athiverse

2OO

Tepat setengah jam setelah ia pergi dari kafe, ia pergi ke sebuah kedai bubur ayam, membeli dua porsi bubur ayam untuk ia bawa ke rumah Juli. Takut-takut pria itu belum memasukkan makanan barang sedikit ke dalam tubuhnya. Diketuknya pintu coklat dengan tulisan ‘welcome’ yang kata Juli itu buatan Juni waktu mendapat tugas dari sekolahnya. Belum ada tanda-tanda pintu akan dibuka, membuat Aruna gelisah. Dengan sedikit ragu ia buka pintu itu.

Tidak dikunci.

Ia kembali melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, sepi. Itu yang ia rasakan. Sampai pada akhirnya netranya menangkap satu sosok sedang duduk pada bangku taman belakang, yang Aruna tebak ia sedang melamun. Ia berjalan mendekat, berusaha menyembunyikan setiap langkah agar tidak menganggu sosok disana. Dengan pelan ia menepuk pundak Juli membuat si empunya menoleh dan menggeser duduknya pelan memberi ruang kosong untuk di tempati Aruna.

“Boleh pinjam pundak?” tanya Juli tiba-tiba setelah hampir lima belas menit mereka duduk tanpa bersuara. Aruna sedikit terkejut mendengar pertanyaan Juli lalu setelahnya, “B-boleh pak.”

Setelahnya Aruna merasa pundaknya berat, merasakan beberapa helai dari surai milik Juli mengusik wajahnya. dengan sedikit keyakinan ia mengusap punggung Juli yang kini tengah melemah tidak tegak seperti biasanya. Lelaki ini masih berduka.

Pundak Juli bergetar, namun tidak ada lagi air mata yang keluar dari wajahnya, mungkin sudah begitu banyak air mata yang keluar semalam. Menyadari perubahan pada Juli, membuat Aruna lantas merengkuh tubuh yang sedang ringkih itu. Memberinya kekuatan bahwa masih ada alasan untuknya bertahan.

“Jangan terlalu larut Jul, Juni masih butuh kakaknya.” Perkataan Aruna itu tidak dibalas apapun, hanya getaran yang mulai melemah, membuat Aruna sedikit lebih tenang. Sekiranya Juli sudah tenang ia kembali bicara, “udah makan?” Juli hanya menggeleng seperti anak kecil. begitu lucu di mata Arunya walau terlihat begitu jelas kantung mata yang menghiasi wajahnya kini.

“Makan dulu ya? nanti sakit.” Setelahnya Aruna kembali ke dalam rumah, mengambil seporsi bubur yang ia beli tadi. membawanya ke hadapan Juli. “mau makan sendiri apa disuapin?”

“Suapin.” Aruna tertegun, tadi padahal ia hanya mencoba menggoda Juli namun ternyata itu dibalas serius oleh Juli. Aruna meneguk ludahnya perlahan seraya mengangkat sebuah sendok yang berisi bubur. Memasukkannya pada mulut Juli yang sudah terbuka menunggu.

Setelah makanan telah habis, Juli kembali diam. Baru saja Aruna hendak kembali ke dapur, namun tangan Juli menahannya terlebih dahulu, “Makasih Run, pundakmu nyaman. Lain kali saya boleh pinjam lagi?”

191

“Hei... adik kakak kenapa diem aja, hm?” ujar Juli kala masuk pada kamar bernuansa biru milik Juni, kamar yang tidak terlalu besar namun teramat nyaman. Direngkuhnya tubuh kecil sang adik yang masih diam ditempat tanpa peregakan sedikitpun. Dirasakannya perlahan bahu ringkih itu bergetar, pelan... namun semakin lama semakin cepat, membuat Juli kembali mengeratkan pelukannya, “Hei... udah ya?”

