athiverse

12O

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih setengah jam, ia dan Juli sampai pada rumah bercat putih dengan beberapa bunga hias sebagai penambah keasrian sehingga semakin enak dipandang.

“Yuk turun.” Aruna sedikit ragu untuk turun. “Di dalam ada orang lain kok, lagi juga siapa juga yang mau macem-macem.” Aruna hanya memutar bola matanya malas, wanita itu lantas turun dari mobil sedan biru dongker milik bosnya itu. Mengikuti arah jalan Juli menuju pintu utama, mengamati lelaki bertubuh lebih tinggi darinya itu membuka pintunya sendiri.

“Assalamualaikum,” ujar Juli setelah pintu sudah terbuka. tidak ada jawaban sampai terdengar suara grasak-grusuk dari arah dapur. Juli tersenyum lebih lebar kala seorang yang menjadi penyebab keributan di dapur sudah berada di hadapannya sekarang.

lelaki itu dengan cepat berjalan untuk memeluk seorang gadis yang usianya cukup muda dalam penglihatan Aruna. “Kamu ngapain di dapur?” tanya Juli setelah melepas pelukannya dari Juni seraya mengusap lembut surai hitam adiknya itu.

Yang ditanya hanya menggeleng. Juli segera bangkit dari jongkoknya, “Run, sini,” panggilnya pada Aruna yang masih diam di depan pintu. Wanita itu sedikit terkejut akan panggilan dadakan dari Juli. Wanita itu dengan cepat menghampiri Juli yang sudah berada di ruang tamu rumahnya.

“Kenalin ini Juni, adik saya,” Aruna kemudian tersenyum lebar, tanganya ia julurkan pada Juni yang berada di kursi rodanya. “Hai, Juni aku Aruna,” ujarnya dengan nada yang begitu ramah di telinga Juni. Gadis itu hanya menjabat tangan Aruna seraya tersenyum lebar. Memunculkan raut bingung Aruna.

“Dia tuna wicara Aruna.” Ucapan Juli membuat Aruna kaget bukan main. Pasalnya ia daritadi memperhatikan Juni seakan mengerti apa yang ia dan Juli ucapkan. “tapi dia bisa mendengar dengan baik, hanya tidak bisa mengeluarkan suara.”

Juni yang mendengarnya hanya bisa tersenyum seraya mengeluarkan sebuah notes kecil yang berada pada saku bajunya. Menuliskan sesuatu lalu diberikan kepada Aruna.

halo kak, salam kenal ya^^

Aruna mengangguk, “Salam kenal juga sayang.” Juni mengangguk lalu kembali menulis sesuatu lagi di notes kecilnya itu.

kakak cantik, semoga beneran pacaran sama kak Juli ya, hehehehehe.

Kali ini Aruna hanya diam, tidak menjawab apapun, berbanding terbalik dengan Juli yang langsung menjawab tulisan adiknya itu, “Wus, jangan ngawur.”

O74

Langkah wanita itu memasuki ruangan berwarna coklat muda dengan interior unik lainnya. Bau kopi yang menyerbak indra penciumannya menyapa pertama kali kala ia memasuki ruangan.

Netranya menatap seorang lelaki berkemeja putih tengah membolak-balik berkas di tangannya, setelah menyadari keberadaan Aruna, lantas ia tersenyum menimbulkan dua bolongan kecil pada pipinya. “ayo duduk,” sapanya pertama kali pada Aruna.

Aruna sedikit kikuk saat menghadapi lelaki di depannya ini. “Saya Julio, pemilik Juni’s Cafe,” ujarnya seraya menjulurkan tangannya pada Aruna, lantas dia cepat ia menjabat tangan Juli, “Saya Aruna,” ucapnya dengan senyum yang mengembang.

Hampir lima belas menit ia diberi beberapa pertanyaan oleh sang pemilik kafe itu. Dan sampailah pada pertanyaan terakhir. “Mbak, beneran nggak tahu saya siapa?” dahi Aruna berkerut sedikit berpikir tentang pertanyaan yang lelaki itu lontarkan.

“Maksudnya? Kita kan baru pertama kali ketemu pak.” “Oh beneran nggak inget ya?” lalu Aruna mengangguk seraya memperhatikan lelaki di hadapannya ini mengeluarkan ponsel hitamnya dan membuka sebuah aplikasi pesan dan menunjukkannya pada Aruna.

Lantas wanita itu terkejut bukan main, bola matanya membulat sempurna, segera ia menutup mulutnya yang hampir terbuka lebar. “E-eh,” ujarnya kikuk bukan main, tidak berani mengangkat kepalanya untuk sekedar menatap sang lawan bicara.”M-maaf pak.”

