173
Perjalanan yang mereka tempuh menuju tempat selanjutnya kira-kira memakan waktu hampir satu setengah jam. Radio mobil dinyalakan menghindari kecanggungan yang mungkin akan menguap pada mereka berdua. “Udah sam—“ belum selesai Juli berbicara, namun dering ponsel Aruna berbunyi terlebih dahulu. “Angkat Run,” titahnya pada Aruna yang hanya melihat layar ponsel bertuliskan ‘mama’ dengan rasa malas.
Aruna hendak menolak sebelum Juli berbicara lagi, “Siapa tahu penting, angkat. Saya tunggu di sana.” Unjuknya pada sebuah warung kopi sebelum mereka melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki menuju tempat yang dituju. Aruna yang sebenarnya enggan menjawab itu lantas mengangguk, “Iya, iya sebentar ya Jul.” Setelahnya ia turun dari mobil sedikit menjauh agar suaranya tidak terdengar oleh Juli.
Cukup lama Aruna berbicara, Juli diam-diam melihatnya, ada raut kesal, marah, dan tangisan yang tertahan dari wajah cantiknya itu. Membuatnya bingung apa yang dibicarakan mereka sampai Aruna menjadi emosional seperti itu. Terlalu banyak melamun sampai-sampai Juli tidak sadar bahwa Aruna sudah berada tepat di depannya.
“Helo... Jul?” ucapnya seraya menggerakkan tangannya tepat di wajah Juli. “E-eh, udah?” Aruna mengangguk, “Udah, yuk!.”
“Wah, bagus banget asli! Kok gue baru tahu ya ada tempat seindah ini?” ujar Aruna seraya mendudukan tubuhnya menatap pantai yang di kunjungi banyak wisatawan yang sedang bermain air.
“Pantai Parangtritis memang nggak pernah mengecewakan bukan?” Aruna mengangguk, “Saya pernah ke sana, tapi kalo ke sini saya baru pertama kali.”
“Berterimakasih dong ke saya, udah bisa bawa kamu ke tempat yang bagus?” ujar Juli dengan senyum tapi pandangannya masih lurus ke depan. Aruna tersenyum, “Harus dong, makasih Julio pacar aku.”
Ucapan Aruna tadi membuat tubuh Juli menegang tiba-tiba, senyum yang tadi menghiasi wajahnya hilang terganti dengan raut wajah salah tingkah. Aruna yang puas menggoda Juli lantas tertawa terbahak-bahak di sampingnya. “Bercandaaaa.”
“Tapi kalau mau beneran juga nggak apa,” ujar Juli yang sekarang gantian, wajah Aruna lah yang merona membuat Juli kembali tertawa, “Bercandaaa.” Aruna mendengus sebal, “Nggak lucu.”
“Mau disini sampai kapan?” tanya Aruna yang sekarang hanya duduk seraya memainkan botol air mineral yang sengaja mereka bawa.
“Sampai sunset, katanya sunset dari bukit paralayang itu nggak pernah mengecewakan.” Aruna hanya mengangguk-angguk saja, sejujurnya ia juga suka di sini, derai angin yang menerpa tubuh sangat menyegarkan karena di dukung dengan cuaca yang tidak begitu panas.
“Run,” panggilan Juli membuat Aruna lantas menoleh, masih mendapati pandangan Juli yang menatap lurus ke arah pantai.
“Kenapa?”
“Belum bisa berdamai ya?” Aruna hanya memicingkan matanya, belum mengerti maksud yang dibicarakan Juli, “Maksudnya?”
“Belum bisa maafin orang tuamu?” oh, tentang ini. tapi bagaimana Juli tahu ia sedang punya masalah dengan orang tuanya? Pikir Aruna.
“Tahu darimana gue ada masalah sama orang tua?”
“Lo nguping ya?” tuduh Aruna. Juli lantas menggeleng cepat. “Nggak sama sekali.”
“Terus?”
“Kamu lupa, saya yang nolongin kamu waktu itu?” Aruna menggeleng, “Inget, terus?”
“Waktu saya minta nomor mu ke Fhina, perempuan itu langsung ngejelasin apa yang terjadi tanpa saya minta, mau nyegah dia tapi dia keburu cerita semuanya,” jelas Juli yang membuat Aruna lantas melotot, “Semua? Bener-bener semua?” Juli mengangguk, “Ya, alasan kamu kabur, dan... pacarmu selingkuh.”
