02
“CEMARA!!” teriak lelaki dengan kemeja biru dengan motif garis-garis putih yang menghiasi yang sedang berlari kearahku. “tunggu ih.”
Aku tertawa, melihat muka asamnya itu yang sedang mengelap keringat, membuatku reflek memberikan sapu tangan hijau yang selalu kubawa setiap pergi, “pakai ini, kalau pake tangan nanti mukamu kotor.” Setelahnya sapu tangan itu langsung berpindah tangan dan telah mengelap peluh lelaki itu. “makasi Ra.”
“lagian kamu ngapain si, pakai lari-lari segala,” ujarku yang masih setia pada ayunan yang kududuki ini. Membuatnya sedikit mendongak kearahku saat kubicara. “gak apa si, pengen aja cepat-cepat sampai di kamu,” serunya dengan senyum yang menghiasi wajahnya itu.
Tak lama, ia terlihat sibuk dengan sesuatu dikantong celananya itu, tak lama scraf merah muda terlihat dengan pita biru yang mengikatnya. Ia lalu berdiri, “ini buat kamu, kemarin aku pergi ke pasar malam bersama bunda, lalu melihat ini,” ucapnya seraya menunjukkan scraf merah mudanya itu. “cantik, kayak kamu.” Aku menerimanya dengan senyum malu-malu, kemudian melihat scraf itu lebih teliti lagi, memang cantik ternyata. “makasi Lan,” jawabku.
Tak lama tangannya mengambil scraf itu dari tanganku, “sini aku pakaikan.” Tak berselang lama, scraf cantik itu sudah menghiasi leherku.
Setelahnya ia mengajakku kerumah pohonnya, ya rumah pohon yang ia buat sendiri di ulang tahun yang ke tujun belasnya. Ia benar-benar keren dimataku diusia yang baru saja menginjak delapan belas tahun ia sudah bisa membuat rumah pohon, pesawat rakitan, bahkan sepeda dengan barang-barang bekas yang ia betulkan sedemikian rupa.
Suatu hari ia janji mengajakku mengelilingi desa sebelah. Bel rumahku berbunyi tanda yang ditunggu telah sampai didepan rumah. Mendengar teriakan ibu bahwa ‘teman spesial’ yang aku tunggu telah datang membuatku bergegas keluar lalu mengambil bucket hat milik ibu tak lupa dengan hadiah scraf yang ia berikan pekan lalu.
“lihat sepedaku,” ujarnya bangga
“baru kamu buat?” tanyaku yang masih memperhatikan sepeda hitam yang ia bawa itu. “He’em baru kemarin aku buat.” Aku hanya meng-oh ria saja.
“kukira kamu akan membawaku dengan seekor kuda poni seperti biasa.”
“masih zaman naik kuda?” tanyanya dengan senyum yang tak bisa aku artikan. “Sombong betul lelaki ini.” Jawabku sekenanya yang dibalas tawa oleh kita berdua.
“ayo naiklah, kita keliling desa sebelah.” Ia lantas segera duduk pada jok sepeda itu. “Terbukti aman tidak?”
Ia tersenyum lalu mengangguk, “seratus persen terpercaya,” katanya. “cepat naik, nanti tuan mentari keburu berada diatas kepala.” Lanjutnya. Setelah itu kita benar-benar menjelajah desa sebelah ditemani oleh ‘mickey’ sepeda buatannya itu. “kenapa namanya mickey coba? Seperti tikus saja.”
“karena aku suka kartunya Ra.” Dasar pecinta kartun, batinku. Kami berkeliling desa diringi dengan alunan lagu pelan, seraya sedikit bersenda gurau dengan warga disana, dan kadang kami bermain sebentar dengan anak-anak disana.
“oh iya, kamu jadi ikut buat nonton pelepasan burung merpati di kota?” tanyanya saat kita sudah berada didepan rumahku. “Jadi,” Jawabku cepat.
“diizinkan bapak?”
“tidak tahu sih, belum bilang.” Mendengar ucapanku lantas ia menghela nafas seraya menggelengkan kepalanya. “Ayolah... izin dulu, aku tak mau membawa anak gadis orang tanpa izin.”
“iya, iya nanti izin.” Lalu ia memberikan acungan ibu jari kepadaku. “kalau begitu aku juga mau minta izin ke bapak.”
“buat apa?”
“izin meminjam anak gadisnya sebentar.”
“burung-burung tadi sepertinya senang ya Ra, bebas. Lepas, aku jadi mau seperti mereka,” ujarnya seraya memakan es podeng yang baru saja kami beli sehabis menonton pelepasan burung tadi.
“jadi burung?” ucapanku berhasil mengundang decakan sebalnya. “bukanlah, maksudku jadi bebas.” Sepertinya aku paham arah pembicaraan ini. “masih dipaksa Ayah buat jadi dokter ya?”
Ia mengangguk, “padahal aku mau jadi pilot.”
“seingin itu kah kamu buat terbang?” ia mengangguk cepat. “iya seingin itu, soalnya kata paman-paman pilot pemandangan kota dari atas sana itu terlihat lebih indah.”
“kalau cuma mau liat pemandangan, jadi penumpangnya saja.”
“jadi penumpang sama jadi pengendara itu sensasinya beda tahu Ra, nih ibaratnya ya, kalau kamu jadi penumpang dan kamu ingin berkenala uangmu bisa habis betul enggak? Kecuali kamu orang yang sangat kaya, tapi kalau jadi pilot kamu yang akan dapat uang, eh tapi itu Cuma bonus saja sih, dan yang aku bilang tadi hanya ibarat perbedaannya ya Ra, buatku bisa terbang, berkenala pergi jauh seperti itu mengasyikan dan jadi impian terbesarku.” Aku mengangguk menyetujui, “semoga Ayah menerima keinginanmu itu ya, suatu saat hatinya pasti luluh.”
“lihat Ra! Pelangi!” ujarnya teriak seraya menujuk kearah langit yang sedang memancarkan semburat tujuh warna cantik diatas sana. Niat hati ingin mengabadikan momen berharga dengan orang yang berharga juga tapi kami tak ada satupun yang mempunyai kamera. Oh tapi tenang, kita punya Alan, pemuda dengan otak seribu akal. Ia segera berlari kearah turis yang sedang mengobrol terlihat sedang bernegosiasi lalu kembali dengan sebuah kamera ditangannya.
“hanya mendapat tiga lembar.” Ujarnya. “gak apa segitu saja udah cukup banget.”
“kamu bicara apa saja sama mereka sampai dipinjamkan kamera,” tanyaku setelah kita selesai berfoto.
“eum.. hanya bernegosiasi kecil antara kamera dengan ayam kecap buatan bunda.”
Aku mengerjapkan mata tak percaya, “gila, gimana kamu ngasihnya nanti.” Ia hanya mengangkat bahunya. “ya enggak tahu, lihat nanti saja lagian mereka langsung setuju-setuju saja tuh.”
“jail banget ya kamu tuh!” seruku seraya mencubit kecil lengannya. “biarlah Ra, kalau memang rezeki mereka akan kukasih nanti ayam kecapnya, jika tidak? Ya berarti bukan rezeki mereka tapi anggap saja hadiah buat kita.” Setelahnya kita hanya tertawa mengingat hal bodoh yang dilakukannya itu. Menikmati senja dengan dihiasi semburat warna orange bercampur dengan kuning kemerah-merahan.