Lalu dengan segera ia bangkit dan segera pergi dari ruangan menyisakan Juli yang sekarang tersenyum menatap kepergiannya.

O72

Perempuan itu sedikit berlari untuk keluar dari komplek perumahan yang ditempati oleh sahabatnya itu, berniat mencari kendaraan umum, sebab semua fasilitas yang ia punya tidak ia bawa tempo lalu, hanya membawa sebuah ponsel juga dompet.

Aruna terlihat panik, sebab waktu semakin berjalan, ia sangat takut bila baru ingin interview tetapi sudah di tolak akibat ketidak disiplinanya itu.

“Ck, mana sih kok nggak ada ojek sama sekali,” gerutunya sembari melihat ke kanan dan kiri jalan, siapa tahu ada sebuah kendaran umum yang melewatinya.

“Sama gue aja yuk.” Aruna sedikit terkejut mendapati Arya yang sudah berada di depannya dengan motor mio hitam milikknya, dengan balutan jaket biru dan celana krem pendek ia tersenyum menatap Aruna. “Udah jam segini, nggak takut telat?”

Aruna memutar bola matanya malas, sebenarnya ia sangat malas bila harus berurusan dengan mantannya itu, tapi karena terikat waktu apa boleh buat, mau tidak mau ia menerima ajakan mantannya itu.

Sedikit menjaga jarak antara tubuhnya dengan Arya membuat lelaki itu sadar. “Jangan jauh-jauh duduknya nanti kalau gue ngebut lo jatuh,” ucapnya dengan sedikit teriak. Membuat Aruna sedikit memajukan tubuhnya mengikis jarak diantara mereka.

Lalu tidak lama kemudian ia terkejut dengan perlakuan Arya yang mengambil sebelah tangannya untuk memegang ujung baju putih miliknya, “Pegangan nanti jatuh Run.”

Bila saja Aruna tidak membutuhkan tumpangannya mungkin sekarang sudah satu pukul ia layangkan pada tubuh lelaki itu. Lantas ia menarik tangannya dari genggaman Arya dengan kasar. “Gue bisa sendiri,” ucapnya dingin. Membuat Arya sedikit mengulas senyum.

Aruna lihat, hatinya menghangat tapi ia tidak bisa melupakan kejadian empat tahun lalu yang membuatnya sengsara seperti pengemis cinta yang tidak tahu malu.

Sepeda motor Arya sampai tepat pada bangunan bernamakan Juni’s Cafe. Segera ia turun dari duduknya dan menghadap Arya dengan tatapan dingin, “Makasih tumpangannya.”

Arya mengambil alih helm yang berada di tangan Aruna seraya berkata, “Sama-sama, mau gue jemput gak nanti?” pertanyaannya langsung mendapat gelengan dari Aruna, “Gak, gak usah. Gue bisa sendiri.”

O54

Setelah mendapat pesan dari teman-temannya itu, lantas segera ia membuka salah satu aplikasi yang dibicarakan sedari tadi sebagai penolongnya saat ini. baru saja ia ingin membukanya namun sentuhan kecil dari arah belakangnya membuat netranya menoleh kebelakang.

Senyumnya melebar, kala tahu siapa yang berhasil merebut fokusnya. Yang ditatap pun ikut melebarkan senyumannya. “Udah bangun ternyata, laper gak?” yang ditanya hanya menggelengkan kepala, Juli kembali berfikir, “mau ke kamar mandi?” gelengan kedua ia dapatkan kembali.

“Apa mau minum?” setelah pertanyaan ketiga, gadis berumur enam belas tahun itu segera mengambil notes kecil dari sakunya dan menulis sesuatu. Membuat sang kakak, penasaran betul apa yang sedang ia tulis.

“juni mau ke taman, boleh?”

“Boleh dong, sama kakak ya?”

Juni mengangguk semangat, lalu Juli segera mendorong kursi roda yang dipakai Juni sebagai alat bergeraknya sekarang keluar dari rumah, menuju sebuah taman kecil di ujung perumahan yang sedang mereka tempati.

Taman yang mereka datangi cukup sepi, hanya ada beberapa anak sedang bermain di temani oleh ayah atau ibunya sembari menyuapi makan. Hal biasa yang suka dilakukan oleh orang tua, karena jika sedang bermain, makan kadang makanan akan dimakan sampai habis.

Juni duduk pada salah satu kursi taman setelah dibantu oleh kakaknya, memandangi anak-anak yang sedang bermain perosotan dengan tawa yang terdengar sangat bahagia.

Anak-anak itu tersenyum begitupula dengan dirinya. Senyumnya semakin mengembang kala salah seorang anak lelaki mendatanginya, memberikan sebuah bunga melati putih yang berada di setiap pagar taman kepada dirinya.

