athiverse

| Kenangan

Perjalanan menuju Bandung saat ini terlampau lancar, tak menemukan titik kemacetan dimanapun. Akhirnya setelah dua jam perjalanan, aku sampai di Bandung. Aku turun dari bus yang aku naiki dan pergi mencari kendaraan umum untuk menuju sebuah tempat yang sudah lama sekali tak ku kunjungi.

Motor ojek yang ku tumpangi berhenti tepat disebuah pagar putih rumah yang sudah terlihat usang tapi masih dapat berdiri kokoh. Ku pandangi lama rumah itu, kenangan-kenangan lama telah menyapaku dengan lembut, aku tersenyum saat mengingat kembali masa-masa itu.

“Isel?” sebuah suara perempuan dari belakangku membuat ku menoleh, terlihat seorang perempuan dengan sekantong tas belanja, sepertinya ia habis dari pasar. “kamu... Isel kan?” tanyanya lagi.

“kak Anna?!” ucapku sedikit terkejut. Setelah itu tubuhnya menarik tubuhku untuk didekapnya. Cukup erat, tapi bisa mengobati kerinduanku dengan tempat ini sesaat. “kakak kangen kamu Sel” ucapnya di tengah pelukannya. “Isel juga kangen kak Anna”

“kamu sudah besar ya, cantik” ucapnya, sekarang kita berada disebuah gazebo kecil didepan rumah. Ia mengajakku untuk mengobrol seraya mengenang masa lalu, aku langsung menerimanya karena itu tujuan ku datang ke sini, untuk mengenang.

“Isel, mau kuceritakan enggak tentang kehidupanmu dulu?” tanyanya pelan mungkin takut aku tersinggung. “mau kak, enggak apa cerita saja”. Ia mulai mengatur posisinya mencari posisi yang lebih enak untuk bercerita.

“Isel, setelah kedua orang tuamu pergi karena kecelakaan itu kamu masih berumur lima tahun dan kakakmu berumur enam belas tahun, benar?”. Aku mengangguk mengiyakan.

“yang harus kamu tahu sejak saat itu, sejak saat orang tuamu sudah dikebumikan, semua tanggung jawab mereka semua berpindah ke Cakra, kakakmu. Walaupun kalian saat itu ada tante Wanda yang menjaga kalian, tetap saja ada sebuah tugas tambahan yang harus di bawa oleh remaja enam belas tahun itu”

“setahun kemudian tante Wanda ikut pergi meninggalkan kalian juga karena penyakit yang dideritanya. remaja yang harusnya bersenang-senang menghabiskan masa mudanya dengan teman sebaya, harus berjuang untuk menghidupi hidupnya dan seorang adik perempuannya, yang kala itu baru berusia enam tahun”. Aku mengangguk seraya tersenyum kecil.

“waktu itu, sore kalau tidak salah ia mengetuk pintu rumahku, kukira ia ingin meminta diajari materi aljabar kepada ku, ternyata salah kamu tahu untuk apa dia datang sore itu?” aku menggeleng. “kak Anna, Cakra boleh minta sepiring nasi?”. Air mata kak Anna berhasil menetes tapi secepatnya segera ia hapus.

“dia meneruskan kalimatnya, soalnya Isel belum makan kak dan dirumah beras habis dan Cakra belum dapet uang hari ini Tuhan disitu aku ingin menangis, melihat anak tujuh belas tahun itu membawa sebuah piring kosong untuk makan adiknya, tidak untuknya”

“aku yang waktu itu juga masih berumur sembilan belas tahun, tak tahu harus membantu apa karena hidupku juga masih bergantung dengan abah dan umi kala itu, abah dan umi juga sudah berkali-kali mengajak Cakra dan kamu untuk tinggal bersama kami, tapi Cakra selalu menolak, enggak kak aku masih bisa untuk mengurus Isel sendiri kok

“waktu yang seharusnya ia gunakan untuk belajar atau sekedar berkumpul dengan temannya di kafe, ia gunakan untuk bekerja, jika kamu bertanya kakakmu bekerja apa, ia bekerja apa saja Sel, apa saja. Dari mulai kuli bangunan, kuli pasar, kenek angkot, tukang parkir, atau sekedar menjaga sebuah warung di dekat terminal. Semua pekerjaan itu ia lakukan dengan senyum, selalu tersenyum. Karena kala itu Isel kecil meminta untuk sekolah seperti teman-teman sebayanya dan itu memperlukan biaya untuk membeli perlengkapan sekolahnya. Sejak itu, ia benar-benar bekerja dengan keras, karena ingin melihat adik kecilnya itu sekolah.” Air mataku mulai mengalir seiring cerita kak Anna berlanjut.

“tepat setahun setelahnya, ia berhasil menyekolahkan adiknya. Pagi itu senyumnya lebih cerah dari biasanya, ia gandeng tangan adiknya yang sudah siap untuk menuju sekolah dengan baju dan sepatu baru, tak peduli dengan pakaiannya yang sudah lusuh, sepatunya yang sudah ia tambal berkali-kali karena terus-terusan jebol. Mengantar Isel, jemput Isel, kerja. Itu kegiatannya”

“bahkan setiap malam, ia selalu mengajari Isel membaca, benar?” aku mengangguk mengiyakan. Kakak benar-benar mengajariku membaca, menghitung dan membantu tugasku setiap malam. “dia pemuda yang hebat Sel, sangat hebat.” Air mata kak Anna kembali menetes. “ia menjadi dewasa mendahului usianya”

“kala itu” kak Anna lalu melanjutkan ceritanya. “Isel kecil sudah berusia delapan tahun, sudah duduk dibangku kelas dua SD. Ia pulang berlari dengan sebuah piala digenggamannya. Memanggil-manggil kakaknya dari depan rumah, lalu kakaknya keluar tersenyum seperti biasa, Isel kecil berlari memeluk kakaknya, dan bilang kakak Isel juara satu lomba nari! Kakak bangga gak sama Isel?. Kakaknya menggangguk, menahan air matanya bahagianya dan langsung memeluk tubuh kecil adiknya itu, mengecup keningnya dan memeluknya lagi lalu bilang kakak bangga banget dan selalu bangga sama Isel

Kak Anna menarik nafasnya panjang, mungkin ada rasa sesak yang kembali mampir didadanya. “setelah itu kak Anna harus pindah karena tuntutan kerjaan, dan hari itu, hari terakhir kak Anna melihat kalian, mungkin sekarang gantian Isel yang cerita?” ucapnya. Lalu aku mengangguk.

