Selesai
Sunyi. hanya itu yang bisa dikatakan dari suasana kamar yang berisi dua insan muda yang saling membuang muka. saling membelakangi tanpa mau memulai aksi untuk menepati janji menyelesaikan masalah hari ini.
Hasan masih setia pada ponsel tipisnya yang padahal hanya dinyalakan lalu dimatikan kembali, berulang-ulang. sedangkan Jevana kembali membaca buku yang tadi sempat di lempar kasar oleh Hasan. mencoba menaruh fokus pada buku itu yang jelas sekali sangat susah, karena sekarang pikirannya telah bercabang kemana-mana.
Dua anak adam itu masih teguh pada pendiriannya untuk saling diam, saling termakan ego yang entah kapan bisa mereka kalahkan. sampai pada akhirnya, Jevana memulai pembicaraan karena ia sendiri sadar bahwa awal masalah ini karena dirinya yang tidak bisa mengontrol emosi.
“Maaf,” ujar Jevana pelan dan singkat, namun Hasan masih bisa mendengar jelas. dimatikannya ponsel itu seutuhnya lalu diletakkannya benda pipih itu pada meja belajarnya. kemudian ia menoleh, menatap lelaki yang kini juga tengah menatap dirinya. ia mengangguk-angguk, “Gua juga minta maaf.”
Tubuhnya ia bangkitkan dari kursi yang sedari tadi ia duduki menuju ranjang tepat di seberang ranjang yang sedang ditempati Jevana. ditatapnya mata pemuda itu lekat-lekat. “Maafin kalau kata-kata gua tadi bikin lo sakit hati, maaf juga buat luka yang gua beri kemarin malam,” ucap Hasan.
Jevana mengangguk, “Gue yang salah udah mancing duluan kemarin...dan tadi.” Hasan tersenyum masam, “Iya nggak apa.”
Setelahnya, kedua pemuda itu kembali diam. kembali bingung harus berbicara apa setelah mereka merubah title yang tadinya bertengkar menjadi berbaikan. Hasan kemudian merebahkan tubuhnya, menatap papan kayu yang menjadi alas kasur yang berada di atas.
“Kakak lo begitu karena dia sayang sama lo San,” ujar Jevana tiba-tiba yang mampu merebut atensinya tadi. ia hanya mengangkat sebelah alisnya tanda ia tidak mengerti.
“Lo harus tahu, seorang kakak pasti secara nggak sadar ingin memiliki rasa ingin menjadi teladan buat adiknya, menjadi contoh yang baik buat adik-adiknya. menjadi seseorang yang bisa diandalkan nantinya kala adik-adiknya kesusahan. dan menjadi pundak untuk adik-adiknya bersandar kelak.”
“Menjadi seorang kakak itu nggak mudah San, dia adalah harapan pertama, dan title anak pertama itu tidak semenyenangkan dari yang dipikirkan orang-orang. dia selalu merasa dia harus bisa segalanya, dia harus sempurna dimanapun dia berada, agar orang tuanya tidak kecewa, agar orang tuanya tidak malu nantinya. dia adalah contoh pertama untuk adik-adiknya. dia juga harus suka rela membagi kasih sayang yang dia dapat selama ini untuk adiknya, menjadi tumpuan orang tua itu nggak enak.”
Hasan diam, memori tentang sang kakak yang sering ia pergoki tertidur di meja belajarnya, yang lebih memilih berdiam di kamar membaca buku daripada bermain game bersamanya, dan yang diam-diam menangis di kamar mandi.
“Tapi seorang kakak yang sempurna itu semacam beban untuk adiknya,” ucap Hasan pelan. “ia yang terlalu sempurna sangat susah untuk di susul keberadaannya. menjadi patokan sukses orang tua, yang dimana nggak setiap anak mempunyai kemampuan yang sama.”
“Dipaksa menyusul apa yang nggak mau kita susul itu capek Jev, tujuh belas tahun gua hidup, gua belum bisa nemuin apa yang gua mau, apa yang gua bisa, karena selama ini gua cuma ngikutin langkah kakak kemana, dia kesana gua kesana, dia kesini gua ikut kesini,dia bisa maka gua harus bisa, dia nggak bisa? gua tetep harus bisa karena gua harapan terakhir.”
“Capek, dituntut untuk jadi yang sama itu capek. apa ayah gua nggak mau liat gua sebagai Hasan ya? sebagai anak keduanya yang juga bisa diandalkan dengan caranya sendiri, yang juga bisa dibanggakkan dengan kemampuannya sendiri.”
Jevana diam mendengarkan Hasan berceloteh panjang, pikirannya berkelana memunculkan wajah dengan penuh tawa adiknya yang selama ini selalu menampilkan senyum di depannya, yang selalu baik-baik saja di hadapannya. apa iya Ken juga ngerasa yang sama kayak Hasan? apa iya dia merasa terbebani dengan sikap ambis gue ini? apa dia merasa dituntut? batin Jevana.
“Gitu ya…” lirih Jevana ia gigit bibirnya pelan perasaannya sedikit teriris setelah mendengar penuturan dalam sudut pandang sebagai seorang adik. Hasan hanya mengangguk pelan sebagai jawaban.
“Dan ya apa yang gua ceritain tadi itu, emang bikin gua jadi sedikit emosional, gua merasa orang-orang nggak percaya kalau gua bisa, selalu natap gua sebelah mata. ya walau tatapan itu udah kayak makanan gua sehari-hari sih,” Hasan tertawa, lebih tepatnya menertawai dirinya sendiri. “makanya ucapan lo kemarin bener-bener bikin gua sakit hati.”
“Maa-”
“Nggak apa-apa, gua juga tau lo pasti ada alasan buat ngomong sekasar itu kemarin.”
“Sekarang semua udah selesai ya,” ujar Hasan seraya menoleh menatap Jevana yang ternyata sedang menatap dirinya juga. Jevana tersenyum lalu terkekeh kecil. kemudian ia turun dari ranjangnya berjalan mendekat ke arah Hasan, seraya melayangkan satu kepalan tangan menuju Hasan.
Satu kepalan yang sama dari Hasan meninju kepalan tangan yang sudah menunggu sedari tadi, “Selesai,” jawab Jevana.
Lalu mereka tertawa, merasa malu akan kejadian beberapa waktu lalu. “Sekarang masalahnya gimana bisa kita keluar, di kunciin bang Marvel anjingggg,” geram Hasan.