Juni dengan sedikit paksa melepaskan pelukan kakaknya, mengambil secarik kertas dari notes kecilnya, menuliskan sesuatu dengan tangan yang masih bergetar

Kakak, kalau mau nangis, gapapa, nangis aja. Jangan sok kuat kalau kakak sendiri lagi rapuh

Juli diam, pertahanan yang ia tahan sedari pulang untuk menenangkan Juni runtuh seketika, ia tidak tahu harus berbuat apa lagi, setengah dunianya hilang. Ia tidak mau bila setengahnya lagi ikut pergi meninggalkan dia sendiri. Ia tidak sanggup bila harus kembali ditinggal secara mendadak.

“Maaf ya? maaf kakak nahan perasaan kakak sendiri, kakak nggak mau Juni tambah sedih, tapi ketahuan juga ya? haha,” ujar Juli seraya menghapus air matanya yang sudah membasahi pipi. “kakak Cuma nggak mau ngelihat orang yang kakak sayang sedih terlalu larut. Kakak nggak mau kehilangan orang yang kakak sayang lagi.”

Juni gak akan ninggalin kakak

Juli tersenyum melihat tulisan yang Juni tulis kembali pada notesnya itu. “Janji?” Juni mengangguk mantap. Lantas kembali memeluk sang kakak. Malam ini mereka mau mengeluarkan semua sesak yang tertahan sejak tadi seraya berharap besok akan lebih baik lagi.

184

Suara decitan antara pertemuan alas kaki dengan lantai rumah sakit yang begitu dingin menggema memenuhi indra pendengar Juli, larinya semakin tergesa-gesa setelah bertanya mengenai keberadaan omanya pada resepsionis. Dadanya bergemuruh hebat, matanya sudah merah, dengan kedua tangan yang mengepal kuat.

Langkahnya terhenti setelah melihat kedua perempuan yang sekarang tengah saling berpelukan, yang Juli yakin mereka sedang berbagi kekuatan satu sama lain, dengan lemas yang berjalan mendekat, meyakinkan dirinya untuk kuat menerima apa pun yang terjadi ke depannya. “Run....” panggilnya getir.

Yang dipanggil dengan cepat menoleh dan menghapus genangan air mata yang membasahi wajahnya. “Oma... kenapa?” tanya Juli kembali. dengan susah payah Aruna kembali menahan isakannya. “O-om...oma...udah nggak...a-ada...hiks.” bagai di lempari bom, Juli membeku di tempat, ia mundur beberapa langkah, tubuhnya mendekat ke arah dinding, menumpukkan semua berat tubuhnya pada dinding dingin itu, menahan segala gejolak yang ingin keluar, menahan tangis yang bisa saja keluar tanpa henti. Tubuhnya begitu lemas, dan secara tidak sadar ia sudah terduduk lemas padal lantai rumah sakit, tatapannya kosong, tidak berminat berbicara ataupun menanggapi beberapa omongan yang keluar dari mulut Aruna ysng sebenarnya juga sulit untuk mengeluarkan sebuah kata.

Suara derap langkah kaki semakin mendekat ke arahnya. Juli tahu siapa mereka, Laksa dan Bima. Kedua pria itu langsung menghampiri Juli yang masih terduduk lemas, memeluk tubuh pria itu dengan erat, mendekapnya untuk sedikit menyalurkan rasa tenang. “Sabar Jul....”

Tidak lama, seorang dokter datang menghapiri mereka, “Apa benar ini keluarga dari ibu Dania?” semuanya lantas mengangguk, kecuali Juli yang tenaganya sekarang hanya mampu menoleh pada dokter di hadapannya sekarang.

“Maaf, kami gagal menyelamatkan nyawa ibu Diana, karena ia sampai kesini pun, dia sudah tidak bernyawa.”

“O-om...ma sakit...apa dok?” tanya Juli dengan tertatih.

“Oma kalian mengalami serangan jantung.”

Juli mendongaknya kepalanya menahan tangis agar air matanya tidak kembali keluar. Ia hanya diam, sementara Bima dengan sigap menyelesaikan segala urusan pemakaman oma. Juni hanya diam, menatap lurus ke arah ruang unit gawat darurat sesekali merasakan punggunya diusap lembut oleh Aruna.

