19O

“Hei... adik kakak kenapa diem aja, hm?” ujar Juli kala masuk pada kamar bernuansa biru milik Juni, kamar yang tidak terlalu besar namun teramat nyaman. Direngkuhnya tubuh kecil sang adik yang masih diam ditempat tanpa peregakan sedikitpun. Dirasakannya perlahan bahu ringkih itu bergetar, pelan... namun semakin lama semakin cepat, membuat Juli kembali mengeratkan pelukannya, “Hei... udah ya?”

Juni dengan sedikit paksa melepaskan pelukan kakaknya, mengambil secarik kertas dari notes kecilnya, menuliskan sesuatu dengan tangan yang masih bergetar

Kakak, kalau mau nangis, gapapa, nangis aja. Jangan sok kuat kalau kakak sendiri lagi rapuh

Juli diam, pertahanan yang ia tahan sedari pulang untuk menenangkan Juni runtuh seketika, ia tidak tahu harus berbuat apa lagi, setengah dunianya hilang. Ia tidak mau bila setengahnya lagi ikut pergi meninggalkan dia sendiri. Ia tidak sanggup bila harus kembali ditinggal secara mendadak.

“Maaf ya? maaf kakak nahan perasaan kakak sendiri, kakak nggak mau Juni tambah sedih, tapi ketahuan juga ya? haha,” ujar Juli seraya menghapus air matanya yang sudah membasahi pipi. “kakak Cuma nggak mau ngelihat orang yang kakak sayang sedih terlalu larut. Kakak nggak mau kehilangan orang yang kakak sayang lagi.”

Juni gak akan ninggalin kakak

Juli tersenyum melihat tulisan yang Juni tulis kembali pada notesnya itu. “Janji?” Juni mengangguk mantap. Lantas kembali memeluk sang kakak. Malam ini mereka mau mengeluarkan semua sesak yang tertahan sejak tadi seraya berharap besok akan lebih baik lagi.