athiverse

177

Juli turun dengan langkah malasnya, ia menuruni tangga menemui sang oma yang sedari tadi memintanya membelikan bolu kesukaannya itu sedang berbincang dengan Aruna juga Juni dengan tawa gembira yang menghiasi obrolan mereka, membuat hati Juli menghangat barang sejenak.

Ia memperlambat langkahnya menemui ketiga perempuan yang sekarang selalu membuat hatinya hangat akan perlakuan mereka. Oma perempuan terkuat yang selalu ada di samping Juli, satu-satunya orang yang selalu ada di samping Juli dan Juni, perempuan yang rela menghabiskan waktunya untuk mengurus cucunya sedari kecil tanpa mengeluh sedikit pun. Juni, gadis kecil yang menjadi penyemangat hidup Juni setelah oma, menjadi alasan Juli untuk bertahan sampai sekarang, perempuan paling tabah akan hidupnya dan seluruh dunia harus tahu bahwa Juli teramat menyanyangi adiknya itu. Dan...

Aruna, wanita yang baru saja hadir di hidupnya namun bisa membuat dirinya nyaman bila dekat dengannya. Aruna seperti mempunyai daya tarik sendiri bagi dirinya. Entah hanya sementara ia akan bersama Aruna atau akan berlangsung lebih lama? Entah. Ia berharap untuk opsi yang paling baik bagi mereka.

“Nah, ini nih yang daritadi di omongin,” ucap Oma kala Juli sudah berada di hadapan mereka bertiga. Ia hanya menaikan satu alisnya bersamaan dengan pundaknya itu.

“Tumben banget oma, mintanya buru-buru? Biasanya nanti-nantian juga nggak apa.”

“Emang nggak boleh? Toh kamu juga nganggur,” timpal Oma.

“Aku lagi bersihin kamar tuh,” jawab Juli tak mau kalah, Aruna yang mendengar perdebatan kecil antara nenek dan cucunya hanya terkekeh pelan melihatnya. “Udah sana, beliin oma kue yang biasa itu.”

Dengan malas Juli berjalan ke lemari yang menjadi sekat antara ruang keluarga dengan meja makan, mengambil kunci mobilnya dan berjalan kembali ke tempat dimana omanya sedang memperhatikannya dari jauh. “Pergi dulu ya oma,”

“Iya hati-hati, jangan kelamaan. Nanti kuenya nggak keburu oma makan.” Juli lantas menoleh kembali pada omanya, “Emang mau kemana deh?”

“Tidur.”

“Yah, kalau itu mah, sore juga masih bisa makan.”

“Udah sana beli,” usir Oma. Setelahnya suara mobil Juli terdengar meninggalkan pekarangan rumahnya.

173

Perjalanan yang mereka tempuh menuju tempat selanjutnya kira-kira memakan waktu hampir satu setengah jam. Radio mobil dinyalakan menghindari kecanggungan yang mungkin akan menguap pada mereka berdua. “Udah sam—“ belum selesai Juli berbicara, namun dering ponsel Aruna berbunyi terlebih dahulu. “Angkat Run,” titahnya pada Aruna yang hanya melihat layar ponsel bertuliskan ‘mama’ dengan rasa malas.

Aruna hendak menolak sebelum Juli berbicara lagi, “Siapa tahu penting, angkat. Saya tunggu di sana.” Unjuknya pada sebuah warung kopi sebelum mereka melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki menuju tempat yang dituju. Aruna yang sebenarnya enggan menjawab itu lantas mengangguk, “Iya, iya sebentar ya Jul.” Setelahnya ia turun dari mobil sedikit menjauh agar suaranya tidak terdengar oleh Juli.

Cukup lama Aruna berbicara, Juli diam-diam melihatnya, ada raut kesal, marah, dan tangisan yang tertahan dari wajah cantiknya itu. Membuatnya bingung apa yang dibicarakan mereka sampai Aruna menjadi emosional seperti itu. Terlalu banyak melamun sampai-sampai Juli tidak sadar bahwa Aruna sudah berada tepat di depannya.

“Helo... Jul?” ucapnya seraya menggerakkan tangannya tepat di wajah Juli. “E-eh, udah?” Aruna mengangguk, “Udah, yuk!.”


“Wah, bagus banget asli! Kok gue baru tahu ya ada tempat seindah ini?” ujar Aruna seraya mendudukan tubuhnya menatap pantai yang di kunjungi banyak wisatawan yang sedang bermain air.

“Pantai Parangtritis memang nggak pernah mengecewakan bukan?” Aruna mengangguk, “Saya pernah ke sana, tapi kalo ke sini saya baru pertama kali.”

