Sebelum menyesal

“Gue keluar dulu ya sebentar,” ujar Hasan saat Nanda baru saja masuk ke ruang rawat Marvel. Marvel sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa, namun ia belum sadarkan diri. lantas hanya anggukan yang diberi empat pemuda itu sebagai jawaban.

Langkah Hasan berhenti tepat di samping Tama yang kini sedang menunduk dengan tangan yang saling bertautan satu sama lain. Hasan menghirup nafasnya dalam-dalam, mengumpulkan keberanian untuk duduk di samping Tama.

Seakan menyadari bahwa ada seseorang yang mengamatinya, Tama mendongakkan kepalanya, menatap lurus ke arah Hasan yang kini diam membeku seketika. “Ada apa?” tanyanya datar.

Hasan menghembuskan nafasnya, lalu tersenyum. ia dudukkan tubuhnya pada kursi kosong di samping Tama. menatap lurus ke arah dinding putih di hadapan mereka sekarang.

“Maaf kalau saya lancang ya om,” ujar Hasan memulai perbincangan. berkali-kali ia meyakinkan dirinya untuk mengatakan ini pada Tama. “om jangan terlalu keras sama bang Marvel.”

“Kamu tahu apa soal anak saya.”

“Saya emang nggak tahu banyak om tentang bang Marvel, toh saya baru kenal dia satu bulan ini. tapi saya tahu kalau anak om itu sayang banget sama om dan berusaha sekeras yang ia bisa buat bikin om selalu bangga.”

“Om tahu nggak, setiap hari bang Marvel selalu kepergok begadang sama bang Renja sampai jam dua pagi, padahal waktu istirahat kita aja di asrama terbatas. dia juga kadang telat makan karena belum nyelesain baca materi buat besok.”

“Mungkin bagi om, bandnya bang Marvel itu cuma kegiatan nggak jelas yang buang-buang waktu. tapi buat bang Marvel, bandnya itu hidupnya. dia itu sayang banget sama bandnya. apa om pernah liat mata berbinarnya waktu dia ngomongin bandnya? kayaknya nggak pernah ya? dia kelihatan antusias banget kalau kita udah mulai nanya-nanya tentang bandnya. sesayang itu dia sama bandnya.”

“Jadi, cukup om tekan dia untuk masalah belajar, tapi untuk hobinya jangan pernah om usik itu.”

“Om yang kenal bang Marvel dari dia masih dalam kandungan, seharusnya lebih tahu apa yang bang Marvel butuhin. apa yang buat dia bahagia dan apa yang buat dia sedih. seharusnya om bisa jadi sosok pelindungnya bukan jadi sosok yang ia takuti keberadaannya.”

“Dia juga manusia, punya titik lelahnya. bukan robot yang nggak punya rasa. saya di sini cuma nggak mau om nyesel nantinya karena sifat om yang keras sama bang Marvel.”

“Tolong turunin ego yang om punya, apalagi ini buat anak sendiri.”

Hasan membuang mukanya lalu berdiri, “Maaf sekali lagi kalau lancang om. kalau om sayang bang Marvel seharusnya om bisa belajar dari kejadian ini. saya permisi ya om.”

Hasan kemudian pergi meninggalkan Tama yang kini hanya diam dengan tatapan kosongnya sendirian.