“Kakak cantik, ini buat kakak cantik.” Juli tertawa melihat raut wajah adiknya yang terlihat malu-malu saat diberikan sebuah bunga oleh anak yang Juli kira baru berusia lima tahun. Entah ada angin apa, ia meneteskan air mata. Membuat sang anak begitu pula Juli tersontak kaget, “Eh kakak cantik kenapa? Gak suka ya sama bunga ini? Reza ganti ya?” ujar anak itu panik.

Juli yang berada di sampingnya lantas menepuk-nepuk pelan tubuh adiknya itu, berniat memberi ketenangan. “Hei, kenapa?” Juni hanya menggeleng.

“Reza, lanjut main aja ya, biar kakak cantiknya, kakak yang temenin.” Lantas anak itu mengangguk dan pergi untuk kembali bergabung pada teman-temannya.

Tiba-tiba sebuah notes berada di pahanya, sebuah kalimat pertanyaan yang membuat Julio tertegun.

“punya orang tua itu enak gak sih kak?”

Cepat-cepat ia kembali pada kesadarannya. Netranya menatap sang adik yang masih setia menatap lurus kedapan. Dibawanya tubuh Juni untuk menghadapnya, di tangkupnya wajah manisnya itu.

“Kakak juga gak tau sayang, soalnya kakak juga gak pernah ngerasain,” jawabnya dengan senyum yang begitu manis, hingga terdapat bolongan kecil pada pipinya.

Direngkuhnya tubuh ringkih itu cepat, di peluk seerat yang ia bisa, agat semesta tidak bisa membawanya pergi, sebab hanya Juni alasan ia bertahan di permainan semesta ini.

“Juni kan ada kakak, ada kakak yang bisa jadi ayah sekaligus ibu buat Juni, emang kasih sayang kakak kurang buat Juni? perkataan Juli barusan, membuat Juni segera melepaskan pelukan sang kakak, menggeleng kasar, lalu kembali menulis pada notes kesayangannya.

“ENGGAKKK!!! KAKAK YANG TERBAIK BUAT JUNI!”

Juli tersenyum. Lalu kembali terheran melihat Juni kembali menulis.

“Juni mau tanya boleh?” Juli mengangguk. “Boleh sayang.”

“kakak masih ingat wajah ayah sama ibu?”

Pertanyaan itu sontak membuat Juli bungkam, bagaimana bisa ia lupa akan wajah orang tua yang meninggalkan mereka dahulu? Bagaimana bisa ia lupa raut wajah yang paling menjengkelkan kala mengetahui mempunyai anak cacat dan pergi begitu saja tanpa tanggung jawab.

Semua masih tersimpan rapi pada kepalanya, kejadian enam belas tahun yang ingin sekali Juli buang kemana pun asal ia bisa melupakan memori itu.

Dengan terpaksa ia harus berbohong mengenai pertanyaan yang Juni lontarkan itu. Ia tidak ingin adiknya mengorek lebih jauh lagi tentang informasi yang akan sangat menyayat hati.

“Nggak sayang, kakak udah lupa. Maaf ya?”

O98

Mereka berlari menuruni bukit mendekati seorang petani tua yang sedang menanam benih di hamparan tanah yang sangat luas. Jayan berjalan dibantu oleh Nara serta Caraka, sedangkan Raynar ia lebih dulu berlari menemui sang petani tua itu.

“Pak, biar kami bantu,” ujar Raynar ketika sudah sampai di sana. Petani itu terkejut bukan main, melihat beberapa anak berlari ke arahnya. Ia tersenyum lantas berkata, “bila tidak merepotkan dengan senang hati.”

Daiva dan lainnya tidak lama menyusul, dengan nafas yang masih berdetak cepat Daiva segera menghampiri Raynar, bertopang pada tubuh kecil itu sebentar. “Ini siapa?” Tanyanya kemudian.

“Petani.”

Setelah semua dijelaskan apa yang harus mereka lakukan, semua lantas mengambil beberapa peralatan yang akan mereka gunakan nanti. Sedangkan Jayan, lelaki itu diminta untuk beristirahat di rumah milik petani itu, lagi juga untuk menopang tubuhnya sendiri saja ia memerlukan bantuan, bagaimana bisa ia membantu mereka berkebun.

Satu persatu benih mereka letakkan dengan hati-hati namun cepat ke tanah, supaya lebih cepat mereka membagi empat kelompok. Raynar dengan Daiva, Nara dengan Theo, Caraka dengan Hestama dan Jafar Bersama sang petani.