Persetan dengan dimana sekarang, yang jelas Aruna ingin pulang dan mematahkan jari-jari tangan Fhina yang ikut lemes dengan mulutnya itu. “Fhina awas aja lo,” gumam Aruna pelan, sangat pelan.
“Saya ngerti, kamu butuh waktu tapi jangan terlalu lama ya?”
“Orang tuamu juga pasti kangen sama anaknya ini, pasti ada alasan mereka melakukan semua ini mu—“
“Nggak usah ikut campur,” potong Aruna. Juli menghela nafas berat. Mengangguk-anggukkan kepala guna meyakinkan diri untuk terus bicara. “Mungkin mereka ada alasan buat ngelakuin ini Aruna.”
“Gue bilang nggak usah ikut campur!” pekik Aruna yang membuat beberapa wisatawan lainnya menoleh ke arah mereka. Aruna hendak bangkit dari duduknya sebelum Juli berhasil mencegahnya untuk pergi, “Hei, maaf.”
“Lo nggak tahu apa-apa Jul, jangan ikut campur,” ujarnya kali ini dengan lirih dan tangis yang kembali ia tahan, “Kalau mau nangis, ya nangis aja. Nggak ada yang kenal kamu di sini juga,” ucap Juli. Aruna menelungkupkan kepalanya pada tangan yang disanggah oleh kedua lututnya. Tak menunggu lama, pundak Aruna bergetar, dari yang pelan hingga cepat dan bersuara. Semakin keras semakin sakit Juli mendengarnya, dengan cepat ia bawa Aruna ke pelukannya.
Tangannya ia pakai untuk mengelus punggung perempuan itu berniat memberi ketenangan. “Hei, udah-udah,”
“Capek.”
“Iya-iya, maaf ya?” ujar Juli yang masih setia merengkuh tubuh kecil Aruna dalam dekapannya. Dirasa Aruna sudah mulai tenang, ia memberanikan diri untuk kembali membuka suara.
“Run, boleh saya bicara?” Aruna mengangguk, “Maaf ya kalau kamu kurang nyaman, saya Cuma mau menyampaikan pendapat saya aja.”
“Setiap orang tua pasti menginginkan kebaikan untuk anaknya, menginginkan semua serba sempurna untuk anaknya, menginginkan bahwa yang menjaga anaknya adalah pria yang paling bertanggung jawab dan paling baik untuk masa depannya kelak, walau kadang caranya yang salah namun percaya deh, saya yakin orang tuamu itu orang ba—“
“Lo nggak tahu orang tua gue kayak gimana Jul, dikekang tiap hari, dipaksa ini dipaksa itu, diatur buat semua yang mereka mau harus gue lakuin, bahkan sampe calon pun mereka ga mempercayai gue? Nggak habis pikir gue, capek. Bahkan gue baru tahu seberapa kejamnya orang tua gue memperlakukan setiap pacar gue yang mau membawa gue ke hubungan yang lebih serius lagi. Entah diancam, disiksa, difitnah, yang membuat gue terus-terusan gagal dalam hubungan. Gue bener-bener malu dan hilang muka di hadapan mereka semua.”
Juli cukup terkejut mendapati hal yang cukup diluar dugaannya, ia tidak menyangka bahwa orang tua Aruna terlalu kelewat batasnya. Dengan ragu ia kembali bicara, “Tapi yang terakhir, dia selingkuh kan?”
Aruna mengangguk, “Salah satunya karena tekanan dari orang tua gue. Makanya setelah gue tahu semua kelakuan orang tua gue, gue langsung pergi dari tempat itu. Dan bodohnya entah pikiran dari mana gue bisa berpikir untuk mengakhiri hidup gue sendiri,” ujarnya. “makasih Jul, udah nyelametin gue.”
Juli tersenyum, “Kamu pantas bahagia Run, kamu boleh kasih hatimu waktu, tapi jangan terlalu lama ya? saya yakin orang tuamu sudah merasa menyesal.” Aruna mengangguk, “Pasti.”
“Boleh saya minta sesuatu?” Aruna sekarang menoleh pada Juli. “Apa?”
“Gunain ‘saya’ aja ya kalau bicara sama saya, agak aneh saya denger kamu ngomong ‘gue’ ke saya.” Aruna diam, baru menyadari kalau setiap ia bersama Juli, ia selalu memakai ‘saya-kamu’ dalam pembicaraan mereka.
Dengan malu Aruna mengangguk, “I-iya.”