184

Suara decitan antara pertemuan alas kaki dengan lantai rumah sakit yang begitu dingin menggema memenuhi indra pendengar Juli, larinya semakin tergesa-gesa setelah bertanya mengenai keberadaan omanya pada resepsionis. Dadanya bergemuruh hebat, matanya sudah merah, dengan kedua tangan yang mengepal kuat.

Langkahnya terhenti setelah melihat kedua perempuan yang sekarang tengah saling berpelukan, yang Juli yakin mereka sedang berbagi kekuatan satu sama lain, dengan lemas yang berjalan mendekat, meyakinkan dirinya untuk kuat menerima apa pun yang terjadi ke depannya. “Run....” panggilnya getir.

Yang dipanggil dengan cepat menoleh dan menghapus genangan air mata yang membasahi wajahnya. “Oma... kenapa?” tanya Juli kembali. dengan susah payah Aruna kembali menahan isakannya. “O-om...oma...udah nggak...a-ada...hiks.” bagai di lempari bom, Juli membeku di tempat, ia mundur beberapa langkah, tubuhnya mendekat ke arah dinding, menumpukkan semua berat tubuhnya pada dinding dingin itu, menahan segala gejolak yang ingin keluar, menahan tangis yang bisa saja keluar tanpa henti. Tubuhnya begitu lemas, dan secara tidak sadar ia sudah terduduk lemas padal lantai rumah sakit, tatapannya kosong, tidak berminat berbicara ataupun menanggapi beberapa omongan yang keluar dari mulut Aruna ysng sebenarnya juga sulit untuk mengeluarkan sebuah kata.

Suara derap langkah kaki semakin mendekat ke arahnya. Juli tahu siapa mereka, Laksa dan Bima. Kedua pria itu langsung menghampiri Juli yang masih terduduk lemas, memeluk tubuh pria itu dengan erat, mendekapnya untuk sedikit menyalurkan rasa tenang. “Sabar Jul....”

Tidak lama, seorang dokter datang menghapiri mereka, “Apa benar ini keluarga dari ibu Dania?” semuanya lantas mengangguk, kecuali Juli yang tenaganya sekarang hanya mampu menoleh pada dokter di hadapannya sekarang.

“Maaf, kami gagal menyelamatkan nyawa ibu Diana, karena ia sampai kesini pun, dia sudah tidak bernyawa.”

“O-om...ma sakit...apa dok?” tanya Juli dengan tertatih.

“Oma kalian mengalami serangan jantung.”

Juli mendongaknya kepalanya menahan tangis agar air matanya tidak kembali keluar. Ia hanya diam, sementara Bima dengan sigap menyelesaikan segala urusan pemakaman oma. Juni hanya diam, menatap lurus ke arah ruang unit gawat darurat sesekali merasakan punggunya diusap lembut oleh Aruna.

“Jul, mau lihat oma?” tanya Bima yang baru saja kembali setelah mengurus semua administrasi. Juli mengangguk, dengan susah payah ia mencoba berdiri, “Nggak usah Sa, gue bisa sendiri kok,” ucap Juli kala Laksa berniat membantunya berjalan. “Juni mau liat oma?” tanya Juli pelan pada adiknya itu. Juni mengangguk pelan, ia segera mendorong kursi roda itu memasuki ruang unit gawat darurat tempat omanya berada.

Hawa dingin menyeruak tubuh mereka begitu memasuki ruangan, ruangan begitu sepi hanya ada oma dan mereka berdua disana. Langkah Juli melambat, tubuhnya kembali lemas saat melihat raga kaku yang tengah berbaring di kasur itu.

Diusapnya surai rambut yang hampir memutih semua dengan lembut, ditatapnya wajah damai oma yang sedang tertidur begitu nyaman. Wajahnya begitu dingin dengan lengkungan senyum yang begitu mengartikan bahwa omanya bahagia. Juli kembali menarik nafasnya dalam menahan semua yang ingin ia keluarkan, dilihatnya Juni yang tengah memeluk satu tangan sang oma seraya menangis begitu kencang, namun tidak mengeluarkan suara.

“Oma...maafin Juli ya? belum bisa jadi cucu sempurna buat oma,” ujar Juli. “terimakasih untuk lima belas tahunnya ya oma, terimakasih sudah mau menerima Juli dan Juni, untuk tetap bersama kami sampai sekarang, terimakasih atas kasih sayang yang tidak pernah kurang, terimakasih untuk menjadi rumah yang selalu menjadi tempat pulang Juli. Maaf Juli kadang masih belum nurut sama kata-kata oma, masih suka membantah, bahkan... Juli belum bisa bawain permintaan terakhir oma, kue nya ada di meja teras tempat biasa oma duduk sambil nikmatin pagi dengan secangkir teh melati kesukaan oma. Juli taruh disitu tadi, tapi...” Juli terkekeh, “oma keburu pergi, udah nggak sabar ketemu kakek disana ya? apa oma udah capek ngurusin Juli sama Juni? Udah capek ya oma... maaf kalau kehadiran Juli sama Juni membebani oma tapi dengan tepisan cepat bahwa kami adalah hadiah paling baik dari tuhan buat oma.”

Diambilnya tangan kanan dingin sang oma, digenggamnya erat lalu dikecupnya dalam guna menyalurkan rindu yang sudah merasuki hatinya. Ia tidak tahu kapan ia akan bertemu omanya lagi, ia tidak akan tahu kapan ia bisa melihat senyum hangat itu lagi, ia tidak tahu kapan ia kembali direngkuh oleh tubuh yang begitu nyaman itu lagi, ia juga tidak tahu... kapan ia akan ikhlas melihat malaikatnya pergi.”


Acara pemakaman berjalan lancar, semua pelayat yang tadi berkerumun sudah kembali. hanya tinggal lima orang yang masih sangat berduka yang masih setia berdiri mengelilingi makam. “Juni pulang yuk, udah sore, udah mau hujan juga, pulang ya sama bang bima?” ajak Bima pelan seraya mengusap pelan pundak Juni. Dengan lemah Juni mengangguk, ia juga sudah merasa begitu capek, tidak hanya tubuhnya tapi hatinya juga lelah.

Setelah Juni dan bima pergi, yang tersisa hanyalah Juli, Aruna dan juga Laksa. Mereka masih setia menunggu Juli. Namun setelahnya lelaki yang sedari tadi ditunggu malah bangkit dan pergi berlari keluar dari area pemakaman dengan mobilnya meninggalkan dua orang yang hanya bisa menatapnya dengan tatapan panik.

“Kita tunggu di rumah aja ya Run, mungkin Juli butuh waktu,” cegah Laksa kala Aruna berniat mengejar Juli. Aruna hanya diam dan menerima ajakan Laksa, mungkin Laksa benar, Juli butuh waktu.