Kebenaran

Pukul satu siang Nanda sudah sampai di Jakarta. sekarang ia tengah mencari ojek yang akan mengantarnya menuju rumah sakit tempat omanya dirawat. cuaca cerah seakan menggambarkan suasana hatinya yang tengah bahagia.

Terlalu hanyut menikmati perjalanan sampai tak sadar bahwa ojek yang ia naiki kini sudah sampai tepat di depan rumah sakit. dikeluarkannya satu lembar uang lima puluh ribu dari dompet dan diserahkan kepada tukang ojek yang nampaknya sudah berumur lebih dari lima puluh tahun itu kemudian.

“Kebanyakan ini mas,” ujar sang bapak tua. Nanda tersenyum. “Ambil aja, buat bapak,” jawabnya yang kemudian dihadiahi senyuman lebar sang bapak, membuat Nanda ikut tersenyum juga. lantas setelahnya ia segera masuk ke dalam rumah sakit.

Langkahnya ia bawa menuju kamar rawat inap omanya setelah bertanya nomor kamar pada resepsionis.

‘Ruang Mawar’

Pintunya sedikit terbuka membuat Nanda dengan mudah mengetahui siapa seseorang yang tengah berbincang dengan omanya. seseorang yang belakangan ini tengah mencoba masuk ke dalam kehidupannya. melihat pembicaraan yang sedang dibahas cukup terlihat serius, dengan hati-hati ia dekatkan tubuhnya pada celah pintu agar bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan.

“Ibu tahu jelas saya ayahnya tapi kenapa ibu tega bawa dia pergi dengan memalsukan kematiannya kepada saya?”

Deg. jantung Nanda berpacu lebih cepat dari biasanya, telinganya ia pertajam guna mendengar penjelasan lebih lanjut.

“Ibu nggak mau kamu bawa Nanda pergi. setelah Kayla meninggal ibu sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi selain Nanda. ibu takut kamu akan menjauhi ibu dari cucu ibu, karena dia satu-satunya harta yang ibu punya. terlebih lagi, istri kamu mungkin tidak akan bisa menerima Nanda semudah itu nak. ibu nggak mau Nanda harus tumbuh di lingkungan dimana ia belum bisa diterima sepenuhnya.”

“Tapi saya ayahnya, saya ayah kandungnya, yang selama tujuh belas tahun saya menganggap anak saya sudah meninggal!” ujar Darma sedikit teriak. perasaan yang selama ini ia rasakan pada Nanda, rasa dekat yang selama ini membuat ia bertanya-tanya ada hubungan apa ia dengan teman Renjana itu sekarang terjawab sudah.

“Dan dengan bodohnya saya baru tahu kalau dia masih hidup dan dia menjadi teman Renjana?” Darma terkekeh pelan, tapi air matanya tidak bisa membohongi bahwa pria itu tengah hancur perasaannya. “mungkin kalau Renjana kala itu nggak minta saya untuk membantu temannya yang sedang kesusahan, mungkin sampai sekarang saya masih mengira kalau anak saya sudah meninggal, yang dimana kenyataannya dia masih ada dan sudah tumbuh menjadi seorang pria dewasa.”

“Maksudnya anak saya itu apa?” potong Nanda cepat dengan muka datarnya, berbanding terbalik dengan keadaan jantungnya yang kini berdebar begitu cepat dan sendi-sendi di tubuhnya yang kian melemas. ia mengepal tangannya kuat-kuat, menahan emosi yang kapan saja bisa keluar. ia bisa lihat air muka kaget dari dua insan di depannya.

“MAKSUDNYA APA?!” bentak Nanda, air matanya kini tak bisa ia bendung lagi. “anak? anak siapa?”

“Siapa yang lagi kalian bicarain? aku?” ujarnya lagi. “Aku… anaknya om Darma?” tanyanya memastikan.

“Nanda, oma bisa jelasin nak alasan oma menyembunyikan identitas ayah kamu,” tukas omanya cepat.

Nanda menggeleng kuat tak percaya. “Jadi, selama ini aku punya ayah yang sama kayak bang Renja?” tanyanya dengan nada yang bergetar. “Pantes aja ya om Darma minta aku panggil bapak sama kayak bang Renja, jadi ini alasannya,” monolognya.

Lalu setelahnya ia tertawa, menertawakan jalan hidupnya yang bisa dibilang sangat di luar logikanya saat ini. merenggut rambutnya kencang seraya menatap nyalang bergantian ke arah omanya serta Darma. “gila, bercanda banget hidup aku.”

Lalu setelahnya ia pergi, menjauh dari ruangan yang membuatnya sesak setengah mati.