“Jul, mau lihat oma?” tanya Bima yang baru saja kembali setelah mengurus semua administrasi. Juli mengangguk, dengan susah payah ia mencoba berdiri, “Nggak usah Sa, gue bisa sendiri kok,” ucap Juli kala Laksa berniat membantunya berjalan. “Juni mau liat oma?” tanya Juli pelan pada adiknya itu. Juni mengangguk pelan, ia segera mendorong kursi roda itu memasuki ruang unit gawat darurat tempat omanya berada.

Hawa dingin menyeruak tubuh mereka begitu memasuki ruangan, ruangan begitu sepi hanya ada oma dan mereka berdua disana. Langkah Juli melambat, tubuhnya kembali lemas saat melihat raga kaku yang tengah berbaring di kasur itu.

Diusapnya surai rambut yang hampir memutih semua dengan lembut, ditatapnya wajah damai oma yang sedang tertidur begitu nyaman. Wajahnya begitu dingin dengan lengkungan senyum yang begitu mengartikan bahwa omanya bahagia. Juli kembali menarik nafasnya dalam menahan semua yang ingin ia keluarkan, dilihatnya Juni yang tengah memeluk satu tangan sang oma seraya menangis begitu kencang, namun tidak mengeluarkan suara.

“Oma...maafin Juli ya? belum bisa jadi cucu sempurna buat oma,” ujar Juli. “terimakasih untuk lima belas tahunnya ya oma, terimakasih sudah mau menerima Juli dan Juni, untuk tetap bersama kami sampai sekarang, terimakasih atas kasih sayang yang tidak pernah kurang, terimakasih untuk menjadi rumah yang selalu menjadi tempat pulang Juli. Maaf Juli kadang masih belum nurut sama kata-kata oma, masih suka membantah, bahkan... Juli belum bisa bawain permintaan terakhir oma, kue nya ada di meja teras tempat biasa oma duduk sambil nikmatin pagi dengan secangkir teh melati kesukaan oma. Juli taruh disitu tadi, tapi...” Juli terkekeh, “oma keburu pergi, udah nggak sabar ketemu kakek disana ya? apa oma udah capek ngurusin Juli sama Juni? Udah capek ya oma... maaf kalau kehadiran Juli sama Juni membebani oma tapi dengan tepisan cepat bahwa kami adalah hadiah paling baik dari tuhan buat oma.”

Diambilnya tangan kanan dingin sang oma, digenggamnya erat lalu dikecupnya dalam guna menyalurkan rindu yang sudah merasuki hatinya. Ia tidak tahu kapan ia akan bertemu omanya lagi, ia tidak akan tahu kapan ia bisa melihat senyum hangat itu lagi, ia tidak tahu kapan ia kembali direngkuh oleh tubuh yang begitu nyaman itu lagi, ia juga tidak tahu... kapan ia akan ikhlas melihat malaikatnya pergi.”


Acara pemakaman berjalan lancar, semua pelayat yang tadi berkerumun sudah kembali. hanya tinggal lima orang yang masih sangat berduka yang masih setia berdiri mengelilingi makam. “Juni pulang yuk, udah sore, udah mau hujan juga, pulang ya sama bang bima?” ajak Bima pelan seraya mengusap pelan pundak Juni. Dengan lemah Juni mengangguk, ia juga sudah merasa begitu capek, tidak hanya tubuhnya tapi hatinya juga lelah.

Setelah Juni dan bima pergi, yang tersisa hanyalah Juli, Aruna dan juga Laksa. Mereka masih setia menunggu Juli. Namun setelahnya lelaki yang sedari tadi ditunggu malah bangkit dan pergi berlari keluar dari area pemakaman dengan mobilnya meninggalkan dua orang yang hanya bisa menatapnya dengan tatapan panik.

“Kita tunggu di rumah aja ya Run, mungkin Juli butuh waktu,” cegah Laksa kala Aruna berniat mengejar Juli. Aruna hanya diam dan menerima ajakan Laksa, mungkin Laksa benar, Juli butuh waktu.