“Berterimakasih dong ke saya, udah bisa bawa kamu ke tempat yang bagus?” ujar Juli dengan senyum tapi pandangannya masih lurus ke depan. Aruna tersenyum, “Harus dong, makasih Julio pacar aku.”

Ucapan Aruna tadi membuat tubuh Juli menegang tiba-tiba, senyum yang tadi menghiasi wajahnya hilang terganti dengan raut wajah salah tingkah. Aruna yang puas menggoda Juli lantas tertawa terbahak-bahak di sampingnya. “Bercandaaaa.”

“Tapi kalau mau beneran juga nggak apa,” ujar Juli yang sekarang gantian, wajah Aruna lah yang merona membuat Juli kembali tertawa, “Bercandaaa.” Aruna mendengus sebal, “Nggak lucu.”

“Mau disini sampai kapan?” tanya Aruna yang sekarang hanya duduk seraya memainkan botol air mineral yang sengaja mereka bawa.

“Sampai sunset, katanya sunset dari bukit paralayang itu nggak pernah mengecewakan.” Aruna hanya mengangguk-angguk saja, sejujurnya ia juga suka di sini, derai angin yang menerpa tubuh sangat menyegarkan karena di dukung dengan cuaca yang tidak begitu panas.

“Run,” panggilan Juli membuat Aruna lantas menoleh, masih mendapati pandangan Juli yang menatap lurus ke arah pantai.

“Kenapa?”

“Belum bisa berdamai ya?” Aruna hanya memicingkan matanya, belum mengerti maksud yang dibicarakan Juli, “Maksudnya?”

“Belum bisa maafin orang tuamu?” oh, tentang ini. tapi bagaimana Juli tahu ia sedang punya masalah dengan orang tuanya? Pikir Aruna.

“Tahu darimana gue ada masalah sama orang tua?”

“Lo nguping ya?” tuduh Aruna. Juli lantas menggeleng cepat. “Nggak sama sekali.”

“Terus?”

“Kamu lupa, saya yang nolongin kamu waktu itu?” Aruna menggeleng, “Inget, terus?”

“Waktu saya minta nomor mu ke Fhina, perempuan itu langsung ngejelasin apa yang terjadi tanpa saya minta, mau nyegah dia tapi dia keburu cerita semuanya,” jelas Juli yang membuat Aruna lantas melotot, “Semua? Bener-bener semua?” Juli mengangguk, “Ya, alasan kamu kabur, dan... pacarmu selingkuh.”

Persetan dengan dimana sekarang, yang jelas Aruna ingin pulang dan mematahkan jari-jari tangan Fhina yang ikut lemes dengan mulutnya itu. “Fhina awas aja lo,” gumam Aruna pelan, sangat pelan.

“Saya ngerti, kamu butuh waktu tapi jangan terlalu lama ya?” “Orang tuamu juga pasti kangen sama anaknya ini, pasti ada alasan mereka melakukan semua ini mu—“

“Nggak usah ikut campur,” potong Aruna. Juli menghela nafas berat. Mengangguk-anggukkan kepala guna meyakinkan diri untuk terus bicara. “Mungkin mereka ada alasan buat ngelakuin ini Aruna.”

“Gue bilang nggak usah ikut campur!” pekik Aruna yang membuat beberapa wisatawan lainnya menoleh ke arah mereka. Aruna hendak bangkit dari duduknya sebelum Juli berhasil mencegahnya untuk pergi, “Hei, maaf.”

“Lo nggak tahu apa-apa Jul, jangan ikut campur,” ujarnya kali ini dengan lirih dan tangis yang kembali ia tahan, “Kalau mau nangis, ya nangis aja. Nggak ada yang kenal kamu di sini juga,” ucap Juli. Aruna menelungkupkan kepalanya pada tangan yang disanggah oleh kedua lututnya. Tak menunggu lama, pundak Aruna bergetar, dari yang pelan hingga cepat dan bersuara. Semakin keras semakin sakit Juli mendengarnya, dengan cepat ia bawa Aruna ke pelukannya.

Tangannya ia pakai untuk mengelus punggung perempuan itu berniat memberi ketenangan. “Hei, udah-udah,”

“Capek.”

“Iya-iya, maaf ya?” ujar Juli yang masih setia merengkuh tubuh kecil Aruna dalam dekapannya. Dirasa Aruna sudah mulai tenang, ia memberanikan diri untuk kembali membuka suara.