“setelah itu.. seperti biasa, kakak sekolah dan bekerja, dan setelah kakak lulus, kakak mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Jakarta. awalnya Kakak enggak mau, karena enggak bisa ninggalin Isel disini sendirian, akhirnya dengan tekad, kakak membawa Isel untuk ikut pergi sama kakak ke Jakarta.”

“disana kita tinggal disebuah rumah kos, ibu kosnya kakak baik sekali karena benar-benar menganggap kakak dan Isel seperti anaknya sendiri” aku menjeda ucapaku menarik napas perlahan dan kembali membuangnya. “Isel pindah sekolah ke Jakarta, dan kakak pun begitu kembali mencari kerja di Jakarta, untuk kebutuhan hidup kita disana. Kakak selalu bilang Isel harus jadi wanita yang hebat, yang kuat, yang enggak nangis walau dikasih cobaan seburuk apapun itu.”

“setiap kakak mau pergi kerja ia selalu bilang kakak sayang Isel, selalu. Setiap hari tak pernah terlewat sehari pun untuknya bilang itu. Setiap sore adalah waktu yang paling Isel tunggu-tunggu kak, karena waktu dimana Kak Cakra pulang dari kerjaannya, dan dia selalu berlari untuk meluk Isel dan memberi satu kecupan dikening Isel dulu, sederhana tapi itu yang selalu Isel tunggu, tak kalah juga dengan buah tangan yang selalu ia bawa, entah martabak atau hanya segelas jus alpukat favorit Isel. Tapi sore itu beda” aku menjeda ucapakanku kembali, menarik nafas tapi kali ini lebih dalam, lebih sakit.

“kakak enggak lari meluk Isel ataupun cium Isel, kakak enggak bawa martabak ataupun jus, tapi kakak dibawa, kakak dibawa oleh beberapa orang dengan keranda jenazah, Isel waktu itu masih belum paham, hanya diam diteras melihat jenazah kakak dimasukkan kedalam rumah, dimana bu Kinan, ibu kos kakak, sudah menangis histeris. Isel mau nangis, tapi kata-kata kakak dimana Isel tidak boleh menangis terbayang kala itu, senyum kakak yang selalu bikin Isel tenang juga langsung terbayang.”

“maaf kak, maaf Isel langgar permintaan kakak untuk gak nangis kala itu, kehilangan kakak, sama saja dengan kehilangan tujuan hidup Isel, Isel kecil itu lari dan duduk tersimpuh disamping jenazah kakaknya, ia menumpahkan tangisannya melupakan apa yang diminta kakaknya untuk menjadi wanita yang kuat. Ia memeluknya dan mencium pipi kakaknya berkali-kali seraya bilang kak bangun, kakak belum ngasih Isel pelukan sama ciuman sore ini, martabak sama jus alpukat Isel juga gak kakak bawa tangis Isel pecah disana, melihat tubuh kakak yang sudah kaku.

“Kakak meninggal akibat tertimpa beton di tempat kontruksi bangunan, ternyata kakak kembali bekerja sebagai kuli bangunan waktu itu. seorang teman Kak Cakra yang juga bekerja ditempat yang sama dengan kakak memberikan sebuah kotak merah, yang ternyata isinya sebuah liontin cantik dan sebuah surat untuk Isel, yang ternyata itu kado ulang tahun ke sepuluh Isel nanti yang kak Cakra siapin”

Air mata kami berdua pecah, kak Anna tak menyangka bahwa pemuda kuat yang sedari ia ceritakan ternyata sudah berpulang, sudah berpulang menemui sang penciptanya, mungkin juga ia sudah rindu dengan orang tuanya.

“Isel kira, Isel akan hidup sebatang kara setelah kakak pergi, tapi tidak karena bu Kinan, ibu kos kak Cakra. ia dan suaminya mengangkat Isel sebagai anaknya dan karena ia juga tak bisa punya anak. Mereka benar-benar memperlakukan Isel selayaknya anak kandung mereka, berkat mereka Isel bisa merasakan kembali hangatnya keluarga”. Helaan nafas kembali terdengar.

“dan inilah Isel sekarang sebagai wanita kuat, wanita hebat seperti apa yang kak Cakra inginkan, kakak pasti bangga kan ya.. liat Isel bisa jadi seorang dokter?”

“kakak pasti bangga sama Isel, bangga sekali”. Kak Anna langsung memelukku ditengah tangisnya, menumpahkan semuanya dipelukanku begitu juga denganku. “Isel hebat kak Cakra juga hebat”

“kakak adalah yang terhebat kak Anna”

kenangan

Perjalanan menuju Bandung saat ini terlampau lancar, tak menemukan titik kemacetan dimanapun. Akhirnya setelah dua jam perjalanan, aku sampai di Bandung. Aku turun dari bus yang aku naiki dan pergi mencari kendaraan umum untuk menuju sebuah tempat yang sudah lama sekali tak ku kunjungi.

Motor ojek yang ku tumpangi berhenti tepat disebuah pagar putih rumah yang sudah terlihat usang tapi masih dapat berdiri kokoh. Ku pandangi lama rumah itu, kenangan-kenangan lama telah menyapaku dengan lembut, aku tersenyum saat mengingat kembali masa-masa itu.

“Isel?” sebuah suara perempuan dari belakangku membuat ku menoleh, terlihat seorang perempuan dengan sekantong tas belanja, sepertinya ia habis dari pasar. “kamu... Isel kan?” tanyanya lagi.