183

Lelaki itu terduduk lemah pada teras rumah, menatap sekantong plastik bening berisikan kue pesanan omanya dengan malas. Ia bingung kemana semua penghuni rumah pergi tanpa mengabarinya dulu? Sekarang yang ia lakukan hanya duduk dan menatap kosong ke arah sepatunya yang sedari tadi tidak bisa diam, perasaannya tidak enak sedari tadi, gelisah. Takut ada kabar buruk yang akan menghampiri, namun pikiran itu dengan cepat ia tepis keberadaanya, tangannya kembali mengangkat sebuah ponsel menekan kembali tombol hijau pada roomchat Aruna, berharap kali ini si wanita menjawab panggilannya.

Satu detik...

Dua detik...

Tiga... Ah dijawab, gumamnya. Belum ia mulai bicara, namun isak tangis dari seberang sana dengan tidak sopan menyelaknya bicara, membuatnya terpaku sesaat mendengar isak tangis yang semakin besar suaranya.

“Run?” dengan Hati-hati ia paksakan suaranya keluar dengan perlahan berbanding terbalik degup jantungnya semakin cepat, “O..om...oma....” ucap Aruna dengan tertatih akibat isakannya. Membuat Juli semakin panik mendengarnya. “Kenapa? Om..oma kenapa?”

“Ju...jul...hiks....”

“Tenang... Run....” ujarnya berusaha menenangkan Aruna persetan dengan dirinya yang sudah gemetar memikirkan hal-hal buruk yang mungkin akan terjadi. Dengan cepat ia kembali masuk mobil dan keluar dari pekarangan rumah. Ia belum tahu apa yang terjadi, namun air matanya tidak bisa ia tahan lagi bahwa ia sekarang sungguh panik, “Dimana....”

“Rumah sakit Media Cahya.” Mata Juli terpejam, menahan kembali air mata yang akan keluar, membuang semua pikiran-pikiran buruk yang sekarang berkumpul di dalam kepala. “Oke.”

178

Juli turun dengan langkah malasnya, ia menuruni tangga menemui sang oma yang sedari tadi memintanya membelikan bolu kesukaannya itu sedang berbincang dengan Aruna juga Juni dengan tawa gembira yang menghiasi obrolan mereka, membuat hati Juli menghangat barang sejenak.

Ia memperlambat langkahnya menemui ketiga perempuan yang sekarang selalu membuat hatinya hangat akan perlakuan mereka. Oma perempuan terkuat yang selalu ada di samping Juli, satu-satunya orang yang selalu ada di samping Juli dan Juni, perempuan yang rela menghabiskan waktunya untuk mengurus cucunya sedari kecil tanpa mengeluh sedikit pun. Juni, gadis kecil yang menjadi penyemangat hidup Juni setelah oma, menjadi alasan Juli untuk bertahan sampai sekarang, perempuan paling tabah akan hidupnya dan seluruh dunia harus tahu bahwa Juli teramat menyanyangi adiknya itu. Dan...

Aruna, wanita yang baru saja hadir di hidupnya namun bisa membuat dirinya nyaman bila dekat dengannya. Aruna seperti mempunyai daya tarik sendiri bagi dirinya. Entah hanya sementara ia akan bersama Aruna atau akan berlangsung lebih lama? Entah. Ia berharap untuk opsi yang paling baik bagi mereka.

“Nah, ini nih yang daritadi di omongin,” ucap Oma kala Juli sudah berada di hadapan mereka bertiga. Ia hanya menaikan satu alisnya bersamaan dengan pundaknya itu.

“Tumben banget oma, mintanya buru-buru? Biasanya nanti-nantian juga nggak apa.”

“Emang nggak boleh? Toh kamu juga nganggur,” timpal Oma.

“Aku lagi bersihin kamar tuh,” jawab Juli tak mau kalah, Aruna yang mendengar perdebatan kecil antara nenek dan cucunya hanya terkekeh pelan melihatnya. “Udah sana, beliin oma kue yang biasa itu.”

Dengan malas Juli berjalan ke lemari yang menjadi sekat antara ruang keluarga dengan meja makan, mengambil kunci mobilnya dan berjalan kembali ke tempat dimana omanya sedang memperhatikannya dari jauh. “Pergi dulu ya oma,”

“Iya hati-hati, jangan kelamaan. Nanti kuenya nggak keburu oma makan.” Juli lantas menoleh kembali pada omanya, “Emang mau kemana deh?”