“Run, boleh saya bicara?” Aruna mengangguk, “Maaf ya kalau kamu kurang nyaman, saya Cuma mau menyampaikan pendapat saya aja.” “Setiap orang tua pasti menginginkan kebaikan untuk anaknya, menginginkan semua serba sempurna untuk anaknya, menginginkan bahwa yang menjaga anaknya adalah pria yang paling bertanggung jawab dan paling baik untuk masa depannya kelak, walau kadang caranya yang salah namun percaya deh, saya yakin orang tuamu itu orang ba—“

“Lo nggak tahu orang tua gue kayak gimana Jul, dikekang tiap hari, dipaksa ini dipaksa itu, diatur buat semua yang mereka mau harus gue lakuin, bahkan sampe calon pun mereka ga mempercayai gue? Nggak habis pikir gue, capek. Bahkan gue baru tahu seberapa kejamnya orang tua gue memperlakukan setiap pacar gue yang mau membawa gue ke hubungan yang lebih serius lagi. Entah diancam, disiksa, difitnah, yang membuat gue terus-terusan gagal dalam hubungan. Gue bener-bener malu dan hilang muka di hadapan mereka semua.” Juli cukup terkejut mendapati hal yang cukup diluar dugaannya, ia tidak menyangka bahwa orang tua Aruna terlalu kelewat batasnya. Dengan ragu ia kembali bicara, “Tapi yang terakhir, dia selingkuh kan?”

Aruna mengangguk, “Salah satunya karena tekanan dari orang tua gue. Makanya setelah gue tahu semua kelakuan orang tua gue, gue langsung pergi dari tempat itu. Dan bodohnya entah pikiran dari mana gue bisa berpikir untuk mengakhiri hidup gue sendiri,” ujarnya. “makasih Jul, udah nyelametin gue.”

Juli tersenyum, “Kamu pantas bahagia Run, kamu boleh kasih hatimu waktu, tapi jangan terlalu lama ya? saya yakin orang tuamu sudah merasa menyesal.” Aruna mengangguk, “Pasti.”

“Boleh saya minta sesuatu?” Aruna sekarang menoleh pada Juli. “Apa?”

“Gunain ‘saya’ aja ya kalau bicara sama saya, agak aneh saya denger kamu ngomong ‘gue’ ke saya.” Aruna diam, baru menyadari kalau setiap ia bersama Juli, ia selalu memakai ‘saya-kamu’ dalam pembicaraan mereka.

Dengan malu Aruna mengangguk, “I-iya.”

158

Beberapa tamu kian lama makin bertambah banyak, mulai dari anak-anak hingga beberapa yang seumur oma pun ikut menghadiri ulang tahun wanita yang sekarang berusia enam puluh satu tahun itu. Aruna yang sedari tadi berada di teras rumah, tidak henti-henti memberi salam pada setiap orang yang datang.

“Sibuk banget mbanya, haha,” ujar lelaki bertubuh tinggi dengan tas selempang yang ia putar ke belakang, berbalut kemeja cokelat dengan celana hitam bahan membuatnya sedikit keren di mata Aruna. “Iseng banget lo godain anak orang.” kali ini yang menjawab adalah, pria bertubuh lebih pendek dari yang sebelumnya, kulitnya lebih putih membuat dia terlihat lucu di mata Aruna. “E-em, siapa ya?” tanyanya gugup.

Lantas kedua lelaki itu tertawa seraya mengulurkan tangannya bersamaan.

“Gue Laksa.”

“Bima.” Setelahnya mereka berdua bertatapan saling menukar pandangan aneh, “Gue dulu anjir.” Aruna tertawa lalu menjabat kedua tangan mereka bersamaan dengan kedua tangannya, “Aruna, salam kenal ya.”

Tidak lama kemudian, Juli keluar dengan segelas air lalu memberikannya pada Aruna, “Minum.”

“Cie elah, perhatian banget bos ku,” ujar Laksa dengan cengiran khasnya, “Loh kapan nyampe lo?” tanya Juli. “Baru aja.”

“Jul, laporan besok ya gue sibuk,” ucap Bima tiba-tiba. “soalnya abis nemenin ibu motong bebek, biasalah tanggal tujuh.”

“Lah biar kenapa dah tanggal tujuh?”

“Biar hemat.”

“Walah anjir, gue kira ibu lo ikut sekte sesat,” ujar Laksa lagi. “Cah gendeng.” Aruna hanya terkekeh melihat ketiga lelaki itu berbicara yang tanpa ia sadari mengundang perhatian ketiganya. “E-eh maaf.” “HAHA, gak apa-apa mba, santai aja.”

“Aruna aja, gue masih muda,” timpal Aruna, lantas diangguki oleh Laksa dan Bima. “Oke, ayo masuk, mau lo pada di jewer oma lagi,” ucap Juli.

Acara potong kue telah selesai, sekarang hanyalah tertinggal beberapa tetangga dan kerabat terdekat oma yang masih berada di rumah seraya berbincang-bincang santai mengenai beberapa hal, terutama tentang hubungan Juli dan Aruna.