“kak Anna?!” ucapku sedikit terkejut. Setelah itu tubuhnya menarik tubuhku untuk didekapnya. Cukup erat, tapi bisa mengobati kerinduanku dengan tempat ini sesaat. “kakak kangen kamu Sel” ucapnya di tengah pelukannya. “Isel juga kangen kak Anna”

“kamu sudah besar ya, cantik” ucapnya, sekarang kita berada disebuah saung kecil didepan rumah. Ia mengajakku untuk mengobrol seraya mengenang masa lalu, aku langsung menerimanya karena itu tujuan ku datang ke sini, untuk mengenang.

“Isel, mau kuceritakan enggak tentang kehidupanmu dulu?” tanyanya pelan mungkin takut aku tersinggung. “mau kak, enggak apa cerita saja”. Ia mulai mengatur posisinya mencari posisi yang lebih enak untuk bercerita.

“Isel, setelah kedua orang tuamu pergi karena kecelakaan itu kamu masih berumur lima tahun dan kakakmu berumur enam belas tahun, benar?”. Aku mengangguk mengiyakan.

“yang harus kamu tahu sejak saat itu, sejak saat orang tuamu sudah dikebumikan, semua tanggung jawab mereka semua berpindah ke Cakra, kakakmu. Walaupun kalian saat itu ada tante Wanda yang menjaga kalian, tetap saja ada sebuah tugas tambahan yang harus di bawa oleh remaja enam belas tahun itu”

“setahun kemudian tante Wanda ikut pergi meninggalkan kalian juga karena penyakit yang dideritanya. remaja yang harusnya bersenang-senang menghabiskan masa mudanya dengan teman sebaya, harus berjuang untuk menghidupi hidupnya dan seorang adik perempuannya, yang kala itu baru berusia enam tahun”. Aku mengangguk seraya tersenyum kecil.

“waktu itu, sore kalau tidak salah ia mengetuk pintu rumahku, kukira ia ingin meminta diajari materi aljabar kepada ku, ternyata salah kamu tahu untuk apa dia datang sore itu?” aku menggeleng. “kak Anna, Cakra boleh minta sepiring nasi?”. Air mata kak Anna berhasil menetes tapi secepatnya segera ia hapus.

“dia meneruskan kalimatnya, soalnya Isel belum makan kak dan dirumah beras habis. Tuhan disitu aku ingin menangis, melihat anak tujuh belas tahun itu membawa sepiring kecil untuk makan adiknya, tidak untuknya”

“aku yang waktu itu juga masih berumur sembilan belas tahun, tak tahu harus membantu apa karena hidupku juga masih bergantung dengan abah dan umi kala itu, abah dan umi juga sudah berkali-kali mengajak Cakra dan kamu untuk tinggal bersama kami, tapi Cakra selalu menolak, enggak kak aku masih bisa untuk mengurus Isel sendiri kok

“waktu yang seharusnya ia gunakan untuk belajar atau sekedar berkumpul dengan temannya di kafe, ia gunakan untuk bekerja, jika kamu bertanya kakakmu bekerja apa, ia bekerja apa saja Sel, apa saja. Dari mulai kuli bangunan, kuli pasar, kenek angkot, tukang parkir, atau sekedar menjaga sebuah warung di dekat terminal. Semua pekerjaan itu ia lakukan dengan senyum, selalu tersenyum. Karena kala itu Isel kecil meminta untuk sekolah seperti teman-teman sebayanya dan itu memperlukan biaya untuk membeli perlengkapan sekolahnya. Sejak itu, ia benar-benar bekerja dengan keras, karena ingin melihat adik kecilnya itu sekolah.” Air mataku mulai mengalir seiring cerita kak Anna berlanjut.

“tepat setahun setelahnya, ia berhasil menyekolahkan adiknya. Pagi itu senyumnya lebih cerah dari biasanya, ia gandeng tangan adiknya yang sudah siap untuk menuju sekolah dengan baju dan sepatu baru, tak peduli dengan pakaiannya yang sudah lusuh, sepatunya yang sudah ia tambal berkali-kali karena terus-terusan jebol. Mengantar Isel, jemput Isel, kerja. Itu kegiatannya”

“bahkan setiap malam, ia selalu mengajari Isel membaca, benar?” aku mengangguk mengiyakan. Kakak benar-benar mengajariku membaca, menghitung dan membantu tugasku setiap malam. “dia pemuda yang hebat Sel, sangat hebat.” Air mata kak Anna kembali menetes. “ia menjadi dewasa mendahului usianya”

“kala itu” kak Anna lalu melanjutkan ceritanya. “kala itu Isel kecil sudah berusia delapan tahun, sudah duduk dibangku kelas dua SD. Ia pulang berlari dengan sebuah piala digenggamannya. Memanggil-manggil kakaknya dari depan rumah, lalu kakaknya keluar tersenyum seperti biasa, Isel kecil berlari memeluk kakaknya, dan bilang kakak Isel juara satu lomba nari! Kakak bangga gak sama Isel?. Kakaknya menggangguk, menahan air matanya dan langsung memeluk tubuh kecil adiknya, mengecup keningnya dan memeluknya lagi lalu bilang kakak bangga banget dan selalu bangga sama Isel

Kak Anna menari nafasnya panjang, mungkin ada rasa sesak yang kembali mampir didadanya. “setelah itu kak Anna harus pindah karena tuntutan kerjaan, dan hari itu, hari terakhir kak Anna melihat kalian, mungkin sekarang gantian Isel yang cerita?” ucapnya. Lalu aku mengangguk.

“setelah itu.. seperti biasa, kakak sekolah dan bekerja, dan setelah kakak lulus, kakak mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Jakarta. awalnya Kakak enggak mau, karena enggak bisa ninggalin Isel disini sendirian, akhirnya dengan tekad, kakak membawa Isel untuk ikut pergi sama kakak ke Jakarta.”