“Tidur.”

“Yah, kalau itu mah, sore juga masih bisa makan.”

“Udah sana beli,” usir Oma. Setelahnya suara mobil Juli terdengar meninggalkan pekarangan rumahnya.

199

Tepat setengah jam setelah ia pergi dari kafe, ia pergi ke sebuah kedai bubur ayam, membeli dua porsi bubur ayam untuk ia bawa ke rumah Juli. Takut-takut pria itu belum memasukkan makanan barang sedikit ke dalam tubuhnya. Diketuknya pintu coklat dengan tulisan ‘welcome’ yang kata Juli itu buatan Juni waktu mendapat tugas dari sekolahnya. Belum ada tanda-tanda pintu akan dibuka, membuat Aruna gelisah. Dengan sedikit ragu ia buka pintu itu.

Tidak dikunci.

Ia kembali melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, sepi. Itu yang ia rasakan. Sampai pada akhirnya netranya menangkap satu sosok sedang duduk pada bangku taman belakang, yang Aruna tebak ia sedang melamun. Ia berjalan mendekat, berusaha menyembunyikan setiap langkah agar tidak menganggu sosok disana. Dengan pelan ia menepuk pundak Juli membuat si empunya menoleh dan menggeser duduknya pelan memberi ruang kosong untuk di tempati Aruna.

“Boleh pinjam pundak?” tanya Juli tiba-tiba setelah hampir lima belas menit mereka duduk tanpa bersuara. Aruna sedikit terkejut mendengar pertanyaan Juli lalu setelahnya, “B-boleh pak.”

Setelahnya Aruna merasa pundaknya berat, merasakan beberapa helai dari surai milik Juli mengusik wajahnya. dengan sedikit keyakinan ia mengusap punggung Juli yang kini tengah melemah tidak tegak seperti biasanya. Lelaki ini masih berduka.

Pundak Juli bergetar, namun tidak ada lagi air mata yang keluar dari wajahnya, mungkin sudah begitu banyak air mata yang keluar semalam. Menyadari perubahan pada Juli, membuat Aruna lantas merengkuh tubuh yang sedang ringkih itu. Memberinya kekuatan bahwa masih ada alasan untuknya bertahan.

“Jangan terlalu larut Jul, Juni masih butuh kakaknya.” Perkataan Aruna itu tidak dibalas apapun, hanya getaran yang mulai melemah, membuat Aruna sedikit lebih tenang. Sekiranya Juli sudah tenang ia kembali bicara, “udah makan?” Juli hanya menggeleng seperti anak kecil. begitu lucu di mata Arunya walau terlihat begitu jelas kantung mata yang menghiasi wajahnya kini.

“Makan dulu ya? nanti sakit.” Setelahnya Aruna kembali ke dalam rumah, mengambil seporsi bubur yang ia beli tadi. membawanya ke hadapan Juli. “mau makan sendiri apa disuapin?”

“Suapin.” Aruna tertegun, tadi padahal ia hanya mencoba menggoda Juli namun ternyata itu dibalas serius oleh Juli. Aruna meneguk ludahnya perlahan seraya mengangkat sebuah sendok yang berisi bubur. Memasukkannya pada mulut Juli yang sudah terbuka menunggu.

Setelah makanan telah habis, Juli kembali diam. Baru saja Aruna hendak kembali ke dapur, namun tangan Juli menahannya terlebih dahulu, “Makasih Run, pundakmu nyaman. Lain kali saya boleh pinjam lagi?”

19O

“Hei... adik kakak kenapa diem aja, hm?” ujar Juli kala masuk pada kamar bernuansa biru milik Juni, kamar yang tidak terlalu besar namun teramat nyaman. Direngkuhnya tubuh kecil sang adik yang masih diam ditempat tanpa peregakan sedikitpun. Dirasakannya perlahan bahu ringkih itu bergetar, pelan... namun semakin lama semakin cepat, membuat Juli kembali mengeratkan pelukannya, “Hei... udah ya?”