“Baru pertama kali loh Julio bawa perempuan ke rumah, mana cantik banget,” ujar wanita yang kira-kira berumur empat puluh tahun itu dengan ramah, Aruna yang tengah duduk di tengah-tengah menjadikannya pusat perhatian pada malam ini hanya mengangguk-angguk saja. “Udah pacaran berapa lama?”

Aruna sedikit kaget akan pertanyaan yang dilontarkan padanya itu, hendak menjawab alasan-alasan yang memungkinkan tapi Juli lebih dahulu menjawabnya, “Sebulan.”

“Wah, masih baru ya, aduh jangan sampe putus ya? tante titip Julio, dia suka bandel soalnya.” Aruna hanya mengangguk-angguk menanggapi wejangan-wejangan yang diberikan, sampai perhatiannya teralih akan dua lelaki yang baru saja ia temui tadi sedang menahan tawanya yang ingin keluar kalau saja Juli tidak menginjak kedua kaki lelaki itu, membuat mereka mengaduh kesakitan dan pamit untuk keluar mencari angin.

Satu jam kemudian, para tamu sudah semua pulang, tersisa Juli dan ketiga temannya yang masih setia berbincang. “Kalau mau tidur, tidur aja biar ini Laksa sama Bima yang beresin,” ujar Juli pada Aruna yang baru saja keluar dari kamar mandi. Aruna kira teman-temannya ini akan menolaknya tetapi ia salah, “Ia Run tidur aja, biar kita yang beresin.”

Aruna mengangguk, lantas segera masuk ke kamarnya, tubuhnya sudah terasa remuk akibat terlalu lelah mengurusi berbagai macam keperluan untuk acara hari ini, mulai dari kue hingga dekorasi ia ikut turun tangan mengurusnya, dengan cepat ia segera baringkan tubuhnya dan memejamkan mata, ia ingin tidur sekarang. pub

157

Beberapa tamu kian lama makin bertambah banyak, mulai dari anak-anak hingga beberapa yang seumur oma pun ikut menghadiri ulang tahun wanita yang sekarang berusia enam puluh satu tahun itu. Aruna yang sedari tadi berada di teras rumah, tidak henti-henti memberi salam pada setiap orang yang datang.

“Sibuk banget mbanya, haha,” ujar lelaki bertubuh tinggi dengan tas selempang yang ia putar ke belakang, berbalut kemeja cokelat dengan celana hitam bahan membuatnya sedikit keren di mata Aruna. “Iseng banget lo godain anak orang.” kali ini yang menjawab adalah, pria bertubuh lebih pendek dari yang sebelumnya, kulitnya lebih putih membuat dia terlihat lucu di mata Aruna. “E-em, siapa ya?” tanyanya gugup.

Lantas kedua lelaki itu tertawa seraya mengulurkan tangannya bersamaan.

“Gue Laksa.”

“Bima.” Setelahnya mereka berdua bertatapan saling menukar pandangan aneh, “Gue dulu anjir.” Aruna tertawa lalu menjabat kedua tangan mereka bersamaan dengan kedua tangannya, “Aruna, salam kenal ya.”

Tidak lama kemudian, Juli keluar dengan segelas air lalu memberikannya pada Aruna, “Minum.”

“Cie elah, perhatian banget bos ku,” ujar Laksa dengan cengiran khasnya, “Loh kapan nyampe lo?” tanya Juli. “Baru aja.”

“Jul, laporan besok ya gue sibuk,” ucap Bima tiba-tiba. “soalnya abis nemenin ibu motong bebek, biasalah tanggal tujuh.”

“Lah biar kenapa dah tanggal tujuh?”

“Biar hemat.”

Walah anjir, gue kira ibu lo ikut sekte sesat,” ujar Laksa lagi. “Cah gendeng.” Aruna hanya terkekeh melihat ketiga lelaki itu berbicara yang tanpa ia sadari mengundang perhatian ketiganya. “E-eh maaf.” “HAHA, gak apa-apa mba, santai aja.”

“Aruna aja, gue masih muda,” timpal Aruna, lantas diangguki oleh Laksa dan Bima. “Oke, ayo masuk, mau lo pada di jewer oma lagi,” ucap Juli.

Acara potong kue telah selesai, sekarang hanyalah tertinggal beberapa tetangga dan kerabat terdekat oma yang masih berada di rumah seraya berbincang-bincang santai mengenai beberapa hal, terutama tentang hubungan Juli dan Aruna.

“Baru pertama kali loh Julio bawa perempuan ke rumah, mana cantik banget,” ujar wanita yang kira-kira berumur empat puluh tahun itu dengan ramah, Aruna yang tengah duduk di tengah-tengah menjadikannya pusat perhatian pada malam ini hanya mengangguk-angguk saja. “Udah pacaran berapa lama?”