“disana kita tinggal disebuah rumah kos, ibu kosnya kakak baik sekali karena benar-benar menganggap kakak dan Isel seperti anaknya sendiri” aku menjeda ucapaku menarik napas perlahan dan kembali membuangnya. “Isel pindah sekolah ke Jakarta, dan kakak pun begitu kembali mencari kerja di Jakarta, untuk kebutuhan hidup kita disana. Kakak selalu bilang Isel harus jadi wanita yang hebat, yang kuat, yang enggak nangis walau dikasih cobaan seburuk apapun itu.”

“setiap kakak mau pergi kerja ia selalu bilang kakak sayang Isel, selalu. Setiap hari tak pernah terlewat sehari pun untuknya bilang itu. Setiap sore adalah waktu yang paling Isel tunggu-tunggu kak, karena waktu dimana Kak Cakra pulang dari kerjaannya, dan dia selalu berlari untuk meluk Isel dan memberi satu kecupan dikening Isel dulu, sederhana tapi itu yang selalu Isel tunggu, tak kalah juga dengan buah tangan yang selalu ia bawa, entah martabak atau hanya segelas jus alpukat favorit Isel. Tapi sore itu beda” aku menjeda ucapakanku kembali, menari nafas tapi kali ini lebih dalam, lebih sakit.

“kakak enggak lari meluk Isel ataupun cium Isel, kakak enggak bawa martabak ataupun jus, tapi kakak dibawa, kakak dibawa oleh tandu kerangka jenazah, Isel waktu itu masih belum paham, hanya diam diteras melihat jenazah kakak dimasukkan kedalam rumah, dimana bu Kinan, ibu kos kakak, sudah menangis histeris. Isel mau nangis, tapi kata-kata kakak dimana Isel tidak boleh menangis terbayang kala itu, senyum kakak yang selalu bikin Isel tenang juga langsung terbayang.”

“maaf kak, maaf Isel langgar permintaan kakak untuk gak nangis kala itu, kehilangan kakak, sama saja dengan kehilangan tujuan hidup Isel, Isel kecil itu lari dan duduk tersimpuh disamping jenazah kakaknya, memeluknya dan mencium pipinya berkali-kali seraya bilang kak bangun, kakak belum ngasih Isel pelukan sama ciuman sore ini, martabak sama jus alpukat Isel juga gak kakak bawa tangis Isel pecah disana, melihat tubuh kakak yang kaku.

Kakak meninggal akibat tertimpa beton di tempat kontruksi bangunan, ternyata kakak kembali bekerja sebagai kuli bangunan waktu itu. seorang teman Kak Cakra yang juga bekerja ditempat yang sama dengan kakak memberikan sebuah kotak merah, yang ternyata isinya sebuah liontin cantik dan sebuah surat untuk Isel, yang ternyata itu kado ulang tahun ke sepuluh Isel yang kak Cakra siapin”

Air mata kami berdua pecah, kak Anna tak menyangka bahwa pemuda kuat yang sedari ia ceritakan ternyata sudah berpulang, sudah berpulang menemui sang penciptanya, mungkin juga ia sudah rindu dengan orang tuanya.

“Isel kira, Isel akan hidup sebatang kara tapi tidak karena bu Kinan, ibu kos kak Cakra. ia dan suaminya mengangkat Isel sebagai anaknya dan karena ia juga tak bisa punya anak. Mereka benar-benar memperlakukan Isel selayaknya anak mereka, berkat mereka Isel bisa merasakan kembali hangatnya keluarga”. tarikan nafas kembali terdengar.

“dan inilah Isel sekarang sebagai wanita kuat, wanita hebat seperti apa yang kak Cakra inginkan, kakak pasti bangga kan ya.. liat Isel bisa jadi seorang dokter?”

“kakak pasti bangga sama Isel, bangga sekali”. Kak Anna langsung memelukku ditengah tangisnya, menumpahkan semuanya dipelukanku begitu juga denganku. “Isel hebat kak Cakra juga hebat”

“kakak adalah yang terhebat kak Anna”

|Sebuah surat

Hai Mama, kaget ya liat Aji nulis surat buat Mama? hehe..

Ma, Mama itu adalah manusia terbaik yang pernah Aji temui, wanita terhebat yang selalu ada disisi Aji sampai kapanpun, benar kan Ma? Buat selalu ada disisi Aji?

Ma, mama itu sumber kekuatan Aji, sumber kebahagiaan Aji, dan alasan buat Aji untuk terus berjuang.

Ma, memiliki Mama di hidup Aji adalah anugerah terindah yang Tuhan berikan untuk Aji.

Mama bahagia terus ya? liat mama nangis adalah patah hati terbesar Aji, karena merasa bersalah enggak bisa jaga perasaan mama untuk terus tersenyum.

Kalau lelah bilang ya Ma? Jangan di pendam. Biar Aji tahu diri, biar Aji bisa intropeksi diri supaya enggak terus-terusan buat Mama susah.

Ma, jangan pernah sebut kata pergi ya? setiap Mama sebut itu, sakit Ma.. hati Aji sakit. Kata orang omongan ibu itu doa, dan Aji takut kata itu akan terkabul, Aji takut Ma... Aji takut kehilangan Mama.

Ma, maaf Aji belum bisa beri Mama kebahagiaan, belum bisa ngasih apa-apa ke Mama, bahkan ngasih Mama prestasi aja Aji enggak mampu, maaf Ma maaf sekali. Tapi Aji akan terus usaha Ma!

Oiya maa.. jangan kecewa ya kalau Aji belum bisa jadiin Mama tempat curhat Aji? Bukan, bukan Aji gak percaya sama Mama, bukan sama sekali bukan. Aji malu Ma... masa ngomongin crush Aji yang suka banget ngeghostingin Aji ke Mama☹.
Mama jangan ketawa! Awas ketawa, atau Aji ngambek.

