Maaf

“Cari pacar dong bang, udah gede kok pacaran masih sama rumus matematika.” celetuk Hasan yang kini tengah menggambar di atas tanah tanpa melihat sang lawan bicara yang sudah sinis menatap dirinya.

“Bacot dah, kayak punya pacar aja,” jawab Marvel sewot yang berhasil membuat semua yang mendengar tertawa.

“Sesama jomblo lebih baik diem,” ucap Jevana yang kini tengah duduk selonjoran tepat di samping Marvel beristirahat karena kepalanya sedikit pusing akibat banyaknya putaran yang ia dapat karena kalah suit dari Hasan tadi itu membuat mudah Marvel untuk menempeleng kepala Jevana pelan, “Lo juga jomblo ya monyet.”

“Single,” koreksi Jevana cepat, membuat Marvel mendengus seraya memutar bola matanya kesal.

Sesi perbincangan absurd itu tidak berhenti di sana saja, banyak hal random yang mereka bicarakan dan jangan ditanya pasti Hasan Mahardika yang memulai itu semua.

“Adek….adek….” Sebuah suara yang sukses membuat atensi mereka teralihkan, terfokus pada seorang pria bertubuh tinggi dengan sweater coklat kini tengah menatap mereka, ralat menatap adiknya, Zefa Diratama.

Sedangkan yang ditatap hanya diam tanpa suara, dadanya bergemuruh hebat. definisi rasa yang tidak bisa lagi dia deskripsikan maksudnya apa. terlalu banyak rasa yang ia rasakan akhir-akhir ini. Tidak lama, muncul kembali dua orang yang sangat tidak asing baginya, dua orang yang sedari kemarin ia hindari adanya. orang tuanya.

Zefa memejamkan matanya, takut yang kemarin telah hilang kembali muncul ke permukaan. lantas dengan segera, Renjana yang tengah duduk tepat di sampingnya menggenggam tangan Zefa erat menandakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

“Adek,” panggil Wistara pada anak bungsunya itu seraya tersenyum. Zefa hanya menoleh tapi tidak ada niat menghampiri. menyadari tidak ada pergerakan dari lawan bicara, Wistara berjalan pelan mendekati Zefa yang kini tengah menunduk dalam-dalam. genggaman pada tangan Renjana juga kian kuat.

“Adek,” panggilnya lagi seraya mengusap lembut rambut Zefa, “maafin ayah ya?” Zefa mendongak, netranya terkunci pada netra sang ayah yang kini juga tengah menatapnya lekat. “hah?” katakan Zefa bodoh, tapi untuk sekarang otaknya tidak bisa mencerna semua perkataan yang dilontarkan Wistara tadi.

“Ayah mau minta maaf sama Zefa,” ulangnya lembut, Zefa tertegun, ia bersumpah ini adalah tindakan paling bodoh dari dirinya yang tidak bersuara sedikitpun sekarang. “maafin bundanya juga ya?” lanjutnya lagi seraya menatap istrinya yang masih setia berdiri di depan taman membuat Zefa mengikuti arah pandang sang ayah.

“Maaf kalau selama ini, ayah nggak adil sama Zefa dan kakak, maaf kalau selama ini Zefa merasa terasingkan, merasa nggak dipeduliin, maaf ya sayang, maaf,” ujar Wistara dengan nada bergetar, hatinya juga hancur mendengar perkataan yang Zefa lontarkan tempo lalu.

Hari itu, di hari Zefa mengungkapkan semua rasa yang ia tahan, Wistara juga Davira sama hancurnya, merasa gagal menjadi orang tua bagi dua anak hebat yang mereka punya. terutama untuk si bungsu yang selama ini mereka anggap sudah dewasa, mereka terlalu fokus pada si sulung sampai bisa-bisanya si bungsu mereka abaikan keberadaannya.

“Ayah baru pertama kali jadi orang tua, maaf kalau masih banyak kurangnya ya nak?”

“Ayah sama bunda juga manusia, punya salah dan juga kesempatan untuk memperbaiki semuanya kan nak?” pertanyaan yang Wistara katakan barusan benar-benar meruntuhkan benteng pertahanan yang sedari tadi Zefa tahan.

Segera ia hamburkan pelukan itu pada sang ayah, menangis sekeras yang ia bisa, menyalurkan emosi yang sudah ia tahan terlalu lama seraya mengangguk yakin. sedangkan Wistara, ia hanya bisa mendekap tubuh ringkih yang dipaksa kuat itu dengan erat. dipeluk Zefa seperti ini, membuat hatinya semakin sakit, semakin merasa kalau ia telah begitu jahat pada anak keduanya ini.

Suasana ceria yang tadi mereka bangun lantas dengan cepat berubah menjadi sendu yang bahagia, Zefa melepas pelukan itu perlahan, mengusap air mata yang membasahi pipinya lalu bangkit menuju Davira yang juga tengah menangis.

Langkahnya berhenti tepat di hadapan sang bunda, menatapnya lekat namun getaran pada bibirnya tidak bisa lagi ia sembunyikan, dengan cepat ia hamburkan juga satu pelukan pada bundanya juga. merengkuh tubuh wanita yang sangat ia sayang itu.

“Maafin bunda ya sayang….” lirih Davira disela pelukan mereka.

Satu tangan mengelus pundaknya pelan, awalnya ia kira itu ayahnya namun ia salah,

“Adek, jangan nangis....nggak suka.” itu kakaknya.


Sekarang, mereka tengah bersiap-siap karena Wistara, mengajak semuanya untuk makan siang bersama. sebagai rasa terimakasih telah menjaga Zefanya selama tiga minggu belakangan ini.

“Bang,” ujar Nanda pelan tepat di depan kamar Marvel. sedangkan Marvel yang ingin mengambil ponselnya lantas menoleh, menaikan satu alisnya tanda bertanya. sekarang tinggal mereka berdua di kamar, karena semuanya sudah siap dan lebih memilih untuk menunggu di lobby asrama.

“Gue, nggak bisa ikut,” alis Marvel mengerut, “Loh kenapa?” “Gue dapet kabar dari bapak kemarin, kalau oma nyariin gue, dan juga udah lama gue nggak pulang buat jenguk oma.”

“Bapak?” tanya Marvel bingung.

Nanda terdiam, lantas mengangguk, “I-iya, om Darma ayahnya bang Renjana.”

“Lo manggil dia bapak? bukannya itu sebutan yang Renja pake buat manggil ayahnya?”

“Dia yang minta.” Sekarang giliran Marvel yang terdiam, lalu mengangguk, “Yaudah, nanti gue yang bilang kalau lo nggak bisa ikut.” Nanda tersenyum seraya mengangguk-anggukan kepalanya.

“Hati-hati Nan, jangan pulang malem,” pesan Marvel. “gue jalan dulu.”

“Iya.”