Tanah yang mereka tanami cukup luas, maka dari itu memakan waktu yang cukup lama. Langit mulai gelap bertepatan dengan mereka yang baru saja selesai menanam semua benih. Lantas semua terkapar pada halaman rumah milih sang petani itu, merasakan lelah yang luar biasa.

“Tidur disini dulu saja nak,” ucap sang petani dengan senampan minuman di tangannya. “Hutan kalau malam, akan sangat gelap dan berbahaya.” Ia taruh gelas demi gelas yang berada di dalam nampan ke meja, menyediakan tujuh pria itu minuman untuk penghilang dahaga.

“Jayan dimana pak?” Tanya Jafar di sela-sela minumnya.

“Lagi tidur di kamar.”

O91. Ada yang sengaja

“gue di depan.”

“gue!”

“gue ah.”

“yaudah aku saja yang di belakang,” lerai Nara yang sudah lelah melihat pertikaian ketiga orang dewasa di depannya ini. “biar aku saja Nar.” Kali ini Hestama yang berbicara, Nara bergeleng. “kamu yang tahu jalan, kamu yang di depan Hes.”

Setelah ribut mengurusi urutan jalan nanti di hutan, akhirnya tersepakati bahwa Nara lah yang berada di paling belakang, menutup barisan teman-temannya. Sedangkan di depan Nara ada Caraka, Jafar, Theo, Daiva, Rayhan, jevana lalu Hestama sebagai petunjuk jalan.

Mereka berjalan penuh hati-hati dan berusaha menaati peraturan tadi untuk tidak menengok ke arah belakang. Berbeda dengan teman-teman yang lain yang merasa bulu kuduknya berdiri sebab mereka merasa ada sesuatu yang mengikuti mereka dari belakang dan mulai resah sebab bayangan yang sesuatu itu hasilkan sangat besar. bahkan hampir sebesar bukit di ujung sana.

Nara bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, bahkan ia masih bisa mengontrol emosinya untuk tetap tenang, dan tidak mengambil sikap gegabah. Ia terlalu fokus pada pertahanannya sampai-sampai ia tidak sadar, bahwa ada seseorang yang sengaja menengok ke belakang dengan senyum yang begitu mengerikan—dengan sengaja untuk melanggar aturan yang telah di tetapkan.

Teriakan dari arah depan terlalu mengejutkan bagi Nara, sebab sebelum teriakan itu terjadi salah satu pohon besar yang berada di samping kanan dan kiri jalan terjatuh dan mengenai tubuh Jayan. Erangan kesakitan dari Jayan tidak dapat di pungkiri lagi, sebab hampir setengah tubuhnya tertindi pohon yang berat bisa mencapai tujuh puluh kali beratnya. Semua lantas segera berkumpul untuk mengangkat pohon tersebut dari atas tubuh Jayan.

Dengan menggunakan kekuatan yang ia punya Hestama berhasil mengangkat pohon itu dengan bantuan yang lainnya. Di tubuh luar Jayan tidak di penuhi luka tapi mereka semua tahu, bahwa tubuh bagian dalamnya merasakan sakit yang luar biasa. Di saat semua orang sedang berusaha mengobati luka dalamnya, ada seseorang yang berpura-pura peduli pada lainnya agar rencana yang ia sedang siapkan berhasil terlaksana.

“tolong air,” ucap Raynar yang sekarang sedang sibuk mengobati Jayan kepada Caraka yang berada di sampingnya. Dengan cepat Caraka segera mengambil dua buah gelas penuh berisi air. Sedangkan yang lain masih sibuk mengurusi pohon yang telah terjatuh itu, berpikir bagaimana bisa sebuah pohon terjatuh begitu saja tanpa alasan yang jelas.

akibat dari lukanya itu, tangan dan kaki Jayan tidak dapat digunakan sebagaimana fungsi awalnya. membuat salah seorang tertawa dalam diamnya sebab sesuai dengan apa yang direncanakan. “permulaan yang bagus.”

Dan ditengah keadaan yang kacau ini sebuah pesan berbunyi berasal pada ponsel milik Daiva, sebuah pesan yang membuatnya bingung dan kaget secara bersamaan.

O72

Daiva segera berlari keluar meninggalkan kembali Wira di kamarnya sendiri.

Langkahnya ia percepat kala mengetahui bahwa temannya yang lain juga berada disini. Butuh beberapa menit untuknya keluar dari rumah bercat putih ini.

Pemandangan rerumputan hijau menyapa indra penglihatannya terlebih dahulu setelah keluar dari rumah. Kepalanya berkali-kali menoleh ke kanan dan kiri guna mencari pintu masuk yang dikatakan oleh Taksa tadi. Sampai pada akhirnya netranya menemukan sebuah cahaya putih dari arah kirinya.