Ma, Aji cuma mau Mama sehat dan bahagia terus yaa, syukur-syukur itu karena Aji. Aji mau Mama liat Aji sukses dan bahagiain mama. semoga itu semua terkabul ya Ma?

Terakhir, Aji mau bilang makasih, makasih ke Tuhan karena udah memberikan Aji sosok Mama di hidup Aji.
dan Terimakasih Ma, terimakasih buat semuanya. Aji sayang mama, selalu.

By the way Ma.. Aji pergi ke rumah Haris sengaja, soalnya malu kalo liat Mama baca ini di depan Aji, hehe.

Dari anak Mama paling ganteng

Aji

| Takut

Pemandangan dua sejoli dihadapan ku sekarang membuatku seketika berhenti dari langkahku untuk memandangi mereka sebentar. Terlihat sangat bahagia, pikirku.

“oit! Sedang apa?” Tanya Kafka, teman sekelasku, ia membawa beberapa buku dari perpustakaan, ku yakin dia sedang membawa buku titipan anak-anak lain untuk mata pelajaran selanjutnya.

Aku menggeleng, “tidak.. aku sedang membetulkan tapi sepatuku saja” reflek aku bungkukkan badan untuk membetulkan tali sepatu, yang sebenarnya tidak lepas sama sekali. Ku lihat pandangannya kedepan menatap dua sejoli yang sedang bercanda di ujung lorong. Alisnya terangkat satu, “mereka ya?” tebaknya

Pasrah sudah ketahuan, aku pun mengganguk. “Move on dong!” Ucapnya dengan agak kencang, membuatku reflek sedikit membulatkan mata. “susah” jawabku malas.

“Bukan susah, tapi takut”. aku menoleh kepadanya, memusatkan seluruh perhatianku sekarang kepadanya. “Maksudnya?”

“Duduk dulu sini” ucapnya seraya duduk dan menepuk-nepuk tempat kosong disebelahnya. Aku mengikuti untuk duduk disebelahnya. “Jadi?”

Dia tersenyum, “bahkan tanpa kamu sadari, rasamu padanya itu sudah berangsur-angsur hilang sejak ia mengumumkan kekasihnya itu” ucapnya. “Kamu cuma masih terjebak akan pikiranmu yang masih menyukainya itu” lanjutnya.

Aku diam, sejenak berfikir apa iya? maksudnya kalau benar kenapa aku masih terus memikirkan atau bahkan memperhatikannya setiap saat? apa ini bukan karena rasa yang dulu aku miliki buat dia, tetapi karena terbiasa.. terbiasa selalu memikirkannya dan terbiasa selalu menjadikannya pusat dari perhatianku?

“Kamu itu takut Sya” ucapnya tiba-tiba, seraya mengayunkan kedua kakinya keatas dan kebawah. Aku menoleh kepadanya menunggu kelanjutan pembicaraannya itu. “Kamu takut membuka lembaran baru, kamu takut akan orang baru, dan kamu takut akan kenyataan baru” lanjutnya. “Eh sorry, buat yang terakhir.” ucapannya itu membuatku menoleh mengangkat sebelas alisku tanda bertanya akan maksudnya.

“Kamu bukan takut akan kenyataan baru, tapi kamu takut akan kenyataan yang sama, kamu takut kejadian yang kamu alami sekarang terulang lagi kan, benar?”

Aku tak merespon apa-apa hanya diam menatap siswa-siswa yang sedang olahraga di lapangan.

“Kamu hanya perlu keluar dari zona nyamanmu Sya”. lagi lagi dia bersuara seraya membolak-balik halaman buku yang ia pegang. “Percaya deh, banyak kok yang suka sama kamu, dan banyak juga yang menunggumu memperhatikannya seperti kamu memperhatikan dia”.

“Mana mungkin”

“Percaya saja, pasti ada”

“kenapa bisa seyakin itu? kamu tahu siapa orangnya?” tanyaku yang tiba-tiba penasaran.

Dia tersenyum, “tau”.

“Siapa?”

“Aku”

| Fokus

“Hai sedang apa?” ucapnya saat keluar dari masjid.

“ya pakai sepatu, tidak lihat?” Dia terkekeh, menampilkan sederet gigi putih dan senyum manisnya, saking manisnya aku yakin gula saja iri dengannya. Ia kemudian duduk disampingku ikut memakai sepatunya juga. “masih marah dengan kemarin ya?”

“Enggak tuh biasa saja” Dia kembali tersenyum, ia menoleh kepadaku dan matanya menatapku lekat. “Aku tau kali... gak usah pura-pura gitu”

Aku hanya memutar bola mataku malas. “Lagian kalo ngegame fokus banget, sampai aku dilupain! males.”

lagi dan lagi dia terkekeh, “kenapa sih ketawa terus?!” ujarku yang mulai jengkel kepadanya.

“eng...enggak apa-apa hehe kamu lucu banget tau kalo lagi ngambek” ucapnya.

“Dangdut banget??? males ah, aku mau ke pergi saja” baru saja aku ingin beranjak tapi lengannya terlebih dahulu menahanku.

“Mau kemana sih? buru-buru banget? aku belum selesai bicara loh..” ujarnya lagi-lagi. “yaudah cepat mau bicara apa?”

dia hadapkan tubuhnya kepadaku, lalu tersenyum menatapku. “kamu aneh”. ujarnya tiba-tiba membuatku tambah kesal padanya. “Maksudmu?”

“iya kamu aneh, masa iya cemburu dengan game ku? kamu cemburu dengan dia karena aku terlalu fokus dengannya?”

Aku mengangguk mengiyakan. “Bagaimana bisa? bagaimana bisa kamu cemburu dengannya disaat kamu tahu bahwa semua semestaku sekarang berpusat di kamu. Mau sefokus apapun aku tetap saja tidak pernah tidak memperhatikanmu sayang, kau meragukannya?” tanya nya tiba-tiba ditengah penjelasan panjangnya itu. “bisa kau buktikan?”

