kenangan

Perjalanan menuju Bandung saat ini terlampau lancar, tak menemukan titik kemacetan dimanapun. Akhirnya setelah dua jam perjalanan, aku sampai di Bandung. Aku turun dari bus yang aku naiki dan pergi mencari kendaraan umum untuk menuju sebuah tempat yang sudah lama sekali tak ku kunjungi.

Motor ojek yang ku tumpangi berhenti tepat disebuah pagar putih rumah yang sudah terlihat usang tapi masih dapat berdiri kokoh. Ku pandangi lama rumah itu, kenangan-kenangan lama telah menyapaku dengan lembut, aku tersenyum saat mengingat kembali masa-masa itu.

“Isel?” sebuah suara perempuan dari belakangku membuat ku menoleh, terlihat seorang perempuan dengan sekantong tas belanja, sepertinya ia habis dari pasar. “kamu... Isel kan?” tanyanya lagi.

“kak Anna?!” ucapku sedikit terkejut. Setelah itu tubuhnya menarik tubuhku untuk didekapnya. Cukup erat, tapi bisa mengobati kerinduanku dengan tempat ini sesaat. “kakak kangen kamu Sel” ucapnya di tengah pelukannya. “Isel juga kangen kak Anna”

“kamu sudah besar ya, cantik” ucapnya, sekarang kita berada disebuah saung kecil didepan rumah. Ia mengajakku untuk mengobrol seraya mengenang masa lalu, aku langsung menerimanya karena itu tujuan ku datang ke sini, untuk mengenang.

“Isel, mau kuceritakan enggak tentang kehidupanmu dulu?” tanyanya pelan mungkin takut aku tersinggung. “mau kak, enggak apa cerita saja”. Ia mulai mengatur posisinya mencari posisi yang lebih enak untuk bercerita.

“Isel, setelah kedua orang tuamu pergi karena kecelakaan itu kamu masih berumur lima tahun dan kakakmu berumur enam belas tahun, benar?”. Aku mengangguk mengiyakan.

“yang harus kamu tahu sejak saat itu, sejak saat orang tuamu sudah dikebumikan, semua tanggung jawab mereka semua berpindah ke Cakra, kakakmu. Walaupun kalian saat itu ada tante Wanda yang menjaga kalian, tetap saja ada sebuah tugas tambahan yang harus di bawa oleh remaja enam belas tahun itu”

“setahun kemudian tante Wanda ikut pergi meninggalkan kalian juga karena penyakit yang dideritanya. remaja yang harusnya bersenang-senang menghabiskan masa mudanya dengan teman sebaya, harus berjuang untuk menghidupi hidupnya dan seorang adik perempuannya, yang kala itu baru berusia enam tahun”. Aku mengangguk seraya tersenyum kecil.

“waktu itu, sore kalau tidak salah ia mengetuk pintu rumahku, kukira ia ingin meminta diajari materi aljabar kepada ku, ternyata salah kamu tahu untuk apa dia datang sore itu?” aku menggeleng. “kak Anna, Cakra boleh minta sepiring nasi?”. Air mata kak Anna berhasil menetes tapi secepatnya segera ia hapus.

“dia meneruskan kalimatnya, soalnya Isel belum makan kak dan dirumah beras habis. Tuhan disitu aku ingin menangis, melihat anak tujuh belas tahun itu membawa sepiring kecil untuk makan adiknya, tidak untuknya”

“aku yang waktu itu juga masih berumur sembilan belas tahun, tak tahu harus membantu apa karena hidupku juga masih bergantung dengan abah dan umi kala itu, abah dan umi juga sudah berkali-kali mengajak Cakra dan kamu untuk tinggal bersama kami, tapi Cakra selalu menolak, enggak kak aku masih bisa untuk mengurus Isel sendiri kok

“waktu yang seharusnya ia gunakan untuk belajar atau sekedar berkumpul dengan temannya di kafe, ia gunakan untuk bekerja, jika kamu bertanya kakakmu bekerja apa, ia bekerja apa saja Sel, apa saja. Dari mulai kuli bangunan, kuli pasar, kenek angkot, tukang parkir, atau sekedar menjaga sebuah warung di dekat terminal. Semua pekerjaan itu ia lakukan dengan senyum, selalu tersenyum. Karena kala itu Isel kecil meminta untuk sekolah seperti teman-teman sebayanya dan itu memperlukan biaya untuk membeli perlengkapan sekolahnya. Sejak itu, ia benar-benar bekerja dengan keras, karena ingin melihat adik kecilnya itu sekolah.” Air mataku mulai mengalir seiring cerita kak Anna berlanjut.