Ia percepat langkahnya untuk menuju asal cahaya itu. Benar saja di sana cukup bising persis seperti yang dikatakan Taksa.


“ADUH!” rintih Theo kala terjatuh darimana entah asalnya. Belum sempat ia bangunkan tubuhnya tapi sesuatu yang berat tiba-tiba menghantamnya membuatnya kembali tersungkur ke tanah dalam keadaan tengkurap.

“Aw!” Teriak seseorang dari atas tubuhnya. Berat dan tidak kuat itu yang Theo pikirkan sekarang sebab seseorang yang menimpanya ini berat sekali.

“Yo lo dimana Yo?” Tanya Jafar yang masih pada posisi jatuhnya tadi. Sedangkan yang ditanya sudah berkali-kali mengerjapkan matanya guna menahan beban sekaligus emosi yang ia tahan.

“BANGUN BANGSAT GUE SAKIT INI,” teriak Theo dengan sekuat tenaganya.

“ha… oh iya iya maaf Yo.” Jafar segera bangun dari duduknya dimana ia terjatuh tepat diatas tubuh Theo. “Gue gak ngeh lo dibawah situ….” “Pantes pas gue jatoh kok empuk, ternyata gue nibanin lo ya hehe….” Theo hanya memutar bola matanya malas seraya meregangkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri akibat sakit yang sekarang ia rasa.

“AYAH?” Pekik seseorang dari balik semak-semak kemudian disusul kelima lainnya. Lantas Theo dan Jafar segera memundurkan langkahnya mencoba menjauh dari orang-orang asing di depannya ini.

“Siapa lo?” tanya Theo spontan. Tapi raut wajahnya jelas sekali memancarkan ketakutan.

Belum sempat salah seorang dari mereka menjawab tetapi suara lelaki dari arah belakang mereka lebih dahulu berteriak mengambil alih semua perhatian yang sepenuhnya tertuju pada keenam anak lelaki itu.

“YO FAR!” teriak Daiva seraya berlari. Yang dipanggil tentu saja kaget melihat teman mereka yang sudah dinyatakan telah pergi ada disini sedang berlari ke arah mereka.

“stop!” Ujar Jafar cepat sebelum Daiva sempat memeluk kedua lelaki itu. “Kenapa deh?” Tanyanya bingung melihat sikap kedua temannya.

“Lo siapa?” Daiva semakin dibuat bingung setelah mendengar pertanyaan dari Theo. “Ya gue Daiva? Siapa lagi?”

“Kok lo bisa disini?” Tanya Theo segera. Sebelum Daiva kembali menjawab tangan kecil laki-laki di sampingnya itu dengan lembut menarik kecil baju belakangnya berniat meminta perhatiannya barang sebentar.

Daiva menoleh menatap anak lelaki itu lekat membuat kepalanya sedikit menunduk enggan melihat mata tajam milik Daiva.

“Kenapa?” Tanya Daiva. “Kita bicarakan ini di rumah saja ya pa?”


Theo dan Jafar dibuat kagum dengan segala interior yang berada di dalam rumah ini, sebuah rumah namun bisa dibilang seperti istana. Mewah.

“Perasaan tadi pas gue masuk kayak gubuk deh Yo, kenapa sekarang kayak istana begini?” Gumam Jafar dengan mata yang masih setia memandang seluruh penjuru rumah.

“Doy ini kita mau kemana dah?” Tanya Theo pada Daiva yang berjalan lebih dulu di depannya tentu saja dengan keenam anak lelaki asing yang sama-sama belum mereka kenal, kecuali Raynar anak yang mengaku sebagai anaknya itu.

“Ke tempat dimana Wira tidur.” Daiva menjawab dengan tatapan yang terus menghadap ke depan enggan melihat mata kedua sahabatnya itu sebab jika ia kembali mengingat Wira, air matanya akan turun dengan cepat.

Dengan kebingungan Theo dan Jafar terus mengikut langkah Daiva menuju. Sampai mereka berhenti pada sebuah pintu merah besar di ujung lorong.

03

Tepat dua tahun setelahnya, Ayah Alan menerima keinginan putranya itu untuk menjadi pilot, tentu dengan berbagai macam cara untuk meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja. Kemudian lelaki jenius itu sudah bisa dipanggil sebagai ‘om pilot’ oleh anak-anak desa.

