O54

Setelah mendapat pesan dari teman-temannya itu, lantas segera ia membuka salah satu aplikasi yang dibicarakan sedari tadi sebagai penolongnya saat ini. baru saja ia ingin membukanya namun sentuhan kecil dari arah belakangnya membuat netranya menoleh kebelakang.

Senyumnya melebar, kala tahu siapa yang berhasil merebut fokusnya. Yang ditatap pun ikut melebarkan senyumannya. “Udah bangun ternyata, laper gak?” yang ditanya hanya menggelengkan kepala, Juli kembali berfikir, “mau ke kamar mandi?” gelengan kedua ia dapatkan kembali.

“Apa mau minum?” setelah pertanyaan ketiga, gadis berumur enam belas tahun itu segera mengambil notes kecil dari sakunya dan menulis sesuatu. Membuat sang kakak, penasaran betul apa yang sedang ia tulis.

“juni mau ke taman, boleh?”

“Boleh dong, sama kakak ya?”

Juni mengangguk semangat, lalu Juli segera mendorong kursi roda yang dipakai Juni sebagai alat bergeraknya sekarang keluar dari rumah, menuju sebuah taman kecil di ujung perumahan yang sedang mereka tempati.

Taman yang mereka datangi cukup sepi, hanya ada beberapa anak sedang bermain di temani oleh ayah atau ibunya sembari menyuapi makan. Hal biasa yang suka dilakukan oleh orang tua, karena jika sedang bermain, makan kadang makanan akan dimakan sampai habis.

Juni duduk pada salah satu kursi taman setelah dibantu oleh kakaknya, memandangi anak-anak yang sedang bermain perosotan dengan tawa yang terdengar sangat bahagia.

Anak-anak itu tersenyum begitupula dengan dirinya. Senyumnya semakin mengembang kala salah seorang anak lelaki mendatanginya, memberikan sebuah bunga melati putih yang berada di setiap pagar taman kepada dirinya.

“Kakak cantik, ini buat kakak cantik.” Juli tertawa melihat raut wajah adiknya yang terlihat malu-malu saat diberikan sebuah bunga oleh anak yang Juli kira baru berusia lima tahun. Entah ada angin apa, ia meneteskan air mata. Membuat sang anak begitu pula Juli tersontak kaget, “Eh kakak cantik kenapa? Gak suka ya sama bunga ini? Reza ganti ya?” ujar anak itu panik.

Juli yang berada di sampingnya lantas menepuk-nepuk pelan tubuh adiknya itu, berniat memberi ketenangan. “Hei, kenapa?” Juni hanya menggeleng.

“Reza, lanjut main aja ya, biar kakak cantiknya, kakak yang temenin.” Lantas anak itu mengangguk dan pergi untuk kembali bergabung pada teman-temannya.

Tiba-tiba sebuah notes berada di pahanya, sebuah kalimat pertanyaan yang membuat Julio tertegun.

“punya orang tua itu enak gak sih kak?”

Cepat-cepat ia kembali pada kesadarannya. Netranya menatap sang adik yang masih setia menatap lurus kedapan. Dibawanya tubuh Juni untuk menghadapnya, di tangkupnya wajah manisnya itu.

“Kakak juga gak tau sayang, soalnya kakak juga gak pernah ngerasain,” jawabnya dengan senyum yang begitu manis, hingga terdapat bolongan kecil pada pipinya.

Direngkuhnya tubuh ringkih itu cepat, di peluk seerat yang ia bisa, agat semesta tidak bisa membawanya pergi, sebab hanya Juni alasan ia bertahan di permainan semesta ini.

“Juni kan ada kakak, ada kakak yang bisa jadi ayah sekaligus ibu buat Juni, emang kasih sayang kakak kurang buat Juni? perkataan Juli barusan, membuat Juni segera melepaskan pelukan sang kakak, menggeleng kasar, lalu kembali menulis pada notes kesayangannya.

“ENGGAKKK!!! KAKAK YANG TERBAIK BUAT JUNI!”

Juli tersenyum. Lalu kembali terheran melihat Juni kembali menulis.

“Juni mau tanya boleh?” Juli mengangguk. “Boleh sayang.”

“kakak masih ingat wajah ayah sama ibu?”

Pertanyaan itu sontak membuat Juli bungkam, bagaimana bisa ia lupa akan wajah orang tua yang meninggalkan mereka dahulu? Bagaimana bisa ia lupa raut wajah yang paling menjengkelkan kala mengetahui mempunyai anak cacat dan pergi begitu saja tanpa tanggung jawab.

Semua masih tersimpan rapi pada kepalanya, kejadian enam belas tahun yang ingin sekali Juli buang kemana pun asal ia bisa melupakan memori itu.

Dengan terpaksa ia harus berbohong mengenai pertanyaan yang Juni lontarkan itu. Ia tidak ingin adiknya mengorek lebih jauh lagi tentang informasi yang akan sangat menyayat hati.

“Nggak sayang, kakak udah lupa. Maaf ya?”