182

Lelaki itu terduduk lemah pada teras rumah, menatap sekantong plastik bening berisikan kue pesanan omanya dengan malas. Ia bingung kemana semua penghuni rumah pergi tanpa mengabarinya dulu? Sekarang yang ia lakukan hanya duduk dan menatap kosong ke arah sepatunya yang sedari tadi tidak bisa diam, perasaannya tidak enak sedari tadi, gelisah. Takut ada kabar buruk yang akan menghampiri, namun pikiran itu dengan cepat ia tepis keberadaanya, tangannya kembali mengangkat sebuah ponsel menekan kembali tombol hijau pada roomchat Aruna, berharap kali ini si wanita menjawab panggilannya.

Satu detik...

Dua detik...

Tiga... Ah dijawab, gumamnya. Belum ia mulai bicara, namun isak tangis dari seberang sana dengan tidak sopan menyelaknya bicara, membuatnya terpaku sesaat mendengar isak tangis yang semakin besar suaranya.

“Run?” dengan Hati-hati ia paksakan suaranya keluar dengan perlahan berbanding terbalik degup jantungnya semakin cepat, “O..om...oma....” ucap Aruna dengan tertatih akibat isakannya. Membuat Juli semakin panik mendengarnya. “Kenapa? Om..oma kenapa?”

“Ju...jul...hiks....”

“Tenang... Run....” ujarnya berusaha menenangkan Aruna persetan dengan dirinya yang sudah gemetar memikirkan hal-hal buruk yang mungkin akan terjadi. Dengan cepat ia kembali masuk mobil dan keluar dari pekarangan rumah. Ia belum tahu apa yang terjadi, namun air matanya tidak bisa ia tahan lagi bahwa ia sekarang sungguh panik, “Dimana....”

“Rumah sakit Media Cahya.” Mata Juli terpejam, menahan kembali air mata yang akan keluar, membuang semua pikiran-pikiran buruk yang sekarang berkumpul di dalam kepala. “Oke.”