“akhirnya aku akan pergi Ra.” Aku mengangguk. “iya, selamat ya impianmu sekarang jadi kenyataan.” Tak lama ia memberikan sebuah gelang bermotif bulan dan sebuah kamera analog cokelat dengan ukiran ‘CA’ tanda inisial nama kita, Cemara dan Alan. “yang ini,” ucapnya seraya menunjuk gelang cantik itu. “sebagai hadiah ulang tahun ke dua puluhmu, nah yang ini,” lanjutnya dengan menunjuk sebuah kamera analog yang berada ditanganku, “hadiah saja dari aku, tapi ini spesial, aku buat sendiri dan yang lebih dengan segenap hati loh.” oh ayolah, ini terlalu manis buatku. “makasih ya.”

“besok aku akan terbang dan kira-kira akan pergi lama kuharap kita bisa bertemu lagi Ra.” Aku mengangguk, “pasti, hati-hati.”


Ya kira-kira itu adalah pertemuan terakhirku dengannya, ucapannya yang ingin pergi sudah ia kabulkan bahkan lebih dari yang kubayangkan, ia pergi yang benar-benar pergi. Tak hanya meninggalkan kota, tetapi juga meninggalkan kita semua, si lelaki jenius itu telah pergi bersama burung-burung yang menemani menemui sang pencipta lebih cepat dari yang kubayangkan.

Menjadikan penerbangan pertamanya menjadi penerbangan terakhirnya juga. Ia pergi karena pesawat yang ia kendarai mengalami rusak mesin sehingga terjadi ledakan diatas dan sudah dipastikan tak ada yang selamat.

Hatiku hancur kala itu, tapi surat yang terselip pada kotak kamera analog pemberian terakhirnya sebelum pergi sedikit meredakan kesedihanku. “Ra, jika kamu bisa mengizinkanku pergi maka kamu juga harus bisa menerima segala kemungkinan yang terjadi padaku nanti. Jika tuhan berkehendak lain maka jadikan kamera ini sebagai cinderamata terakhir dariku semoga bisa meredakan kerinduanmu padaku kelak. Jika aku kembali maka kita harus banyak mengabadikan momen-momen berharga kita disini nanti.” Sejak itu aku sadar bahwa setiap kata yang ia gambarkan tentang mimpinya hanya selalu tentang pergi tanpa ada kata kembali. Mungkin ini alasannya ia tak akan kembali.


“jadi teman nenek itu, pergi bersama burung-burung?”

“iya dia sudah pergi.”

“wah dia keren sekali.”

“iya, sangat keren.” Ucapku seraya menghapus sedikit bulir air mata disudut kelopak mataku. “apa dia tak akan kembali?” tanya Davi lagi. “sejatinya ia tak pernah pergi nak, karena ia selalu berada disini,” ujarku seraya menyentuh dada. “dihati nenek.”

Alan kamu adalah lelaki favorit Cemara, tak ada yang bisa gantiin posisimu begitupula dengan Bara, suamiku. Kamu selalu ada ruang dihatiku Lan, semoga kamu tenang disana ya, Nararya Alan.

02

“CEMARA!!” teriak lelaki dengan kemeja biru dengan motif garis-garis putih yang menghiasi yang sedang berlari kearahku. “tunggu ih.”

Aku tertawa, melihat muka asamnya itu yang sedang mengelap keringat, membuatku reflek memberikan sapu tangan hijau yang selalu kubawa setiap pergi, “pakai ini, kalau pake tangan nanti mukamu kotor.” Setelahnya sapu tangan itu langsung berpindah tangan dan telah mengelap peluh lelaki itu. “makasi Ra.”

“lagian kamu ngapain si, pakai lari-lari segala,” ujarku yang masih setia pada ayunan yang kududuki ini. Membuatnya sedikit mendongak kearahku saat kubicara. “gak apa si, pengen aja cepat-cepat sampai di kamu,” serunya dengan senyum yang menghiasi wajahnya itu.

Tak lama, ia terlihat sibuk dengan sesuatu dikantong celananya itu, tak lama scraf merah muda terlihat dengan pita biru yang mengikatnya. Ia lalu berdiri, “ini buat kamu, kemarin aku pergi ke pasar malam bersama bunda, lalu melihat ini,” ucapnya seraya menunjukkan scraf merah mudanya itu. “cantik, kayak kamu.” Aku menerimanya dengan senyum malu-malu, kemudian melihat scraf itu lebih teliti lagi, memang cantik ternyata. “makasi Lan,” jawabku.

Tak lama tangannya mengambil scraf itu dari tanganku, “sini aku pakaikan.” Tak berselang lama, scraf cantik itu sudah menghiasi leherku.

Setelahnya ia mengajakku kerumah pohonnya, ya rumah pohon yang ia buat sendiri di ulang tahun yang ke tujun belasnya. Ia benar-benar keren dimataku diusia yang baru saja menginjak delapan belas tahun ia sudah bisa membuat rumah pohon, pesawat rakitan, bahkan sepeda dengan barang-barang bekas yang ia betulkan sedemikian rupa.

