Bahagia yang ditunggu
Derap langkah kaki dua manusia kini menggema ke seluruh ruangan rumah sakit yang hening, derap yang terdengar begitu panik itu semakin mendekat ke arah enam pemuda yang tengah terduduk tepat di sebuah ruangan seseorang.
“Om…” ucap Marvel pelan.
“Renjana gimana nak?” tanya Darma tergugup, ia begitu khawatir akan keadaan anaknya saat ini. Marvel berdiri dari duduknya. “Renjana udah sadar om, sekarang lagi istirahat aja.”
“Om mau masuk, boleh?” Marvel mengangguk. mendapatkan persetujuan dari Marvel, lantas Darma serta istrinya bergegas memasuki ruangan Renjana tanpa menoleh sedikitpun ke arah Nanda yang kini berdiri tepat di samping ruangan Renjana.
Langkah Naura melambat, hatinya bergemuruh hebat melihat anak semata wayangnya kini terbaring lemah pada bangkar rumah sakit. sayu-sayu mata Renjana terbuka, lalu setelahnya lelaki itu terbitkan senyum paling manis yang ia punya.
“Ibu… ibu datang?” lirihnya begitu pelan, nyaris tak terdengar. Naura menutup mulutnya cepat, berusaha mencegah air matanya turun saat ini juga. dengan berat, ia dekatkan tubuhnya pada Renjana. ia ambil tangan dingin itu, mengelusnya, lalu mengecupkan lambat. dengan isi hati yang berulang kali mengucapkan kata maaf.
Netra Naura, menatap Renjana teduh. tatapan yang selalu Renjana inginkan, tatapan yang selama ini belum pernah Renjana dapatkan. “Ibu…mata ibu cantik banget,” ujar Renjana seraya menyingkirkan helai rambut Naura yang sedikit menutupi wajahnya. “terus tatap Renja kayak gini ya bu.”
Naura memalingkan wajahnya dari hadapan Renja, tidak mau anaknya itu melihatnya menangis. namun dia Renjana, anak yang paling peka akan keadaan, sekalipun ia tidak melihatnya. “Ibu kenapa nangis?”
Seakan waktu terhenti begitu saja, Naura hanya bisa menatap wajah anaknya tanpa bisa berbicara satu kata pun. sampai usapan lembut pada bahunya seakan memberinya kekuatan untuk menyelesaikan masalahnya sekarang. “Bisa Nau, kamu bisa.”
Dengan getir, ia tatap wajah pucat Renjana. mengusap kembali surainya lalu mengecup keningnya. Renjana dapat merasakan beberapa air jatuh membasahi keningnya, yang membuatnya yakin kalau ibunya kini tengah menangis. “Maaf.” satu kata yang berhasil membuat Renjana mendongak menatap wajah basah Naura.
“Maafin ibu Renjana, maafin ibu,” ulang Naura lagi. “maafin ibu yang nggak becus jadi orang tua, maafin ibu yang nggak pernah ngasih sedikitpun perhatian ibu ke kamu, maafin ibu yang udah buat kamu sakit berkali-kali, maafin ibu sayang.”
Diluar dugaan Naura, Renjana tersenyum. ia paksakan bangkit dari tidurnya lalu meminta Naura untuk duduk di samping. “Ibu jangan minta maaf. Renjana ngerti, ibu pasti punya alasan untuk berbuat kayak gitu ke Renja. ibu jangan nangis, Renja nggak suka liat ibu nangis, sakit,” jawab Renjana seraya menunjuk ke arah hatinya. “hati Renja sakit kalau liat ibu nangis, jangan nangis ya ibu.”
Seakan tak peduli apa yang dikatakan Renjana barusan, tangis Naura semakin pecah. ia merengkuh tubuh anaknya erat-erat, seakan besok ia tidak bisa lagi merengkuh tubuh mungil itu yang dahulu ia sia-siakan keberadaannya. mengecup puncak kepalanya berkali-kali. Renjana tersenyum, kemudian ia membalas pelukan yang sangat ia nantikan itu. pelukan ibunya.
“Ibu jangan dilepas, Renjana suka dipeluk ibu,” ujar Renjana yang kini tengah tertidur dengan posisi saling merengkuh dengan Naura. tanpa membalas ucapannya Naura hanya bisa mengangguk cepat ia juga tidak mau saat ini ia lewatkan lagi hadirnya.
Sedangkan Darma, pria itu hanya bisa menyaksikan momen paling hangat yang sedari dulu ia tunggu. momen dimana Renjana bisa merasakan kasih sayang ibunya. Naura, wanita paling angkuh dan tidak punya hati itu sudah kembali menjadi wanita lembut yang ia kenal.
Beribu maaf sepertinya tidak akan cukup bagi Darma untuk meminta maaf pada Naura. dahulu ia begitu bodoh. menganggap pernikahan atas perjodohannya dengan Naura adalah neraka baginya. dan ia lebih bodoh lagi dengan menikah diam-diam dengan pacarnya, Kayla saat itu di belakang Naura.
Ia menyadari, bahwa itu adalah dosa paling besar yang ia punya, menyakiti hati perempuannya yang akhirnya berakibat buruk pada anaknya. Renjana anak kesayangan bapak, maafin bapak ya nak? karena bapak, selama tujuh belas tahun ini, kamu nggak pernah mendapat perhatian dari ibumu sama sekali. maaf juga karena bapak masih belum bisa jadi bapak yang baik untuk kamu. anak kuatnya bapak, harus sembuh. kita belum merasakan bahagia bareng-bareng kan nak? jadi bapak mau minta tolong, tolong Renjana sembuh ya.