Ia mengangguk. “em satu saja ya” ia terlihat berfikir sedikit, kedua alisnya ia tautkan dan telunjuknya ia gunakan untuk mematuk-matuk pelipisnya. “aku tahu kamu kan pelaku dari habisnya kue ibu di meja depan?” ucapnya dengan sedikit nada menebak dan dengan senyum jail andalannya.

tapi seperti tertangkap basah, wajahku memerah. “apasih enggak tuh!” Ucapku mencoba mengelak.

“Jangan bohong..”. Aku panglingkan wajahku dari nya. Menahan malu. Ku tarik nafas dalam-dalam. “iya, aku yang habiskan tapi.. bagaimana bisa? Kan kau sedang bermain dikamar dengan jeje?”

“That' right, bahkan disaat aku gak ada aja, aku tahu apa yang kamu lakukan.”

“Stalker!” seruku. “Aku jadi takut dekat denganmu sekarang”

“Loh kamu bilang aku stalker? terus kamu apa? memasang gps diam-diam di ponselku”

“ya.. ya.. itu kan karena kau susah dihubungi!”. kenapa dia jadi pria yang menyebalkan seperti ini?

Ia tertawa, “Aku tahu kok”. tuhan... dia benar-benar menyebalkan sekarang ingin sekali aku memukulnya. “Terus tentang kue bagaimana bisa kau tahu?” tanyaku lagi.

“cctv” astaga.. sepertinya mendorong ia ke tengah laut sekarang sah-sah saja.

“Itu berarti kamu tidak memperhatikanku dong” “Memperhatikan kok, dari cctv”. Yap sepertinya sekarang memang waktunya untuk segera aku mendorongnya ke laut biar saja ia dimakan ikan hiu atau bahkan paus entahlah.

“Tau ah males!” aku segera bangkit lalu berjalan meninggalkannya yang masih nyengir-nyengir enggak jelas dihadapanku.

“Hei cantik! Mau kemana? Bukankah putri kecil kita sudah menunggu lama dirumah? Apa tidak kasihan dengan ibu yang sudah pusing menenangkan tangisnya? Aku saja yang masih muda ini pusing sekali apalagi ibu yang sudah lanjut usia?” teriaknya dengan kencang, sehingga beberapa orang menoleh ke arah kami.

Tuhan.. sekarang aku berfikir mengapa bisa aku menikah dengan orang sepertinya.

“Ayo pulang, aku janji akan terus memperhatikanmu lebih banyak dari gameku sekarang! Jangan ngambek lagi ya sayang?” Ucapnya seraya merangkul tanganku.

Sepertinya, karena janji manisnya ini.

Kebenaran

Pemandangan sore itu terlihat lebih indah dari biasanya. Ale hanya menatapnya dalam diam di teras rumah. Tak lama Resha datang membawa dua cangkir teh lalu memberikan satunya kepada Ale.

“Lucu ya.” Ucap Resha lalu terkekeh, duduk disalah satu bangku yang ada diteras seraya meminum tehnya. Ale menoleh kepada Resha ikut duduk disamping pria itu. Tak berniat bicara karena ia masih terus bergulat dengan pikirannya sendiri.

“Bisa-bisa setelah empat belas tahun gue baru inget kalo gue punya kakak” ujarnya lalu ikut meneguk secangkir teh itu juga.


sebelumnya

“PAPA?!” Ucap Resha sehabis dari kamar mandi. Yang di panggil pun menoleh dan tak kalah memberikan ekspresi kaget itu juga kepada Resha.

Resha berjalan, kearah Tama— papanya. “A-aresha?” Ucap papanya sedikit terbata karena gugup yang melanda.

Mata Resha bergantian menatap Tama dan Ale disampingnya. Lalu ia terkekeh seraya menghapus air matanya yang sudah tak terbendung lagi. “J-jadi dia Alena... adek aku?” Ucapnya dengan mata yang setia menatap Ale yang sedang kebingungan di tempatnya.

“Maksudnya apa si?” Ujar Ale. “Pah! Papa kenal sama Resha? Adek? Adek siapa?” Lanjutnya. “Ale engga paham”

Tama menoleh menatap putrinya itu, mengelus surainya lembut dan mengangguk “iya kenal, dia.. kakakmu Le”

Rasanya seperti ada batu yang menghantam tubuh Ale sekarang, kenyataan apa ini? Apa mereka sedang mempermainkanku? batinnya.

“Pah jelasin maksudnya apa” ujar Ale dengan nada yang sedikit bergetar sedangkan Resha masih setia berdiri di depan Tama.

“Empat belas tahun lalu, ayah bercerai sama mamamu, Ayah punya dua anak kamu dan Resha. Resha ikut mama sedangkan kamu ikut papa dan setahun kemudian papa menikah lagi dengan mama Tania.” Ujarnya.

“Terus kok Ale bisa ga inget kalo Ale punya kakak dan mama?”

“Setahun setelah papa menikah, kita pergi untuk liburan dan tanpa diduga kita mengalami kecelakaan mobil dan akibat dari kecelakaan itu.. ingatanmu tentang masa lalu hilang dan ingatan yang tersisa hanya dari saat acara ulang tahun ke tujuhmu waktu itu” lanjut Tama. “Dokter tidak menyarankan untuk membuat kamu ingat lagi dengan masa lalu dimana ingatanmu tentang kakak dan mama berada karena akan berdampak untuk kesehatan kamu waktu itu Le”

Air mata Ale seketika turun, ia baru sadar bahwa seseorang yang telat pergi dua minggu yang lalu adalah ibu kandungnya. Mamanya yang selama ini telah terpisah dengannya sejak empat belas tahun.

“Papa sudah berusaha mencari Resha dan mama, tapi semua hasil nihil karena waktu itu mama dan Resha pindah keluar kota. “

Tangis Ale semakin menjadi. Setelah belasan tahun ia baru tahu bahwa mama yang selama ini ia anggap ibu kandungnya ternyata ibu sambungnya? Dan ibu kandungnya sudah pergi sebelum bertemu dengannya? Dan ternyata juga seseorang yang sudah mengisi hari-harinya hampir dua minggu belakangan nya ini adalah... kakaknya? Benar-benar gila.