Aruna sedikit kaget akan pertanyaan yang dilontarkan padanya itu, hendak menjawab alasan-alasan yang memungkinkan tapi Juli lebih dahulu menjawabnya, “Sebulan.”

“Wah, masih baru ya, aduh jangan sampe putus ya? tante titip Julio, dia suka bandel soalnya.” Aruna hanya mengangguk-angguk menanggapi wejangan-wejangan yang diberikan, sampai perhatiannya teralih akan dua lelaki yang baru saja ia temui tadi sedang menahan tawanya yang ingin keluar kalau saja Juli tidak menginjak kedua kaki lelaki itu, membuat mereka mengaduh kesakitan dan pamit untuk keluar mencari angin.

Satu jam kemudian, para tamu sudah semua pulang, tersisa Juli dan ketiga temannya yang masih setia berbincang. “Kalau mau tidur, tidur aja biar ini Laksa sama Bima yang beresin,” ujar Juli pada Aruna yang baru saja keluar dari kamar mandi. Aruna kira teman-temannya ini akan menolaknya tetapi ia salah, “Ia Run tidur aja, biar kita yang beresin.”

Aruna mengangguk, lantas segera masuk ke kamarnya, tubuhnya sudah terasa remuk akibat terlalu lelah mengurusi berbagai macam keperluan untuk acara hari ini, mulai dari kue hingga dekorasi ia ikut turun tangan mengurusnya, dengan cepat ia segera baringkan tubuhnya dan memejamkan mata, ia ingin tidur sekarang.

157

Beberapa tamu kian lama makin bertambah banyak, mulai dari anak-anak hingga beberapa yang seumur oma pun ikut menghadiri ulang tahun wanita yang sekarang berusia enam puluh satu tahun itu. Aruna yang sedari tadi berada di teras rumah, tidak henti-henti memberi salam pada setiap orang yang datang.

“Sibuk banget mbanya, haha,” ujar lelaki bertubuh tinggi dengan tas selempang yang ia putar ke belakang, berbalut kemeja cokelat dengan celana hitam bahan membuatnya sedikit keren di mata Aruna. “Iseng banget lo godain anak orang.” kali ini yang menjawab adalah pria bertubuh lebih pendek dari yang sebelumnya, kulitnya lebih putih membuat dia terlihat lucu di mata Aruna. “E-em, siapa ya?” tanyanya gugup.

Lantas kedua lelaki itu tertawa seraya mengulurkan tangannya bersamaan.

“Gue Laksa.”

“Bima.” Setelahnya mereka berdua bertatapan saling menukar pandangan aneh, “Gue duluan anjir.” Aruna tertawa lalu menjabat kedua tangan mereka bersamaan dengan kedua tangannya, “Aruna, salam kenal ya.”

Tidak lama kemudian, Juli keluar dengan segelas air lalu memberikannya pada Aruna, “Minum.”

“Cie elah, perhatian banget bos ku,” ujar Laksa dengan cengiran khasnya, “Loh kapan nyampe lo?” tanya Juli. “Baru aja.”

“Jul, laporan besok ya gue sibuk,” ucap Bima tiba-tiba. “soalnya abis nemenin ibu motong bebek, biasalah tanggal tujuh.”

“Lah biar kenapa dah tanggal tujuh?”

“Biar hemat.”

“Walah anjir, gue kira ibu lo ikut sekte sesat,” ujar Laksa lagi. “Cah gendeng.” Aruna hanya terkekeh melihat ketiga lelaki itu berbicara yang tanpa ia sadari mengundang perhatian ketiganya. “E-eh maaf.” “HAHA, gak apa-apa mba, santai aja.”

“Aruna aja, gue masih muda,” timpal Aruna, lantas diangguki oleh Laksa dan Bima. “Oke, ayo masuk, mau lo pada di jewer oma lagi,” ucap Juli.

Acara potong kue telah selesai, sekarang hanyalah tertinggal beberapa tetangga dan kerabat terdekat oma yang masih berada di rumah seraya berbincang-bincang santai mengenai beberapa hal, terutama tentang hubungan Juli dan Aruna.

“Baru pertama kali loh Julio bawa perempuan ke rumah, mana cantik banget,” ujar wanita yang kira-kira berumur empat puluh tahun itu dengan ramah, Aruna yang tengah duduk di tengah-tengah menjadikannya pusat perhatian pada malam ini hanya mengangguk-angguk saja. “Udah pacaran berapa lama?”

Aruna sedikit kaget akan pertanyaan yang dilontarkan padanya itu, hendak menjawab alasan-alasan yang memungkinkan tapi Juli lebih dahulu menjawabnya, “Sebulan.”