Juni dengan sedikit paksa melepaskan pelukan kakaknya, mengambil secarik kertas dari notes kecilnya, menuliskan sesuatu dengan tangan yang masih bergetar

Kakak, kalau mau nangis, gapapa, nangis aja. Jangan sok kuat kalau kakak sendiri lagi rapuh

Juli diam, pertahanan yang ia tahan sedari pulang untuk menenangkan Juni runtuh seketika, ia tidak tahu harus berbuat apa lagi, setengah dunianya hilang. Ia tidak mau bila setengahnya lagi ikut pergi meninggalkan dia sendiri. Ia tidak sanggup bila harus kembali ditinggal secara mendadak.

“Maaf ya? maaf kakak nahan perasaan kakak sendiri, kakak nggak mau Juni tambah sedih, tapi ketahuan juga ya? haha,” ujar Juli seraya menghapus air matanya yang sudah membasahi pipi. “kakak Cuma nggak mau ngelihat orang yang kakak sayang sedih terlalu larut. Kakak nggak mau kehilangan orang yang kakak sayang lagi.”

Juni gak akan ninggalin kakak

Juli tersenyum melihat tulisan yang Juni tulis kembali pada notesnya itu. “Janji?” Juni mengangguk mantap. Lantas kembali memeluk sang kakak. Malam ini mereka mau mengeluarkan semua sesak yang tertahan sejak tadi seraya berharap besok akan lebih baik lagi.

183

Suara decitan antara pertemuan alas kaki dengan lantai rumah sakit yang begitu dingin menggema memenuhi indra pendengar Juli, larinya semakin tergesa-gesa setelah bertanya mengenai keberadaan omanya pada resepsionis. Dadanya bergemuruh hebat, matanya sudah merah, dengan kedua tangan yang mengepal kuat.

Langkahnya terhenti setelah melihat kedua perempuan yang sekarang tengah saling berpelukan, yang Juli yakin mereka sedang berbagi kekuatan satu sama lain, dengan lemas yang berjalan mendekat, meyakinkan dirinya untuk kuat menerima apa pun yang terjadi ke depannya. “Run....” panggilnya getir.

Yang dipanggil dengan cepat menoleh dan menghapus genangan air mata yang membasahi wajahnya. “Oma... kenapa?” tanya Juli kembali. dengan susah payah Aruna kembali menahan isakannya. “O-om...oma...udah nggak...a-ada...hiks.” bagai di lempari bom, Juli membeku di tempat, ia mundur beberapa langkah, tubuhnya mendekat ke arah dinding, menumpukkan semua berat tubuhnya pada dinding dingin itu, menahan segala gejolak yang ingin keluar, menahan tangis yang bisa saja keluar tanpa henti. Tubuhnya begitu lemas, dan secara tidak sadar ia sudah terduduk lemas padal lantai rumah sakit, tatapannya kosong, tidak berminat berbicara ataupun menanggapi beberapa omongan yang keluar dari mulut Aruna ysng sebenarnya juga sulit untuk mengeluarkan sebuah kata.

Suara derap langkah kaki semakin mendekat ke arahnya. Juli tahu siapa mereka, Laksa dan Bima. Kedua pria itu langsung menghampiri Juli yang masih terduduk lemas, memeluk tubuh pria itu dengan erat, mendekapnya untuk sedikit menyalurkan rasa tenang. “Sabar Jul....”

Tidak lama, seorang dokter datang menghapiri mereka, “Apa benar ini keluarga dari ibu Dania?” semuanya lantas mengangguk, kecuali Juli yang tenaganya sekarang hanya mampu menoleh pada dokter di hadapannya sekarang.

“Maaf, kami gagal menyelamatkan nyawa ibu Diana, karena ia sampai kesini pun, dia sudah tidak bernyawa.”

“O-om...ma sakit...apa dok?” tanya Juli dengan tertatih.

“Oma kalian mengalami serangan jantung.”