“Bener-bener lucu selama tujuh tahun kita temenan, gue baru sadar kalo lo itu Alena adek yang gue sama bunda cari-cari selama ini” ujar Resha. “Bunda pasti seneng anak perempuannya udah tumbuh besar dan jadi perempuan yang cantik. Dan gue bar sadar ternyata semakin gue liat.. lo semakin mirip bunda Le”

Ale menghela nafasnya pelan. Masih mencoba menerima. “Jadi kita beneran adek kakak ya Res?” Tanyanya lagi dengan nada lemah.

“Abang” ucap Resha membuat Ale mendengus kesal. “Iya iya abangg!”

Resha terkekeh. “Iya, takdir lucu ya? Baru aja kita jalanin hubungan sebagai kekasih,baru aja seneng-seneng eh ternyata yang jadi pacar gue, adek gue sendiri” jelasnya lalu menatap Ale. “Tapi sama aja kok gue bisa terus jagain dan sayangin lo terus Le...tapi sebagai kakak”

Ale tersenyum, “siap abang ku yang paling ganteng!”

Setelahnya mereka tertawa bersama, mencoba menerima takdir yang diberikan tuhan bahwa tak selamanya berjalan sesuai rencana mereka.

Karena tenyata ada takdir yang lebih baik dan indah yang menunggu mereka.

Hubungan yang lebih abadi, sebagai seorang kakak dan adik.

.

disinilah mereka, pantai. Atas permintaan Ale yang ingin ke pantai, Resha langsung meluncurkan sepeda motornya itu menuju pantai.

Jalanan cukup senggang sehingga mereka lebih cepat sampai ke tempat tujuan. Ale segera berlari menuju ujung pantai membasahi kaki dengan air laut yang sedang pasang.

“Masih marah?” tanya Resha tiba-tiba. “Enggak”

Resha mendudukkan diri di pasir putih menatap Ale yang masih bermain air. Rambutnya yang berterbangan akibat angin yang menerpa, membuatnya lebih menawan. Tak lama yang di pandang menoleh, memberikan seulas senyum lalu duduk disamping Resha.

“Makasih res” ucapnya tiba-tiba. “Buat?”

Ale terlihat berfikir, “semuanya?” Jawabnya. “Emang gue ngelakuin apa aja buat lo hah?”

“Ga bisa serius banget si lo” ucapnya. Resha terkekeh. “Iya iya”

“Ya buat lo yang waktu itu nganterin gue balik, buat lo yang udah jagain Tata, jagain gue juga si... terus buat yang tadi, walaupun gue kesel tapi gue seneng” jelasnya.

Resha tersenyum, tangannya terulur mengambil lengan gadis disampingnya. “sama-sama” ucapnya. “Tapi setelah apa yang gue lakuin buat lo, apa lo masih gak ngerasain apa-apa ke gue?” Lanjutnya lalu menempelkan telapak tangan Ale pada dadanya.

Degupan jantung yang keras cukup terasa buat Ale. “Gue deg-degan banget kalo lagi sama lo” katanya lagi. “Lo ngerasain juga gak waktu sama gue?”

Ale hanya bisa menatap Resha dalam, jantungnya mulai berdetak tak karuan, ada debaran yang tak bisa ia jelaskan dan baru ia rasakan sekarang, bersama resha.

Ale menelan salivanya kasar. Tak bisa berkata-kata sebab seperti ada yang mencekat suaranya untuk keluar.

Resha tersenyum melihat Ale, “enggak apa jangan di paksa, tapi kalo lo udah suka sama gue bilang ya” Ale hanya mengangguk, “i-iya”

Kejutan

“Jadi ini alesan lo nerima tawaran jadi babysitter?” Ucap Ale pada Resha yang sedang bermain dengan anak-anak gubuk baca. “Pantes aja Tata langsung akrab sama lo”

Resha tertawa, “ya salah satunya.” “Terus yang lainnya?” Tanya Ale penasaran. “Karena gue ganteng” jawabnya dengan percaya diri. “Buktinya lo suka kan?” Lanjutnya lagi dengan mata yang dikedipkan kepada Ale. Membuat Ale bergidik ngeri. “Ga nyambunggg!!”. Resha hanya tertawa menanggapinya.

Ya, Ale sudah mengakui kalau ia menyukai pria itu lima hari setelah kepergian ibunya. Sekarang mereka berada di gubuk baca milik Resha untuk berkunjung.

Telepon milik Ale berdering, ternyata sang mama lah yang meneleponnya. “Res, anter gue pulang dong” ucap Ale setelah mengangkat teleponnya. “Loh kenapa?” “Bokap sam nyokap gue pulang, bisa-bisa mereka marah anaknya engga ada dirumah.” Lanjutnya.

Resha mengangguk, lalu mereka segera berpamitan dengan anak-anak itu dan pergi kerumah Ale untuk menunggu orang tuanya dirumah.

“Bentar lagi mereka nyampe” ujar Ale yang masih sibuk membalas pesan ibunya.

“Duh gue deg-degan, gue ke kamar mandi dulu ya” lalu Resha berlari ke kamar kecil. Tak lama pintu berbunyi.

“MAMAAAA” teriak Ale yang langsung menghamburkan tubuhnya pada sang mama. “Kangen”

“Mana Le, temanmu yang mau di kenalin ke papa?” Tanya papanya yang sudah duduk di ruang tamu.

“Lagi di kamar mandi”

Tak lama Resha keluar, betapa kagetnya ia ketika sudah ada dua orang yang dari tadi ia tunggu kehadirannya. Tapi salah satu dari mereka terlihat tak asing di matanya.

“Papa?!”

.

disinilah mereka, pantai. Atas permintaan Ale yang ingin ke pantai, Resha langsung meluncurkan sepeda motornya itu menuju pantai.