“Wah, masih baru ya, aduh jangan sampe putus ya? tante titip Julio, dia suka bandel soalnya.” Aruna hanya mengangguk-angguk menanggapi wejangan-wejangan yang diberikan, sampai perhatiannya teralih akan dua lelaki yang baru saja ia temui tadi sedang menahan tawanya yang ingin keluar kalau saja Juli tidak menginjak kedua kaki lelaki itu, membuat mereka mengaduh kesakitan dan pamit untuk keluar mencari angin.

Satu jam kemudian, para tamu sudah semua pulang, tersisa Juli dan ketiga temannya yang masih setia berbincang. “Kalau mau tidur, tidur aja biar ini Laksa sama Bima yang beresin,” ujar Juli pada Aruna yang baru saja keluar dari kamar mandi. Aruna kira teman-temannya ini akan menolaknya tetapi ia salah, “Ia Run tidur aja, biar kita yang beresin.”

Aruna mengangguk, lantas segera masuk ke kamarnya, tubuhnya sudah terasa remuk akibat terlalu lelah mengurusi berbagai macam keperluan untuk acara hari ini, mulai dari kue hingga dekorasi ia ikut turun tangan mengurusnya, dengan cepat ia segera baringkan tubuhnya dan memejamkan mata, ia ingin tidur sekarang.

143

“Juni di belakang ya, biar kakinya dilurusin oke?” ujar Juli ketika mereka sudah berada tepat di depan mobil, Juni hanya mengangguk menanggapi perkataan kakaknya.

Setelah semua barang masuk mobil, mereka segera pergi menuju rumah Aruna. Rumah Arua ternyata tidak terlalu jauh dari yang dibayangkan Juli, hanya butuh waktu setengah jam untuk sampai kesana. Dilihatnya perempuan berambut panjang tengah menunggu di depan gerbang seraya memainkan ponselnya itu. Diberhentikannya mobil tepat di depan perempuan itu seraya menurunkan kaca jendelanya.

“Naik,” ujar Juli setelah mata mereka saling bertemu, dengan gugup Aruna segera masuk ke kursi penumpang membuat Juli berdecak kesal, “emang saya supir kamu?” Aruna menggeleng cepat. “duduk depan,” titah Juli. Membuat Juni yang memperhatikan dua tingkah orang dewasa di depannya dengan kekehan kecil.

“Pak ini kita berapa hari di Yogyakarta?” tanya Aruna ketika mereka sudah berada di setengah perjalanan. “Tiga hari.” Aruna hanya mengangguk-angguk paham. “Kamu bawa baju cukup kan?”

“Iya.”

Setelah menempuh perjalanan yang memakan waktu hampir lima belas jam. Mereka sampai pada rumah bercat biru muda dengan halaman yang cukup luas di depannya. Tidak lama kemudian keluar seorang wanita yang cukup tua dari rumah dengan wajah penuh akan senyuman.

“Oma!” panggil Juli setelah menutup pintu mobilnya, sedangkan Aruna berdiri tepat di belakang Juli melihat lelaki itu dengan cepat memeluk tubuh sang oma yang berbalut daster hitam. Membuat sedikit senyum terbit pada wajahnya. Tidak lama kemudian Juli kembali ke mobil, menurunkan Juni yang sudah cemberut akibat ditinggal. “Hehe, maaf ya.”

Setelahnya mereka masuk ke dalam rumah yang sederhana namun sangat nyaman bagi Aruna. “Udah, biar Juli aja yang masukin tas-tasnya, sini kamu duduk sama oma aja ya,” ucap Oma seraya meraih tangan Aruna untuk mengajaknya duduk tepat di sampingnya. “Nama kamu siapa? Oma sampai lupa nanya,” tanya oma seraya terkekeh kecil.

Aruna tersenyum, “Aruna oma.”

“Yang langgeng ya sama Juli, oma kaget banget dia beneran ngajak perempuan kesini haha.” Aruna hanya mengangguk kecil dengan senyuman yang sedikit di paksakan, Juli yang melihat adegan tadi hanya bisa menahan tawanya ketika melihat wajah tertekan Aruna saat di hadiahi banyak pertanyaan oleh oma.

145

“Juni di belakang ya, biar kakinya dilurusin oke?” ujar Juli ketika mereka sudah berada tepat di depan mobil, Juni hanya mengangguk menanggapi perkataan kakaknya.

Setelah semua barang masuk mobil, mereka segera pergi menuju rumah Aruna. Rumah Arua ternyata tidak terlalu jauh dari yang dibayangkan Juli, hanya butuh waktu setengah jam untuk sampai kesana. Dilihatnya perempuan berambut panjang tengah menunggu di depan gerbang seraya memainkan ponselnya itu.

Diberhentikannya mobil tepat di depan perempuan itu seraya menurunkan kaca jendelanya.

