O72
Daiva segera berlari keluar meninggalkan kembali Wira di kamarnya sendiri.
Langkahnya ia percepat kala mengetahui bahwa temannya yang lain juga berada disini. Butuh beberapa menit untuknya keluar dari rumah bercat putih ini.
Pemandangan rerumputan hijau menyapa indra penglihatannya terlebih dahulu setelah keluar dari rumah. Kepalanya berkali-kali menoleh ke kanan dan kiri guna mencari pintu masuk yang dikatakan oleh Taksa tadi. Sampai pada akhirnya netranya menemukan sebuah cahaya putih dari arah kirinya.
Ia percepat langkahnya untuk menuju asal cahaya itu. Benar saja di sana cukup bising persis seperti yang dikatakan Taksa.
“ADUH!” rintih Theo kala terjatuh darimana entah asalnya. Belum sempat ia bangunkan tubuhnya tapi sesuatu yang berat tiba-tiba menghantamnya membuatnya kembali tersungkur ke tanah dalam keadaan tengkurap.
“Aw!” Teriak seseorang dari atas tubuhnya. Berat dan tidak kuat itu yang Theo pikirkan sekarang sebab seseorang yang menimpanya ini berat sekali.
“Yo lo dimana Yo?” Tanya Jafar yang masih pada posisi jatuhnya tadi. Sedangkan yang ditanya sudah berkali-kali mengerjapkan matanya guna menahan beban sekaligus emosi yang ia tahan.
“BANGUN BANGSAT GUE SAKIT INI,” teriak Theo dengan sekuat tenaganya.
“ha… oh iya iya maaf Yo.” Jafar segera bangun dari duduknya dimana ia terjatuh tepat diatas tubuh Theo. “Gue gak ngeh lo dibawah situ….” “Pantes pas gue jatoh kok empuk, ternyata gue nibanin lo ya hehe….” Theo hanya memutar bola matanya malas seraya meregangkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri akibat sakit yang sekarang ia rasa.
“AYAH?” Pekik seseorang dari balik semak-semak kemudian disusul kelima lainnya. Lantas Theo dan Jafar segera memundurkan langkahnya mencoba menjauh dari orang-orang asing di depannya ini.
“Siapa lo?” tanya Theo spontan. Tapi raut wajahnya jelas sekali memancarkan ketakutan.
Belum sempat salah seorang dari mereka menjawab tetapi suara lelaki dari arah belakang mereka lebih dahulu berteriak mengambil alih semua perhatian yang sepenuhnya tertuju pada keenam anak lelaki itu.
“YO FAR!” teriak Daiva seraya berlari. Yang dipanggil tentu saja kaget melihat teman mereka yang sudah dinyatakan telah pergi ada disini sedang berlari ke arah mereka.
“stop!” Ujar Jafar cepat sebelum Daiva sempat memeluk kedua lelaki itu. “Kenapa deh?” Tanyanya bingung melihat sikap kedua temannya.
“Lo siapa?” Daiva semakin dibuat bingung setelah mendengar pertanyaan dari Theo. “Ya gue Daiva? Siapa lagi?”
“Kok lo bisa disini?” Tanya Theo segera. Sebelum Daiva kembali menjawab tangan kecil laki-laki di sampingnya itu dengan lembut menarik kecil baju belakangnya berniat meminta perhatiannya barang sebentar.
Daiva menoleh menatap anak lelaki itu lekat membuat kepalanya sedikit menunduk enggan melihat mata tajam milik Daiva.
“Kenapa?” Tanya Daiva. “Kita bicarakan ini di rumah saja ya pa?”
Theo dan Jafar dibuat kagum dengan segala interior yang berada di dalam rumah ini, sebuah rumah namun bisa dibilang seperti istana. Mewah.
“Perasaan tadi pas gue masuk kayak gubuk deh Yo, kenapa sekarang kayak istana begini?” Gumam Jafar dengan mata yang masih setia memandang seluruh penjuru rumah.
“Doy ini kita mau kemana dah?” Tanya Theo pada Daiva yang berjalan lebih dulu di depannya tentu saja dengan keenam anak lelaki asing yang sama-sama belum mereka kenal, kecuali Raynar anak yang mengaku sebagai anaknya itu.
“Ke tempat dimana Wira tidur.” Daiva menjawab dengan tatapan yang terus menghadap ke depan enggan melihat mata kedua sahabatnya itu sebab jika ia kembali mengingat Wira, air matanya akan turun dengan cepat.
Dengan kebingungan Theo dan Jafar terus mengikut langkah Daiva menuju. Sampai mereka berhenti pada sebuah pintu merah besar di ujung lorong.