Jalanan cukup senggang sehingga mereka lebih cepat sampai ke tempat tujuan. Ale segera berlari menuju ujung pantai membasahi kaki dengan air laut yang sedang pasang.

“Masih marah?” tanya Resha tiba-tiba. “Enggak”

Resha mendudukkan diri di pasir putih menatap Ale yang masih bermain air. Rambutnya yang berterbangan akibat angin yang menerpa, membuatnya lebih menawan. Tak lama yang di pandang menoleh, memberikan seulas senyum lalu duduk disamping Resha.

“Makasih res” ucapnya tiba-tiba. “Buat?”

Ale terlihat berfikir, “semuanya?” Jawabnya. “Emang gue ngelakuin apa aja buat lo hah?”

“Ga bisa serius banget si lo” ucapnya. Resha terkekeh. “Iya iya”

“Ya buat lo yang waktu itu nganterin gue balik, buat lo yang udah jagain Tata, jagain gue juga si... terus buat yang tadi, walaupun gue kesel tapi gue seneng” jelasnya.

Resha tersenyum, tangannya terulur mengambil lengan gadis disampingnya. “sama-sama” ucapnya. “Tapi setelah apa yang gue lakuin buat lo, apa lo masih gak ngerasain apa-apa ke gue?” Lanjutnya lalu menempelkan telapak tangan Ale pada dadanya.

Degupan jantung yang keras cukup terasa buat Ale. “Gue deg-degan banget kalo lagi sama lo” katanya lagi. “Lo ngerasain juga gak waktu sama gue?”

Ale hanya bisa menatap Resha dalam, jantungnya mulai berdetak tak karuan, ada debaran yang tak bisa ia jelaskan dan baru ia rasakan sekarang, bersama resha.

Ale menelan salivanya kasar. Tak bisa berkata-kata sebab seperti ada yang mencekat suaranya untuk keluar.

Resha tersenyum melihat Ale, “enggak apa jangan di paksa, tapi kalo lo udah suka sama gue bilang ya” Ale hanya mengangguk, “i-iya”.

Suara telepon memecah kegiatan mereka yang sedang menatap beberapa keluarga yang sedang bermain air, Resha segera mengangkat telepon itu dan suara suster keluar mengapa pendengarannya.

“ya saya kesana sekarang” ucapnya dengan nada khawatir yang tak bisa lagi ia sembunyikan.

“Kenapa Res” tanya Ale penasaran akan berubah nya raut wajah Resha.

“B-bunda, b-bunda kritis..” tangisnya pecah. “Le gue duluan ya, nanti gue suruh Attar buat jemput lo” setelahnya Resha berlari secepat mungkin menuju motor nya dan melajukan ke rumah sakit.

KEJUTAN!

Siang harinya ada seseorang yang menelpon Ale kalau ia sedang bersama Tata sekarang di taman ditempat Tata hilang kemarin. Ale segera bergegas ke taman tersebut. Sialnya hari itu tak ada ojek online yang menerima pesanannya. Alhasil Ale mau tak mau menaiki bus yang tempo hari ia naiki bersama Resha. Tak butuh waktu lama untuk ia sampai di taman, ia sedikit berlari masuk ke taman dan terheran mengapa banyak sekali balon dan bunga dengan berbagai macam warna. Tapi semua ia alihkan dan segera mencari keberadaan Tata.

“KEJUTANN!!!” teriak beberapa orang dari balik semak-semak membuat Ale hampir berteriak disana ada Tante, Resha, Nessa, Freya serta ketiga teman Resha, Tara, Attar dan Vindra dan juga.... Tata— seseorang yang ia cari dari kemarin dan berhasil membuatnya tidak tidur karena khawatir.

“maksudnya?” tanya Ale bingung masih tak mengerti keadaan.

“happy birthday Ale, keponakan tante tersayang!” ucap Tante Naya mendahului semuanya.

“HAPPY BIRTHDAY BESTIEEE!!” kali ini dari Freya dan Nessa. “happy birthday Le” ucap Resha seraya memberi Ale sebucket mawar merah.

“Happy birthday Alenaa!!’’ ucap ketiga manusia lainnya.

Seperdetik kemudian Ale tertawa terbahak-bahak sampai sesegukkan dengan sedikit air mata yang keluar. Membuat semua orang disana kebingungan.

“j-jadi kalian semua ngerencanain ini.. b-buat sur-surprise gue?” tanya Ale terbata-bata karena masih larut dalam tawanya. “dengan buat Tata hilang dan bikin gue khawatir gitu?’ lanjutnya. Semuanya lantas mengangguk. “maaf kalo menurut lo ini kelewatan” ucap Resha tiba-tiba. Ale menggeleng pelan menghapus air matanya yang masih tersisa.

“eng-enggak gak apa masalah itu, tapi.. ta-tapi ini bukan hari ulang tahun gue” ucapan Ale berhasil membuat mata mereka membulat. “HAH?!!!” teriak mereka bersama, lalu serempak menoleh ke Resha dengan tatapan sinisnya. Yang ditatap hanya mengedikkan bahu tak bersalah. “bukannya 18 Juni Le?” tanya Resha polos.

“18 Juli begoooo” jelas Ale membuat semuanya tertawa. Merasa malu atas apa yang mereka perbuat. “tapi yang gue bingung lo berdua gak inget ulang tahun gue?!” tanya Ale pada kedua temannya. “ya dari dulu kita ketuker mulu antara Juni sama Juli” jawab Freya membela diri dan dibalas anggukkan oleh Nessa.

Ale hanya menggeleng, “tapi gak apa, makasih banget loh udah repot-repot ngasih surprise ke gue” ucapnya. “daripada sayang yuk kita rayain early birthday gue ini” lanjutnya lalu berjalan menuju kue ulang tahunnya bertuliskan ‘happy birthday Alena’ dan memberikan senyuman singkat mengingat betapa manisnya kejutan ini.