“Naik,” ujar Juli setelah mata mereka saling bertemu, dengan gugup Aruna segera masuk ke kursi penumpang membuat Juli berdecak kesal, “emang saya supir kamu?” Aruna menggeleng cepat. “duduk depan,” titah Juli. Membuat Juni yang memperhatikan dua tingkah orang dewasa di depannya dengan kekehan kecil.

“Pak ini kita berapa hari di Yogyakarta?” tanya Aruna ketika mereka sudah berada di setengah perjalanan. “Lima hari.” Aruna hanya mengangguk-angguk paham. “Kamu bawa baju cukup kan?”

“Iya.”

Setelah menempuh perjalanan yang memakan waktu hampir lima belas jam. Mereka sampai pada rumah bercat biru muda dengan halaman yang cukup luas di depannya. Tidak lama kemudian keluar seorang wanita yang cukup tua dari rumah dengan wajah penuh akan senyuman.

“Oma!” panggil Juli setelah menutup pintu mobilnya, sedangkan Aruna berdiri tepat di belakang Juli melihat lelaki itu dengan cepat memeluk tubuh sang oma yang berbalut daster hitam. Membuat sedikit senyum terbit pada wajahnya. Tidak lama kemudian Juli kembali ke mobil, menurunkan Juni yang sudah cemberut akibat ditinggal. “Hehe, maaf ya.”

Setelahnya mereka masuk ke dalam rumah yang sederhana namun sangat nyaman bagi Aruna. “Udah, biar Juli aja yang masukin tas-tasnya, sini kamu duduk sama oma aja ya,” ucap Oma seraya meraih tangan Aruna untuk mengajaknya duduk tepat di sampingnya. “Nama kamu siapa? Oma sampai lupa nanya,” tanya oma seraya terkekeh kecil.

Aruna tersenyum, “Aruna oma.”

“Yang langgeng ya sama Juli, oma kaget banget dia beneran ngajak perempuan kesini haha.” Aruna hanya mengangguk kecil dengan senyuman yang sedikit di paksakan, Juli yang melihat adegan tadi hanya bisa menahan tawanya ketika melihat wajah tertekan Aruna saat di hadiahi banyak pertanyaan oleh oma. “Iya oma.”

1O1

“Caraka ada?” tanya Daiva sesampainya dia pada teman-temannya. “tadi gue nggak ketemu sama sekali di jalan.”

“Tuh anaknya lagi minum sama Raynar.” Tangan Theo menunjuk dua anak lelaki yang sedang mengambil air di sungai. “Loh kok minum di sungai? Perbekalan air kita emang habis?”

“Ada tuh di tasnya Jafar.”

“Lah terus ngapain minum air di sana, emang tahu itu air aman?” protes Daiva. Theo hanya mengedikkan bahu tanda tidak tahu, “Tahu deh, lo tanya sendiri aja sama anaknya.”

Lantas dengan cepat Daiva mengampiri dua pemuda itu, menepuk bahu mereka pelan takut-takut tersedak bila ia memanggil dengan keras. “Hei.”

Pemuda berkacamata yang memanggilnya ayah itu menoleh, menampilkan senyuman lebarnya yang sudah hampir dua hari ini menemani Daiva, “Ngapain minum di sini?”

Pemuda itu lantas ingin berbicara, namun raut wajahnya tiba-tiba berubah menampilkan gurat khawatir yang membuat Daiva bingung.

“Hei? Kenapa?” kali ini ia juga bertanya pada pemuda yang lebih muda di sebelahnya dan raut wajahnya juga menampilkan hal yang sama.

“Raynar? Kok nggak jawab?” tanyanya lagi kali ini dengan menggoyang-goyangkan tubuh Raynar, memancing perhatian lainnya untuk mengecek keadaan yang sedang terjadi.

“Ada apa sih? Rame banget.” Tanya Jafar yang sudah berada tepat di samping Daiva.

“Nggak tahu ini, Raynar sama Caraka gue tanyain nggak jawab-jawab bikin khawatir aja.”

Semuanya lantas menoleh pada Raynar yang sudah menangis, mulutnya bergerak berniat bicara tapi tidak ada satupun suara yang keluar, membuat yang lainnya panik setengah mati. “Loh, kenapa?”

“Ray? Car?”

“EH KOK GA BISA NGOMONG.” Berbagai macam sautan panik keluar, apalagi di tambah tangisan Raynar yang semakin deras.

“Airnya beracun,” ujar Nara tiba-tiba membuat yang lain segera menoleh dan membulatkan mata. “BERACUN?”

“Ada sesuatu yang tercampur pada air sungai, aku nggak tahu itu apa tapi aku bisa lihat jelas ada sesuatu yang aneh di sana.”