Juli mendongaknya kepalanya menahan tangis agar air matanya tidak kembali keluar. Ia hanya diam, sementara Bima dengan sigap menyelesaikan segala urusan pemakaman oma. Juni hanya diam, menatap lurus ke arah ruang unit gawat darurat sesekali merasakan punggunya diusap lembut oleh Aruna.

“Jul, mau lihat oma?” tanya Bima yang baru saja kembali setelah mengurus semua administrasi. Juli mengangguk, dengan susah payah ia mencoba berdiri, “Nggak usah Sa, gue bisa sendiri kok,” ucap Juli kala Laksa berniat membantunya berjalan. “Juni mau liat oma?” tanya Juli pelan pada adiknya itu. Juni mengangguk pelan, ia segera mendorong kursi roda itu memasuki ruang unit gawat darurat tempat omanya berada.

Hawa dingin menyeruak tubuh mereka begitu memasuki ruangan, ruangan begitu sepi hanya ada oma dan mereka berdua disana. Langkah Juli melambat, tubuhnya kembali lemas saat melihat raga kaku yang tengah berbaring di kasur itu.

Diusapnya surai rambut yang hampir memutih semua dengan lembut, ditatapnya wajah damai oma yang sedang tertidur begitu nyaman. Wajahnya begitu dingin dengan lengkungan senyum yang begitu mengartikan bahwa omanya bahagia. Juli kembali menarik nafasnya dalam menahan semua yang ingin ia keluarkan, dilihatnya Juni yang tengah memeluk satu tangan sang oma seraya menangis begitu kencang, namun tidak mengeluarkan suara.

“Oma...maafin Juli ya? belum bisa jadi cucu sempurna buat oma,” ujar Juli. “terimakasih untuk lima belas tahunnya ya oma, terimakasih sudah mau menerima Juli dan Juni, untuk tetap bersama kami sampai sekarang, terimakasih atas kasih sayang yang tidak pernah kurang, terimakasih untuk menjadi rumah yang selalu menjadi tempat pulang Juli. Maaf Juli kadang masih belum nurut sama kata-kata oma, masih suka membantah, bahkan... Juli belum bisa bawain permintaan terakhir oma, kue nya ada di meja teras tempat biasa oma duduk sambil nikmatin pagi dengan secangkir teh melati kesukaan oma. Juli taruh disitu tadi, tapi...” Juli terkekeh, “oma keburu pergi, udah nggak sabar ketemu kakek disana ya? apa oma udah capek ngurusin Juli sama Juni? Udah capek ya oma... maaf kalau kehadiran Juli sama Juni membebani oma tapi dengan tepisan cepat bahwa kami adalah hadiah paling baik dari tuhan buat oma.”

Diambilnya tangan kanan dingin sang oma, digenggamnya erat lalu dikecupnya dalam guna menyalurkan rindu yang sudah merasuki hatinya. Ia tidak tahu kapan ia akan bertemu omanya lagi, ia tidak akan tahu kapan ia bisa melihat senyum hangat itu lagi, ia tidak tahu kapan ia kembali direngkuh oleh tubuh yang begitu nyaman itu lagi, ia juga tidak tahu... kapan ia akan ikhlas melihat malaikatnya pergi.”


Acara pemakaman berjalan lancar, semua pelayat yang tadi berkerumun sudah kembali. hanya tinggal lima orang yang masih sangat berduka yang masih setia berdiri mengelilingi makam. “Juni pulang yuk, udah sore, udah mau hujan juga, pulang ya sama bang bima?” ajak Bima pelan seraya mengusap pelan pundak Juni. Dengan lemah Juni mengangguk, ia juga sudah merasa begitu capek, tidak hanya tubuhnya tapi hatinya juga lelah.

Setelah Juni dan bima pergi, yang tersisa hanyalah Juli, Aruna dan juga Laksa. Mereka masih setia menunggu Juli. Namun setelahnya lelaki yang sedari tadi ditunggu malah bangkit dan pergi berlari keluar dari area pemakaman dengan mobilnya meninggalkan dua orang yang hanya bisa menatapnya dengan tatapan panik.