Suatu hari ia janji mengajakku mengelilingi desa sebelah. Bel rumahku berbunyi tanda yang ditunggu telah sampai didepan rumah. Mendengar teriakan ibu bahwa ‘teman spesial’ yang aku tunggu telah datang membuatku bergegas keluar lalu mengambil bucket hat milik ibu tak lupa dengan hadiah scraf yang ia berikan pekan lalu.

“lihat sepedaku,” ujarnya bangga “baru kamu buat?” tanyaku yang masih memperhatikan sepeda hitam yang ia bawa itu. “He’em baru kemarin aku buat.” Aku hanya meng-oh ria saja.

“kukira kamu akan membawaku dengan seekor kuda poni seperti biasa.”

“masih zaman naik kuda?” tanyanya dengan senyum yang tak bisa aku artikan. “Sombong betul lelaki ini.” Jawabku sekenanya yang dibalas tawa oleh kita berdua.

“ayo naiklah, kita keliling desa sebelah.” Ia lantas segera duduk pada jok sepeda itu. “Terbukti aman tidak?”

Ia tersenyum lalu mengangguk, “seratus persen terpercaya,” katanya. “cepat naik, nanti tuan mentari keburu berada diatas kepala.” Lanjutnya. Setelah itu kita benar-benar menjelajah desa sebelah ditemani oleh ‘mickey’ sepeda buatannya itu. “kenapa namanya mickey coba? Seperti tikus saja.”

“karena aku suka kartunya Ra.” Dasar pecinta kartun, batinku. Kami berkeliling desa diringi dengan alunan lagu pelan, seraya sedikit bersenda gurau dengan warga disana, dan kadang kami bermain sebentar dengan anak-anak disana.

“oh iya, kamu jadi ikut buat nonton pelepasan burung merpati di kota?” tanyanya saat kita sudah berada didepan rumahku. “Jadi,” Jawabku cepat.

“diizinkan bapak?”

“tidak tahu sih, belum bilang.” Mendengar ucapanku lantas ia menghela nafas seraya menggelengkan kepalanya. “Ayolah... izin dulu, aku tak mau membawa anak gadis orang tanpa izin.”

“iya, iya nanti izin.” Lalu ia memberikan acungan ibu jari kepadaku. “kalau begitu aku juga mau minta izin ke bapak.”

“buat apa?”

“izin meminjam anak gadisnya sebentar.”


“burung-burung tadi sepertinya senang ya Ra, bebas. Lepas, aku jadi mau seperti mereka,” ujarnya seraya memakan es podeng yang baru saja kami beli sehabis menonton pelepasan burung tadi.

“jadi burung?” ucapanku berhasil mengundang decakan sebalnya. “bukanlah, maksudku jadi bebas.” Sepertinya aku paham arah pembicaraan ini. “masih dipaksa Ayah buat jadi dokter ya?”

Ia mengangguk, “padahal aku mau jadi pilot.”

“seingin itu kah kamu buat terbang?” ia mengangguk cepat. “iya seingin itu, soalnya kata paman-paman pilot pemandangan kota dari atas sana itu terlihat lebih indah.”

“kalau cuma mau liat pemandangan, jadi penumpangnya saja.”

“jadi penumpang sama jadi pengendara itu sensasinya beda tahu Ra, nih ibaratnya ya, kalau kamu jadi penumpang dan kamu ingin berkenala uangmu bisa habis betul enggak? Kecuali kamu orang yang sangat kaya, tapi kalau jadi pilot kamu yang akan dapat uang, eh tapi itu Cuma bonus saja sih, dan yang aku bilang tadi hanya ibarat perbedaannya ya Ra, buatku bisa terbang, berkenala pergi jauh seperti itu mengasyikan dan jadi impian terbesarku.” Aku mengangguk menyetujui, “semoga Ayah menerima keinginanmu itu ya, suatu saat hatinya pasti luluh.”

“lihat Ra! Pelangi!” ujarnya teriak seraya menujuk kearah langit yang sedang memancarkan semburat tujuh warna cantik diatas sana. Niat hati ingin mengabadikan momen berharga dengan orang yang berharga juga tapi kami tak ada satupun yang mempunyai kamera. Oh tapi tenang, kita punya Alan, pemuda dengan otak seribu akal. Ia segera berlari kearah turis yang sedang mengobrol terlihat sedang bernegosiasi lalu kembali dengan sebuah kamera ditangannya.

“hanya mendapat tiga lembar.” Ujarnya. “gak apa segitu saja udah cukup banget.”

