262

Seperti mengalami deja vu, ia kembali merasakan lorong dingin rumah sakit, namun kali ini ia sendiri, tidak ada siapapun yang menemani, duduk berjongkok pada depan ruang jenazah dengan tatapan kosong. Itu yang Juli lakukan sekarang. Otaknya seperti dipaksa untuk mengerti keadaan.

Sekali lagi, ia kembali kehilangan dunianya. Ia kehilangan ayah juga adiknya secara bersamaan. Mengapa tuhan begitu jahat hingga ia harus membawa ayahnya pergi setelah sekian lama ia baru saja kembali pada pelukannya? Kenapa tuhan tega membawa adiknya juga yang menjadi sumber alasan ia tetap bertahan disini.

Dunianya sudah tidak ada, maka tidak ada lagi alasan untuk hidup. Dunianya sudah mati. Bersamaan dengan perginya sang adik dan ayahnya.

Derap langkah kaki terdengar memasuki gendang telinganya, tidak lama tubuhnya ditarik pada sebuah rengkuhan hangat dengan detak jantung yang masih berdetak cepat. Tangan lembutnya mengusap punggung Juli begitu lembut. “Yang kuat ya.” tangisnya pecah namun tak ada lagi air mata yang keluar. Dadanya begitu sesak, terlalu menghambat pasokan udara yang masuk untuk membantunya bernafas. Tidak lama pandangannya gelap dan ia tidak sadarkan diri.


“Tenang ya.” itulah sebuah kalimat yang menyambutnya pertama kali. Tubuhnya secara reflek bangkit dari tidurnya. “Tenang, Lio tenang,” ujarnya seraya mengusap lembut tangan Juli.

“Run, saya mau ketemu Juni.”


Langkahnya melemah kala melihat dua tubuh yang sudah terbujur kaku diatas ranjang, Juli tidak bisa lagi menahan kesedihannya, lantas ketika ia sudah berada tepat diantara ayah dan adiknya ia terjatuh bersimpuh di lantai, kepalanya tertunduk dengan pundak yang kembali bergetar.

Ia menoleh ke arah Juni dan Raihan secara bergantian, mengamati wajah yang tengah tertidur dengan damai itu saksama agar ia selalu ingat.

“Maaf, andai Lio nggak lupa bawa ponsel dan dompet. Pasti ayah sama Juni masih asyik nonton kartun di rumah, masih asyik makan kue pukis atau sekedar saling bertukar cerita, maaf karena keteledoran Lio kalian harus pergi.”

Ia mengusap wajahnya kasar, “Maaf..maaf....” tangisnya kembali pecah. “Lio...Lio nggak tau yah harus apa liat nggak tahu harus bagaimana nantinya, dunia Lio udah pergi semua udah nggak ada alasan lagi Lio disini.”

“Lio...nyusul aja ya?”