“Kita tunggu di rumah aja ya Run, mungkin Juli butuh waktu,” cegah Laksa kala Aruna berniat mengejar Juli. Aruna hanya diam dan menerima ajakan Laksa, mungkin Laksa benar, Juli butuh waktu.

182

Lelaki itu terduduk lemah pada teras rumah, menatap sekantong plastik bening berisikan kue pesanan omanya dengan malas. Ia bingung kemana semua penghuni rumah pergi tanpa mengabarinya dulu? Sekarang yang ia lakukan hanya duduk dan menatap kosong ke arah sepatunya yang sedari tadi tidak bisa diam, perasaannya tidak enak sedari tadi, gelisah. Takut ada kabar buruk yang akan menghampiri, namun pikiran itu dengan cepat ia tepis keberadaanya, tangannya kembali mengangkat sebuah ponsel menekan kembali tombol hijau pada roomchat Aruna, berharap kali ini si wanita menjawab panggilannya.

Satu detik...

Dua detik...

Tiga... Ah dijawab, gumamnya. Belum ia mulai bicara, namun isak tangis dari seberang sana dengan tidak sopan menyelaknya bicara, membuatnya terpaku sesaat mendengar isak tangis yang semakin besar suaranya.

“Run?” dengan Hati-hati ia paksakan suaranya keluar dengan perlahan berbanding terbalik degup jantungnya semakin cepat, “O..om...oma....” ucap Aruna dengan tertatih akibat isakannya. Membuat Juli semakin panik mendengarnya. “Kenapa? Om..oma kenapa?”

“Ju...jul...hiks....”

“Tenang... Run....” ujarnya berusaha menenangkan Aruna persetan dengan dirinya yang sudah gemetar memikirkan hal-hal buruk yang mungkin akan terjadi. Dengan cepat ia kembali masuk mobil dan keluar dari pekarangan rumah. Ia belum tahu apa yang terjadi, namun air matanya tidak bisa ia tahan lagi bahwa ia sekarang sungguh panik, “Dimana....”

“Rumah sakit Media Cahya.” Mata Juli terpejam, menahan kembali air mata yang akan keluar, membuang semua pikiran-pikiran buruk yang sekarang berkumpul di dalam kepala. “Oke.”

182

Lelaki itu terduduk lemah pada teras rumah, menatap sekantong plastik bening berisikan kue pesanan omanya dengan malas. Ia bingung kemana semua penghuni rumah pergi tanpa mengabarinya dulu? Sekarang yang ia lakukan hanya duduk dan menatap kosong ke arah sepatunya yang sedari tadi tidak bisa diam, perasaannya tidak enak sedari tadi, gelisah. Takut ada kabar buruk yang akan menghampiri, namun pikiran itu dengan cepat ia tepis keberadaanya, tangannya kembali mengangkat sebuah ponsel menekan kembali tombol hijau pada roomchat Aruna, berharap kali ini si wanita menjawab panggilannya.

Satu detik...

Dua detik...

Tiga... Ah dijawab, gumamnya. Belum ia mulai bicara, namun isak tangis dari seberang sana dengan tidak sopan menyelaknya bicara, membuatnya terpaku sesaat mendengar isak tangis yang semakin besar suaranya.

“Run?” dengan Hati-hati ia paksakan suaranya keluar dengan perlahan berbanding terbalik degup jantungnya semakin cepat, “O..om...oma....” ucap Aruna dengan tertatih akibat isakannya. Membuat Juli semakin panik mendengarnya. “Kenapa? Om..oma kenapa?”

“Ju...jul...hiks....”

“Tenang... Run....” ujarnya berusaha menenangkan Aruna persetan dengan dirinya yang sudah gemetar memikirkan hal-hal buruk yang mungkin akan terjadi. Dengan cepat ia kembali masuk mobil dan keluar dari pekarangan rumah. Ia belum tahu apa yang terjadi, namun air matanya tidak bisa ia tahan lagi bahwa ia sekarang sungguh panik, “Dimana....”

“Rumah sakit Media Cahya.” Mata Juli terpejam, menahan kembali air mata yang akan keluar, membuang semua pikiran-pikiran buruk yang sekarang berkumpul di dalam kepala. “Oke.”