“kamu bicara apa saja sama mereka sampai dipinjamkan kamera,” tanyaku setelah kita selesai berfoto.

“eum.. hanya bernegosiasi kecil antara kamera dengan ayam kecap buatan bunda.”

Aku mengerjapkan mata tak percaya, “gila, gimana kamu ngasihnya nanti.” Ia hanya mengangkat bahunya. “ya enggak tahu, lihat nanti saja lagian mereka langsung setuju-setuju saja tuh.”

“jail banget ya kamu tuh!” seruku seraya mencubit kecil lengannya. “biarlah Ra, kalau memang rezeki mereka akan kukasih nanti ayam kecapnya, jika tidak? Ya berarti bukan rezeki mereka tapi anggap saja hadiah buat kita.” Setelahnya kita hanya tertawa mengingat hal bodoh yang dilakukannya itu. Menikmati senja dengan dihiasi semburat warna orange bercampur dengan kuning kemerah-merahan.

01.

“nenek!!” teriak Davi cucu laki-lakiku satu-satunya, yang paling kecil dan juga yang paling berisik dari yang lainnya. “selamat ulang tahun nek!!” lanjutnya lagi dengan senyum yang merekah bak bunga yang sedang mekar, manis.

“makasih sayang,” ujarku seraya mengelus surai hitamnya itu lembut, hari ini ulang tahunku yang menginjak enam puluh tiga tahun. Sebenarnya tak perlu ada lagi perayaan, tetapi Davi, memaksa untuk diadakannya perayaan kecil-kecilan dirumah. Sekarang hanya kita berdua dirumah sedangkan yang lain sedang membeli perlengkapan untuk perayaan nanti malam itu.

“nenek,” panggil Davi dari arah gudang, membuatku melangkah ke arah dimana memori-memori masa laluku bersemayam disana. Langkah kakiku akhirnya sampai pada ruangan tua yang sudah lama tak kumasuki, melihat Davi yang masih asyik mengelilingi rak demi rak yang penuh akan debu akibat terlalu lama dibiarkan begitu saja.

“banyak banget nek barang-barangnya,” ujarnya antusias dengan mata yang bulat yang berbinar itu. Aku duduk di salah satu kursi tua disana, akibat usia yang semakin bertambah membuatku tak bisa berdiri lama. Niat ingin membetulkan salah satu bingkai foto yang terjatuh, sikuku menyenggol salah satu kotak hijau tosca dengan kunci berbentuk hati merah muda di pojok meja. Mengambil alih perhatian Davi yang sedang memainkan pesawat-pesawatan milik kakeknya dulu.

“wah apa itu nek?” ucapnya seraya mendekat kearah kotak itu, mengambilnya lalu menelaah bagian demi bagian hingga tak terlewat satu sisi pun. “yah... di kunci ya nek?” ujarnya sedih.

Aku mengangguk, lalu membuka salah satu laci. “tapi, kuncinya ada disini.” Senyumnya kembali mengembang, lalu dengan cepat kunci sudah beralih ke genggamannya. Membukanya dengan cepat lalu tampilan debu kusam menyapanya pertama kali membuat batuknya keluar.

“wah debunya banyak banget, udah lama banget ya nek?” tanyanya. “iya, hampir, eum... sekitar empat puluh lima tahun yang lalu?” ucapku yang sukses membuat mulut dan matanya membulat. “hah?! Wow....” Satu persatu barang dikeluarkan, mulai dari scraf merah muda kesayanganku, gelang dengan motif bulan, dan juga sebuah kamera analog yang sudah kusam.

“ini punya nenek?” kamera analog cokelat ia arahkan padaku, anggukkan pun aku berikan. “dari siapa ini nek? Ada tulisan ‘CA’ nya, kalau nama nenekkan Cemara, terus ‘A’ itu siapa?” pertanyaan beruntun ia tanyakan.

“dari seseorang yang membuat ini,” jawabku seraya mengangkat sebuah gelang berbentuk bulan yang tadi berada didalam kotak itu. “ya siapa nek, pacar nenek ya?”

“bukan pacar si, eum.. teman?”

“mana mungkin teman ngasih gelang yang begitu cantik seperti ini.”

“teman yang spesial.”

“pasti orangnya romantis ya nek?” tanyanya lagi dengan antusias. “ya hanya seperti itu.”

“ceritakan dong nek!! Biar Davi bisa belajar buat deketin Dira!” bicara tentang Dira, dia adalah seorang gadis cantik dengan lesung pipi yang selalu menghiasi setiap senyumnya, membuat cucuku ini terpesona saat pandangan pertama melihat Dira. Lucu sekali.

“iya-iya nenek cerita.”