“Jadi Raynar sama Caraka nggak bisa bicara gitu?” tanya Theo. Nara mengangguk, “Ada obatnya, tapi cuma Raynar yang tahu, dia itu yang paling tahun akan pengobatan.”

115 | Flashback

“Pak....” ujar Aruna yang mulai merasa aneh akan tatapan Juli yang sangat mengintimidasi dirinya sekarang. “pak, jangan kesurupan pak, saya bukan ustadz.” Lantas setelah Aruna berbicara seperti itu Juli segera mengembalikan kesadarannya. “Ngawur, siapa juga yang kesurupan.”

“Lah itu tadi.”

“Run.” Suara Juli lebih lembut dari biasanya, Aruna bisa merasakannya sekarang. “I-iya pak?” jawabnya sedikit gugup. “Mau bantu saya nggak?”

“Bantu apa pak?”

“Jadi pacar pura-pura saya.” Lantas Aruna memekik cukup keras membuat beberapa pengunjung melihat kearah mereka. “Nggak usah teriak juga kali,” omel Juli.

“Ya abisnya bapak, to the point banget?!”

Juli terkekeh pelan. “Mau nggak?”

“Nggak,” jawab Aruna cepat. Baru saja Juli ingin memasang wajah nelangsa tapi Aruna segera berucap kembali. “nggak mau.”

“Seminggu aja.”

“Nggak.”

“Lima hari.”

“Nggak.”

“Gaji naik dua kali lipat.”

“Bisa diatur.” Ingin sekali Juli menjitak kepala lawan bicaranya itu jika ia tidak ingat bila sekarang ia membutuhkan bantuannya. “Bener-bener mencari kesempatan dalam kesempitan.”

“Di dunia ini mana ada yang nggak gratis pak.”

“Oke, deal ya kamu jadi pacar pura-pura saya mulai sekarang.”

“Deal.”

“Siap-siap dari sekarang lusa kita berangkat ke Yogya.” Ucapan Juli tersebut lantas mengundang raut wajah tidak setuju dari Aruna, belum sempat Aruna berkomentar Juli dengan cepat berbicara, “Saya nggak terima penolakan Aruna.” Lantas setelahnya ia pergi meninggalkan Aruna dengan rawut wajah sebalnya itu.

“Ck, nyebelin banget sih.”

11O

Aruna tengah sibuk melayani para pelanggan tidak sengaja netranya menatap Juli sedang duduk di area taman depan dengan tatapan yang lurus. Dengan langkah ragu ia jalan mendekati lelaki itu, menepuk pelan pundaknya membuat lelaki itu sedikit terlonjak kaget akan sentuhan yang ia berikan.

“Eh... maaf pak,” ucapnya kala mendapat tatapan sinis dari bosnya itu. “Nggak apa-apa, kaget aja saya tadi,” jelasnya lalu sedikit menggeser duduknya memberi ruang sedikit itu mempersilahkan Aruna duduk di sebelahnya. “duduk.” Tangannya menepuk-nepuk pelan ruang yang kosong itu pada Aruna.

“Ada apa pak?” tanya Aruna setelah berkali-kali meyankinkan dirinya untuk bertanya pada bosnya itu, raut wajah yang berbeda dari yang ia lihat kemarin, membuat ia lebih was-was dalam bertindak.

“Nggak.”

“Nggak apa?”

“Nggak apa-apa.” Aruna hanya membuang nafasnya kasar, merasa tidak mendapat apa-apa ia bangkit dari duduknya meninggalkan Juli yang kebingungan akan tingkah mendadaknya itu.

Tidak berselang lama, ia kembali dengan secangkir kopi. “Secangkir Moccachino yang diharapkan bisa membawa kembali senyum pada wajah pak Julio,” ujarnya seraya menyerahkan secangkir kopi pada Juli.

Lantas Juli tertawa kecil melihat kopi dengan cream yang dihias membentuk sebuah wajah tersenyum diatasnya. “Makasih ya.”

“Kalau mau cerita, saya bisa kok jadi pendengar yang baik,” cerosos Aruna. “tapi kalau masalah cinta, saya nggak jamin sih.” Juli tertawa mendengarnya. “Sayangnya, iya.”

“Terus gimana tuh pak?” tanya Aruna setelah Juli menceritakan tentang oma yang meminta dirinya untuk membawa kekasihnya tiga hari lagi ke Yogyakarta saat hari ulang tahun omanya itu. Juli hanya mengedikkan pundaknya yang sudah melemah. “Hah... saya nggak tahu Run... perihal cinta, saya paling lemah.” Lalu seperkian detik setelahnya, Juli memutar tubuhnya sehingga sekarang menghadap ke arah Aruna. Membuat Aruna bergidik ngeri akan tatapan tajam yang diberikan bosnya itu. “Ke-kenapa... pak?”