Apa ini yang namanya sudah terbiasa ya?

Tubuh kecil berbalut kemeja putih dengan dasi abu-abu lengkap dengan vest coklat yang menjadi luarannya berjalan begitu santai, tidak lupa dengan senyum yang menghiasi wajah tampannya itu. langkahnya terhenti kala melihat halte bus yang akan ia datangi penuh akan penumpang yang menunggu bus. membuat niatnya urung untuk pergi ke rumah sakit dengan naik bus seperti biasanya.

Langkahnya ia bawa menuju ke sebuah gang kecil yang sudah hampir satu minggu tidak ia lewati sebab sudah hampir dua minggu ia tidak datangi panggilan dokter Januar untuk kontrol.

“Eh, Renjana?” sapa hangat seorang ibu yang sedang menyuapi anaknya makan siang dengan senyuman yang terukir jelas. dengan sedikit membungkuk Renjana tersenyum ke arahnya, “Iya bu.”

“Renjana sudah sehat ya? sudah hampir dua minggu Renjana nggak lewat sini.” Renjana tersenyum mendengarnya, hatinya begitu hangat mengetahui bahwa ada orang yang memperhatikannya. “Doakan saja ya bu,” jawab Renjana, “Renja pergi dulu ya,” lanjutnya lalu kembali melanjutkan jalannya.

Tidak hanya ibu anak satu tadi yang menyapanya, melainkan banyak sekali bapak-bapak yang sedang mengobrol di teras rumah salah seorang diantaranya ikut menyapa pemuda itu. dan Renjana akan terus menyapa balik mereka dengan begitu ramah.

Jika kalian heran mengapa banyak sekali yang menyapanya atau bahkan mengenalnya, karena siapa yang tidak mengenal Renjana? lelaki bertubuh kecil yang mempunyai hati begitu baik, juga senyum yang semanis bunga? yang jika dia tersenyum akan membawa orang-orang yang melihatnya ikut merasakan kebahagiaan juga.

Renjana, lelaki dengan tutur kata baik juga sopan santun yang selalu ia utamakan. membuat ia dikenal atau bahkan tak jarang yang sudah menganggap ia sebagai anak mereka sendiri, tak jarang Renjana juga diundang ke perjamuan makan malam yang mereka adakan setiap ada perayaan hari besar.


Langkah itu akhirnya berhenti pada bangunan besar bercat putih, tempat yang sudah ia datangi setahun belakangan ini. dengan orang-orang yang senantiasa membantunya juga.

“Renjana, sudah ditunggu dokter Januar di ruangan biasa ya,” ucap salah satu resepsionis rumah sakit kala Renjana baru saja masuk. dengan sopan Renjana mengangguk, “Terimakasih informasinya mbak Indah.”

“Renjana!” suara panggilan itu membuat langkah Renjana terhenti, lalu menoleh ke sumber suara yang ia dapati adalah dokter Januar yang tengah membawa sebuah gelas berisi air. “Akhirnya sampai juga, saya kira kamu nggak akan datang lagi.” Renjana terkekeh merasa tidak enak sudah memberi harapan palsu pada dokter Januar dua minggu belakangan ini.

“Masa saya bohong terus, haha,” jawabnya sedikit canggung sembari menggaruk rambutnya yang tidak gatal. tanpa berbasa basi lagi, dokter Januar langsung mempersilahkan Renjana masuk ke ruangannya.

“Gimana Renja?” sekarang mereka tengah duduk berhadapan dengan segelas teh hangat yang baru saja datang atas pesanan dokter Januar. Renjana menggeleng, “Tidak ada apa-apa dok, tidak ada rasa sakit lagi.”

bohong. Renjana sedang berbohong sekarang.

“Jangan bohong Renjana, saya bukan orang pintar yang bisa membaca pikiran.” Renjana menelan ludahnya kasar, “Beneran dok, tidak ada rasa sakit lagi setelah mendengar teriakan-teriakan atau suara keras. apa ini yang namanya sudah terbiasa ya?”

Dokter Januar diam. ia tahu pemuda seumuran adiknya ini tengah berbohong, sorot mata yang ia pancarkan sangat bertolak belakang dari apa yang ia ungkapkan. namun ia tidak mau memaksa Renjana untuk jujur padanya atau nanti akan mengganggu pikirannya, mungkin saat ini memilih berpura-pura tidak tahu lebih baik.

Januar mengangguk. “Baik, tapi obatnya jangan lupa diminum teratur ya Renjana? kalau nanti terasa sakit lagi, cepat hubungi saya ya?” Renjana mengangguk, sedikit tenang bahwa dokter Januar tidak bertanya lebih banyak kepadanya. “Pasti dok,” jawabnya seraya tersenyum. senyum yang selalu membuat hati Januar sakit. senyum yang begitu dipaksakan keluar oleh pemuda ini untuk menutupi duka yang tengah ia sembunyikan.

Januar tersenyum, “Baiklah, hari ini sampai disini dulu ya Renjana, kamu harus istirahat juga.” Renjana mengangguk, setelah itu pamit untuk pulang.

“Renjana, dokter harap kamu akan segera menemukan kebahagiaanmu ya?” ucap Januar setelah Renjana sudah pergi dari ruangannya.