2OO
Tepat setengah jam setelah ia pergi dari kafe, ia pergi ke sebuah kedai bubur ayam, membeli dua porsi bubur ayam untuk ia bawa ke rumah Juli. Takut-takut pria itu belum memasukkan makanan barang sedikit ke dalam tubuhnya. Diketuknya pintu coklat dengan tulisan ‘welcome’ yang kata Juli itu buatan Juni waktu mendapat tugas dari sekolahnya. Belum ada tanda-tanda pintu akan dibuka, membuat Aruna gelisah. Dengan sedikit ragu ia buka pintu itu.
Tidak dikunci.
Ia kembali melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, sepi. Itu yang ia rasakan. Sampai pada akhirnya netranya menangkap satu sosok sedang duduk pada bangku taman belakang, yang Aruna tebak ia sedang melamun. Ia berjalan mendekat, berusaha menyembunyikan setiap langkah agar tidak menganggu sosok disana. Dengan pelan ia menepuk pundak Juli membuat si empunya menoleh dan menggeser duduknya pelan memberi ruang kosong untuk di tempati Aruna.
“Boleh pinjam pundak?” tanya Juli tiba-tiba setelah hampir lima belas menit mereka duduk tanpa bersuara. Aruna sedikit terkejut mendengar pertanyaan Juli lalu setelahnya, “B-boleh pak.”
Setelahnya Aruna merasa pundaknya berat, merasakan beberapa helai dari surai milik Juli mengusik wajahnya. dengan sedikit keyakinan ia mengusap punggung Juli yang kini tengah melemah tidak tegak seperti biasanya. Lelaki ini masih berduka.
Pundak Juli bergetar, namun tidak ada lagi air mata yang keluar dari wajahnya, mungkin sudah begitu banyak air mata yang keluar semalam. Menyadari perubahan pada Juli, membuat Aruna lantas merengkuh tubuh yang sedang ringkih itu. Memberinya kekuatan bahwa masih ada alasan untuknya bertahan.
“Jangan terlalu larut Jul, Juni masih butuh kakaknya.” Perkataan Aruna itu tidak dibalas apapun, hanya getaran yang mulai melemah, membuat Aruna sedikit lebih tenang. Sekiranya Juli sudah tenang ia kembali bicara, “udah makan?” Juli hanya menggeleng seperti anak kecil. begitu lucu di mata Arunya walau terlihat begitu jelas kantung mata yang menghiasi wajahnya kini.
“Makan dulu ya? nanti sakit.” Setelahnya Aruna kembali ke dalam rumah, mengambil seporsi bubur yang ia beli tadi. membawanya ke hadapan Juli. “mau makan sendiri apa disuapin?”
“Suapin.” Aruna tertegun, tadi padahal ia hanya mencoba menggoda Juli namun ternyata itu dibalas serius oleh Juli. Aruna meneguk ludahnya perlahan seraya mengangkat sebuah sendok yang berisi bubur. Memasukkannya pada mulut Juli yang sudah terbuka menunggu.
Setelah makanan telah habis, Juli kembali diam. Baru saja Aruna hendak kembali ke dapur, namun tangan Juli menahannya terlebih dahulu, “Makasih Run, pundakmu nyaman. Lain kali saya boleh pinjam lagi?”