“tepat setahun setelahnya, ia berhasil menyekolahkan adiknya. Pagi itu senyumnya lebih cerah dari biasanya, ia gandeng tangan adiknya yang sudah siap untuk menuju sekolah dengan baju dan sepatu baru, tak peduli dengan pakaiannya yang sudah lusuh, sepatunya yang sudah ia tambal berkali-kali karena terus-terusan jebol. Mengantar Isel, jemput Isel, kerja. Itu kegiatannya”

“bahkan setiap malam, ia selalu mengajari Isel membaca, benar?” aku mengangguk mengiyakan. Kakak benar-benar mengajariku membaca, menghitung dan membantu tugasku setiap malam. “dia pemuda yang hebat Sel, sangat hebat.” Air mata kak Anna kembali menetes. “ia menjadi dewasa mendahului usianya”

“kala itu” kak Anna lalu melanjutkan ceritanya. “kala itu Isel kecil sudah berusia delapan tahun, sudah duduk dibangku kelas dua SD. Ia pulang berlari dengan sebuah piala digenggamannya. Memanggil-manggil kakaknya dari depan rumah, lalu kakaknya keluar tersenyum seperti biasa, Isel kecil berlari memeluk kakaknya, dan bilang kakak Isel juara satu lomba nari! Kakak bangga gak sama Isel?. Kakaknya menggangguk, menahan air matanya dan langsung memeluk tubuh kecil adiknya, mengecup keningnya dan memeluknya lagi lalu bilang kakak bangga banget dan selalu bangga sama Isel

Kak Anna menari nafasnya panjang, mungkin ada rasa sesak yang kembali mampir didadanya. “setelah itu kak Anna harus pindah karena tuntutan kerjaan, dan hari itu, hari terakhir kak Anna melihat kalian, mungkin sekarang gantian Isel yang cerita?” ucapnya. Lalu aku mengangguk.

“setelah itu.. seperti biasa, kakak sekolah dan bekerja, dan setelah kakak lulus, kakak mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Jakarta. awalnya Kakak enggak mau, karena enggak bisa ninggalin Isel disini sendirian, akhirnya dengan tekad, kakak membawa Isel untuk ikut pergi sama kakak ke Jakarta.”

“disana kita tinggal disebuah rumah kos, ibu kosnya kakak baik sekali karena benar-benar menganggap kakak dan Isel seperti anaknya sendiri” aku menjeda ucapaku menarik napas perlahan dan kembali membuangnya. “Isel pindah sekolah ke Jakarta, dan kakak pun begitu kembali mencari kerja di Jakarta, untuk kebutuhan hidup kita disana. Kakak selalu bilang Isel harus jadi wanita yang hebat, yang kuat, yang enggak nangis walau dikasih cobaan seburuk apapun itu.”

“setiap kakak mau pergi kerja ia selalu bilang kakak sayang Isel, selalu. Setiap hari tak pernah terlewat sehari pun untuknya bilang itu. Setiap sore adalah waktu yang paling Isel tunggu-tunggu kak, karena waktu dimana Kak Cakra pulang dari kerjaannya, dan dia selalu berlari untuk meluk Isel dan memberi satu kecupan dikening Isel dulu, sederhana tapi itu yang selalu Isel tunggu, tak kalah juga dengan buah tangan yang selalu ia bawa, entah martabak atau hanya segelas jus alpukat favorit Isel. Tapi sore itu beda” aku menjeda ucapakanku kembali, menari nafas tapi kali ini lebih dalam, lebih sakit.

“kakak enggak lari meluk Isel ataupun cium Isel, kakak enggak bawa martabak ataupun jus, tapi kakak dibawa, kakak dibawa oleh tandu kerangka jenazah, Isel waktu itu masih belum paham, hanya diam diteras melihat jenazah kakak dimasukkan kedalam rumah, dimana bu Kinan, ibu kos kakak, sudah menangis histeris. Isel mau nangis, tapi kata-kata kakak dimana Isel tidak boleh menangis terbayang kala itu, senyum kakak yang selalu bikin Isel tenang juga langsung terbayang.”

“maaf kak, maaf Isel langgar permintaan kakak untuk gak nangis kala itu, kehilangan kakak, sama saja dengan kehilangan tujuan hidup Isel, Isel kecil itu lari dan duduk tersimpuh disamping jenazah kakaknya, memeluknya dan mencium pipinya berkali-kali seraya bilang kak bangun, kakak belum ngasih Isel pelukan sama ciuman sore ini, martabak sama jus alpukat Isel juga gak kakak bawa tangis Isel pecah disana, melihat tubuh kakak yang kaku.

Kakak meninggal akibat tertimpa beton di tempat kontruksi bangunan, ternyata kakak kembali bekerja sebagai kuli bangunan waktu itu. seorang teman Kak Cakra yang juga bekerja ditempat yang sama dengan kakak memberikan sebuah kotak merah, yang ternyata isinya sebuah liontin cantik dan sebuah surat untuk Isel, yang ternyata itu kado ulang tahun ke sepuluh Isel yang kak Cakra siapin”

Air mata kami berdua pecah, kak Anna tak menyangka bahwa pemuda kuat yang sedari ia ceritakan ternyata sudah berpulang, sudah berpulang menemui sang penciptanya, mungkin juga ia sudah rindu dengan orang tuanya.

“Isel kira, Isel akan hidup sebatang kara tapi tidak karena bu Kinan, ibu kos kak Cakra. ia dan suaminya mengangkat Isel sebagai anaknya dan karena ia juga tak bisa punya anak. Mereka benar-benar memperlakukan Isel selayaknya anak mereka, berkat mereka Isel bisa merasakan kembali hangatnya keluarga”. tarikan nafas kembali terdengar.

“dan inilah Isel sekarang sebagai wanita kuat, wanita hebat seperti apa yang kak Cakra inginkan, kakak pasti bangga kan ya.. liat Isel bisa jadi seorang dokter?”

“kakak pasti bangga sama Isel, bangga sekali”. Kak Anna langsung memelukku ditengah tangisnya, menumpahkan semuanya dipelukanku begitu juga denganku. “Isel hebat kak Cakra juga hebat”

“kakak adalah yang terhebat kak Anna”