3O6
“Sa-ya be...rat nggak?” lirih Juli yang sekarang sedang bersandar pada pundak Aruna. Aruna menggeleng pelan, “Nggak sih.” Juli tersenyum, “Sa-ya in-gat,”
Aruna menunduk, menatap surai hitam dengan wangi sabun bayi dihadapannya ini dengan satu alis terangkat, “Ingat apa?”
“Ka...lo pun-dakmu nya...man.” Aruna tersenyum. Bayangan saat Juli mengatakannya tempo lalu terulang kembali pada ingatannya. Detak jantungnya sekarang berdetak lebih cepat, ia panik. Takut bahwa pria itu mendengar detakannya.
Juli diam, ia mendengar. Ia dengar detak jantung wanita itu. Hatinya menghangat, cukup menjawab perasaannya sekarang. Sepertinya perempuan yang tengah mengatur ritme detak jantungnya itu mempunya rasa yang sama dengannya.
Tapi ia bungkam, ia lebih memilih diam takut Aruna merasa tidak enak berada di dekatnya. Semoga dugaannya benar.
“Run....”
“Ya?”
“Kalau... sa...ya per...gi, ka...mu se..se...dih nggak?” tanyanya dengan terbata dan cukup pelan, namun Aruna masih tetap mendengarnya.
“Pergi kemana sih?”
“Ke ru...mah.”
“Ke rumah doang, kenapa sedih?” belum sempat Juli membalas, namun kedua sahabatnya tiba-tiba masuk tanpa permisi.
“Et...et.... kayaknya kita masuk di waktu yang salah Sa,” ucap Bima seraya menyengir seperti tidak ada dosa. Sedangkan Aruna segera mengangkat kepala saya dan turun dari ranjang rumah sakit yang tadi kita duduki bersama.
“Panik banget Run,” goda Laksa yang langsung mendapat tatapan tajam dari Juli lantas gelak tawa kedua pria itu keluar dengan kencang. “Eh gue ke kantin dulu ya,” ucap Aruna lalu segera pergi meninggalkan ruangan.