?”

Aku menggeleng, benar-benar tidak tahu. “Nyari paku.” jawaban Nakula sukses membuatku membulatkan mulut, tidak percaya. “iya, nyari paku. nanti pakunya dikiloin abis itu dijual, tapi poinnya bukan itu sih.”

“Poinnya, dia ikhlas ngejalanin semuanya, dan dengan pekerjaan yang dia lakuin itu secara tidak sengaja ngebantu orang banyak.”

“Secara nggak sengaja dia udah bantu nyingkirin paku-paku yang nanti bisa aja bikin celaka pengendara motor atau orang-orang yang lagi jalan, keren ya awalnya cuma mau cari uang tapi bisa jadi bantu banyak orang.”

Nakula tersenyum, lalu ia serongkan duduknya sehingga sempurna raganya sekarang menghadap penuh ke arahku.

“Ra,” panggilnya. “kalau kamu masih menganggap orang kaya itu dari harta yang mereka punya, lalu orang-orang seperti kakek itu nggak akan pernah bisa dibilang kaya ya, karena kalau dari harta mereka nggak akan mampu untuk mewujudkannya.”

“Tapi kalau kamu ngeliat seberapa kaya seseorang dari hatinya, maka seseorang yang tampilannya kayak preman dengan tato yang banyak sekali di tubuhnya sekalipun akan terlihat seperti malaikat yang dikirim Tuhan.”

“Jadi, jangan ngeliat semuanya dari luarnya aja ya, karena jika baik diluar belum tentu di dalamnya juga baik, tapi yang selalu kuharapkan sih, semoga mereka baik luar dalam. ya mau bagaimana pun kita juga manusia kan, selalu banyak prasangka, nggak apa, jadiin pelajaran aja ya,” sesi kuliah singkat sore itu akhirnya berhenti. Nakula yang tadi baru saja bicara panjang itu dengan cepat menegak habis air dalam botol mineral yang tadi ia beli.

Aku tersenyum menampilkan sederet gigi putih bersih ke arahnya. “Kayaknya jadiin kamu pacar aku itu adalah pilihan paling tepat ya Na.” Dia terkekeh, seraya mengusak kecil pucuk kepalaku, “Jangan gitu lah, aku juga manusia, masih punya banyak salah.”

Namun tak lama, wajahnya mendekat ke arahku, lalu ia berkata, “Tapi untuk kamu, akan ku coba untuk jadi pacar yang serba bisa.”